Senin, 30 Januari 2012

Metodologi Penelitian Kualitatif

DEFINISI DAN KARAKTERISTIK

PENELITIAN KUALITATIF

Sebelum diketengahkan tentang definisi dan karakteristik penelitian kualitatif, akan dipaparkan terlebih dahulu tentang alasan penggunaan penelitian kualitatif. Ini penting karena ada sementara isu yang menyatakan bahwa seseorang memilih penelitian kualitatif dalam rencana penelitiannya karena alasan klise, yakni bahwa dia atau mereka tidak menguasai statistik. Anggaplah ini merupakan suatu pelarian; dan padahal sebenarnya mereka akan bisa terjebak dalam pilihannya itu sendiri. Dia atau mereka mengira bahwa penelitian kualitatif adalah lebih ringan dibanding dengan penelitian kuantitatif.

Alasan dan Penggunaan

Setiap orang yang melakukan penelitian kualitatif ini mempunyai alasan-alasan yang beragam. Strauss (1990:19) mengemukakan beberapa alasan seseorang melakukan penelitian kualitatif. Satu alasan adalah keyakinan peneliti berdasarkan pengalaman penelitian yang pernah dilakukan. Beberapa peneliti juga dari disiplin ilmu, seperti anthropologi, atau orientasi filsafat, seperti fenomenologi, yang keduanya biasanya menggunakan metode kualitatif dalam mengumpulkan dan analisis data, yang ternyata telah memberikan hasil yang memuaskan. Alasan lain adalah sifat masalah penelitian. Beberapa kawasan studi secara alamiah lebih mengarah pada tipe-tipe penelitian kualitatif, misalnya penelitian yang berusaha untuk mengungkap pengalaman seseorang dengan suatu fenomena, misalnya sakit, keyakinan agama, atau kecanduan. Metode kualitatif dapat digunakan untuk mengungkap dan memahami apa yang terletak di balik fenomena apa saja yang sedikit belum diketahui. Metode kualitatif dapat memberikan detil fenomena yang ruwet yang sulit untuk disampaikan dengan metode kuantitatif.

Metode kualitatif dapat digunakan keduanya, yakni untuk menemukan apa yang sedang terjadi dan kemudian untuk membuktikan apa yang telah ditemukan. Apa yang ditemukan harus dibuktikan dengan kembali ke belakang pada dunia empiris di bawah studi dan menguji sedemikian rupa analisis-analisis darurat yang cocok dengan fenomena dan berfungsi untuk menjelaskan apa yang telah diobservasi (Patton, 1980:47). Glaser dan Strauss (1967:3) menjelaskan apa makna hasil yang cocok dan berfungsi. Dengan cocok kita maknakan kategori-kategori itu harus siap (tidak secara dipaksakan/dibuat-buat) diaplikasikan pada dan ditunjukkan oleh data di bawah studi; dengan berfungsi (works) kita maknakan bahwa kategori-kategori itu harus sangat relevan dengan dan bisa menjelaskan perilaku di bawah studi. Penemuan dan verifikasi berarti bahwa kategori-kategori itu bergerak ke belakang dan ke depan antara induksi dan deduksi, antara pengalaman dan refleksi terhadap pengalaman, dan antara tingkat yang lebih besar dan tingkat yang lebih tinggi daripada inkuiri naturalistik (Patton, 1980:47).

Penelitian kualitatif dilakukan oleh para peneliti dalam ilmu-ilmu sosial dan perilaku, juga oleh para praktisi dalam lapangan-lapangan yang perhatian dengan isu-isu yang berkaitan dengan perilaku manusia dan fungsi. Pola penelitian ini dapat digunakan untuk menstudi suatu organisasi, kelompok, dan individu. Penelitian ini dapat dilakukan oleh tim penelitian atau oleh orang-orang yang bertindak dalam pasangan atau sendirian. Ketika metode kualitatif dikombinasikan dengan metode kuantitatif, aspek kualitatif biasanya merupakan tambahan (subsidiary) pada proyek penelitian dan mungkin dilakukan oleh individu-individu atau tim kecil spesialis (Strauss, 1990:20).
Definisi

Memahami definisi penelitian kualitatif itu penting sebelum peneliti melangkah melakukan penelitian. Umumnya para peneliti, khususnya peneliti senior, di negeri ini telah mengenal penelitian kuantitatif terlebih dahulu. Belakangan ini sebagian diantara mereka mulai menaruh minat mendalami, kalau tidak mau dikatakan beralih, metode penelitian kualitatif. Baik peneliti senior yang udah terbiasa dengan metode konvensional (atau tradisional) maupun peneliti pemula yang ingin mempelajari penelitian kualitatif perlu sekali memahami definisi penelitian kualitatif.

Menurut Dn (199:8) bahwa kata kualitaif menyatakan penekanan pada proses dan makna yang tidak diuji , atau diukur dengan setepat-tepatnya, dalam istilah-istilah kuantitas, jumlah, intensitas, atau fekuensi. Para peneliti kualitatif menekankan sifat realitas yang dikonstruk secara sosial, hubungan yang intim antara peneliti dan apa yang distudi, dan kendala-kendala situasional yang membentuk inkuiri. Para peneliti yang demikian menekankan inkuiri yang bermuatan-nilai (value-laden). Mereka mencari jawaban atas pertanyaan yang menekankan pada bagaimana pengalaman sosial diciptakan dan diberimakna. Bogdan dan Taylor (1975) menyatakan bahwa metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif: Ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri. Pendekatan ini langsung menunjukkan latar dan individu-individu dalam latar itu secara keseluruhan; subjek penyelidikan, baik berupa organisasi ataupun individu, tidak dipersempit menjadi variabel yang terpisah atau menjadi hipotesis, melainkan dipandang sebagai bagian dari suatu keseluruhan.

Strauss (1990:17) menyatakan bahwa yang dimaksud dengan istilah penelitian kualitatif adalah suatu jenis penelitian yang menghasilkan temuan-temuan yang tidak diperoleh oleh alat-alat prosedur statistik atau alat-alat kuantifikasi lainnya. Hal ini dapat mengarah pada penelitian tentang kehidupan, sejarah, perilaku seseorang atau hubungan-hubungan interaksional. Konsep ini menekankan bahwa penelitian kualitatif ditandai oleh penekanan pada penggunaan non statistik (matematika) khususnya dalam proses analisis data hingga dihasilkan temuan penelitian secara alamiah. Ini merupakan salah satu unsur yang membedakan penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif. Subjek penelitian dalam penelitian kualitatif tidak harus banyak sebagaimana berlaku pada penelitian kuantitatif. Penelitian kualitatif bisa dilakukan hanya dengan satu subjek penelitian. Tetapi tentu bukan sembarang individu atau subjek yang dipilih sesuka peneliti. Latar atau individu yang hendak diteliti hendaknya memiliki keunikan tersendiri sehingga hasilnya betul-betul bermanfaat baik secara teoritis maupun praktis. Keunikan latar atau individu yang menjadi subjek penelitian itu menentukan tingkat bobot ilmiah.

Menurut P (198:41) bahwa metode kualitatif adalah untuk memahami fenomena yang sedang terjadi secara natural (alamiah) dalam keadaan-keadaan yang sedang terjadi secara alamiah. Konsep ini lebih menekankan pentingnya sifat data yang diperoleh oleh penelitian kualitatif, yakni data alamiah. Data alamiah ini utamanya diperoleh dari hasil ungkapan langsung dari subjek peneliti. Sebagaimana dikatakan oleh Patton (1980:30) bahwa data kualitatif adalah apa yang dikatakan oleh orang-orang yang diajukan seperangkat pertanyaan oleh peneliti. Apa yang orang-orang katakan itu menurutnya merupakan sumber utama data kualitatif, apakah apa yang mereka katakan diperoleh secara verbal melalui suatu wawancara atau dalam bentuk tertulis melalui analisis dokumen, atau respon survey.
Komponen

Secara garis besar penelitian kualitatif itu memiliki tiga komponen utama sebagaimana diuraikan berikut.

Pertama, ada data yang datang dari berbagai sumber. Wawancara dan observasi merupakan sumber-sumber yang paling umum digunakan.

Kedua, dalam penelitian kualitatif terdiri dari prosedur-prosedur analisis atau interpretasi yang berbeda yang digunakan untuk sampai pada temuan atau teori. Prosedur-prosedur itu termasuk teknik-teknik untuk konseptualisasi data. Proses ini disebut “pengodean” (coding), yang bermacam-macam karena pelatihan, pengalaman dan tujuan peneliti. Prosedur-prosedur lain juga merupakan bagian proses analisis. Hal ini mencakup sampling non statistik, penulisan memo, dan pendiagraman hubungan-hubungan konseptual.

Ketiga, laporan tertulis dan verbal. Hal ini bisa ditunjukkan dalam jurnal-jurnal atau konferensi ilmiah serta mengambil bentuk-bentuk yang beragam tergantung pada audiens dan aspek temuan teori yang ditunjukkan. Misalnya, seseorang bisa memaparkan peninjauan luas (overview) seluruh temuan atau diskusi mendalam tentang satu bagian dari kajian (Strauss, 1990:20).
Karakteristik

Pada uraian sebelumnya telah dijelaskan tentang definisi dan komponen-komponen utama penelitian kualitatif. Bagian ini akan mengetengahkan secara ringkas beberapa karakteristik penelitian kualitatif menurut beberapa ahli..

Menurut Linba, 198:39) karakteristik penelitian kualitatif meliputi: (1) latar alamiah, (2) instrumen manusia, (3) penggunaan pengetahuan tak terucapkan, (4) metode kualitatif, (5) pembuatan sampel secara purposive (purposive sampling), (6) analisis data induktif, (7) teori mendasar (grounded theory), (8) rancangan darurat, (9) hasil yang dirundingkan, (10) model laporan studi kasus, (11) interpretasi idiografis, (12) aplikasi tentatif, (13) batas-batas penentuan fokus, dan (14) kriteria khusus untuk kepercayaan.

Menurut Maykut dan Morehouse (1994:43) bahwa penelitian kualitatif itu mempunyai karakteristik yang meliputi: (1) fokus eksploratori dan deskriptif, (2) rancangan darurat, (3) sampel purposif, (4) pengumpulan data dalam latar alamiah (5) penekanan pada manusia sebagai instrumen, (6) metode kualitatif dalam pengumpulan data, (7) analisis data induktif sejak awal dan terus-menerus, dan (8) pendekatan studi kasus untuk melaporkan hasil penelitian.

Bogdan dan Biklen (1998:4) mengetengahkan karakteristik penelitian kualitatif meliputi: (1) naturalistik, (2) data deskriptif, (3) perhatian dengan proses, (4) analisis data secara induktif, dan (5) makna tentang kehidupan.

Baru-baru ini, Bryman (1988) telah mengusahakan untuk memberikan karakteristik penelitian kualitatif menurut enam kriteria, yaitu: (1) melihat melalui sudut pandang …atau mengambil perspektif subjek, (2) mendeskripsikan detil latar sehari-hari yang biasa berlangsung, (3) memahami tindakan dan makna dalam konteks sosial mereka, (4) menekankan waktu dan proses, (5) menggunakan desain penelitian yang relatif tidak terstruktur, dan (6) menghindari konsep dan teori pada tahap awal (Bryman (1988: 61-69).

Dari uraian tentang karakteristik-karakteristik penelitian kualitatif dari beberapa pandangan di atas, tampaknya penjelasan yang diketengahkan Lincoln dan Guba lebih lengkap. Uraian berikut akan menjelaskan secara singkat masing-masing karakteristik penelitian kualitatif terutama dari pandangan Lincoln dan Guba (1985:39-43), dan dikembangkan dengan pandangan ahli lain.

Latar Alami (Natural setting)

Penelitian kualitatif memiliki latar aktual (alami) sebagai sumber data langsung dan peneliti merupakan instrumen kunci (Bogdan dan Biklen, 1998:4; Silverman, 1993:24). Latar alami adalah tempat di mana peneliti paling mungkin untuk menemukan, atau mengungkap fenomena yang ingin diketahui (Maykut, 1994:45). Dalam penelitian kualitatif, peneliti melaksanakan penelitian pada latar atau konteks alami, pada keseluruhan yang menggambarkan bahwa keseluruhan tidak dapat dipahami secara terpisah dari konteksnya. Alasannya adalah karena keseluruhan adalah lebih dari jumlah bagian-bagian; karena kepercayaan bahwa tindakan pengamatan mempengaruhi apa yang terlihat, dan demikian juga interaksi penelitian harus mengambil tempat dengan entitas-di-dalam-konteks untuk pemahaman yang sepenuhnya; karena kepercayaan bahwa konteks adalah krusial dalam menentukan apakah suatu penemuan mempunyai arti atau tidak dalam beberapa konteks lain juga; karena kepercayaan dalam pembentukan timbal balik yang kompleks bukan sebab akibat linear, yang menggambarkan bahwa fenomena harus dipelajari di lapangan pengaruhnya berskala-penuh; dan karena struktur-struktur nilai kontekstual setidak-tidaknya sebagian determinatif pada apa yang akan ditemukan (Lincoln dan Guba, 198:38).

Peneliti kualitatif pergi ke lingkungan tertentu yang ditelitinya karena mereka sangat memperhatikan konteks. Mereka merasa bahwa tindakan dipahami dengan baik kalau itu diamati di latar lingkungan tempat jadinya. Latar itu harus dipahami di dalam konteks sejarah lembaga yang merupakan bagiannya. Kalau data yang dihadapinya dihasilkan oleh para subjek, seperti halnya pada data catatan resmi, mereka ingin mengetahui di mana, bagaimana, dan dalam keadaan seperti apa data itu diperoleh. Melepaskan tindakan, ucapan atau gerak isyarat dari konteksnya berarti kehilangan makna penting (Bogdan dan Biklen, 1998:4).

Karakteristik penelitian kualitatif ini juga merefleksikan sokongan filosofis tentang paradigma yang berganti-ganti. Makna personal diikat pada konteks. Misalnya, untuk memahami lebih jauh pengalaman mahasiswa sekolah tinggi tentang kehidupan akademis, peneliti masuk ke dalam kelas-kelas, perpustakaan, asrama atau apartemen, persatuan mahasiswa, dan seterusnya, untuk mengobservasi dan wawancara (Maykut, 1994:45). Dengan masuk ke dalam latar seperti itu peneliti akan mengetahui langsung bagaimana perilaku dan/atau interaksi mereka dan dapat melakukan wawancara langsung tentang pandangan-pandangan (pemaknaan) mereka tentang kehidupan akademis mereka.

Instrumen Manusia (Human instrument)

Peranan kunci dalam penelitian kualitatif adalah peneliti atau tim penelitian dalam proses penelitian. Peneliti kualitatif mempunyai tanggung jawab tambahan penghimpun data yang relevan — data yang relevansinya berubah ketika penelitian berproses — dan pemilih (culler) makna dari data tersebut, yang paling sering dalam bentuk kata-kata dan tindakan orang-orang. Ini memungkinkan untuk memasukkan instrumen-instrumen formal lain, seperti questionnaire atau test, dalam kajian kualitatif. Bagaimanapun juga, agar sesuai dengan paradigma kualitatif, instrumentasi hendaknya mendasar (be grounded) dalam data, digambarkan secara induktif dari apa yang datang dengan menonjol pada peneliti dari data yang telah ia himpun (Maykut, 1994:46). Hanya instrumen manusia yang dapat betul-betul menangkap makna kata-kata dan tindakan seseorang.

Peneliti kualitatif memilih untuk menggunakan dirinya sendiri serta manusia lain sebagai instrumen-instrumen pengumpul data utama (sebagai lawan dari instrumen-instrumen kertas-dan-pensil karena pada dasarnya tidak akan mungkin untuk merencanakan suatu instrumen nonmanusia secara a priori dengan adaptabilitas yang cukup untuk mengatasi dan menyesuaikan pada keragaman realita yang akan dihadapi; karena pemahaman bahwa semua instrumen berinteraksi dengan para responden dan objek-objek tetapi bahwa hanya instrumen manusia yang mampu memperkirakan dan mengevaluasi makna dari interaksi yang berbeda tersebut; karena gangguan dari intervensi instrumen-instrumen dalam pembentukan unsur-unsur lain secara timbal balik dan pembentukan tersebut patut dihargai dan dievaluasi hanya oleh seorang manusia; dan karena semua instrumen adalah berdasarkan-pada-nilai dan berinteraksi dengan nilai-nilai lokal tetapi hanya manusia yang berada pada suatu posisi untuk mengidentifikasi dan bertanggungjawab terhadap bias-bias yang dihasilkan tersebut (Lincoln dan Guba, 1985:40).

Penggunaan Pengetahuan tak Terucapkan (Tacit-knowledge)

Suatu hal yang tidak mungkin untuk menggambarkan atau menjelaskan segala sesuatu yang “diketahui” dalam bentuk bahasa; sesuatu harus dialami untuk memahaminya (Lincoln dan Guba, 1985:195). Suatu informasi atau pengetahuan yang diperoleh tidak jarang dalam bentuk isyarat atau lambang-lambang tertentu. Makna yang terkandung dalam isyarat atau lambang-lambang itu disebut sebagai pengetahuan tersembunyi, atau ada yang menyebut juga sebagai pengetahuan tak terucapkan.

Peneliti kualitatif membantah bagi legitimasi tacit knowledge (intuitif, merasakan) sebagai tambahan bagi pengetahuan proposisional (pengetaguan yang dapat mengekspresikan dalam bentuk bahasa) karena seringkali nuansa dari realita ganda hanya dapat dihargai dengan cara ini; karena banyak dari interaksi antara peneliti dan responden atau objek terjadi pada tingkat ini; dan karena tacit knowledge lebih mencerminkan secara terbuka dan secara akurat pola-pola nilai dari peneliti.

Metode-metode Kualitatif (Qualitative methods)

Data penelitian kualitatif seringkali berupa kata-kata dan tindakan-tindakan orang, dan karena itu memerlukan metode yang memungkinkan peneliti untuk menangkap bahasa dan perilaku. Cara yang paling berguna untuk mengumpulkan bentuk-bentuk data yang demikian itu adalah observasi partisipan, wawancara mendalam, wawancara kelompok, dan pengumpulan dokumen-dokumen yang relevan. Data observasi dan wawancara dikumpulkan oleh peneliti dalam bentuk catatan-catatan lapangan dan wawancara audio-tape, yang kemudian ditranskripkan untuk penggunaan dalam analisis data. Ada juga beberapa penelitian kualitatif yang dilakukan dengan fotograf dan observasi videotape sebagai sumber data yang utama (Maykut, 1994:46). Dengan demikian penggunaan alat pengumpul data dan/atau sumber data itu sangat ditentukan oleh fokus atau tujuan penelitian.

Peneliti kualitatif memilih metode kualitatif bukan kuantitatif (meskipun tidak secara ekslusif) karena lebih dapat diadaptasikan (dan kurang dapat dikumpulkan) berkenaan dengan realita ganda; karena metode seperti itu mengekspos secara langsung hakekat dari transaksi antara peneliti dan responden (atau objek) dan oleh karenanya mempermudah suatu pengukuran di mana fenomena tersebut digambarkan dalah hal pustur yang dimiliki peneliti (atau dibiaskan); dan karena metode kualitatif lebih sensitif dan dapat diadaptasikan ke dalam pengaruh ganda dan pola-pola nilai yang mungkin dihadapi (Lincoln dan Guba, 1985:40).

5. Sampling Purposif (Purposive sampling)

Sekali unit atau unit-unit analisis telah diidentifikasi dan ditentukan, keputusan tentang rancangan sampel dapat dibuat. Ada perbedaan mendasar antara sampling acak (random sampling) dan sampling purposif (purposeful sampling). Random sampling merupakan suatu strategi yang cocok ketika seseorang ingin menggeneralisasi dari sampel yang diteliti pada populasi yang lebih besar. Alasan penggunaan random sampling adalah untuk meningkatkan kemungkinan bahwa data yang dikumpulkan itu representatif untuk seluruh populasi yang diminati. Purposeful(purposive) sampling digunakan sebagai suatu strategi ketika seseorang ingin mempelajari sesuatu dan datang untuk memahami sesuatu tentang kasus-kasus pilihan tertentu tidak perlu menggeneralisasikan pada semua kasus yang demikian (Patton, 1980:100).

Peneliti kualitatif cenderung menjauhi sampling acak atau repesentatif dan lebih memilih sampling purposif karena dia dapat meningkatkan ruang lingkup atau peringkat dari data yang diekspos (sampling random atau representatif cenderung lebih menekan kasus-kasus yang menyimpang) serta kecenderungan bahwa deretan realita tidak akan tercakup sepenuhnya; dan karena sampling purposif dapat dihasilkan dengan cara-cara yang akan memaksimalkan kemampuan peneliti untuk merencanakan teori mendasar yang memperhitungkan kondisi lokal, pembentukan lokal secara ganda, dan nilai-nilai lokal (untuk memungkinkan dapat ditransfer) (Lincoln dan Guba, 1985:40).

6. Analisis Data Induktif (Inductive analysis)

Karakteristik penelitian kualitatif sejauh ini menggambarkan dua karakteristik penting dalam analisis data kualitatif: (a) analisis itu merupakan aktivitas penelitian secara terus-menerus, dalam kontras pada tahapan akhir, ketika rancangan darurat, dan (b) analisis itu utamanya induktif. Analisis data mulai ketika seseorang telah mengumpulkan seperangkat data, memberikan kesempatan pada aspek-aspek fenomena yang menonjol dalam penelitian untuk mulai muncul. Arahan awal ini diikuti oleh pencarian orang-orang, latar-latar, atau dokumen-dokumen yang relevan yang akan membantu menjelaskan fenomena yang diharapkan. Dengan kata lain, ada perluasan atau penyempitan fokus penelitian sebagaimana disarankan oleh data. Apa yang penting adalah tidak ditentukan terlebih dahulu oleh peneliti. Dalam batasan yang luas pada fokus penelitian peneliti, data diteliti untuk apa yang bermakna bagi partisipan, dalam kajian, atau apa yang Bogdan dan Biklen (1982) katakan sebagai “perspektif partisipan.” Hasil penelitian mencakup dari membangun kategori homogen yang sistematis mengenai makna yang diperoleh dari data (Maykut, 1994:46-47).

Peneliti kualitatif lebih memilih analisis data induktif (daripada deduktif) karena proses tersebut lebih cenderung mengidentifikasi realita ganda yang terdapat di dalam data tersebut; karena analisis seperti itu mwmbuat interaksi peneliti-responden (atau objek) lebih dapat dikenal, dan dapat dipertanggungjawabkan; karena proses ini lebih cenderung menggambarkan secara penuh latar dan membuat keputusan tentang keteralihan pada latar lainnya lebih mudah; karena analisis data induktif lebih cenderung mengidentifikasi pengaruh pembentukan timbal balik interaksi tersebut; dan karena nilai-nilai dapat menjadi bagian yang eksplisit dari struktur analisis.

7. Teori Mendasar (Grounded theory)

Grounded theory adalah teori yang diperoleh secara induktif dari kajian terhadap fenomena-fenomena yang terjadi. Yaitu, suatu teori yang ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan untuk sementara waktu melalui pengumpulan data yang sistematis dan analisis data mengenai fenomena tersebut. Oleh karena itu pengumpulan data, analisis dan teori mempunyai hubungan timbal balik satu sama lain. Seseorang tidak boleh memulai dengan teori, kemudian membuktikannya. Sebaliknya, seseorang memulai dengan kawasan kajian dan apa yang relevan pada kawasan tersebut diperkenankan untuk muncul (Strauss, 1990:23).

Peneliti kualitatif lebih memilih untuk memiliki teori substantif yang mengarahkan yang muncul dari (berdasarkan dalam) data tersebut karena tidak ada teori a priori yang mungkin dapat mencakup realita ganda yang cenderung dihadapi; karena percaya adalah melihat dan Naturalis ingin memasuki transaksi-transaksinya dengan para responden senetral mungkin; karena teori a priori cenderung didasarkan pada suatu generalisasi a priori yang, sementara teori-teori tersebut meninimbulkan arti nomotetis, sekalipun dapat memberikan suatu ideografis yang cocok dengan situasi yang dihadapi; karena pembentukan timbal balik yang terdapat pada suatu konteks khusus mungkin dapat dilipatgandakan hanya dalam hal-hal dari unsur-unsur kontekstual yang ada di sana; dan karena grounded theory lebih cenderung lebih responsif terhadap nilai-nilai kontekstual (Lincoln dan Guba, 1985:41).

8. Rancangan Darurat (Emergent design)

Peneliti kualitatif memilih untuk membiarkan rancangan penelitian muncul (mengalir, merembes, terbentang/terungkap) bukan membentuknya terlebih dahulu (a priori) karena ini tidak dapat dipahami yang cukup dapat diketahui sebelum waktunya tentang banyak realita ganda untuk merencanakan rancangan tersebut secara memadai; karena apa yang muncul sebagai suatu fungsi dari interaksi antara peneliti dan fenomena tersebut sebagian besar tidak dapat diprediksi sebelumnya; karena peneliti tidak dapat cukup mengetahui pola-pola pembentukan timbal balik yang cenderung eksis; dan karena berbagai sistem nilai yang terkait (termasuk yang dimiliki peneliti) melibatkan interaksi dengan cara-cara yang tidak dapat diprediksi untuk mempengaruhi hasil-hasilnya (Lincoln dan Guba, 1985:41).

Petunjuk-petunjuk awal penting diidentifikasi dalam fase-fase awal analisis data dan mengejar dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan baru, mengobservasi situasi-situasi baru atau situasi-situasi sebelumnya dengan lensa yang sedikit berbeda atau menguji dokumen-dokumen tidak penting sebelumnya. Perluasan dan penyempitan apa yang penting dalam penelitian ini (misalnya, fokus penelitian) dan sampling orang-orang dan latar-latar yang konsekuen diantisipasi dan direncanakan untuk, sebaik mungkin seseorang dapat lakukan, rancangan penelitian. Bagaimanapun juga, ini penting untuk mempergunakan rancangan penelitian yang bukan darurat (nonemergent research design) di mana fokus penelitian dikejar menggunakan metode kualitatif dalam pengumpulan dan analisis data.

Dalam penelitian kualitatif, partisipan-partisipan (atau latar, seperti sekolah dan organisasi) dipilih secara berhati-hati untuk pemasukan (inclusion), berdasarkan pada kemungkinan yang setiap partisipan (atau latar) akan kembangkan variabilitas sampel. Sampel purposif meningkatkan kemungkinan bahwa variabilitas biasa dalam fenomena sosial apapun yang akan dipresentasikan dalam data. Sebaliknya pada sampel random mencoba untuk mencapai variasi melalui penggunaan seleksi random dan ukuran sampel yang besar. Misalnya, jika kita tertarik untuk memahami bagaimana orang-orang di daerah pedesaan mengembangkan jaringan dukungan sosial, kita hendaknya mungkin ingin memasukkan orang-orang yang memiliki jaringan sosial yang tersusun dari sebagian besar famili dan orang-orang yang memiliki jaringan-jaringan yang tersusun dari sebagian besar teman, karena proses membangun jaringan sosial mungkin berbeda untuk individu-individu itu (Maykut, 1994:44-45).

9. Hasil-hasil yang Dirundingkan (Negotiated outsomes)

Peneliti setelah merumuskan hasil penelitian, selanjutnya hasil penelitian tersebut dirundingkankan dengan subjek penelitian dari mana data itu telah diperoleh. Negosiasi itu dilakukan karena ini merupakan bentukan-bentukan realita dari mereka di mana para peneliti berusaha untuk membangun kembali; karena hasil penelitian tergantung pada sifat dan kualitas interaksi antara orang yang mengetahui dan yang diketahui, mengepitomisasikan dalam rundingan tentang makna data; karena hipotesis-hipotesis khusus yang berjalan yang mungkin diterapkan pada suatu konteks tertentu diverifikasikan dengan sebaik-baiknya dan dikonfirmasikan oleh orang-orang yang ada di dalam konteks tersebut; karena para responden berada pada suatu posisi yang lebih baik untuk menginterpretasi interaksi timbal balik yang kompleks – pembentukan-pembentukan – yang masuk ke dalam apa yang telah diamati; dan karena para responden dapat memahami dengan sebaik-baiknya dan menginterpretasi pengaruh dari pola-pola nilai lokal.

10. Model Laporan Studi Kasus (Case study reporting mode)

Hasil penelitian kualitatif dipesentasikan secara paling efektif dalam narasi yang kaya, kadang-kadang mengarah pada studi kasus. Jumlah kasus berbeda-beda dalam masing-masing kajian, dari satu kasus ke kasus lainnya. Dengan laporan yang panjang, peneliti mempunyai kesempatan untuk memberikan kutipan yang banyak dari data aktual yang memungkinkan partisipan untuk berbicara pada diri mereka sendiri – dalam kata dan tindakan – dengan cara demikian memberikan pada pembaca informasi yang memadai untuk memahami hasil penelitian. Dalam laporan yang panjang, peneliti dengan keperluannya lebih ringkas, menggunakan model laporan studi kasus yang dimodifikasi. Laporan penelitian kualitatif yang ditandai oleh deskripsi yang kaya hendaknya menyuguhkan pada pembaca dengan informasi yang memadai untuk menentukan apakah temuan-temuan penelitian itu mungkin diaplikasikan pada orang atau latar yang lain (Maykut, 1994:47).

Peneliti kualitatif cenderung memilih model laporan studi kasus (dibandingkan laporan ilmiah atau teknis) karena ini lebih dapat disesuaikan pada suatu deskripsi tentang realita ganda yang dihadapi pada situs tertentu; karena ini dapat disesuaikan untuk mendemonstrasikan interaksi peneliti dengan situs dan bias-bias konsekuensi yang mungkin dihasilkan (laporan reflektif); karena ini memberikan dasar bagi “generalisasi-generalisasi naturalistik” individual (Stake, 1980) dan transabilitas ke situs-situs lainnya (deskripsi-deskripsi tipis); karena ini disesuaikan dalam menunjukkan keragaman dari pengaruh-pengaruh pembentukan timbal balik sekarang ini; dan karena ini dapat menggambarkan posisi nilai tentang posisi peneliti, teori substantif, paradigma metodologis, dan nilai-nilai kontekstual lokal atau daerah.

11. Interpretasi Idiografis (Idiographic interpretation)

Peneliti kualitatif cenderung menginterpretasi data (termasuk menarik kasimpulan) secara ideografis (dalam hal kekhususan dari kasus) bukan secara nomoteris (dalam hal generalisasi seperti hukum) karena interpretasi yang berbeda cenderung bermakna bagi realita yang berbeda; dan karena interpetasi sangat tergantung pada validitasnya pada kekhasan-kekhasan daerah, termasuk interaksi peneliti responden (atau objek), faktor-faktor kontekstual yang terkait, pembentukan timbal balik lokal atau daerah yang saling mempengaruhi, dan nilai-nilai daerah (serta peneliti).

12. Penerapan Tentatif (Tentative application)

Naturalis cenderung coba-coba (ragu-ragu) tentang pembuatan penerapan luas mengenai temuan karena realita adalah ganda dan berbeda-beda; karena temuan pada dasarnya tergantung pada interaksi khusus antara peneliti dan para responden (atau objek-objek) yang tidak mungkin duplikasi di tempat lain; karena temuan-temuan dapat diterapkan di mana-mana tergantung pada kesamaan-kesamaan empiris tentang pengiriman dan penerimaan konteks, karena “percampuran” khusus dari pengaruh-pengaruh pembentukan timbal balik bisa sangat beragam dari latar ke latar; dan karena sistem-sistem nilai, khususnya nilai-nilai kontekstual, mungkin sangat tajam pada varian dar situs ke situs lain.

13. Batas-batas Penentuan-fokus (Fokused-determined boundaries).

Peneliti kualitatif cenderung menentukan batas-batas penelitian dengan dasar fokus darurat atau darurat (masalah penelitian, orang-orang yang mengevaluasi untuk evaluasi-evaluasi, dan pilihan-pilihan kebijakan untuk analisis kebijakan) karena itu memungkinkan realita ganda untuk menentukan fokus (bukan konsepsi awal penelitian); karena fokus-latar dapat lebih dekat diantarai oleh interaksi peneliti-fokus; karena batas-batas tidak dapat ditentukan secara memuaskan tanpa pengetahuan kontekstual yang dekat, termasuk pengetahuan tentang faktor-faktor pembentukan timbal balik yang terkait; dan karena fokus tidak mempunyai makna pada setiap peristiwa dalam abstraksi dari sistem-sistem nilai investigator lokal (Lincoln dan Guba, 1985:42).

Penelitian kualitatif dirancang untuk menemukan apa yang dapat dipelajari tentang fenomena yang diminati, khususnya fenomena sosial di mana orang-orang adalah partisipan (atau secara tradisional mengarah pada – subjek). Para peneliti kualitatif mengembangkan “fokus penelitian” umum yang membantu untuk membimbing penemuan tentang beberapa fenomena sosial yang ingin diketahui. Para peneliti tertarik untuk menyelidiki dan merespon pertanyaan-pertanyaan eksploratori dan deskriptif misalnya Apa konsep anak-anak muda tentang “pikiran”? Dalam cara-cara apakah orang-orang di daerah pedesaan membangun jaringan-jaringan sosial informal? Bagaimana orang-orang yang bekerja di tempat ini berpikir tentang lingkungan fisik yang hendaknya diperbaiki? Apapun hasil penelitian ini, bukan generalisasi hasil, tetapi pemahaman pengalaman yang lebih mendalam dari perspektif partisipan yang diseleksi. Mary Belenky dan asosiasinya telah memilih istilah penelitian deskriptif-interpretif (interpretive-descriptive research) untuk mengarah pada kajian eksploratori yang mengandalkan kata-kata orang dan makna-makna sebagai data untuk analisis Maykut (1994:44).

14. Kriteria Khusus untuk Keterpercayaan (Special criteria for trustworthiness)

Naturalis cenderung mendapatkan kriteria keterpercayaan konvensional (validitas internal dan eksternal, reliabilitas, dan objektifitas) yang tidak konsisten dengan aksioma dan prosedur tentang penelitian naturalistik. Oleh karena itu dia cenderung menentukan kriteria baru (tetapi mempunyai kesamaan) dan merencanakan prosedur-prosedur operasional untuk menerapkannya. Perlu dicatat bahwa kriteria konvensional tentang validitas internal gagal karena menunjukkan suatu isomorfomik antara hasil-hasil penelitian dan suatu realita tunggal yang dapat dirasakan di mana penelitian dapat memusatkan pada satu titik; bahwa kriteria tentang validitas eksternal gagal karena tidak konsisten dengan aksioma dasar berkenaan dengan kebisaan membuatgeneralisasi; bahwa kriteria tentang keterpercayaan gagal karena ini memerlukan stabilitas dan replikabilitas mutlak, yang mana juga tidak memungkinkan bagi suatu paradigma didasarkan pada rancangan; dan bahwa kriteria tentang objektifitas gagal karena paradigma secara terbuka membiarkan interaksi peneliti-responden dan peranan nilai-nilai. Kasus tersebut akan dibuat kriteria pengganti (yang disebut kredibilitas, transferabilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas) bersama-sama dengan prosedur-prosedur empiris yang sesuai yang secara memadai (jika tidak secara mutlak) memperkuat keterpercayaan dari pendekatan-pendekatan naturalistik.

Keempat belas karakteristik penelitian kualitatif di atas adalah cukup untuk memahami apa sebenarnya yang disebut penelitian kualitatif dan sekaligus perbedaannya dengan penelitian kuantitatif, walaupun dalam tulisan ini tidak memaparkan secara langsung persamaan atau perbedaan antara penelitian kualitatif dengan penelitian kuantitatif.
Arus Inkuiri Naturalistik

Inkuiri naturalistik (penelitian kualitatif) dilakukan melalui mata rantai tindakan, di mana bagian-bagian tindakan tertentu akan dieksaminasi oleh bagian-bagian tindakan berikutnya. Rangkaian bagian-bagian tindakan itu meliputi: latar alamiah, instrumen manusia, pengetahuan tak terucapkan, metode kualitatif, purposive sampling, analisis data induktif, teori mendasar, desain darurat, hasil yang dirundingkan, laporan kasus, interpretasi idiografik, dan aplikasi tentatif.

Inkuiri naturalistik dilakukan dalam latar alamiah karena fenomena sangat berimplikasi dalam makna; dengan kata lain bahwa fenomena studi itu memperoleh maknaya dari konteksnya sendiri. Inkuiri kontekstual itu memerlukan instrumen manusia karena adaptif terhadap situasi yang tidak menentu yang akan dihadapi. Instrumen manusia menjadi andalan bagi pengetahuan yang tidak terucapkan sebanyak jika tidak lebih banyak dari pengetahuan proposisional, dan menggunakan metode yang sesuai dengan inkuiri yang dilaksanakan secara kemanusiaan: wawancara, observasi, analisis dokumen, penunjuk-penunjuk yang tidak menonjol (unobstrusive clues). Pada saat di lapangan, inkuiri mengambil bentuk putaran-putaran empat unsur secara terus-menerus: yaitu purposive sampling, analisis data induktif yang diperoleh dari sampel, pengembangan teori mendasar empat unsur secara terus-menerus: yaitu purposive sampling, analisis data induktif yang diperoleh dari hasil purposive sampling, pengembangan teori mendasar berdasarkan analisis induktif, dan prediksi tahapan-tahapan berikutnya dalam sebuah desain yang konstan. Putaran-putaran itu diulangi sesering keperluan hingga kejenuhan tercapai, teori itu stabil, dan desain darurat terpenuhi hingga sebesar mungkin dalam sudut pandang batasan-batasan waktu dan sumber. Seluruh inkuiri itu, tetapi khususnya mendekati akhir, data dan interpretasi dicek secara kontinu dengan para responden yang bertindak sebagai sumber, juga dengan individu-individu yang berlawanan (counterpart individuals); perbedaan-perbedaan pendapat dirundingkan hingga hasil disetujui atau pendapat-pendapat minoritas dipahami dan direfleksikan dengan baik. Informasi (data) itu kemudian digunakan untuk mengembangkan laporan kasus – studi kasus. Studi kasus itu pada dasarnya merupakan instrumen interpretatif untuk konstrual idiografik tentang apa yang ditemukan di sana (lapangan). Bagaimanapun juga, hal itu dapat diaplikasikan secara tentatif pada konteks lain yang sama, jika perbandingan empiris latar-latar itu kelihatannya menjamin perluasan yang demikian. Seluruh studi itu dibatasi oleh sifat-sifat masalah penelitian, the evaluand, atau pilihan kebijakan yang diinvestigasi. Terakhir, keterpercayaan dites oleh empat analog naturalistik pada kriteria konvensional validitas internal dan eksternal, reliabilitas, objektivitas, yakni yang diistilahkan dengan kredibilitas, tranferabilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas. Tes ini mulai dari awal studi dan terus seluruhnya, memuncak pada peninjauan ulang kritis terakhir oleh sebuah panel para responden lokal. Dengan tinjauan luas ini, peneliti bisa melakukan untuk mempertimbangkan setiap unsur dalam detil yang lebih besar. Uraian tentang arus inkuiri naturalistik di atas dapat dilihat secara mudah dalam Gambar Arus Inkuiri Naturalistik berikut:
Gambar Arus Inkuiri Naturalistik

MASALAH, TOPIK, DAN FOKUS PENELITIAN

Salah satu bagian yang paling sulit dalam melakukan penelitian adalah untuk memulai. Ada dua pertanyaan utama yang tampaknya paling bermalasah: (a) bagaimana saya menemukan suatu masalah yang dapat diteliti?, (b) bagaimana saya mempersempitnya secara memadai agar penelitian dapat dilakukan? Dua pertanyaan ini cukup sulit jika anda merupakan orang baru dalam penelitian kualitatif karena, pada pandangan sekilas pertama, proses membuat pilihan-pilihan dan komitmen-komitmen tampaknya kurang terstruktur dengan baik dan lebih ambigu daripada bentuk-bentuk penelitian kuantitatif (Strauss, 1990:33). Penentuan masalah itu penting karena pada dasarnya seluruh studi itu dibatasi oleh hakekat masalah penelitian (Lincoln & Guba, 1985:189).

Pada umumnya peneliti naturalistik mempunyai beberapa masalah untuk diselidiki, dan parameter masalah itu menentukan batasan-batasan inkuiri (Guba & Lincoln, 198:86). Adapun yang disebut masalah dikemukakan oleh Guba & Lincoln (1981:88) sebagai suatu situasi yang berasal dari interaksi dua factor atau lebih (misalnya, kebiasaan, kondisi, keinginan, dan sejenisnya) yang menghasilkan: (1) keadaan yang membingungkan atau mengandung teka-teki (masalah konseptual), (2) suatu konflik yang memberikan pilihan dari bagian-bagian tindakan alternatif yang dapat diperbincangkan (masalah tindakan), atau (3) akibat yang tidak diinginkan (masalah nilai).
Sumber-sumber Masalah

Dari mana peneliti dapat memperoleh gambaran masalah yang mungkin diteliti? Menurut Strauss (1990:33) bahwa sumber-sumber persoalan dalam pendekatan grounded theory tidak berbeda dari pendekatan lainnya. Ada beberapa sumber masalah yang dapat diteliti, yakni: (1) masalah penelitian yang disarankan atau diberikan, (b) literatur teknis, dan (3) pengalaman personal atau profesional.
Masalah Penelitian yang Disarankan atau Diberikan

Untuk sampai pada suatu persoalan peneliti minta saran-saran dari seorang profesor yang sedang melakukan penelitian dalam kawasan yang diminati. Seringkali dia sedang melakukan proyek penelitian dan menyambut peneliti untuk ambil bagian dalam proyek penelitian tersebut. Cara menemukan masalah ini cenderung meningkatkan kemungkinan memperoleh keterlibatan dalam masalah penelitian yang bisa dilakukan dan relevan (do-able and relevant). Hal ini karena peneliti yang lebih berpengalaman sudah tahu apa yang telah dilakukan dan apa yang perlu dilakukan dalam kawasan substantif khusus. Keuntungan lain bagi peneliti adalah bahwa peneliti bisa memperoleh arahan tentang sumber perolehan dana penelitian.
Literatur Teknis

Hal ini dapat menjadi stimulus pada penelitian dalam beberapa cara. Kadang-kadang literatur teknis itu menunjuk pada kawasan yang relatif tidak terekplorasi atau menyarankan suatu topik yang diperlukan untuk pengembangan lebih jauh. Pada waktu yang lain terdapat kontradiksi-kontradiksi atau keambiguan di antara studi-studi atau tulisan yang diakumulasi. Ketidakcocokan ini menyarankan perlunya untuk suatu studi yang akan membantu memecahkan ketidaktentuan ini. Alternatifnya, bacaan peneliti tentang suatu pokok persoalan bisa menyarankan suatu pendekatan baru yang diperlukan untuk memecahkan suatu masalah lama walaupun hal itu telah dikaji dengan baik di masa lalu Jadi bacaan itu penting terutama untuk memberikan stimulan keingintahuan tentang suatu pokok persoalan yang hendak diteliti.
Pengalaman Personal dan Profesional

Hal ini seringkali menjadi sumber masalah dalam penelitian. Seseorang yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dan bertanya-tanya bagaimana orang lain mengalami pemutusan hubungan kerjanya. Tentang pengangguran, bagaimana ia atau mereka mengalami pengangguran. Atau seseorang yang mengalami persoalan profesional (pekerjaan) atau di tempat kerjanya yang tidak ada jawaban yang diketahui. Pengalaman profesional seringkali mengarah pada keputusan bahwa beberapa sifat pekerjaan atau praktiknya kurang efektif, efisien, manusiawi, atau adil. Jadi, ini dipercaya, barangkali suatu penelitian yang baik bisa membantu mengoreksi situasi itu. Memilih masalah penelitian melalui rute pengalaman personal atau profesional ini tampaknya lebih berbahaya daripada melalui rute yang disarankan atau literature. Ini tidak perlu benar. Batu ujian (touchstone) dari pengalaman anda sendiri bisa lebih bernilai menjadi indikator yang lebih bernilai bagi anda sebagai pencarian penelitian yang secara potensial berhasil (Strauss, 1990:36).

Setelah peneliti memiliki gambaran tentang persoalan menarik untuk diteliti, maka selanjutnya peneliti menentukan topik penelitiannya. Dengan topik ini akan dapat dipahami persoalan apa yang sebenarnya hendak diteliti. Disadari bahwa bahwa pemilihan topik atau pertanyaan penelitian merupakan komitmen yang agak jangka-panjang (dan seorang peneliti akan memerlukan usaha yang intensif) yang seringkali cukup menegangkan untuk meletakkan para peneliti ke dalam suasana yang panik. Kunci untuk memilih topik pertanyaan kualitatif adalah mengidentifikasi beberapa yang menarik minat seseorang (peneliti) sepanjang waktu. Para peneliti baru dapat paling baik mengidentifikasi topik yang demikian melalui refleksi pada apa yang merupakan minat personal yang nyata bagi mereka (Denzin dan Lincoln, 1998:57).

Dari beberapa kemungkinan sumber pemilihan masalah atau topik penelitian kualitatif, Morse (dalam Denzin & Lincoln, 1998:57) menyatakan bahwa kunci untuk memilih topik penelitian kualitatif adalah mengidentifikasi sesuatu yang akan menarik minat seseorang dalam waktu yang lama. Para peneliti baru dapat dengan paling baik mengidentifikasi topik yang demikian itu dengan merefleksikan pada apa minat personal yang nyata (real personal interest) bagi mereka. Topik-topik yang menarik itu memungkinkan peneliti untuk asyik dan menarik dirinya ke dalam wawancara yang menarik dalam wawancara dengan orang lain. Mengidentifikasi topik-topik yang demikian seringkali memerlukan refleksi-diri dan eksaminasi-diri yang kritis.

Ada beberapa saran bagi peneliti kualitatif, khususnya peneliti pemula untuk memilih topik penelitian sehingga memungkinkan proyek penelitiannya dapat berjalan dengan relatif lancar dan mencapai hasil yang relatif memuaskan.

Saran-saran Pemilihan Topik

Beberapa saran atau nasehat ini dikemukakan oleh Bogdan dan Biklen (1998:51-52)) sebagai berikut:

Ambil satu penelitian yang ukuran serta tingkat kerumitannya kelihatan sedang-sedang saja cukup sehingga dapat dirampungkan dalam waktu dan sumber yang ada.
Hendaknya anda pertimbangkan keterampilan anda sendiri yang, pada saat ini, belum pernah diuji dan belum berkembang.
Usahakan membatasi jumlah jam lamanya anda bekerja dan jumlah halaman data yang anda tinjau ulang.
Usahakan memperoleh informasi yang terkonsentrasi daripada yang terpencar-pencar.
Tidak ada salahnya anda jalan-jalan datang ke lokasi penelitian walaupun belum memuliai rencana penelitian. Anda di sana bisa memeriksa dokumen yang ada atau wawancara dengan orang-orang tertentu, khususnya orang kunci (key person).
Anda meneliti sesuatu yang anda tidak tersangkut langsung di dalamnya. Bagi Anda yang baru belajar meneliti, ambillah tempat-tempat yang kira-kira asing bagi anda (belum begitu anda kenal).
Anda harus mempunyai pilihan, mana yang lebih anda sukai, tetapi jangan satu tujuan saja dalam memilih.

Penelitian kualitatif dirancang untuk menemukan apa yang dapat dipelajari tentang beberapa fenomena yang diminati, khususnya fenomena sosial di mana orang-orang merupakan para partisipan (atau secara tradisional mengarah pada – subjek-subjek). Para peneliti kualitatif mengembangkan suatu fokus inkuiri umum yang membantu mengarahkan penemuan apa yang akan diketahui tentang beberapa fenomena sosial (Lincoln & Guba, 1995). Para peneliti tertarik dalam menginvestigasi dan merespon eksplorasi dan pertanyaan-pertanyaan deskriptif seperti ‘Apa konsepsi anak-anak muda tentang “pikiran”?’ ‘Dalam cara apa orang-orang di daerah pedesaan membangun jaringan-jaringan sosial informal?’ ‘Bagaimana orang-orang yang bekerja di tempat ini berpikir tentang lingkungan fisik yang dapat diperbaiki?’ Hasil studi ini bukan generalisasi hasil, tetapi suatu pemahaman pengalaman yang lebih mendalam dari perspektif para partisipan terpilih untuk studi (Maykut, 1994:43).

Mengingat masalah yang ditemukan relatif banyak maka perlu adanya usaha untuk menfokuskan masalah. Baik penelitian kuantitatif maupun kualitatif mulai dengan suatu topik yang harus dipersempit. Pola kuantitatif memerlukan bahwa peneliti menfokuskan topik dengan cepat. Menfokuskan studi adalah pada awal, tahapan yang berlainan dan seorang peneliti harus mengetahui pertanyaan penelitian yang spesifik sebelum pengumpulan data. Ini merupakan tahapan penting sebelum pengembangan hipotesis yang membimbing bagian-bagian penting dalam rancangan studi. Pola penelitian kualitatif adalah lebih fleksibel dan mendorong secara perlahan pemberian fokus topik di seluruh studi. Sebaliknya pada penelitian kuantitatif, hanyalah sejumlah kecil topik yang sempit yang muncul di awal tahap perencanaan penelitian. Ini memiliki proses yang lebih induktif, dan banyak yang sempit muncul setelah peneliti telah mulai mengumpulkan data.

Para peneliti kualitatif mulai pengumpulan data dengan topik umum atau gagasan tentang apa yang relevan. Pembuatan fokus atau penyaringan terus setelah dia telah mengumpulkan beberapa data dan mulai analisis awal. Peneliti kualitatif menggunakan pengumpulan data awal untuk membimbing bagaimana mereka menyesuaikan atau mempertajam pertanyaan (-pertanyaan) penelitian. Ini karena peneliti hanya tahu isu-isu atau pertanyaan-pertanyaan yang paling penting hingga setelah mereka tenggelam secara penuh ke dalam data. Mengembangkan pertanyaan penelitian yang terfokus tidak dapat terjadi dengan segera; ini merupakan bagian dalam proses pengumpulan data, selama peneliti secara aktif merefleksi dan mengembangkan interpretasi-intepretasi awal. Peneliti kualitatif terbuka terhadap data yang tidak terantisipasi dan secara konstan dan mengevaluasi ulang fokus awal dalam studi. Dia siap untuk mengubah arah penelitian dan mengikuti macam-macam bukti baru sebagaimana yang muncul (Neuman, 2000:149). Menurut Neuman (2000:369-370) bahwa peneliti lapangan pertama kali memperoleh gembar umum, kemudian fokus pada sedikit persoalan atau isu yang spesifik (Lihat Gambar Fokus Penelitian Lapangan di bawah). Seorang peneliti menentukan pertanyaan penelitian yang spesifik dan mengembangkan hipotesis hanya setelah berada di lapangan dan mengalaminya pertama kali. Pertama, segala sesuatu tampak relevan, kemudian, bagaimanapun juga, perhatian seleksif menfokus pada pertanyaan dan tema spesifik.
Gambar Fokus Penelitian Kualitatif

Diadaptasi dari Neuman (2000:370).

Menentukan fokus memiliki dua tujuan utama. Pertama, fokus itu membangun batasan-batasan (boundaries) untuk studi; fokus menentukan wilayah inkuiri. Kedua, fokus itu menentukan kriteria inklusi-eksklusi (inclusion-exclusion criteria) untuk informasi baru yang muncul (Patton, 1980:228). Fokus masalah muncul dari analisis, kategorisasi, dan interpretasi keluaran (outputs) yang muncul dalam situasi natural (Guba & Lincoln, 198:91).

Fokus penelitian dapat dirumuskan mengambil bentuk suatu pernyataan (statement) atau pertanyaan (question) (Maykut, 1994:64). Kedua bentuk itu sama-sama diperbolehkan, walaupun dalam kenyataannya lebih banyak menggunakan bentuk pertanyaan.
Perumusan Fokus (Masalah) Penelitian

Pernyataan:

Belum diketahui secara empiris tentang tujuan pembinaan staf Yayasan Bina Mandiri Malang.
Belum diketahui secara empiris tentang alasan-alasan pelaksanaan pembinaan staf Yayasan Bina Mandiri Malang.
Belum diketahui secara empiris strategi pembinaan staf Yayasan Bina Mandiri Malang.
Belum diketahui secara empiris gaya kepemimpinan Ketua Yayasan Bina Mandiri Malang.

Pertanyaan:

Apa tujuan pelaksanaan pembinaan staf Yayasan Bina Mandiri Malang?
Mengapa dilaksanakan pembinaan staf Yayasan Bina Mandiri Malang?
Bagaimana strategi pembinaan staf Yayasan Bina Mandiri Malang?
Bagaimana gaya kepemimpinan Ketua Yayasan Bina Mandiri Malang?

Pertanyaan-pertanyaan penelitian khusus bagi peneliti kualitatif meliputi: Bagaimana kondisi tertentu atau situasi sosial mulai? Bagaimana kondisi/situasi itu bertahan dari waktu ke waktu? Apa saja proses di mana suatu kondisi/situasi berubah, berkembang, atau berproses? (Neuman, 2000:149).

Cara seseorang menanyakan pertanyaan penelitian sangatlah penting karena menentukan pada tingkatan mana metode penelitian digunakan. Para peneliti, karena orientasi personal, pelatihan, dan keyakinan, cenderung untuk melihat masalah dari perspektif kualitatif. Pertanyaan-pertanyaan yang mereka tanyakan tentang kawasan masalah apapun ditulis dalam istilah-istilah kualitatif karena mereka hanyalah tidak melihat masalah dengan cara lain (Strauss, 1990:36). Aspek penting lain dalam pertanyaan penelitian kualitatif adalah latar batasan-batasan (setting of boundaries) pada apa yang akan diteliti. Ini tidak mungkin bagi peneliti manapun untuk mencakup seluruh aspek suatu masalah. Pertanyaan penelitian membantu mempersempit masalah pada ukuran yang dapat dikerjakan (Strauss, 1990:37). Perlu diingat bahwa tujuan utama menggunakan metode grounded theory adalah untuk mengembangkan teori. Untuk melakukan hal itu kita butuh suatu pertanyaan penelitian atau pertanyaan-pertanyaan yang akan memberikan kita fleksibilitas dan kebebasan untuk mengeksplorasi suatu fenomena secara mendalam.

PERSPEKTIF TEORITIS DAN GROUNDED THEORY

Perspektif Teoritis

Ada hal penting yang perlu dipahami oleh setiap orang yang belajar penelitian kualitatif, yakni apa yang disebut dengan orientasi teoritis atau perspektif teoritis. Apa yang dicari oleh ahli metodologi kualitatif dalam penelitiannya, bagaimana ia melakukan penelitian, dan bagaimana ia menafsirkan hasil penelitian itu: semuanya itu tergantung kepada perspektif teorinya. Bila kita menyebut “orientasi teoritis” atau “perspektif teoritis”, kita berbicara tentang cara memandang dunia, apa yang dianggap penting oleh orang, dan apa yang menyebabkan segala sesuatu berjalan. Disebutkan atau tidak, semua riset dibimbing oleh orientasi teoritis. Peneliti yang baik menyadari landasan teoritisnya dan menggunakannya untuk keperluan mengumpulkan dan menganalisis data. Teori menyatukan data mencegah riset membuat gambaran yang tidak berarah dan tidak sistematis (Bogdan & Biklen, 1998:22). Beberapa perspektif teori dalam penelitian kualitatif yang hendak diuraikan berikut ini adalah: fenomenologi, interaksi simbolis, dan etnometodologi.

Fenomenologi

Kalangan fenomenologi memandang bahwa tingkah laku manusia, yaitu apa yang dikatakan dan dilakukan seseorang, sebagai produk dari cara orang tersebut menafsirkan dunianya. Tugas ahli fenomenologi dan ahli metodologi kualitatif, adalah menangkap proses interpretasi ini. Untuk melakukan hal itu diperlukan apa yang disebut Weber verstehen, yaitu pengertian empatik, atau kemampuan untuk mengeluarkan dalam pikirannya sendiri, perasaan, motif, dan pikiran-pikiran yang ada di balik tindakan orang lain. Untuk dapat memahami arti tingkah laku seseorang, ahli fenomenologi berusaha memandang sesuatu dari sudut pandang orang lain (Bogdan & Taylor, 1975).

Fenomenolog tidak menganggap dirinya tahu apa makna sesuatu bagi orang-orang yang dipelajarinya (Douglas, 1967). “Penyelidikan fenomenologis bermula dari “diam” (Psathas, 1973). Keadaan “diam” ini merupakan upaya untuk menangkap apa gerangan yang sedang dipelajari. Maka, apa yang ditekankan kaum fenomenologi adalah segi subjektif tingkah laku orang. Fenomenolog berusaha untuk bisa masuk ke dalam dunia konseptual subjek penyeledikikannya (Geertz, 1973) agar dapat memahami bagaimana dan apa makna yang disusun subjek tersebut di sekitar kejadian-kejadian dalam kehidupan kesehariannya. Fenomenolog berkepercayaan bahwa bagi manusia ada banyak cara penafsiran pengalaman yang tersedia bagi kita masing-masing melalui interaksi dengan orang lain, dan bahwa makna dari pengalaman itulah yang membentuk kenyataan, atau realitas (Greene, 1978). Sebagai akibatnya, kenyataan itu “bentukan sosial” (Berger dan Lukman, 1967). Jadi tujuan daripada semua paham fenomenolog yang beragam sifatnya itu adalah sama, yakni memahami subjek dari sudut pandang subjek sendiri (Bogdan & Biklen, 1998:24).

Interaksi Simbolis

Rumusan Mead di dalam bukunya Mind, Self, and Society merupakan sumber yang mula-mula dan paling banyak dikutip dari apa yang sekarang disebut interaksi simbolis, dan merupakan pemaparan yang paling komprehensif dan paling tidak kontroversial mengenai perspektif tersebut (Bogdan & Taylor, 1975).

Asumsi dalam pandangan perspektif interaksi simbolis ini bahwa pengalaman manusia itu diperoleh dengan perantaraan interpretasi (Blumer, 1969). Benda (objek), orang, situasi, dan kejadian itu tidak memiliki maknanya sendiri. Bogdan & Taylor (1975) juga menyatakan bahwa orang selalu berada dalam proses interpretasi dan definisi sewaktu mereka beralih dari satu situasi ke situasi lain. Beberapa situasi ada yang sudah dikenal dengan baik, sedang situasi lainnya kurang begitu dikenal dan mungkin merupakan hal yang baru ditemui satu kali saja. Semua situasi itu terdiri atas pelaku, orang lain dan tindakannya, dan objek fisik. Bagaimanapun juga, suatu situasi hanya dapat mempunyai makna lewat interpretasi dan definisi orang mengenai situasi tersebut. Sementara itu, tindakan orang tersebut berasal dari makna ini. Jadi, proses interpretasi ini berfungsi sebagai perantara bagi setiap kecenderungan untuk bertindak di samping juga sebagai tindakan itu sendiri.

Untuk bisa memahami tingkah laku orang, kita harus memahami definisi dan proses terbentuknya. Manusia itu selalu aktif menciptakan dunianya; maka, memahami persimpangan biografi dan masyarakat menjadi esensial (Geertz dan Mills, 1953). Karena berbagai sebab, setiap peserta memandang (memberikan definisi mengenai) situasi atau aspek dari situasi itu (yakni pelaku itu sendiri, pelaku yang lain) dengan cara yang berlainan. Salah satu sebab tersebut adalah setiap pelaku membawa masa lalunya yang unik dan mempunyai cara tersendiri pula untuk menafsirkan apa yang dilihatnya. Barang tentu semua peserta dalam suatu situasi mungkin mempunyai pandangan yang sama terhadap situasi tersebut, atau beberapa peserta yang menempati posisi sama mungkin memandang hal itu dengan cara yang berbeda. Di samping itu, faktor-faktor lain (misalnya, latar belakang budaya, jenis kelamin, pendidikan/latihan yang diperoleh) mungkin juga dapat mempengaruhi perspektif peserta tersebut.

Melalui interaksi individu membentuk makna. Orang-orang di dalam suatu situasi tertentu sering membentuk definisi bersama (atau “berbagi perspektif” dalam bahasa kaum interaksionis simbolis) karena mereka secara teratur berinteraksi dan berbagi pengalaman, masalah, dan latar belakang; tetapi konsensus bukan tak terelakkan. Sementara ada beberapa yang mengambil “definisi bersama” untuk menunjukkan “kebenaran”, makna itu selalu bisa saja dinegosiasikan. Ia dapat dipengaruhi oleh orang-orang yang melihat sesuatu secara berlain-lainan. Bila bertindak atas dasar suatu definisi tertentu, sesuatu bisa jadi tidak beres bagi seseorang. Orang mempunyai masalah dan masalah tersebut bisa membuatnya membentuk perngertian baru, membuang cara-cara lama — pendeknya, membuatnya berubah (Bogdan & Biklen, 1998:26).

Bagian lain yang penting dari teori interaksi simbolis adalah konstruk tentang “diri pribadi” (self). Diri pribadi tidak dipandang terletak di dalam individu seperti ego atau kebutuhan, motif, dan norma-norma atau nilai-nilai yang terinternalisasi. Diri adalah definisi yang diciptakan orang (melalui interaksinya dengan orang-orang lain) mengenai siapa dia itu. Dalam membentuk atau mendefinisikan diri, orang berusaha melihat dirinya sebagaimana orang-orang lain melihat dia dengan menafsirkan gerak isyarat dan perbuatan yang ditunjukkan kepadanya dan dengan jalan menempatkan dirinya pada peranan orang lain. Pendeknya, kita memandang diri kita sendiri sebagian sebagaimana orang-orang lain memandang kita. Dengan begitu juga suatu konstruksi sosial, merupakan hasil dari mempersepsi diri sendiri dan kemudian menyusun definisi melalui proses interaksi (Bogdan & Biklen, 1998:27).

Etnometodologi

Perspektif teori yang ketiga adalah etnometodologi. Perspektif ini pada dasarnya menunjuk pada pokok persoalan yang hendak diteliti. Sebagaimana yang diceritakan oleh Harold Garfinkel, bahwa istilah etnometodologi itu dijumpainya ketika ia mempelajari arsip silang budaya di Yale yang memuat kata-kata seperti etnobotani, etnofisika, etnomusik, dan etnoastronomi. Beberapa istilah tersebut mempunyai arti bagaimana para warga suatu kelompok tertentu (biasanya kelompok suku yang terdapat di arsip Yale) memahami, menggunakan, dan menata segi-segi lingkungan mereka; dalam hal etnobotani, subjek atau pokok kajianya adalah tanaman. Dengan begitu etnometodologi berarti studi tentang bagaimana orang-orang menciptakan dan memahami kehidupan sehari-hari mereka – cara mereka menyelesaikan kehidupan sehari-hari. Subjek bagi etnometodolog bukan warga suku-suku primitif; mereka orang-orang dari berbagai situasi di dalam masyarakat kita sendiri (Bogdan & Biklen, 1998:30).

Etnometodologi tidak menunjuk kepada metode penelitian, melainkan pada pokok-persoalan penyelidikan, yaitu cara (metodologi yang digunakan) orang untuk memahami situasi tempat mereka berada. Bagi ahli etnometodologi, arti suatu tindakan selalu tidak jelas dan merupakan persoalan bagi orang-orang dalam situasi tertentu. Tugas ahli etnometodologi adalah menyelidiki bagaimana cara orang menerapkan kaidah-kaidah abstrak dan pengertian akal sehat (commonsense understanding) dalam berbagai situasi sehingga tindakan tersebut kelihatan rutin, dapat diterangkan dan tidak meragukan. Dengan demikian, arti itu adalah penyelesaian praktis yang dilakukan oleh warga suatu masyarakat (Bogdan & Taylor, 1975).

Untuk memperjelas pengertian akal sehat tersebut kita dapat mengambil contoh apa yang telah dilakukan oleh Jack Douglas. Ia telah menyelidiki proses yang digunakan para koroner (pegawai yang memeriksa sebab-sebab kematian seseorang) untuk menetukan suatu kematian sebagai akibat bunuh diri. Ia mencatat bahwa untuk menentukan hal itu, koroner harus menggunakan pengertian akal sehat (yaitu “apa yang diketahui oleh setiap orang”) tentang alasan orang bunuh diri sebagai dasar menetapkan adanyaunsur kesengajaa. Koroner tersebut mengumpulkan beberapa pertanda (misalnya, bukti bahwa seseorang bersedih karena kehilangan pekerjaannya) sehingga sampai kesimpulan dengan kata-kata “bunuh diri karena berbagai sebab praktis.” Penyelidikan lain yang dilakukan oleh D Lawrence Wieder menyelidiki bagaimana “pecandu narkoba” di suatu rumah di luar kota menggunakan “kode etik narapidana”, yaitu aksioma seperti “jangan mencuri” dan “bantulah penghuni yang lain,” guna menerangkan, membenarkan, dan mempertanggungjawabkan tingkah laku mereka. Ia memberikan contoh bagaimana para penghuni itu “memberitahukan kode etik itu,” menerapkan kode etik itu pada situasi khusus, jika mereka diminta untuk menerangkan alasan tindakan mereka. Jadi lewat penyelidikan terhadap hal-hal yang didasarkan pada pikiran sehat, ahli etnometodologi berharap dapat mengerti cara orang “melihat, melukiskan, dan menerangkan tata dunia yang mereka tinggali ini (Bogdan & Taylor, 1975).

Grounded Theory (Teori Mendasar)

Dalam penelitian kualitatif teori yang digunakan disebut sebagai teori mendasar (grounded theory). Ini merupakan salah satu karakteristik penelitian kualitatif yang membedakannya dari penelitian kuantitatif. Teori dalam penelitian kualitatif tidak diperoleh dari sumber literatur yang a priori, yang biasa digunakan dalam penelitian kuantitatif, melainkan diangkat dari “bumi” (dasar). Ini biasanya melalui serangkaian pengumpulan data lapangan.

Grounded theory ini dipresentasikan pertama kali oleh Glaser dan Strauss dalam bukunya yang berjudul The Discovery of Grounded Theory (1967). Walaupun banyak penelitian original yang menggunakan prosedur grounded theory yang dilakukan oleh para ahli sosiologi, barangkali penggunaan prosedur ini belum pernah mengikat pada seluruhnya pada kelompok ini. Para peneliti dalam psikologi dan anthropologi semakin menggunakan prosedur grounded theory. Para peneliti dalam lapangan-lapangan praktisi seperti pendidikan, kerja sosial, dan perawatan telah semakin menggunakan prosedur grounded theory ini sendiri atau dalam hubungannya dengan metodologi-metodologi yang lain (Denzin & Lincoln, 1998:163).

Definisi

Grounded theory adalah teori yang diperoleh secara induktif dari studi terhadap fenomena-fenomena yang terjadi. Yaitu, suatu teori yang ditemukan, dikembangkan dan dibuktikan untuk sementara waktu melalui pengumpulan data yang sistematis dan analisa data mengenai fenomena tersebut. Oleh karena itu pengumpulan data, analisis dan teori mempunyai hubungan timbal balik satu sama lain. Seseorang tidak boleh memulai dengan teori, kemudian membuktikannya. Sebaliknya, seseorang memulai dengan kawasan studi dan apa yang relevan pada kawasan tersebut diperkenankan untuk muncul. Dalam penelitian konvensional, adalah sebaliknya, peneliti berangkat dari teori yang biasanya dirumuskan dalam hipotesis penelitian, yang kemudian terjun ke lapangan untuk membuktikan hipotesis (teori) tersebut.

Kriteria

Sebuah grounded theory yang disusun dengan baik akan memenuhi empat kriteria pokok untuk mempertimbangkan aplikabilitas dari teori pada suatu fenomena: cocok, pemahaman, generalitas, dan kontrol. (Lihat Glaser & Strauss, 1967:237-250, dan juga untuk karakteristik teori tersebut yang tidak cukup mendasar). Jika teori dapat dipercaya pada realita sehari-hari tentang bidang substantif dan membujuk secara halus dari data yang berbeda, maka itu harus cocok dengan bidang substantif tersebut. Karena ini menggambarkan realita tersebut, maka juga harus dapat dipahami dan masuk akal bagi orang-orang yang dikaji dan bagi mereka yang berpartisiasi pada bidang tersebut. Jika data di mana hal itu didasarkan adalah komprehensif dan interpretasi bersifat konseptual dan luas, maka teori tersebut harus cukup abstrak dan memasukkan keragaman yang cukup memadai untuk membuatnya dapat diterapkan pada berbagai konteks yang berhubungan dengan fenomena tersebut. Akhirnya, teori tersebut harus memberikan kontrol dengan memperhatikan pada tindakan terhadap fenomena tersebut. Ini karena hipotesis yang mengajukan hubungan-hubungan di antara konsep-konsep – yang selanjutnya dapat digunakan untuk mengarahkan tindakan – secara sistematis berasal dari data aktual yang berkaitan dengan (dan hanya dengan) fenomena tersebut. Lebih lanjut, kondisi di mana ini diterapkan harus disebutkan secara jelas. Oleh karena itu, kondisi-kondisi harus diterapkan secara khusus pada suatu situasi tertentu (Strauss and Corbin, 1990:23). Dengan kata lain bahwa grounded theory ini hanya lebih memungkinkan diterapkan pada situasi atau kondisi khusus di mana penelitian itu dilakukan (dalam lingkungan latar penelitian itu sendiri). Jika kita meneliti cara belajar anak jalanan misalnya, maka teori yang ditemukannya lebih mungkin diterapkan dalam situasi dan kondisi anak jalanan.

Pendekatan grounded theory adalah suatu metode penelitian kualitatif yang menggunakan seperangkat prosedur sistematis untuk mengembangkan grounded theory yang diperoleh secara induktif tentang suatu fenomena. Temuan penelitian membentuk suatu formulasi teoritis tentang realita yang ada dalam investigasi, bukan terdiri dari seperangkat bilangan, atau satu kelompok tema yang berkaitan secara longgar. Melalui metodologi ini, konsep dan hubungan antara temuan-temuan penelitian tersebut tidak hanya dihasilkan tetapi ini juga diuji secara provisional. Prosedur dari pendekatan tersebut adalah banyak dan agak khusus, seperti yang anda lihat.

Grounded theory merupakan suatu metode ilmiah. Prosedur didesain sedemikian, jika dilaksanakan dengan secara hati-hati, metode tersebut memenuhi kriteria untuk melakukan signifikansi sains yang “baik”, kompatabilitas teori-observasi, generalisabilitas, reproduksivitas, ketepatan, kaku/keras, dan verifikasi.

Masalahnya di sini bukan apakah norma-normanya terpenuhi, namun bagaimana diinterpretasikan dan didefinisikan dalam pendekatan grounded theory. Norma hanya menggambarkan paling umum dari pedoman khusus, dan para peneliti kualitatif melakukan bahaya dalam mengintepretasinya secara terlalu spesifik dalam hal interpretasi yang lebih positifistis yang dikembangkan oleh para peneliti kuantitatif. Para proponen atau pendukung dari masing-masing mode discovery, seharusnya mengembangkan lebih banyak standard khusus, berdasarkan pada prosedur khusus yang menurut mereka bermanfaat pada investigasi mereka.

Kreativitas juga merupakan suatu komponen dari metode grounded theory yang vital. Prosedurnya memaksa peneliti untuk menerobos asumsi dan menciptakan tatanan baru di luar yang telah kuno. Kreativitas memanifestasikannya sendiri dalam kemampuan peneliti untuk menyebutkan kategori-kategori tersebut secara tepat; dan juga membiarkan pikiran mengembara dan membuat hubungan atau asosiasi yang perlu untuk menghasilkan pertanyaan-pertanyaan yang memberikan stimulus, dan untuk menghadapinya dengan perbandingan yang mengarahkan pada penemuan. Perbandingan tersebut membuat peneliti sensitif, seperti yang kita lihat nantinya, membuat dia dapat mengenal kategori yang potensial, dan mengidentifikasi kondisi dan akibat-akibat yang relefan ketika kondisi dan akibat tersebut muncul pada data. Sedangkan kreativitas diperlukan untuk mengembangkan suatu teori yang efektif, sudah barang tentu, peneliti harus selalu memvalidasikan semua kategori dan pernyataan tentang hubungan yang datang secara kreatif selama proses penelitian secara keseluruhan (Strauss and Corbin, 1990:27-28).

Tujuan

Tujuan dari metode grounded theory, sudah barang tentu, ialah membentuk teori yang bagus dan mengembangkan bidang yang dikaji. Para peneliti yang bekerja dengan tradisi juga mengharapkan bahwa teori mereka akhirnya akan dihubungkan dengan yang lainnya di dalam disiplin masing-masing dalam suatu gaya kumulatif, dan bahwa implikasi teori tersebut akan mempunyai penerapan yang bermanfaat (Strauss and Corbin, 1990:24).

Tujuan grounded theory adalah untuk membangun suatu teori yang yang cocok dengan bukti. Grounded theory merupakan metode untuk menemukan teori baru. Di dalamnya, peneliti membandingkan fenomena yang tidak sama dengan suatu pandangan ke arah belajar kesamaan. Dia melihat peristiwa-peristiwa tingkat-mikro sebagai dasar untuk eksplanasi tingkat yang lebih makro. Grounded theory menyajikan beberapa tujuan dengan teori yang lebih berorientasi pada positivis. Hal itu mencari teori yang dapat dibandingkan dengan bukti yang tepat, mampu replikasi dan generalisasi. Suatu pendekatan grounded theory mengejar generalisasi dengan membuat perbandingan-perbandingan melintasi situasi-situasi sosial. Para peneliti kualitatif menggunakan alternatif-alternatif pada grounded theory. Beberapa peneliti kualitatif menawarkan penggambaran yang mendalam yang benar menurut pandangan dunia informan. Mereka menggali situasi sosial tunggal untuk menjelaskan proses mikro yang mempertahankan interaksi sosial stabil. Tujuan peneliti yang lain adalah untuk memberikan penggambaran yang sangat tepat tentang peristiwa atau latar untuk memperoleh pandangan ke dalam dinamika suatu masyarakat yang lebih besar. Bahkan peneliti yang lainnya menerapkan teori yang ada untuk menganalisa latar yang spesifik yang telah mereka tempatkan di dalam konteks sejarah tingkat makro. Mereka menunjukkan hubungan diantara peristiwa tingkat mikro dan antara situasi tingkat mikro dan tekanan sosial yang lebih besat untuk tujuan merekonstruksi teori dan menginformasikan tindakan sosial (Neuman, 2000:146).

Grounded theory adalah teori yang cocok (fit) dengan situasi yang diteliti, dan berfungsi (work) jika digunakan. Yang dimaksud dengan cocok (fit) adalah bahwa kategori-kategori itu harus siap diaplikasikan pada dan ditunjukkan oleh data di bawah studi; sedangkan berfungsi (work) bahwa kategori-kategori itu harus sesuai secara bermanfaat pada dan bisa menjelaskan perilaku di bawah studi. Ahli lain, Lincoln dan Guba (1985:204) mengetengahkan bahwa grounded theory adalah teori yang mengikuti data bukan mendahuluinya (sebagaimana dalam inkuiri konvensional) merupakan konsekuensi paradigma naturalistik yang memiliki realitas ganda dan keteralihan pada faktor-faktor kontekstual lokal. Tidak ada teori a priori yang dapat mengantisipasi banyak realitas yang peneliti pasti tidak akan jumpai di lapangan, maupun mencakup banyak faktor yang membuat suatu pebedaan di tingkat mikro (lokal). Grounded theory oleh Elden (1981:261) diistilahkan dengan teori “lokal.” Ia menegaskan bahwa: Proyek itu menunjukkan bahwa para karyawan memiliki keahlian khusus mengenai stituasi kerja sendiri dan kemungkinan perbaikannya. Penelitian partisipatori memfasilitasi pengumpulan bersama dan mensistematiskan pemahaman yang teresolasi dan terindividualisasi ke dalam apa yang saya telah sebut “teori lokal.”

Grounded teory itu bukan deduktif melainkan terpola; teori itu terbuka dan dapat diperluas tiada batas; dan teori itu ditemukan secara empiris daripada dijelaskan secara a priori. Bagaimanapun juga, teori pola mendeskripsikan dan menjelaskan fenomena ke arah yang diarahkan (dituju). Seperti teori konvensional, grounded teory dapat juga digunakan untuk memprediksi dan menggerakkan hipotesis untuk tes. Grounded teory dapat memainkan peranan teori konvensional untuk studi apapun berikutnya.

Persyaratan. Seperti halnya dengan semua ketrampilan, kecakapan dalam mengerjakan grounded theory akan muncul dengan kajian dan latihan secara kontinyu. Pada saatnya, hampir semua orang yang begitu berkeinginan harus dapat mencapai tingkat ketrampilan yang cukup memadai dan mudah untuk melaksanakan penelitian yang efektif dan bermanfaat memberikan kondisi-kondisi sebagai berikut ini terpenuhi:

Kita harus mengkaji, bukan hanya membaca, melalui prosedur seperti yang digambarkan di berbagai buku dan dipersiapkan untuk mengikutinya (Glazer, 1978; Glazer & Strauss, 1989; Strauss, 1987). Prosedur-prosedur tersebut didesain pada teori yang dibuat secara sistematis dan cermat. Dengan mengambil jalan pintas pada karya tersebut akan menghasilkan suatu teori yang disusun dengan tidak baik dan dianggap sempit yang bisa berupa penggambaran realita yang tidak akurat.
Prosedur-prosedur yang harus diikuti dalam melakukan penelitian. Dengan kata lain untuk mengambil sebuah kelas tentang grounded theory tidak akan membuat seseorang menjadi seorang ahli grounded theory. Ini hanya dengan berlatih dengan prosedur-prosedur melalui penelitian yang berkelanjutan bahwa kita akan mempunyai pemahaman yang cukup tentang bagaimana hal itu bisa bekerja, dan ketrampilan dan pengalaman yang membuat kita dapat terus menggunakan teknik-teknik tersebut dengan sukses.
Sejumlah keterbukaan dan fleksibilitas diperlukan agar supaya dapat mengadaptasikan prosedur tersebut pada fenomena yang berbeda dan situasi penelitian yang berbeda (Strauss and Corbin, 1990:25-26).

Pengguna

Grounded theory dapat digunakan secara sukses oleh orang-orang dari berbagai disiplin. Seseorang tidak perlu menjadi seorang sosiolog atau membayar perspektif Interaksionis untuk menggunakannya. Jawabannya ialah prosedur-prosedur ini tidak ada ikatan disiplin. Penting untuk diingat bahwa para investigator dari disiplin yang berbeda akan merasa tertarik pada fenomena yang berbeda – atau mungkin memandang fenomena yang sama secara berbeda karena perspektif dan minat secara disipliner. Sebagai contoh, ambillah suatu bidang studi seperti anak-anak dalam sebuah kelas tertentu. Seorang perawat mungkin merasa tertarik pada masalah kesehatan mereka, namun seorang psikolog terhadap penyesuaian, seorang sosiolog perilaku kelompok, seorang pendidik dalam proses dan pola belajar para siswa, dan seorang fenomenologis (dari semua disiplin) dalam pengalaman sekolah mereka. Masing-masing perspektif mewarnai pendekatan yang diambil pada kajian dari anak-anak ini. Namun, pendekatan grounded theory tersebut dapat memberikan prosedur untuk menganalisis data kepada para investigator yang akan mengarahkan pada pengembangan teori yang bermanfaat pada disiplin tersebut. Suatu kajian multidisipliner juga dapat dilakukan dengan menggunakan prosedur grounded, dengan masing-masing peneliti membawakan pandangan khususnya dan memberikan kontribusi pada usaha penelitian. Semua teori yang pada dasarnya mengembangkannya akan menggambarkan perspektif mereka masing-masing (Strauss and Corbin, 1990:28-29).

Pemula

Grounded theory sebagai suatu metodologi pada mulanya dikembangkan oleh dua orang sosiolog: Barney Glaser dan Anselm Strauss. Sedangkan masing-masing berasal dari latar belakang filosofis dan penelitian yang berbeda. Mereka bekerja dengan kolaborasi yang erat untuk mengembangkan teknik-teknik untuk menganalisis data kualitatif yang mencerminkan pendidikan dan latar belakang mereka.

Anselm Strauss berasal dari the University of Chicago, yang mempunyai sejarah panjang dan tradisi yang kuat dalam penelitian kualitatif. Sedangkan di sini, dia juga dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Interaksionis dan Pragmatis. Dengan demikian cara berpikirnya diilhami oleh orang-orang seperti misalnya Robert E. Park, W.I. Thomas, John Dewey, G.H. Mead, Everett Hughes, dan Herbert Blumer. Kontribusi latar belakang ini terhadap metode tersebut, antara lain, adalah: (a) kebutuhan untuk keluar ke dalam bidang tersebut, jika kita ingin memahami apa yang sedang terjadi; (b) pentingnya teori tersebut, grounded dalam realita, pada pengembangan suatu disiplin; (c) hakekat dari pengalaman dan mengalami ketika berkembang secara kontinyu; (d) peran aktif dari orang-orang dalam membentuk dunia di mana mereka hidup; (e) penekanan pada perubahan dan proses, dan variabilitas dan kompleksitas kehidupan; dan (f) saling keterkaitan antara kondisi, makna, dan tindakan. Strauss juga mempunyai pengalaman aktual sebelumnya dalam penelitian lapangan dan telah banyak memikirkan tentang saling pengaruh mempengaruhi secara halus pengumpulan data dan analisis serta beberapa prosedur pengodean yang nantinya akan dikerjakan secara saksama (Strauss et al., 1964).

Barney Glaser berasal dari suatu tradisi yang sangat berbeda tetapi dengan beberapa gambaran penting yang bersamaan yang tidak diragukan memungkinkan kolaborasi dari kedua orang tersebut. Dia mengikuti pelatihannya di Columbia University dan dipengaruhi oleh Paul Lazarsfeld, dikenal sebagai seorang innovator dari metode kuantitatif. Selanjutnya selama melakukan analisis kualitatif, Glaser khususnya merasakan kebutuhan tentang suatu pemikiran yang bagus, dirumuskan secara eksplisit, dan beberapa prosedur yang sistematis baik untuk pengodean ataupun untuk menguji hipotesis yang dihasilkan selama proses penelitian. Tradisi Columbia juga menekankan penelitian empiris dalam hubungannya dengan pengembangan teori. Bagi tradisi penelitian Chicago ataupun Columbia diarahkan pada menghasilkan penelitian yang akan digunakan untuk para orang profesional ataupun orang-orang awam. Untuk alasan inilah banyak dari tulisan tentang grounded theory yang muncul dari kolaborasi Glaser-Strauss, memasukkan monograf-monograf asli tentang sekarat (1965, 1968), diarahkan kepada para hadirin (audiences) serta pada kolega disipliner mereka.
Memulai Penelitian

Neuman (2000:144) menjelaskan bahwa para peneliti mendiskusikan kasus-kasus dalam konteks sosialnya dan mengembangkan grounded theory yang menekankan penjejakan proses dan rangkaian peristiwa dalam latar spesifik. Mereka menjelaskan bagaimana orang-orang menangkap makna pada peristiwa dan belajar untuk melihat peristiwa dari perspektif ganda.

Peneliti kualitatif mulai dengan sebuah pertanyaan penelitian dan sedikit lainnya. Teori berkembang selama proses pengumpulan data. Ini metode yang lebih induktif yang berarti bahwa teori dibangun dari data atau data yang grounded (mendasar). Lebih dari itu konseptualisasi dan operasionalisasi terjadi secara simultan dengan pengumpulan data dan analisis data pendahuluan. Grounded theory membuat penelitian kualitatif fleksibel dan membiarkan data dan teori berinteraksi. Para peneliti kualitatif tetap terbuka pada hal yang tidak diharapkan, berkehendak mengubah arah atau fokus rencana penelitian, dan mungkin meninggalkan pertanyaan penelitian yang asli di pertengahan proyek.

Peneliti kualitatif membangun teori dengan membuat perbandingan-perbandingan. Misalnya, ketika seorang peneliti mengobservasi suatu peristiwa (misalnya, petugas polisi berkonfrontasi dengan pengendara motor yang cepat), dia segera mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mencari kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan. Ketika melihat petugas polisi menghentikan pengendara, peneliti kualitatif bertanya: Apakah petugas polisi senantiasa meradiokan nomor SIM mobil sebelum memrosesnya? Setelah meradiokan lokasi mobil, apakah petugas itu meminta pengendara motor itu keluar dari mobilnya sewaktu-waktu, tetapi yang lainnya kadang-kadang berjalan menuju mobil dan berbincang dengan pengendara yang duduk? Ketika pengumpulan data dan pembuatan teori berselang-seling, pertanyaan-pertanyaan teoritik muncul yang menyarankan observasi mendatang, sehingga data baru digali untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan teoritik yang datang dari pikiran tentang data sebelumnya.

Peneliti kualitatif menekankan pentingnya konteks sosial untuk memahami dunia sosial. Mereka berpegangan bahwa makna tindakan atau pernyataan sosial tergantung, dalam cara yang penting, pada konteks di mana itu terjadi. Ketika seorang peneliti menggeser suatu peristiwa, tindakan sosial, jawaban pada pertanyaan, atau percakapan dari konteks sosial di mana terjadi, atau mengabaikan konteks itu, maka makna dan signifikansi sosial akan berubah.

Perhatian terhadap konteks sosial berarti bahwa peneliti kualitatif mencatat apa yang datang sebelumnya atau apa yang mengitari fokus studi. Hal itu juga menunjukkan bahwa peristiwa dan perilaku yang sama dapat memiliki makna yang berbeda dalam budaya atau kawasan sejarah yang berbeda. Peneliti kualitatif menempatkan bagian-bagian kehidupan sosial ke dalam keseluruhan yang lebih besar. Sebaliknya, makna bagian itu bisa hilang. Misalnya, sulit untuk memahami apa itu sarung tangan baseball tanpa mengetahui sesuatu tentang permainan baseball. Keseluruhan permainan – babak, pentungan, bola, pukulan – memberikan arti pada masing-masing bagian, dan masing-masing bagian tanpa keseluruhan memiliki sedikit makna (Neuman, 2000:146-147). Contoh lain, begitu sulitnya untuk mengenal bola bulu tangkis jika dia belum mengenal permainan bulu tangkis. Bisa jadi seseorang itu mengambil bola tenis meja pada saat kita menyuruhnya mengambil bola tenis lapangan karena dia belum kenal dan belum bisa membedakan antara tenis meja dan tenis lapangan, yang komponen-komponennya berbeda satu sama lain, serta juga masing-masing komponen mempunyai makna dengan keseluruhannya sendiri. Bisa saja salah satu komponen tenis meja dipasang pada komponen-komponen tenes lapangan, tetapi hal itu tidak ada maknanya dan tidak berfungsi dengan sebenarnya.

Perbedaan antara teori dan deskripsi. Perbedaan antara teori dan deskripsi ini sering ditanyakan oleh para peneliti pemula. Secara mendasar, jawaban berada pada dua poin utama. Yang pertama, teori menggunakan konsep. Data yang serupa dikelompokkan dan diberikan labe-label konseptual. Ini berarti menempatkan interpretasi pada data. Yang kedua, konsep dihubungkan dalam arti pernyataan tentang hubungan. Dalam deskripsi, data bisa diorganisir menurut tema. Tema ini bisa berupa konseptualisasi data yang langsung dari data tersebut. Ada sedikit, jika ada, interpretasi tentang data. Atau tidak ada usaha untuk menghubungkan tema untuk membentuk suatu skema konseptual (Strauss & Corbin, 1990:29).
Pengungkapan ke Permukaan

Grounded Theory, sebagaimana dijelaskan di atas, adalah teori yang dibangun berdasarkan realitas, yang kemudian disebut sebagai teori tentang realitas. Banyak peneliti kualitatif yang melakukan penelitian dengan asumsi bahwa bukti empiris yang mereka himpun itu dikaitkan dengan dengan ide-ide teoritis mereka dan struktur-struktur di bawah realitas yang dapat diobservasi. Hubungan itu dimodelkan dalam suatu gambar yang menyarankan bahwa data peneliti yang berasal dari realitas permukaan yang dapat diobservasi hanyalah sampel-sampel dari apa yang terjadi pada tingkat permukaan yang dapat dilihat (Lihat Gambar Teori Realitas di bawah). Para peneliti mengasumsikan bahwa dai bawah permukaan realitas luar terletak struktur-struktur atau hubungan-hubungan yang lebih dalam. Realitas permukaan bahwa kita melihat hanya refleks-refleks parsial tentang apa yang sedang berlangsung di bawah permukaan yang tak terlihat. Peristiwa-peristiwa di permukaan adalah penampakan ke luar (outcroppings), menggunakan istilah dari ilmu geologi (Fetterman, 1989:68).
Gambar Teori Realitas

Jadi grounded theory adalah teori yang diangkat dari data lapangan (realitas) dengan cara bahwa data yang diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi partisipan, dan analisis dokumen itu dikonsep sedemikian rupa sehingga menjadi suatu pernyataan (statement) yang kemudian disebut sebagai teori. Teori yang demikian itulah yang disebut sebagai grounded theory.

PENGETAHUAN

YANG TIDAK TERUCAPKAN (TACIT KNOWLEDGE)

Pengetahuan tersembunyi atau pengetahuan tidak terucapkan (tacit knowledge) merupakan salah satu karakteristik penelitian kualitatif (dan tidak dimiliki dalam penelitian kuantitatif). Data yang dikumpulkan dalam penelitian kualitatif tidak selamanya berupa ungkapan (bahasa) berdasarkan wawancara antara peneliti dan subjek penelitian, tetapi terkadang berupa isyarat atau simbol-simbol tertentu. Penelitian kualitatif sampai menembus hal ini. Pengetahuan yang demikian disebut sebagai tacit knowledge.

Dua tipe pengetahuan memainkan peran dalam cara kita memahami dunia, yakni pengetahuan tidak terucapkan (tacit knowledge) dan pengetahuan eksplisit (explicit knowledge), tetapi tacit knowledge lebih dasar – itu datang sebelum explicit knowledge. Tacit knowledge adalah pengetahuan yang tidak diartikulasi; ia tidak diformat, seperti tipe pengetahuan yang kita miliki selagi melakukan sesuatu. Suatu hal yang tidak mungkin untuk mnggambarkan atau menjelaskan segala sesuatu yang “diketahui” dalam bentuk bahasa; sesuatu harus dialami untuk memahaminya. Seperti pada tahun 1903, Moore mengatakan: Poin saya ialah bahwa “bagus” adalah pemahaman yang sederhana, seperti halnya “kuning” adalah suatu pemahaman yang sederhana, seperti halnya anda tidak dapat menjelaskan kepada semua orang apa makna dari bagus. Definisi-definisi jenis yang saya tanyakan tersebut, definisi-definisi yang menggambarkan sifat sebenarnya dari objek atau pengertian atau paham yang digambarkan dengan sebuah kata, dan yang tidak hanya menceriterakan kepada kita bagaimana menggunakan kata untuk diartikan, hanya mungkin jika objek atau paham yang dipertanyakan tersebut adalah sesuatu yang kompleks. Anda dapat memberikan suatu definisi tentang seekor kuda, karena seekor kuda mempunyai banyak properti dan kualitas-kualitas, yang kesemuanya dapat anda sebutkan. Tetapi jika anda menyebutkannya secara keseluruhan, jika anda telah mengurangi sekor pada suatu istilah yang paling sederhana, maka anda tidak lagi dapat mendefinisikan istilah-istilah ini. Ini hanya merupakan sesuatu yang dapat anda pikirkan atau anda lihat, dan kepada semua orang yang tidak dapat memikirkan atau melihatnya, anda tidak akan pernah, dengan definisi, membuat sifat-sifatnya diketahui. (Moustakas, 1981:210).

Sayangnya (atau untungnya, dari sudut pandangan naturalis), ketidakmampuan untuk memahami konsep-konsep tertentu di dalam bentuk bahasa membawa serta untuk melakukan penelitian; ini menunjukkan bidang tersebut juga. Seperangkat pemahaman bahwa, di dalam istilah-istilah Moore, tidak dapat didefinisikan, seringkali diartikan sebagai pengetahuan “tersembunyi”. Dengan demikian, Stake (1978:6) memberikan komentar: Di dalam statemen-statemen fundamental pada epistemologi penelitian sosial, Polanyi membedakan antara pengetahuan proposisional dan tersembunyi. Pengetahuan proposisional – pengetahuan tentang alasan dan gosip – dilihat tersusun dari pernyataan-pernyataan yang dapat dibagi secara interpersonal, yang sebagian besar bagi sebagian besar orang adalah pengamatan objek dan peristiwa. Pengetahuan tersembunyi juga dapat terdapat pada objek-objek dan peristiwa-peristiwa, akan tetapi ini merupakan pengetahuan yang diperoleh daeri pengalaman dengannya, pengalaman dengan proposisi-proposisi tentang hal tersebut, dan menguraikan dengan panjang lebar. Tacit knowledge adalah semua yang diingat dalam bentuk kata-kata, simbol-simbol, atau bentuk-bentuk retorika lainnya. Ini yang memungkinkan kita untuk mengetahui bagian-bagian depan, untuk memahami metafora-metafora, dan untuk “mengetahui diri kita sendiri”. Pengetahuan tersembunyi mencakup suatu keluasan dari asosiasi-asosiasi yang tidak dapat diekspresikan yang meningkatkan pada makna baru, idea baru, dan penerapan baru dari yang lama. Polanyi mengenal bahwa masing-masing orang, baru ataupun ahli, mempunyai banyak simpanan pengetahuan yang tersembunyi yang dapat digunakan untuk menumbuhkan pemahaman baru.

Setiap orang mempunyai pengalaman tentang tacit knowledge dan bagaimana menggunakannya. Kita membicarakan isyarat non verbal sebagai bagian dari kulit pelindung dari pengukuran yang tidak mencolok. Kita mangacu pada informasi yang dikumpulkan dari suatu situasi (yang sering) tanpa pengetahuan eksplisit baik pada pihak pengirim ataupun penerima di mana mereka memberikan respon atau menerima informasi yang bermanfaat. Pelaku-pelaku yang menyampaikan se-tersembunyi mungkin mereka melakukan melalui kata-kata yang mereka ucapkan. Dustin Hoffman, dalam mempersiapkan peranannya pada bioskop hit akhir-akhir ini Tootsie, di mana dia memainkan seorang laki-laki yang menjijikkan sebagai sorang wanita, mengadakan latihan selama ratusan jam untuk menyempurnakan hanya tentang isyarat-isyarat dan gerakan-gerakan yang “benar” yang akan memberikan karakteristik dia sebagai seorang wanita bukan seorang pria. Dan dalam investigasinya yang baru ke dalam pembantaian di Beirut suatu komisi khusus yang dibentuk oleh kabinet Israel merasakan Menteri Pertahanan Sharon dan lain-lainnya “secara tidak langsung” bertanggungjawab bagi pembantaian tersebut karena mereka gagal untuk bertindak pada pengetahuan mereka yang tersembunyi. Kata Roger Rosenblatt (1983:39). Dalam sebuah esai di majalah Time: Kepada Sharon dan teman-temannya laporan secara pedas mengatakan: Anda secara tidak langsung bertanggungjawab terhadap Sabra dan Shatika karena anda “seharusnya merasakan secara pengertian”, anda seharusnya “memperhitungkan bahaya tersebut”, anda harus “diwajibkan untuk melihat kedepan sebaik-baiknya” pembantaian yang terjadi tersebut. Tetapi apakah arti sebenarnya dari hal itu jika seseorang merasakan bahwa orang bertanggungjawab atas suatu tindakan karena dia seharusnya mengetahui apakah yang akan terjadi? Dia tidak menuduh kebodohan; orang tersebut mungkin akan dilepaskan kendali untuk hanya berperilaku bodoh, dia menunjukkan banyak ketidakmampuan atau suatu ketidakcermatan yang dangkal? Mungkin, tetapi pernyataan-pernyataan ini, juga, juga menurun tingkatan kejahatannya. Tidak, jika seseorang yang ada dalam kekuasaan diberitahu bahwa dia harus mengantisipasi malapetaka, itu berarti bahwa pengalaman-pengalaman profesional yang banyak sekali dan pengetahuan menuntutnya, di luar keraguan yang masuk akal, bahwa dia berperilaku secara berbeda daripada apa yang dilakukannya. Benar, ini juga di luar keraguan bahwa dia hanya lupa atau menyingkirkan pengalaman profesionalnya dan pengetahuannya ketika dia mengabaikannya untuk bertindak.

Dengan demikian kegagalan untuk mengenal dan bertindak pada pengetahuan tersembunyi seseorang (secara jelas yang dimasukkan di dalam “pengalaman seseorang profesional yang banyak sekali”) dalam hal ini telah digunakan sebagai basis bagi suatu temuan yang kurang baik dalam suatu investigasi seperti pengadilan.

Di samping pengalaman yang masuk akal dari setiap orang tentang tacit knowledge dan kedudukanya dalam bidang-bidang lain – bahklan sama prestisiusnya seperti suatu penelitian tingkat kabinet – kelekatan paradigma penelitian konvensional yang terus berlaku dalam mengaturnya sebagai suatu dasar bagi investigasi-investigasi “objektif”. Dilabel sebagai “subjektif saja”, pengetahuan dapat dikumpulkan dalam suatu situasi oleh peneliti dari latar belakang dan pengalaman yang tepat tidak dapat diterima. Tetapi ada suatu alasan untuk percaya bahwa pengetahuan seperti itu tidak dapat dibuang secara sewenang-wenang; bahwa pengetahuan yang tersembunyi tersebut, seperti halnya nilai-nilai, memasuki setiap penelitian apakah peneliti mengetahuinya atau tidak fakta tersebut atau bersedia untuk memilikinya.

Heron (1981) menggambarkan bahwa penelitian meliputi tiga jenis pengetahuan, yang disebutnya “proposisional”, “praktis”, dan “eksperiensial”. Ilmu atau sains sebagai produk, yang mana dia bersedia menyetujuinya, terdiri dari hal yang proposisional, pernyataan-pernyataan yang dapat dibagi. Tetapi sains sebagai proses meliputi pengetahuan praktis dan eksperiensial. Pengetahuan praktis adalah pengetahuan tentang bagaimana melakukannya. Pengetahuan praktis, dalam istilah-istilah Heron, terdiri dari “suatu ketrampilan, kecakapan, atau ketangkasan”; dan kita bisa menyimpulkan bahwa pengetahuan praktis berkenaan dengan mekanika, logistik, dan teknik-teknik tentang mengadakan penelitian. Akan tetapi pengetahuan eksperiensial, Heron (1981:27) menyatakan sebagai berikut: Mengetahui suatu entitas – orang, tempat, barang, proses – dalam berhadapan dan interaksi langsung. Ini maksudnya ialah mengetahui seseorang atau barang melalui pengadaan yang tertunda. Penelitian empiris, secara tepat karena ini empiris, memerlukan beberapa tingkatan pengetahuan pengalaman dari orang-orang atau objek-objek tentang apa penelitian tersebut. Kesimpulan peneliti ialah pernyataan tentang orang-orang atau benda-benda yang mana dia mempunyai pengetahuan pengalaman melalui berhadapan secara langsung.

Akan tetapi lebih dari itu, Heron (1981:31) menggambarkan, tidak ada penelitian empiris yang dapat dilaksanakan kecuali melalui suatu “mengembangkan saling ketergantungan secara halus” antara tiga bentuk pengetahuan ini: Kesimpulan penelitian, dinyatakan sebagai pernyataan dan menempatkan klaim menjadi bagian dari “korpus” atau badan pengetahuan empiris tentang orang-orang, yang perlu berada pada pengetahuan eksperiensial peneliti tentang subjek-subjek penelitian. Pengetahuan tentang orang-orang ini adalah yang paling lengkap sebagai basis empiris ketika mencapai jenis pembentukan presentasional: yaitu, jika peneliti dan subjek sepenuhnya menyajikan satu sama lain suatu hubungan timbal balik dan penelitian terbuka, dan jika masing-masing terbuka untuk menyusun bagaimana yang lain dinyatakan sebagai suatu kehadiran di dalam ruang dan waktu … Jadi hasil proposisional dari penelitian secara kritis tergantung pada komponen-komponen praktis dan pengalaman dari proses penelitian.

Jika argumentasi Heron harus diambil secara serius, tacit knowledge seharusnya tidak hanya dikagumi saja tetapi kenyataannya merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari proses penelitian; ini akan berpengaruh apakah pengaruhnya dikenal ataupun tidak. Paradigma naturalistik bertindak pada wawasan ini dengan memanfaatkan tacit knowledge secara eksplisit dan sesuai dengan peraturan. Tacit knowledge menjadi dasar di mana instrumen manusia membangun wawasan dan hipotesis yang akhirnya akan berkembang (dan yang akan tertuang dalam bentuk proposisional). Memang, instrumen manusia adalah satu-satunya instrumen yang dapat membentuk tacit knowledge; semua instrumen lainnya adalah merupakan bentukan atau tuangan terpaksa dalam bentuk pernyataan dan demikian juga tidak sensitif pada pengaruh yang tersembunyi. Lebih lanjut, dengan diberikan bentuk penelitian awal yang tidak tertentu atau tidak teratur yang diinginkan secara naturalistik, penting bahwa instrumen manusia diperbolehkan untuk menggunakan pengetahuannya yang tersembunyi dengan kekuatan sepenuhnya dan dengan gaya yang paling eksplisit. Semua hal yang lainnya hanya membuat suram instrumen dan memperkecil nilai dari penelitian.

Sudah barang tentu, orang yang membuat penelitian naturalistik tidak dapat merasa senang untuk meninggalkan pengetahuan pada tingkat yang tersembunyi. Tacit knowledge tersebut harus dikembalikan pada pengetahuan proposisional sehingga pembuat penelitian dapat memikirkannya secara eksplisit dan mengkomunikasikannya kepada orang-orang lain. Penelitian yang pada kahirnya tidak dapat dibagi-bagi (digunakan oleh pihak lian) mempunyai manfaat yang kecil.

Untuk dapat mengungkap tentang tacit knowledge tidak lepas dari peran manusia (diri peneliti) sebagai instrumen penelitian. Hanya manusia sebagai instrumen yang mampu menembus apa makna yang terkandung dalam isyarat-isyarat atau simbol-simbol tertentu. Dalam berbagai peristiwa perilaku manusia terkadang persoalan berbeda ditunjukkan dengan isyarat atau symbol yang sama. Nah, jika peneliti tidak berhati-hati dan tidak lihai menangkap makna yang sebenarnya, maka hasil penelitiannya (data) tentu tidak akurat. Peristiwa dikelas, misalnya, ada seorang atau lebih siswa mengacungkan tangan. Di sini peneliti tidak bisa memaknakannya bahwa acungan tangan itu menunjukkan bahwa yang bersangkutan akan bertanya; mungkin ia minta ijin untuk ke kamar mandi (toilet), ke luar kelas karena ada temannya yang memanggil/perlu, dan lain sebagainya. Tapi pada kasus lain, acungan tangan itu memang bermakna untuk bertanya (sebagaimana biasa terjadi dalam interaksi pembelajaran di mana siswa yang ingin bertanya mesti mengacungkan tangan). Jadi mengacungkan tangan di dalam kelas bisa mengandung banyak makna. Dilihat dari segi seringnya (intensitas) seorang siswa mengacungkan tangan dalam proses pembelajaran juga dapat mengandung banyak makna, misalnya: dia tidak paham terhadap penjelasan guru, menjajagi kemampuan guru, mengejek guru, mencari perhatian dari guru atau teman-teman sekelasnya. Dari contoh di atas bahwa acungan tangan adalah isyarat/gerakan yang disebut sebagai tacit knowledge.

STUDI KASUS

Uraian ini akan diawali dengan penjelasan tentang pemilihan situs atau latar penelitian. Ini penting agar peneliti, khususnya peneliti kualitatif pemula, memahami apa yang dimasud dengan situs atau latar penelitian dan bagaimana cara menentukan situs penelitian.
Situs

Situs (latar) yang mungkin di mana studi itu akan dilakukan harus diidentifikasi, dan akses pada dan karakteristik partisipan yang mungkin harus dipertimbangkan. Merupakan suatu hal yang bodoh bila peneliti meletakkan terlalu banyak pekerjaan ke dalam sebuah studi yang harus dilakukan dalam satu lsitus khusus kecuali dia yakin bahwa aksesnya itu tidak akan ditolak. Peneliti harus mengunjungi situs-situs yang mungkin untuk menentukan apakah rencana penelitiannya akan disambut dan ditolerir dalam latar itu (Morse dalam Denzin & Lincoln, 1998:60).

Situs atau latar adalah konteks di mana peristiwa atau kegiatan terjadi, suatu wilayah yang ditetapkan secara sosial dengan batasan-batasan yang bergeser atau pindah-pindah (shifting boundaries). Suatu kelompok bisa berinteraksi melintasi beberapa situs fisik. Misalnya, tim sepak bola perguruan tinggi, bisa berinteraksi di lapangan permainan, di kamar ganti, di asrama, di kamp latihan, atau di maskas lokal. Situs lapangan tim adalah semua lima lokasi itu.

Peneliti memilih suatu situs, kemudian mengidentifikasi kasus-kasus untuk dieksaminasi di dalamnya – misalnya, bagaimana para anggota tim sepak bola itu berhubungan dengan para figur otoritas.

Memilih situs lapangan merupakan keputusan penting, dan para peneliti mencatat proses pemilihan situs itu. Ada tiga faktor yang relevan ketika memilih sebuah situs penelitian lapangan, yaitu: (a) kekayaan data, (b) ketidaklaziman atau ketidakkenalan (unfamiliarity), dan (c) kecocokan (Roth dan Schluchter, 1979:205). Beberapa situs lebih mungkin dari yang lainnya untuk memberikan daya yang kaya. Situs-situs yang menunjukkan jaringan hubungan-hubungan sosial, aktivitas-aktivitas yang beragam, dan peristiwa-peristiwa berbeda dalam waktu yang lama memberikan data yang lebih kaya dan lebih menarik. Para peneliti lapangan permulaan (peneliti pemula) hendaknya memilih suatu situs yang tidak lazim (tidak kenal). Hal ini lebih mudah untuk melihat peristiwa-peristiwa kultural dan hubungan-hubungan sosial dalam suatu situs yang baru. Bogdan dan Taylor (1975:28) menegaskan, “Kami hendak merekomendasikan bahwa para memilih situs-situs di mana para subjek adalah asing dan di mana mereka tidak memiliki pengetahuan dan keahlian profesional khusus (menekankan keaslian). Ketika menyelidiki benar-benar (“casing”) situs-situs lapangan yang mungkin, seseorang (peneliti) harus mempertimbangkan isu-isu praktis seperti: (a) waktu dan ketrampilan peneliti, (b) konflik-konflik serius diantara orang-orang dalam situs, (c) karakteristik dan perasaan peneliti, dan (d) akses pada bagian-bagian situs.

Akses fisik pada suatu situs dapat menjadi sebuah isu. Situs-situs dalam suatu kontinum, dengan area-area publik dan terbuka (misalnya, restoran umum dan ruang tungu di lapangan terbang) pada satu bagian dan situs-situs pribadi dan tertutup (seperti, firma, klub, dan aktivitas-aktivitas pribadi di rumah seseorang) pada bagian lain. Seorang peneliti bisa tidak disambut atau tidak diijinkan pada situs itu, atau ada hambatan-hambatan hukum dan politis untuk berakses. Hukum dan peraturan dalamlembaga-lembaga (seperti, sekolah umum, rumah sakit, dan penjara) membatasi akses (Neuman, 2000:352).

Studi Kasus

Penelitian lapangan (kualitatif) tidak mempunyai desain penelitian yang dipaket sebelumnya. Lebih dari itu, metode-metode pengumpulan data yang spesifik, prosedur sampling, dan pola-pola analisis yang digunakan untuk menciptakan desain pertanyaan-spesifik yang unik yang mencakup seluruh proses penelitian. Desain kualitatif atau lapangan ini mengambil bentuk baik suatu studi kasus atau studi topikal ( Crabtree & Miller, 1998:5).

Studi kasus adalah suatu kajian yang rinci tentang satu latar, atau subjek tunggal, atau satu tempat penyimpanan dokumen, atau suatu peristiwa tertentu (Bogdan & Biklen, 1998:54). Definisi lain mengetengahkan bahwa studi kasus adalah eksaminasi sebagian besar atau seluruh aspek-aspek potensial dari unit atau kasus khusus yang dibatasi secara jelas (atau serangkaian kasus). Suatu kasus itu bisa berupa individu, keluarga, pusat kesehatan masyarakat, rumah perawat, atau suatu organisasi. Sedangkan studi topikal (topical study) hanya menginvestigasi satu atau sedikit suasana aktivitas terpilih dalam lapangan yang kurang dibatasi secara jelas, seperti studi tentang makna nyeri bagi orang-orang terpilih di masyarakat (Crabtree & Miller, 1998:5). Deny (dalam Guba dan Lincoln, 1981:370) mendefinisikan studi kasus sebagai suatu eksaminasi intensif atau lengkap tentang suatu segi, atau isu, atau mungkin peristiwa suatu latar geografis dalam suatu batasan waktu tertentu. Stake (1978b:2) menyarankan bahwa studi kasus itu tidak perlu seseorang atau suatu perusahaan. Studi kasus dapat berupa “sistem terbatas” (bounded system) apapun yang diminati. Suatu lembaga, program, tanggung jawab, himpunan, atau suatu populasi dapat menjadi suatu kasus. McDonald dan Walker (1977:181) menyarankan bahwa studi kasus itu adalah suatu “eksaminasi tentang suatu hal dalam tindakan”. Yang lain, bukan definisi-definisi yang sangat tepat telah diajukan dalam studi kasus yang meliputi: (1) potret realitas (a snapshot of reality); (2) bagian dari kehidupan (a slice of life); (3) kehidupan kecil (a microcosm); (4) peristiwa (an episode); (5) unit tindakan (an action unit); (6) eksaminasi yang mendalam tentang suatu hal (a depth examination of an instance); dan (7) eksaminasi yang intensif tentang suatu unit” (intensive examination of a unit) (Lincoln dan Guba, 1981:371).

Banyak bentuk tulisan yang berbeda yang dinamakan sebagai studi kasus, sebagaimana saran-saran berikut: individu (sejarah perkembangan, etiologi tentang psikopatologis); agen atau organisasi (agen pekerjaan sosial, bank, departemen/jurusan di perguruan tinggi); masyarakat (pantai telanjang, masyarakat yang berpengaruh); kultur (Trobriand, Penduduk asli, Indian Potlatch); gerakan (yippies, para penganut Zen Buddhists); peristiwa (orientasi orang baru, inagurasi presidensial); kecelakaan (pemogokan, kecelakaan nuklir); metodologi (contoh penggunaan tentang analisis bagian kritis, suatu penerapan tentang analisis geocode); program (Undang-undang Pelatihan Kepegawaian Intensif, “Head Start”); proyek (pengembangan tentang suatu kurikulum baru, kajian nasional tentang sekolah, sekolah tinggi, dan departemen pendidikan) (Lincoln dan Guba, 1981:371). Patton (1980:303) mengungkapkan bahwa kasus dalam penelitian kualitatif itu dapat berupa individu, program, institusi, atau kelompok (Patton, 1980:303).

Isi dari studi kasus ditentukan oleh tujuannya, yang secara tipikal menyatakan properti dari kelas di mana hal yang dikaji terkandung di dalamnya. Ada empat kelas tentang tujuan yang agaknya menangkap sebagian besar dari tujuan-tujuan yang ditentukan di dalam studi kasus yang sebenarnya, yaitu: (1) untuk membuat kronikel (rekaman rentetan sejarah), yaitu, mengembangkan suatu register tentang fakta atau peristiwa secara urut (kurang atau lebih) di mana peristiwa tersebut terjadi; (2) untuk menggambarkan, yaitu, menggambarkan atau mengkarakteristikkan; (3) untuk mengajarkan, yaitu, memberikan pengetahuan, atau mengajarkan; dan (4) untuk mentes atau menguji, yaitu, “membuktikan”, atau mencoba. Sudah barang tentu, setiap studi kasus tertentu mungkin mempunyai tujuan ganda, meskipun sebuah kasus mungkin semakin kompleks kajian itu berusaha untuk menghadapi sejumlah besar tujuan-tujuan secara serentak.

Mungkin akan membantu untuk memahami keempat tujuan ini dengan memberikan beberapa contoh dari masing-masing:

Membuat kronikel: mencatat langkah-langkah yang menonjol yang diambil dalam pengembangan suatu sistem injeksi bahan bakar mobil; memberikan suatu sejarah tentang peristiwa yang mengarah pada keputusan tentang bagian dari para penambang untuk mengadakan pemogokan; mengukur bukti yang mengarah pada suatu keputusan hukuman dalam kasus sidang kriminal.

Menggambarkan: menggambarkan operasi jendela kasir (teller’s window) di sebuah bank komersial yang besar; memperjelas interaksi antara guru dan siswa selama pelajaran berlangsung kelas enam; memberikan penjelasan tentang makna seperti apa di dalam kelas para siswa yang terbelakang.

Mengajar: untuk mengakrabkan para siswa dengan harapan peranan dasar yang dipegang untuk peranan kejuruan, misalnya akuntansi; mengembangkan suatu pemahaman tentang proses pembuatan keputusan ketika terjadi pada tempat eksekutif dalam industri utama; mengembangkan perbedaan antara bentuk pemerintahan yang berbeda – misalnya, demokratis dan komunistis – agar dapat memperjelas perbedaan dalam kedua pendekatan tersebut.

Menguji: menggambarkan hubungan antara para pekerja pada bagian perakitan dan para supervisor mereka agar dapat memberikan pengujian hipotesis yang menguatkan perilaku “yang benar” yang mengarah pada produktifitas yang lebih besar.; menggambarkan peristiwa dan keadaan (eksperimen tentang produktifitas individual) yang mengarahkan pada pembentukan teori tentang moral kerja staf (yang disebut efek Hawthorne); untuk menimbang berbagai faktor yang menguatkan atau menghambat implementasi suatu kurikulum baru sehingga dapat mengarahkan pada keputusan yang tepat tentang efektifitas program.

Sebagai contoh, dengan tujuan “kronikel’, tindakan yang tepat pada tingkat faktual adalah merekam/mencatat, dan produk tentang perekaman ini diregister. Pada tingkat interpretatif, tindakan membuat kronikel yang tepat ialah mengartikan, dan produk dari bentukan seperti itu adalah berupa sejarah. Pada tingkat evaluatif, tindakan yang tepat ialah mempertimbangkan, dan produk dari pertimbangan seperti itu ialah item-item tentang bukti.

Dengan tujuan “menggambarkan”, tindakan yang tepat pada tingkat faktual ialah membentuk, dan produk adalah profil. Pada tingkat interpretatif, tindakan yang tepat ialah mensintesiskan, dan produk dari sintesis ini ialah makna. Pada tingkat evaluatif, tindakan yang tepat ialah membuat ringkasan, dan produk-produk yang tepat atau cocok dari penggambaran ini pada tingkat evaluatif adalah lukisan.

Dengan tujuan “mengajar”, tindakan yang tepat pada tingkat faktual ialah menyajikan, dan produk presentasi adalah kognisi. Pada tingkat interpretatif, tindakan yang tepat ialah mengklarifikasi, dan produk-produk dari klarifikasi ialah pemahaman-pemahaman. Pada tingkat evaluatif, tindakan yang tepat ialah membedakan, dan produk dari perbandingan-perbandingan tersebut ialah diskriminasi.

Akhirnya, dengan tujuan “menguji/mentes”, tindakan yang tepat pada tingkat faktual ialah menguji, dan produk dari pengujian seperti itu ialah fakta. Pada tingkat interpretatif, tindakan yang tepat ialah menghubungkan, dan produk dari menghubungkan seperti itu ialah teori (atau penjelasan). Akhirnya, pada tingkat evaluatif, tindakan yang tepat ialah menimbang, dan produk dari penimbangan seperti itu ialah pertimbangan atau keputusan.

Alasan Memilih Studi Kasus

Pertanyaannya sekarang adalah mengapa memilih studi kasus tersebut? Ada beberapa alasan utama mengapa seorang peneliti/evaluator (untuk uraian selanjutnya menggunakan istilah peneliti) melakukan studi kasus dalam rancangan penelitiannya (Guba & Lincoln, 1981:375; Lincoln & Guba, 1985: 359):

Pertama, studi kasus memberikan “deskripsi yang padat” yang penting bagi evaluasi (penelitian) naturalistik. Lebih-lebih, pernyataan tentang informasi ini memungkinkan bagi orang-orang di tempat atau latar lainnya yang merasa tertarik pada kebaikan yang mungkin ada dari entitas yang dievaluasi dalam konteksnya untuk membuat suatu ketentuan secara cepat tentang ketepatannya.

Kedua, studi kasus adalah “grounded”; ini memberikan perspektif eksperiensial. Berbeda dengan banyak pendekatan lainnya terhadap evaluasi yang bergantung pada instrumentasi, desain, atau hipotesis yang a priori, studi kasus adalah ideal untuk presentasi data yang “grounded” yang muncul dari konteks itu sendiri.

Ketiga, studi kasus bersifat holistik dan seperti-kehidupan (lifelike). Peneliti menyajikan sebuah gambar yang dapat dipercaya bagi para partisipan sebenarnya di dalam suatu latar, dan dapat mudah dimasukkan ke dalam “bahasa alami” dari orang-orang (pengguna) yang terkait.

Keempat, studi kasus menyederhanakan kisaran data yang diminta seseorang untuk dipertimbangkan – ini dapat dibuat seindah mungkin sehingga dapat memerankan tujuan dengan sebaik-baiknya yang ada di dalam pikiran peneliti. Bukan dihadapkan pada tabel-tabel teknis yang tidak berakhir, pembaca diberi informasi yang esensial dengan suatu format yang terfokus dan seperti percakapan.

Kelima, studi kasus memfokuskan perhatian pembaca dan memperjelas makna. Bukan meminta sendiri untuk mengintegrasikan sebuah keragaman informasi yang sangat luas yang diberikan dalam bentuk yang berbeda-beda, permbaca diberikan sajian suatu pernyataan yang terpadu dengan baik yang menyatakan hal-hal yang penting (dan hubungan-hubungannya) dan menghilangkan sisanya.

Akhirnya, dan mungkin yang terpenting, studi kasus dapat mengkomunikasikan lebih dari yang dapat dikatakan di dalam bahasa yang proporsional. Studi kasus membangun tentang “pengetahuan yang tersembunyi” dari para pembacanya. Ini merupakan sarana pelaporan yang tepat bagi pemahaman dan bahasa anggota. Menurut Stake (1978b:6), ini mengarahkan pada “generalisasi naturalistik” yang berbeda dengan “generalisasi ilmiah”, yaitu, pada generalisasi yang sampai pada “dengan mengetahui kesamaan dari objek dan persoalan di dalam dan di luar konteks dan dengan merasakan kovariasi tentang apa yang sedang terjadi”. Stake menggambarkan bahwa jika penjelasan, pengetahuan proposisional, dan hukum atau aturan merupakan tujuan inkuiri, studi kasus sering berada pada suatu ketidakberuntungan. Jika tujuan tersebut adalah pemahaman, perluasan pengalaman, dan peningkatan dalam keyakinan tentang mana yang telah diketahui, ketidakberuntungan tersebut menghilang. Studi kasus memberikan jenis informasi kepada pembaca yang memungkinkan dia untuk mempertahankan semua pengetahuannya, tidak hanya apa yang dapat dinyatakannya dalam bahasa lisan. Untuk menempatkannya ke dalam pernyataan di hari tersebut, studi kasus memancarkan “getaran” yang memberikan rasa substansi kasus yang aktual kepada pembaca. Ditempatkan di dalam situasi yang aktual, pembaca sebuah studi kasus akan merasakan banyak hal yang tidak dapat didokumentasikannya secara ilmiah tetapi di mana dia akan mempunyai banyak sekali kepercayaan diri; studi kasus memberikan kepada dia dengan suatu latar pengganti di mana jenis kesimpulan yang sama dapat dibuat.. kita semua mengetahui lebih dari apa yang kita katakan; studi kasus memberikan suatu kendaraan untuk pemindahan jenis pengetahuan tanpa kata (wordless knowledge) tersebut.

Tiga aspek lain dari studi kasus sebagai suatu teknik laporan yang bisa dicatat (Guba & Lincoln 1981:378). Pertama, pertanyaannya seringkali muncul tentang bagaimana kecukupan (secara kaku) tentang studi kasus dapat ditentukan. Bagaimana kita mengetahui apakah suatu studi kasus adalah valid, reliabel, dan sebagainya? Namun sudah barang tentu pertanyaan yang sama dapat timbul pada hampir semua teknik – bagaimanakah kita mengetahui apakah suatu eksperimen, misalnya, adalah cukup? Jawabannya ialah bahwa kecukupan semua inkuiri sebagian besar tergantung pada kecukupan dari komponen-komponennya. Sulit untuk membicarakan tentang validitas dan reliabilitas dari suatu eksperimen secara keseluruhan, tetapi kita dapat membicarakan tentang validitas dan reliabilitas dari instrumentasi, ketepatan tentang teknik analisis data, tingkat hubungan antara kesimpulan-kesimpulan yang ditarik dan data di mana data tersebut berada, dan sebagainya. Hanya dengan cara ini kita dapat membahas proses dan prosedur yang memperkuat studi kasus – apakah wawancara dilaksanakan secara reliabel dan secara valid; apakah muatan dari dokumen dianalisis dengan baik; apakah kesimpulan studi kasus tersebut berdasarkan data? Studi kasus adalah, dengan memperhatikan pada mendemonstrasikan secara kaku, tidak ada sedikitpun perbedaan dengan semua teknik lainnya.

Kedua, studi kasus rupa-rupanya meliputi persoalan yang luar biasa. Seorang penulis studi kasus yang tidak etis dapat saja menyeleksi data yang tersedia yang pada hakekatnya semua yang diinginkannya dapat digambarkannya. Penyeleksian seperti itu bisa terjadi untuk alasan yang kurang tepat (misalnya, peneliti membiarkan dirinya sendiri digunakan untuk memecahkan suatu masalah) atau untuk alasan mengabaikan pihak peneliti. Peneliti mungkin juga memperkenankan rasionalisasi: dia tidak ingin menyakiti hati orang-orang yang tidak berdosa, dia tidak ingin membiarkan atau memperbolehkan beberapa hasil negatif untuk memperbanyak yang positif, dan sebagainya. Sementara semua inkuiri dapat “dibentuk” oleh peneliti, studi kasus secara khusus mudah dipengaruhi pada manipulasi seperti itu. Pembaca studi kasus oleh karenanya perlu memberikan perhatian secara khusus dengan reputasi dan integritas dari penulis studi kasus, para penulis itu sendiri perlu menyadari tentang kemungkinan bias seperti itu dan menjaganya terhadapnya (misalnya, dengan memanfaatkan seorang editor dari luar untuk memeriksa setiap langkah yang mereka ambil dalam mengembangkan kasus).

Untuk kepentingan mempertahankan anonimitas atau untuk kepentingan “mempertajam” persoalan, penulis studi kasus bisa juga memutuskan untuk menggabungkan unsur-unsur dari beberapa kasus sebenarnya ke dalam suatu gambaran yang “khas”. Kinerja guru dalam mengimplementasikan suatu inovasi kurikulum khusus, misalnya, bisa dibahas dengan menggambarkannya melalui wawancara dan observasi data dari banyak guru dengan keyakinan bahwa suatu penggabungan seperti itu adalah “lebih baik” dibandingkan dengan suatu diskusi tentang sejumlah besar kasus aktual dengan semua penyimpangan idiosinkratis mereka. Studi kasus seperti itu dapat salah arah kecuali jika pembaca mengetahui bahwa situasi atau orang yang diwakili atau digambarkan tidak nyata dan mungkin sebenarnya merupakan statistik atau artefak representasional.

Problemetika lainnya adalah bahwa seringkali memungkinkan bagi orang-orang yang sangat mengenal situasi untuk mengidentifikasi situs dari studi kasus dan bahkan orang-orang yang dilibatkan di dalamnya. Dalil-dalil tentang anonimitas benar-benar sangat sulit untuk dipegang. Mungkin sangat arif untuk bertindak pada prinsip bahwa masing-masing subjek “memiliki” data yang berkaitan dengannya, sehingga data tersebut tidak dapat digunakan tanpa persetujuannya secara eksplisit setelah dia benar-benar memahami sepenuhnya tentang pemanfaatan yang diharapkan mereka dan bahaya potensial bagi dia.

Ketiga, perlu dicatat bahwa makna yang diajarkan di dalam “seni” penulisan studi kasus tidak mudah untuk ditangani benar-benar tidak memungkinkan untuk memperoleh pedoman yang cukup memadai di dalam literatur untuk pengembangan studi kasus. MacDonald dan Walker (1977:183) menyatakan, dalam hubungannya dengan belajar tentang bagaimana membuat atau melakukan studi kasus, bahwa “pemagangan adalah tujuan dari induksi ke dalam teknik-tekniknya”. Mungkin saran yang terbaik yang dapat diberikan kepada orang-orang baru adalah membaca sebanyak mungkin studi kasus untuk mengetahui bagaimana studi-studi kasus tersebut digabungkan, untuk menghubungkannya dengan penulis-penulis studi kasus yang bagus untuk memperoleh suatu rasa tentang “bagaimana hal itu dapat dilakukan”, dan untuk berlatih menulis studi kasus, meminta kritikan-kritikan dari para ahli yang lebih mengetahui dan meresponnya.

Desain Cerobong

Rancangan umum untuk studi kasus paling tepat digambarkan dengan sebuah cerobong. Awal studi adalah bagian cerobong yang lebar: peneliti menjajaki tempat-tempat dan orang-orang yang mungkin dijadikan subjek atau sumber data, menemukan lokasi yang menurut dia ingin ditelitinya, dan kemudian melemparkan jala lebar-lebar dalam usaha mempertimbangkan dapat tidaknya tempat atau sumber data itu digarap sesuai dengan maksudnya. Ia mencari petunjuk-petunjuk mengenai bagaimana ia dapat bekerja dan apa yang mungkin dapat dilakukannya. Ia mulai mengumpulkan data, memeriksa kembali, dan membuat keputusan mengenai ke mana akan meneliti. Ia memutuskan bagaimana membagai-bagi waktunya, siapa yang akan diwawancarai dan apa yang akan diselidiki dengan mendalam. Bisa saja ia membuang pikiran dan rencana lama dan mengembangkan yang baru. Ia terus-menerus memodifikasi rancangan itu dan memilih prosedur sementara belajar lebih banyak tentang topik studinya. Pada waktunya, ia membuat putusan khusus mengenai latar, subjek atau sumber data apa yang akan distudinya. Kerjanya menjadi menfokus. Pengumpulan data dan kegiatan penelitian menyempit ke tempat penelitian, subjek, bahan, topik dan tema. Dari awal penjajakan yang luas peneliti menuju lebih terarah ke kerja pengumpulan data dan analisa (Bogdan & Biklen, 1998:54) Proses dalam rancangan studi kasus sebagaimana dijelaskan di atas dapat digambarkan dalam gambar cerobong berikut (lihat Gambar Desain Cerobong berikut).
Desain Cerobong

Diadaptasi dari Owen (1987: 186).

Ada beberapa tipe studi kasus kualitatif, yang antara lain adalah: studi kasus kesejarahan organisasi, studi kasus observasi, dan sejarah hidup (Bogdan & Biklen, 1998:55). Studi kasus kesejarahan organisasi mengkonsentrasikan pada suatu organisasi tertentu dalam kurun waktu tertentu, menelusuri perkembangan organisasi itu. Studi kasus observasi menekankan teknik pengumpulan data utama yaitu observasi pelibatan yang dilengkapi dengan wawancara formal dan informal serta pemeriksaan dokumen; dan fokus studi ini adalah suatu organisasi khusus, seperti sekolah dan pusat rehabilitasi, atau beberapa aspek organisasi itu. Ada beberapa bagian organisasi yang menjadi fokus dalam studi organisasi, yaitu: (1) tempat tertentu di dalam organisasi (kelas, ruang guru, kafeteria, kantor dekan), (2) kelompok orang tertentu (anggota tim bola basket sekolah, guru-guru dalam departemen akademik tertentu, staf organisasi perjalanan pendidikan), dan (3) beberapa aktivitas di sekolah (perencanaan kurikulum). Dalam studi kasus sejarah hidup peneliti melakukan wawancara secara ekstensif dengan seseorang dengan tujuan pengumpulan narasi orang pertama. Apabila tipe wawancara ini dilakukan dengan seorang sejarawan hal itu mengarah pada sejarah lisan (oral history). Para sejarawan yang melakukan jenis kerja ini mewawancarai orang-orang terkenal (presiden, para pemimpin gerakan sosial, dan jenderal) untuk memperoleh rincian sejarah dari orang-orang yang berpartisipasi dalam peristiwa itu. Jika mereka mewawancarai orang-orang yang kurang terkenal (pembantu rumah tangga atau petani, dan sejenisnya), mereka lebih tertarik pada bagaimana sejarah itu muncul dari sudut pandang “orang umum” (“common person”).

Sebagian besar peneliti lapangan melakukan studi kasus pada sekelompok kecil orang-orang untuk sekian lama waktu. Penelitian lapangan mulai dengan ide atau topik yang dirumuskan secara longgar. Kemudian, peneliti memilih suatu kelompok atau latar tertentu untuk studi. Sekali mereka memperoleh akses pada kelompok atau latar tersebut, mereka mengambil peran sosial dalam latar dan mulai melakukan observasi. Peneliti mengobservasi dan berinteraksi dalam latar lapangan untuk beberapa bulan atau tahun lamanya, mereka mengenal orang-orang yang diteliti secara personal dan bisa melakukan wawancara informal. Peneliti melakukan pencatatan-pencatatan. Selama observasi, peneliti mempertimbangkan apakah mereka mengobservasi atau menyaring ide-ide fokus tentang signifikansinya. Kemudian, mereka meninggalkan latar lapangan. Mereka kemudian membaca ulang catatan-catatan dan mempersiapkan laporan tertulis (Neuman, 2000:36).

Studi kasus mencakup informasi yang hendak dikomunikasikan dalam laporan akhir; studi kasus itu menggambarkan presentasi data dalam laporan. Laporan itu bisa terdiri dari beberapa studi kasus yang kemudian dikomparasikan atau dikontraskan, tetapi data dasar studi itu adalah informasi yang diberikan tentang kasus itu. Studi kasus adalah perlakuan deskriptif, analitik, interpretatif, dan evaluatif tentang data deskriptif yang lebih komprehensif yang ada dalam rekaman kasus (Patton, 1980:304).

Proses mengkonstruksi studi kasus melalui tiga tahapan, sebagaimana dikemukakan oleh Patton (1980:304) sebagai berikut:

Proses Konstruksi Studi Kasus

—- ———————————————————————————————-

Tahap pertama: Mengumpulkan data mentah.

Data ini terdiri dari semua informasi yang dikumpulkan tentang orang dan program untuk apa studi kasus itu ditulis.

Tahap kedua: Mengkonstruk rekaman kasus.

Ini penyingkatan data kasus mentah untuk mengorganisir, mengklasifikasikan, dan mengedit data kasus mentah ke dalam paket yang dapat dikelola dan aksessibel.

Tahap ketiga: Menulis narasi studi kasus.

Studi kasus adalah gambar orang atau program yang dapat dibaca, deskriptif untuk membuat aksessibel pada pembaca seluruh informasi yang diperlukan untuk memahami orang atau program itu. Studi kasus dipresentasikan apakah secara kronologis atau tematis (kadang-kadang keduanya). Studi kasus menyajikan potret orang atau program secara holistik.

—– ———————————————————————————————

Studi Multi Situs

Sebelumnya telah dikemukakan tentang studi kasus yang menghendaki adanya kasus tunggal baik berupa individu, program, lembaga, atau latar tertentu. Uraian berikut akan memaparkan tentang studi multi situs sebagaimana diketengahkan oleh Bogdan & Biklen (1998:63).

Pada studi multi situs ini menghendaki adanya situs ganda dan studi tentang subjek yang jauh berbeda daripada studi kasus sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Penelitian ini menggunakan logika yang berlainan daripada ancangan studi multi-kasus karena arahnya lebih banyak untuk pengembangan teori dan biasanya memerlukan banyak situs atau subjek daripada hanya dua atau tiga. Penelitian ini menghendaki agar siapa yang melakukannya mempunyai baik pengalaman berpikir secara teoritis maupun keterampilan pengumpulan data sebelum terjun ke dalamnya. Jenis proyek penelitian ini pada mulanya sulit dilakukan. Berikut ini akan dipaparkan secara singkat mengenai dua ancangan yang tidak saja untuk memberikan gambaran jika memang ingin melakukannya, tetapi juga agar mengenal bermacam-macam rancangan yang tergolong penelitian kualitatif.
Induksi Analisis Ubahan

Induksi analisis adalah suatu ancangan untuk mengumpulkan dan mengolah data maupun suatu cara untuk mengembangkan teori dan mengujinya. Ancangan ini mempunyai sejarah yang panjang dan kontroversial (Becker, 1962,; Denzin, 1978; McCall dan Simmons, 1969; Robinson, 1951; Tumer, 1953), meskipun versi ancangan yang disajikan di sini agak berbeda dengan cara yang digunakan peneliti yang mula-mula (Cressey, 1950; Libdesmith, 1947; Znanicki, 1934). Prosedur induksi analitis dipergunakan apabila ada masalah, pertanyaan, atau persoalan khusus yang menjadi fokus penelitian. Data dikumpulkan dan diolah untuk mengembangkan model deskriptif yang merangkum semua kasus fenomena. Cara ini telah dipergunakan secara luas dalam wawancara terbuka, tetapi ia juga dapat dipergunakan untuk observasi dan analisa terdokumentasi.

Untuk konkretnya, prosedur ini akan dijelaskan dengan sebuah studi hipotetis. Jonah Glenn tertarik akan keefektifan guru. Ia berpikir bahwa ada guru-guru yang mengajarnya lebih baik ketimbang guru-guru yang lain dan ia tertarik hendak memahami mengapa (Blasé, 1980). Itu adalah topik umum dan fokusnya. Ia memulai studinya dengan melakukan wawancara mendalam terhadap satu orang guru yang menurut rekomendasi seseorang sangat “efektif”. Ia mengadakan diskusi yang direkam pita menggunakan wawancara terbuka yang panjang dengan guru tersebut. Ia mendorong agar guru tadi berbicara mengenai kariernya, pikiran-pikirannya mengenai mengajar dan bagaimana pikiran-pikiran itu lama-lama berubah, dan mengenai keefektifan.

Selama wawancara, guru tersebut bercerita secara rinci kekecewaannya selama minggu-minggu pertama mengajarnya ketika optimismenya (mengenai apa yang dikira akan bisa dicapainya, rencana-rencananya mengenai bagaimana ia akan berlaku baik, dan sifat hubungannya dengan para murid) menghadapi “kenyataan” pekerjaannya yang baru. Dengan pengalaman mengajarnya selama dua puluh tahun, ia menguraikan berbagai isu: keberhasilan dan kegagalan kariernya, adanya perubahan dalam definisi peranannya; beberapa pengalaman mengajarnya yang pertama, hubungan pekerjaannya dengan kehidupan pribadinya, dan pendapatnya mengenai bagaimanakah guru yang baik itu. Di samping itu, ia membicarakan sekolah-sekolah yang pernah merupakan tempatnya bertugas mengajar dan bagaimana segi-segi khusus sekolah-sekolah itu memberikan kepuasan kepadanya; dan juga kepada unjuk kerjanya di kelas. Ia menceritakan kedudukannya yang sekarang menilainya dalam hubungan dengan keefektifan menurut persepsinya. Sebagai tambahan atas wawancaranya, Jonah berkunjung ke sekolah tempat guru itu bertugas dan mengobservasinya ketika ia sedang mengajar.

Dari wawancara permulaan dan pengamatan itu, Jonah Glenn mengembangkan suatu teori deskriptif yang longgar mengenai keefektifan guru. Teori itu terdiri atas model tahapan karier di mana keefektifan didefinisikan secara berlainan di berbagai periode dalam karier guru itu. Masalah yang dihadapi, dan putusan yang diambil untuk mengatasinya dimasukkan di dalam teori. Teori itu juga memadukan kehidupan pribadi guru itu dengan kehidupan profesionalnya untuk menjelaskan perihal keefektifan. Teori itu berupa pernyataan proposisi dan sebuah diagram karier dan kontingensi karier sebagaimana ada kaitannya dengan keefektifan. Di samping itu, uraiannya mendefinisikan keefektifan dan menjelaskan dimensi-dimensinya. Setelah membuat coretan-coretan teorinya, Jonah mengambil guru yang kedua untuk diwawancarai. Dalam mengambil beberapa orang guru yang pertama, Jonah mempergunakan teknik sampling bola salju (snowball sampling technique), yaitu, ia minta orang pertama yang diwawancarainya untuk menyarankan orang-orang berikutnya. Ia mewawancarai orang kedua dengan wawancara terbuka yang serupa, menahan teori yang dikembangkannya atas dasar wawancara yang pertama.

Setelah selesainya wawancara yang kedua ini, Jonah menulis kembali dan memodifikasi teorinya agar cocok dengan kasus yang baru. Ia terus memilih dan mewawancarai orang-orang baru, memodifikasi teori itu untuk dicocokkan dengan setiap kasus yang baru. Setelah sejumlah kecil wawancara, Jonah memilih subjek-subjek yang diharapkannya akan memberikan contoh kasus-kasus yang negatif, yaitu guru-guru yang menurut pikirannya tidak cocok dengan model yang terus mengalami perkembangan itu. Sebagai contoh, beberapa wawancara yang pertama semuanya dilakukan dengan guru-guru yang lahir dan dibesarkan di kota besar tempat mereka bekerja. Ia mempunyai dugaan bahwa para guru yang mobil (pindah-pindah) mempunyai pola karier yang berbeda dan mengartikan keefektifan secara berbeda pula. Jonah dengan sengaja mencari guru-guru yang selalu pindah-pindah untuk menguji teorinya. Ia terus bekerja dengan cara demikian itu, mengambil subjek-subjek baru, memperluas teori, sampai tidak lagi menjumpai kasus yang tidak cocok dengan teori itu. Pada akhir studi, ia mempunyai sebuah teori tentang guru yang efektif. Studi hipotesis yang baru saja dikemukakan tadi barangkali tidak berjalan persis seperti yang diuraikan tadi. Seringkali terjadi, peneliti mulai dengan sebuah pertanyaan dan mengerjakan wawancara dan kemudian mengetahui bahwa pemikiran peneliti mengenai topik itu ternyata tidak cocok dengan data yang peneliti peroleh. Sebagai contoh, guru barangkali tidak memikirkan soal keefektifan. Wawancara-wawancara, yang dilakukan mula pertama (biasanya sedikit) membuahkan rumusan pertanyaan atau masalah daripada menghasilkan pernyataan proposisi yang spesifik. Di samping itu, meskipun siasat rancangan itu menunjukkan agar dilakukan wawancara sampai peneliti tidak lagi menemukan kasus yang tidak cocok dengan teori peneliti, tugas ini terlalu besar untuk dapat diselesaikan kebanyakan peneliti dalam waktu yang ada padanya. Begitulah setengah peneliti membatasi studi mereka dengan mendefinisikan secara ketat populasi yang dicakup teori. Peneliti, misalnya, dapat memutuskan untuk mewawancarai guru-guru yang ada di satu sekolah. Teori yang peneliti susun kemudian akan menjadi sebuah teori tentang keefektifan guru untuk guru-guru di sekolah tersebut. Sama juga halnya, segolongan peneliti, sebelum menjalankan studi, menetapkan jumlah subjek yang mereka ketahui akan mempunyai waktu dan sumber untuk diwawancarai. Mereka mengembangkan sebuah teori berdasarkan jumlah tersebut, tanpa mengaku bahwa karyanya itu bersifat inklusif.

Selama proses berlangsungnya penelitian, tidak saja teori itu mengalami modifikasi untuk dicocokkan dengan semua fakta yang baru diperoleh, tetapi pertanyaan penelitian dapat juga dirumuskan kembali (dipersempit) untuk mengeluarkan kasus-kasus yang tidak cocok dengan penjelasan yang diberikan. Dengan memilih kategori-kategori mana yang dimasukkkan atau harus dikeluarkan, peneliti juga berarti mengendalikan lingkup pekerjaan dengan cara membatasi lingkup teori.

Jenis rancangan yang kita bahas ini tidak memungkinkan peneliti berbicara frekuensi penyebaran jenis-jenis tertentu yan termasuk di dalam teoti peneliti. Misalnya, peneliti barangkali mendapati bahwa guna memahami keefektifan guru pentinglah untuk berpikir dalam pengertian keefektifan guru yang baru mulai berdinas, guru yang di tengah-tengah masa kerjanya, dan guru yang hampir pensiun. Prosedur penelitian ini memastikan bahwa ada berbagai macam subjek yang dimasukkan, tetapi tidak menyebutkan berapa banyak, juga tidak tentang berapa porsi jenis-jenis itu ada di dalam populasi. Metode sampling di dalam induksi analitis adalah purposeful sampling. Peneliti memilih orang-orang tertentu sebagai subjek karena mereka dipercaya oleh peneliti dapat membantu perluasan teori yang dikembangkan. Ini bukan sampling acak (random sampling); artinya, sampling yang memastikan bahwa ciri-ciri subjek di dalam studi peneliti kelihatan sama proporsinya seperti itu kelihatan di dalam populasi keseluruhan.

Robinson (1951) memberikan ikhtisar versi induksi analitis yang dimodifikasi menjadi sebagai berikut:

Pada awal penelitian, peneliti menyusun definisi yang kasar dan penjelasan tentang fenomena tertentu.
Peneliti membiarkan definisi dan penjelasan itu tetap berlaku sampai diperoleh data yang peneliti kumpulkan.
Peneliti memodifikasi definisi dan/atau penjelasan itu pada waktu peneliti menjumpai kasus baru yang tidak cocok dengan definisi dan penjelasan sebagaimana yang peneliti rumuskan.
Peneliti aktif mencari kasus-kasus yang menurut pikiran peneliti tidak cocok dengan rumusan.
Peneliti mendefinisikan kembali fenomena itu dan menyusun kembali penjelasan sampai diperoleh satu hubungan yang umum sifatnya, dengan menggunakan setiap kasus negatif untuk membuat definisi ulang atau rumusan ulang.

Langkah-langkah di atas merupakan garis besar metode berpikir tentang data dan pengerjaan data. Kebanyakan studi kualitatif meminjam bagian-bagian prosedur umum itu dan mempergunakannya sambil lalu. Kadang-kadang oleh pengamat partisipasi dipergunakan hipotesis kerja (working hypothesis), dan beberapa dari prosedur induksi analitis bersesuaian erat dengan itu (Bogdan & Biklen, 1998:66).

Itulah gambaran ringkas tentang desain penelitian kualitatif. Tinggal sekarang terserah pada peneliti dengan melihat posisi (kemampuan) dirinya untuk memilih desain apa yang akan dipilih dalam proyek penelitiannnya, apa studi kasus, multi kasus, atau multi situs. Namun begitu, bagi kalangan pemula dalam proyek penelitian kualitatif seyogianya memilih studi kasus dalam desain penelitiannya.

STRATEGI SAMPLING

Kata sampel untuk pendekatan penelitian kualitatif seringkali diperdebatkan diantara para pemerhati atau ahli metodologi penelitian. Ada sementara orang yang memandang bahwa dalam penelitian kualitatif tidak ada atau tidak menggunakan sampel. Sampel hanya ada dan digunakan dalam penelitian kuantitatif dan berfungsi sebagai mewakili populasi (di mana populasi hanya ada dalam penelitian kuantitatif). Artinya bahwa sampel itu bermakna sebagai komponen-komponen yang merupakan dan mewakili populasi. Sementara dalam penelitian kualitatif tidak ada sampel karena memang tidak ada populasi. Yang ada dalam penelitian kualitatif adalah subjek, informan atau responden (responden biasa digunakan dalam penelitian kuantitatif).

Sedangkan istilah sampling digunakan oleh keduanya (kuantitatif dan kualitatif), yang artinya adalah teknik pengambilan subjek penelitian. Dalam penelitian kuantitatif, misalnya, menggunakan random sampling, sedangkan dalam penelitian kualitatif menggunakan purposeful sampling atau theoritical sampling. Untuk lebih memudahkan pemahaman kita untuk keduanya dapat dilihat pada gambar berikut (Gambar Sampling).
Gambar Sampling

Dalam buku-buku penelitian kualitatif dijumpai banyak istilah untuk orang-orang yang memberikan informasi atau jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti pada saat proses pengumpulan data. Kadang-kadang dalam satu uraian saja muncul istilah-istilah secara berganti-ganti, yakni: subjek penelitian, informan, responden, partisipan dan lain sebagainya. Guba dan Lincoln (1981:78) mengatakan bahwa orang-orang adalah sebagai subjek untuk inkuiri naturalistik. Ini menunjukkan bahwa istilah subjek penelitian yang lebih cenderung digunakan. Dari beberapa istilah tersebut, berdasarkan konsep Guba dan Lincoln, pada dasarnya searti, namun yang lebih sering digunakan adalah sebutan subjek penelitian. Oleh karena itu kita tidak perlu dibingungkan dengan istilah-istilah tersebut.

Penentuan subjek penelitian dalam penelitian kualitatif juga menggunakan prosedur penelitian sebagaimana penelitian kuantitatif, hanya saja ada perbedaannya. Misalnya, dalam penelitian kuantitatif antara lain ada apa yang disebut dengan teknik sampling acak (random sampling). Sampling acak ini merupakan strategi yang cocok apabila seseorang ingin menggeneralisasikan dari sampel yang dikaji pada populasi yang lebih besar. Mengumpulkan data dari sampel orang-orang yang mengalami suatu program, hal itu bisa jadi diinginkan untuk bisa digeneralisasikan untuk semua orang yang mengalami program tersebut, atau mengkaji sedikit program atau latar program dalam operasi nasional, itu bisa jadi diinginkan untuk digeneralisasikan dari sejumlah program yang lebih kecil yang dikaji untuk seluruh program. Alasan penggunaan sampling acak adalah untuk meningkatkan kemungkinan bahwa data yang dihimpun itu adalah representatif untuk seluruh populasi yang dimaksudkan (Patton, 1980:100). Sampling yang demikian tidak dikenal dalam penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif cenderung menggunakan teknik purposeful sampling.

Purposeful sampling merupakan jenis sampling yang diterima untuk situasi-situasi khusus. Purposeful sampling menggunakan keputusan (judgment) ahli dalam memilih kasus-kasus atau memilih kasus-kasus dengan tujuan khusus dalam pikiran. Sampling ini cocok jika digunakan untuk memilih “ibu rumah tangga biasa” atau “sekolah khusus.” Dengan purposeful sampling, peneliti belum pernah tahu apakah kasus-kasus yang dipilih itu mewakili populasi. Sampling ini digunakan dalam penelitian eksploratori atau dalam penelitian lapangan (Babbie, 1998).

Purposeful sampling cocok dalam tiga situasi. Pertama, seorang peneliti menggunakannya untuk memilih kasus-kasus unik, khususnya yang bersifat informatif. Misalnya, seorang peneliti yang ingin menggunakan analisis isi (content analysis) untuk mengkaji majalah-majalah guna menemukan tema-tema kultural. Dia memilih majalah wanita popular khusus untuk dikaji karena merupakan latar yang menjadi kecenderungan.

Dua, seorang peneliti bisa menggunakan purposeful sampling untuk memilih anggota-anggota yang sulit untuk dicapai, populasi khusus. Misalnya, peneliti ingin mengkaji pelacur. Ini mungkin untuk mendaftar seluruh pelacur dan menyampel secara acak dari daftar itu. Malahan, dia menggunakan informasi subjektif (misalnya, lokasi di mana para pelacur itu berkumpul, kelompok sosial dengan siapa para pelacur itu berhubungan, dan seterusnya) dan para ahli (misalnya, polisi yang bekerja di unit perbuatan buruk/jelek (perbuatan asusila), pelacur lain, dan seterusnya) untuk mengidentifikasi “sampel” pelacur untuk pemasukan dalam proyek penelitian. Peneliti menggunakan banyak metode yang berbeda untuk mengidentifikasi kasus-kasus itu, karena tujuannya adalah untuk melakukan sebanyak mungkin kasus. Misalnya, Harper (1982) membuat sampel dalam studi penelitian lapangannya tentang orang-orang gelandangan dan gembel di Amerika Serikat pada tahun 1970 dengan berlaku seperti sahabat “para ahli” (misalnya, orang-orang gelandangan) dan tinggal dengan mereka di kereta api dan di kawasan deretan selip. Populasi khusus tidak harus ikut serta dalam aktivitas illegal. Misalnya, McCall (1980) mengidentifikasi 31 artis wanita di S.T. Louis dengan menanyakan pada seorang teman tentang artis-artis lain dan dengan bergabung dalam organisasi seni lokal.

Situasi lain untuk purposeful sampling terjadi ketika seorang peneliti ingin mengidentifikasi tahapan-tahapan khusus kasus-kasus untuk investigasi mendalam. Tujuannya adalah kurang lebih sedikit untuk menggeneralisasikan pada suatu populasi yang lebih luas daripada untuk memperoleh pemahaman yang lebih dalam tentang tipe-tipe. Misalnya, Hochchild mewawancarai secara intensif 28 orang tentang kepercayaan-kepercayaan mereka. Dia memilih beberapa karena mereka memiliki pendapatan rendah dan beberapa karena telah memiliki pendapatan yang tinggi. Beberapa orang laki-laki dan beberapa orang perempuan (Neuman, 2000:198).

Semua sampling dilakukan dengan beberapa tujuan yang telah dipikirkan sebelumnya. Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa di dalam paradigma konvensional tujuan yang hampir selalu ada ialah menentukan suatu sampel yang representatif dari suatu populasi yang ingin digeneralisaskan. Bahkan suatu sampel acak sederhana adalah representatif dalam arti bahwa setiap unsur di dalam populasi mempunyai suatu kesempatan yang sama untuk dipilih.

Agak ironis bahwa sebagai seorang peneliti merasa tertekan untuk membentuk rasa percaya diri dalam generalisasinya, sampling mengambil suatu bentuk yang agak berbeda dibandingkan dengan konsep “menuliskan angka-angka dari sebuah topi” yang diwakili oleh sampel random atau acak sederhana – suatu bentuk yang mendekati semakin dekat dengan apa yang dilakukan oleh para naturalis pada awalnya. Perhatikan konsep tentang “populasi”. Istilah ini mengidentifikasi suatu kelompok orang, agen, tempat atau unit lain yang diminati yang dapat ditentukan ditempatkan secara bersama-sama. Misalnya, populasi tentang para penduduk di Chicago, atau populasi tentang anak-anak yang mengalami hambatan mental, atau populasi tentang agen-agen pelayanan sosial. Akan tetapi seperti semua sampling yang diketahui oleh para ahli statistik, kesimpulan-kesimpulan tentang populasi dapat dibuat dengan ketepatan yang semakin tinggi sejauh mana populasi dibagi ke dalam “strata-strata “homogen”; porsi-porsi para penduduk Chicago yang tinggal di sepanjang Pantai Utara dan berpenghasilan dari $ 75.000 hingga $ 85.000 per tahun; porsi tentang mereka yang mangalami hambatan mental yang gagal dengan IQ berkisar dari 60-70; porsi tentang agen-agen pelayanan sosial yang secara swasta mendanai dan memberikan pelayanan sosial terhadap mereka yang mengalami hambatan mental; dan sebagainya. Semakin homogen strata yang dapat dibuat, semakin baik kesimpulan-keisimpulan. Tetapi sudah barang tentu apa yang diperhitungkan oleh stratifikasi tersebut ialah pembentukan sub-sub unit yang semakin sama secara kontekstual. Para naturalis memulai dengan asumsi bahwa terdapat poin intermediate di mana cukup efisien untuk menghentikan karakterisasi idiografis; namun demikian, masing-masing konteks berkenaan dengan istilah-istilahnya sendiri.

Menurut Patton (1980:100) bahwa purposeful sampling digunakan sebagai strategi apabila seseorang ingin mempelajari sesuatu dan datang untuk memahami sesuatu tentang kasus-kasus terpilih tertentu tanpa perlu untuk menggeneralisasikan pada semua kasus yang demikian. Untuk melakukan purposeful sampling itu informasi tertentu harus diketahui tentang variasi-variasi di antara kasus-kasus. Bagaimanapun juga, para pengambil keputusan telah memiliki kesan dasar (basic sense) variasi program apa yang mungkin. Pertanyaan yang lebih kritis bisa jadi bagi mereka untuk memahami kasus-kasus ekstrim (the extrem cases). Dengan sumber yang terbatas dan waktu yang terbatas bisa belajar lebih dengan mengkaji secara intensif satu atau lebih contoh-contoh program yang jelek (poor programs) dan satu atau kebih contoh program yang unggul (excellent programs). Fokusnya, kemudian, menjadi pertanyaan pada memahami di bawah kondisi-kondisi apa program itu bermasalah dan di bawah kondisi-kondisi apa program itu menjadi unggul. Ini tidak perlu membuat sampling secara acak program-program yang jelek dan program-program yang unggul. Pembuat keputusan dapat berpikir melalui kasus-kasus apa yang dapat mereka pelajari dari sebagian besar kasus itu, dan kasus-kasus itu adalah kasus-kasus yang dipilih untuk studi.

Michael Quinn Patton (1980:105) menggambarkan bahwa, melebihi di atas random sampling (atau representatif), ada enam jenis lagi yang berperan sebagai tujuan-tujuan (purposes) selain mempermudah generalisasi:

Sampling ektrim atau kasus-kasus yang menyimpang (sampling extreme or deviant cases) untuk memperoleh informasi tentang kasus-kasus luar biasa yang mungkin mengganggu atau memperjelas.
Kasus-kasus sampling tipikal (sampling typical cases) untuk menghindari penolakan informasi di lapangan yang diketahui timbul atau muncul dari kasus-kasus khusus atau menyimpang.
Sampling variasi maksimum (maximum variation sampling) untuk mendokumentasikan keragaman-keragaman unik yang telah muncul dalam mengadaptasikan pada kondisi-kondisi yang berbeda.
Sampling kasus-kasus kritis (sampling critical cases) untuk memungkinkan aplikasi atau penerapan informasi pada kasus-kasus lain, karena, jika informasi adalah valid bagi kasus-kasus kritis, ini juga ada kecenderungan benar dari semua kasus lain.
Sampling penting secara politis atau kasus-kasus sensitif (sampling politically important or sensitive cases) untuk menarik perhatian bagi kajian (atau kadang-kadang untuk mengalihkan perhatian).
Sampling yang menyenangkan (convinience sampling) untuk menghemat waktu, uang atau usaha.

Di dalam investigasi-investigasi naturalistik, yang erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual, tujuan sampling akan paling sering untuk memasukkan sebanyak mungkin informasi, pada semua dari berbagai keadaan dan bentukan-bentukan yang bercabang-cabang; oleh karena itu, sampling keragaman maksimal (maximum variation sampling) biasanya menjadi model sampling pilihan. Objek dari permainan ini tidak memfokuskan pada kesamaan-kesamaan yang dapat dikembangkan ke dalam generalisasi, tetapi untuk memerinci banyaknya kekhususan yang memberikan keunikan di dalam konteks. Tujuan yang kedua ialah untuk menggeneralisasikan informasi di mana rancangan yang muncul dan grounded theory dapat didasarkan. Seperti yang dinyatakan Glaser dan Strauss (1967:48) di dalam pembahasan mereka tentang sampling “teoritis” (sebuah istilah yang kurang lebih sinonim dengan istilah kita sampling “bertujuan” (“purposeful” sampling): Kriteria tentang sampling teoritis didesain untuk diterapkan di dalam pengumpulan bersama yang sedang berlangsung dan analisis data yang berkenaan dengan generalisasi teori. Oleh karena itu, kriteria itu disesuaikan dengan data dan diaplikasikan secara bijaksana pada maksud dan saat yang tepat dalam analisis. Ahli analisis dapat menyesuaikan secara kontinyu kumpulan data untuk memperkuat relevansi data pada kriteria impersonal dari teori yang muncul.

Pertimbangan-pertimbangan di atas menggambarkan bahwa purposeful sampling mempunyai karakteristik-karekteristik tertentu sebagaimana dijabarkan dalam uraian berikut:

1. Desain sampling darurat (Emergent sampling design). Seharusnya tidak ada spesifikasi sampel secara a priori; sampel tidak dapat ditarik sebelumnya (catat bagaimana istilah “ditarik” mencerminkan atau menggambarkan suatu bias terhadap sampling acak yang berorientasi pada generalisasi (generalization-oriented random sampling).
2. Seleksi serial tentang unit-unit sampel (Serial selection sampling). Tujuan dari keragaman maksimal diperoleh dengan sebaik-baiknya dengan menyeleksi unit-unit sampek hanya setelah unit sebelumnya telah tersedia dan dianalisis. Masing-masing unit berikutnya dapat dipilih untuk mengembangkan informasi yang telah diperoleh, untuk memperoleh informasi yang lainnya yang berbeda dengan informasi tersebut, atau mengisi kesenjangan-kesenjangan di dalam infoermasi sejauh itu. Tidak menjadi masalah di mana investigator memulai di dalam proses sampling (dari sudut pandangan praktis, unit pertama seringkali merupakan “penjaga pintu” atau seseorang yang dipilih oleh “penjaga pintu”), tetapi unit-unit berikutnya diseleksi sesuai dengan kebutuhan untuk mengembangkan, test dan mengisi informasi. Unit-unit berikutnya seperti tersebut paling mudah diperoleh dengan nominasi-nominasi (reputasional, personal), tetapi setiap maksud yang membawa perhatian investigator untuk dimasukkan di dalam unit-unit baru yang dimaksudkan untuk menyelidiki sendiri dapat dilakukan. Teknik-teknik seperti misalnya teknik snowball sampling mempunyai manfaat, sebagaimana yang kami sarankan, “teknik “setiap orang memperoleh satu”.
3. Penyesuaian atau “menfokuskan” sampel secara terus menerus. Pada mulanya setiap unit sampel dikerjakan seperti yang lainnya, tetapi ketika wawasan-wawasan dan informasi telah terkumpul dan investigator mulai mengembangkan hipotesis yang berjalan tentang situasi tersebut, sampel bisa diperbaiki untuk memfokuskan secara khusus pada unit-unit tersebut yang agaknya paling relefan.
4. Seleksi terhadap hal redundansi (atau pengulangan). Dalam sampling tradisional ukuran sampel secara khusus dirancang sebelumnya; N biasanya ditentukan dengan menentukan pada tingkat konfiden secara statistik yang diinginkan agar dapat menempatkan di dalam generalisasi yang dihasilkan. Ukuran N dapat ditentukan secara murni dengan rumus, setelah tingkat yang dapat ditoleransi jenis kesalahan tipe I dan tipe II dispesifikasikan. Di dalam purposeful sampling ukuran sampel ditentukan dengan pertimbangan informasional. Jika tujuannya ialah untuk memaksimalkan informasi, maka sampling diterminologikan jika tidak ada informasi yang baru datang dari unit-unit yang baru disampelkan; dengan demikian redundansi merupakan kriteria utama.

Selanjutnya, sampling naturalistik sangat berbeda dengan sampling konvensional. Ini didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan informasional, bukan statistik. Tujuannya ialah untuk memaksimalkan informasi. Bukan untuk mempermudah generalisasi. Prosedurnya sangat berbeda, juga, dan tergantung pada pasang surutnya informasi ketika kajian sedang dilaksanakan bukan pada pertimbangan a priori. Akhirnya, kriteria berkembang untuk menentukan jika unuk menghentikan sampling merupakan redundansi informasional, bukan merupakan suatu tingkat kepercayaan statistik.

Inkuiri naturalistik sering mendapat kritikan dengan dasar bahwa ini tidak dapat menghasilkan generalisasi karena pembajakan sampling. Kritikan tersebut tidak diragukan lagi memang benar (meskipun merupakan tidak penting bagi perspektif naturalistik). Namun ini sama benarnya bahwa sampling konvensional tidak dapat mencapai tujuan di mana purposeful/theories sampling merupakan metode pilihan – “Anda memberikan uang anda dan anda berhak memilihnya”.
Snowball Sampling

Neuman (2000:198) mengatakan bahwa para peneliti sosial seringkali tertarik para jaringan antar hubungan orang-orang atau organisasi. Jaringan itu dapat para ilmuwan seluruh dunia yang sedang meneliti masalah yang sama, para elite masyarakat kelas menengah, para anggota keluarga kriminal yang terorganisir, orang-orang yang duduk di dewan pengurus para direktur bank dan perusahaan utama, atau orang-orang yang di kampus-kampus perguruan tinggi yang mempunyai hubungan seksual satu sama lain. Sifat-sifat penting bahwa setiap orang atau unit berhubungan satu sama lain melalui hubungan langsung dan tidak langsung. Hal ini tidak berarti bahwa masing-masing orang tahu secara langsung, berinteraksi dengan, atau dipengaruhi oleh setiap orang lainnya dalam jaringan itu. Agaknya, ini berarti bahwa, secara keseluruhan, dengan hubungan langsung dan tidak langsung, sebagian besar dalam jaringan antar hubungan.

Misalnya, Sally dan Tim tidak tahu satu sama lain secara langsung, tetapi masing-masing mempunyai teman baik, Susan, sehingga mereka memiliki hubungan tidak langsung. Para peneliti merepresentasikan jaringan yang demikian dengan gambar sosiogram – suatu diagram lingkaran yang berhubungan dengan garis-garis. Lingkaran-lingkaran itu merepresentasikan setiap orang atau kasus, dan garis-garis merepresentasikan persahabatan atau hubungan lainnya (lihat Gambar Sosiogram Hubungan Persahabatan).
Gambar Sosiogram Hubungan Persahabatan

Diadaptasi dari Neuman (2000:199).

Snowball sampling (juga disebut jaringan, penyerahan berantai (chain referall), atau sampling reputasional) adalah suatu metode untuk mengidentifikasi dan menyampel (atau memilih) kasus-kasus dalam suatu jaringan. Ini didasarkan pada suatu analog sebuah bola salju (snowball), yang mulai dengan kecil tetapi menjadi lebih besar ketika menggelinding di atas salju yang basah dan menambah salju lagi. Snowball sampling merupakan teknik multi tahap. Teknik ini mulai dengan satu atau sedikit orang atau kasus dan menyebar pada basis-basis hubungan pada kasus-kasus pertama.

Misalnya, seorang peneliti mengeksaminasi jaringan persahabatan di antara pemuda-pemuda di suatu masyarakat. Dia mulai dengan tiga pemuda yang tidak tahu sama lain. Masing-masing pemuda menyebut empat teman akrabnya. Peneliti kemudian pergi ke empat teman itu dan meminta masing-masing menyebut nama empat teman akrabnya, kemudian pergi ke empat teman itu dan melakukan sesuatu yang sama lagi, dan begitulah seterusnya. Lama sebelumnya sejumlah besar orang dilibatkan. Setiap orang dalam sampel terikat secara langsung dan tidak langsung dengan para pemuda asli, dan beberapa orang bisa menyebutkan orang yang sama. Peneliti akhirnya berhenti, baik karena tidak ada nama baru yang diberikan, mengindikasikan jaringan yang dekat, atau jaringan terlalu besar sehingga merupakan batas apa yang dapat ia studi. Sampel itu termasuk orang-orang yang disebutkan oleh paling tidak satu orang lain dalam jaringan itu sebagai seorang teman dekat. Studi Ostrander tentang 36 wanita kelas atas menggunakan snowball sampling.

Pada kesimpulan setiap wawancara, Saya minta pada wanita itu untuk “menyarankan wanita lainnya dalam kelompok sosialmu dengan latar belakang seperti kamu yang mau berbicara dengan saya.” Cara praktis untuk memperoleh akses pada responden ini memiliki keuntungan teoritis juga metodologis… Saya dihubungkan pada wanita yang dipandang oleh teman-teman sejawat kelas mereka untuk memiliki kelas itu; jadi, saya tidak berbicara dengan wanita yang menyimpang secara signifikan dari norma-norma kehidupan kelas atas. Tetapi saya paling tertarik pada orang-orang yang “dapat diterima” (accebtable), karena saya ingin belajar norma-norma yang mapan dan ketentuan-ketentuan yang dapat diterima (Ostrander, 1984:11).

Memilih Informan yang Baik

Informan atau aktor kunci dalam penelitian lapangan merupakan anggota yang dihubungi peneliti dan yang menjelaskan atau menginformasikan tentang lapangan. Walaupun hampir setiap orang dapat menjadi seorang informan, tidak setiap orang menjadi informan yang baik (Spradley, 1979:45). Dengan demikian bahwa tidak setiap informan dipilih menjadi informan dalam penelitian kualitatif, melainkan informan kunci atau informan yang baik.

Informan kunci merupakan penerjemah (translator). Hal ini seringkali individu dengan siapa peneliti mengembangkan suatu persahabatan khusus. Ini lebih berguna untuk memandang informan-informan kunci sebagai individu-individu yang bisa mengajar peneliti. Guru itu bisa berbeda menurut topik dan hubungan antara individu-individu. Seringkali ada banyak guru, atau ada satu guru atau mentor khusus (Crabtree & Miller, 1992:74).

Bagaimana memilih informan yang baik? Para informan adalah individu-individu yang memiliki pengetahuan khusus, status, atau ketrampilan komunikasi, yang berkemauan untuk membagi pengetahuan dan yang memiliki akses pada perspektif dan observasi yang meneiadakan peneliti (Goetz dan LaComte, 1984). Menurut Morse (dalam Denzin & Lincoln, 1998:73) bahwa informan yang baik adalah informan yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang peneliti perlukan, memiliki kemampuan untuk merefleksikan, pandai mengeluarkan pikiran (pandai berbicara), memiliki waktu untuk diwawancarai, dan berkemauan untuk berpartisipasi dalam studi. Ahli lain menegaskan bahwa informan kunci yang ideal adalah dideskripsikan sebagai orang yang pandai berbicara dan peka secara kultural (Fetterman, 1989:58). Kepekaan kultural ini bisa atau tidak bisa menjadi analitik. Beberapa informan menggunakan bahasa mereka untuk mendeskripsikan peristiwa dan tindakan dengan hampir tanpa analisis makna dan signifikansinya. Informan-informan yang lain menawarkan analisis pengetahuan yang dalam dan interpretasi peristiwa-peristiwa dari perspektif teori asli atau masyarakat. Keduanya dapat membuat informan-informan yang baik (Spradley, 1979:52). Selanjutnya Neuman (2000:374) mengetengahkan bahwa informan yang baik memiliki empat karakteristik sebagai berikut:

Informan memahami betul kultur setempat dan menyaksikan kejadian-kejadian penting di sana. Dia tinggal dan menjalani kultur setempat dan terlibat dengan kegiatan rutin di tempat itu. Dia kental pengalaman kultur tersebut dan bukan sekadar orang baru di sana.
Informan harus terlibat di lapangan saat itu. Mantan informan juga bisa memberikan pandangan-pandangan yang bermanfaat, tetapi semakin lama dia tidak terlibat secara langsung, semakin besar kemungkinan dia telah mereka ulang informasi yang diingatnya.

Informan bisa meluangkan waktu bersama peneliti. Wawancara bisa membutuhkan waktu berjam-jam, dan sebagian anