Tujuan
hidup, hal yang satu ini tentu sudah sering kita dengar dan kita
perbincangkan dalam maksud dan kedalaman yang beragam. Kalau kita
bertanya pada seratus orang mengenai tujuan hidup mereka masing-masing,
mungkin kita akan mendapatkan seratus jawaban yang berbeda-beda pula.
Apa sebenarnya tujuan hidup itu? Benarkah tujuan hidup kita itu
berbeda-beda satu dengan yang lainnya?
Saya mendefinisikan tujuan hidup sebagai “satu tujuan
yang kita secara naluriah berusaha secara terus-menerus untuk menuju ke
arahnya, baik secar sadar maupun tak sadar, dengan segala cara yang
bisa kita lakukan”. Ini berarti berdasarkan definisi tersebut, tujuan
hidup semua manusia itu hakikatnya adalah satu, meskipun dilakukan
dengan cara yang bermacam-macam. Banyak orang (khususnya orang Islam)
mengatakan bahwa “satu tujuan” itu adalah beribadah kepada Allah,
sebagaimana yang disuratkan dalam al-Qur’an, yang artinya “Dan Aku tidak
ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku”
(Q.S. 51: 56). Saya katakan, beribadah kepada Allah bukanlah tujuan
hidup kita, melainkan tujuan penciptaan manusia oleh Allah. Nanti saya
akan bahas hal tersebut.
Jadi,
apa sebenarnya tujuan hidup kita di dunia, yang selalu berusaha kita
capai dengan segala cara: cara yang baik, benar dan bermanfaat; atau
bahkan dengan cara yang buruk, salah dan jahat? Sekarang mari kita ambil
tiga contoh yang berbeda untuk menemukan tujuan yang satu itu:
- kita bekerja sepanjang hari, apa yang ingin kita dapatkan? Yang ingin kita dapatkan dari bekerja paling tidak ada tiga hal: imbalan, aktualisasi diri dan status. Imbalan kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan fisik kita, aktualisasi diri untuk memenuhi kebutuhan psikis/psikologis dan spiritual, status untuk memenuhi kebutuhan sosial. Jika kita bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut lantas apa yang ingin kita dapatkan?
- orang merampok, mencuri dan berbuat gendam untuk memperdaya orang (seperti yang marak diberitakan akhir-akhir ini), apa yang mereka inginkan? Yang mereka inginkan paling tidak adalah harta dan uang. Harta dan uang digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan bersenang-senang. Jika mereka bisa memenuhi kebutuhan fisik dan bersenang-senang dengan harta dan uang tersebut, lantas apa yang ingin mereka dapatkan?
- kita bersekolah dan belajar, apa yang hendak kita capai? Yang hendak kita capai adalah prestasi, mendapatkan ranking tertinggi di kelas atau mendapatkan IPK cumlaude. Jika kita mendapatkan rangking yang tertinggi di kelas atau mendapatkan IPK yang bagus lantas apa yang kita ingin dapatkan sesungguhnya?
Setiap
orang yang bekerja, belajar dan bersekolah atau bahkan merampok,
mencuri serta memperdaya orang lain, atau bahkan juga orang yang nonton
televisi, ngobrol dengan orang lain, tidur, menggosipkan orang lain,
beribadah, menjalin hubungan asmara dengan pasangannya, semuanya pada
hakikatnya, sadar atau pun tidak sadar sedang mengarahkan dirinya kepada
satu hal: kebahagiaan (heppiness). Inilah satu hal yang selalu berusaha kita tuju, sebagaimana definisi yang saya maksud di atas.
Dari
sekian banyak kabahagiaan yang ingin kita raih, ada satu kebahagiaan
yang tertinggi dan mencakup semua kebahagiaan yang pernah atau yang
ingin kita rasakan dan bahkan yang hanya bisa kita angankan. Kebahagiaan
tertinggi itu adalah kebahagiaan dari Allah berupa surga. Setelah kita
sampai pada urusan kebahagiaan tertinggi ini, maka saya ingin
memeperjelas pandangan saya sebelumnya yang menolak ibadah sebagai
tujuan hidup manusia sebagaimana banyak dikira oleh banyak orang Islam.
Dalam ayat tersebut Allah menyatakan bahwa tujuan Dia menciptakan
manusia adalah agar manusia itu menyembah dan beribadah kepada-Nya, dan
dalam banyak ayat yang lain dalam al-Qur’an imbalan dari penyembahan dan
peribadatan tersebut adalah surga. Apa itu surga? Surga adalah
kebahagiaan itu sendiri:
[Inna-l-abrâra lafiy na’îm]
“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kebahagiaan yang besar (surga)” (Q.S. 83: 22).
Jadi,
Allah memiliki tujuan penciptaan berupa “penyembahan/peribadatan
manusia” dan sarana (imin-iming) agar manusia mau melakukan tujuan
penciptaan adalah “kebahagiaan (surga)”. Sebaliknya tujuan manusia hidup
adalah “kebahagiaan” dan untuk mencapai tujuan hidup tersebut manusia
mempunyai sarana berupa “penyembahan /peribadatan kepada Allah sebagai
Tuhannya. Dua perspektif (sudut pandang) yang berbeda dalam memandang
kebahagiaan:
perspektif - sarana - tujuan
ALLAH - surga (kebahagiaan tertinggi) - penyembahan/peribadatan
MANUSIA - penyembahan/peribadatan - surga (kebahagiaan tertinggi)
Di
muka dalam definisi yang saya buat menyebutkan bahwa usaha kita untuk
mencapai kebahagiaan itu bersifat naluriah. Ada kerinduan yang
kebanyakan tak kita sadari untuk mencapai dan merasakan kabahagiaan
(tertinggi). Mengapa kita selalu ingin menuju kebahagiaan tersebut dan
seperti merindukannya?
Padahal,
kita tak mungkin merindukan sesuatu jika kita tak pernah punya
pengalaman dengan sesuatu itu, belum pernah merasakan sensasi
kenikmatannya atau kesenangnnya. Misalnya kita seumur hidup belum pernah
merasakan sensasi kesegaran dan kesenangan mandi di sebuah sungai yang
indah di Pantai Sukamade di Taman Nasional Meru Betiri; sebuah sungai
yang berkelok-kelok yang alirannya membelah pantai berpasir putih;
sungai yang airnya tetap tawar dan segar meskipun langsung berhadapan
dengan kegagahan Laut Selatan; lantas kemudian tiba-tiba kita mengatakan
kepada teman kita bahwa kita merasa rindu dan ingin kembali merasakan
sensasi mandi di sungai tersebut. Mungkinkah? Contoh yang lain, kita
seumur hidup belum pernah bertemu, berkenalan atau mendengar nama dan
hal-ihwal tentang seorang gadis bernama Sasadhara, misalnya, atau
seorang pemuda bernama Adinara, kemudian tiba-tiba kita merasa rindu
padanya, mungkinkah? Sesuatu yang tak pernah kita kenal dan alami
sebelumnya tak mungkin akan kita rindukan, yang kita rindukan pastinya
adalah sesuatu yang pernah kita rasakan dan alami sebelumnya.
Lantas
mengapa kita selalu menginginkan kebahagiaan tertinggi tersebut dan
mengapa juga Allah mengiming-imingi manusia dengan surga? Apakah itu
berarti kita pernah merasakan kebahagiaan di surga sebelumnya? Ya,
memang benar kita tak pernah merasakan kebahagiaan tertinggi tersebut,
tetapi bapak kita Adam pernah merasakannya. Kerinduan akan perasaan
bahagiaan tersebut terus diturunkan oleh manusia dari satu generasi ke
generasi hingga sampai pada kita sekarang ini. Perasaan inilah yang
disebut oleh Carl G. Jung (psikologi analitis) sebagai archetypus.
Archetypus adalah bentuk pendapat naluriah (instinktif) dan reaksi naluriah terhadap situasi tertentu yang terjadi di luar kesadaran. Archetypus itu dibawa sejak lahir dan tumbuh pada apa yang disebut Jung sebagai ketidaksadaran kolektif selama perkembangan manusia (sebagai jenis), yang tak tergantung pada manusia perorangan. Ketidaksadaran kolektif mengandung isi-isi yang diperoleh selama pertumbuhan jiwa seluruhnya, yaitu pertumbuhan jiwa seluruh jenis manusia, melalui generasi yang terdahulu. Ini merupakan endapan cara-cara reaksi kemanusiaan yang khas semenjak zaman dahulu di dalam manusia menghadapi situasi-situasi di dalam kehidupannya. Archetypus merupakan medan tenaga dari ketidaksadaran yang dapat mengubah sikap kehidupan sadar manusia. Jadi, sebagian besar dorongan kita untuk mencapai kebahagiaan adalah berasal dari dorongan ketidaksadaran kolektif kita sebagai manusia, sebagai anak cucu Adam yang pernah merasai kebahagiaan tertinggi. (Sumber)
Archetypus adalah bentuk pendapat naluriah (instinktif) dan reaksi naluriah terhadap situasi tertentu yang terjadi di luar kesadaran. Archetypus itu dibawa sejak lahir dan tumbuh pada apa yang disebut Jung sebagai ketidaksadaran kolektif selama perkembangan manusia (sebagai jenis), yang tak tergantung pada manusia perorangan. Ketidaksadaran kolektif mengandung isi-isi yang diperoleh selama pertumbuhan jiwa seluruhnya, yaitu pertumbuhan jiwa seluruh jenis manusia, melalui generasi yang terdahulu. Ini merupakan endapan cara-cara reaksi kemanusiaan yang khas semenjak zaman dahulu di dalam manusia menghadapi situasi-situasi di dalam kehidupannya. Archetypus merupakan medan tenaga dari ketidaksadaran yang dapat mengubah sikap kehidupan sadar manusia. Jadi, sebagian besar dorongan kita untuk mencapai kebahagiaan adalah berasal dari dorongan ketidaksadaran kolektif kita sebagai manusia, sebagai anak cucu Adam yang pernah merasai kebahagiaan tertinggi. (Sumber)
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar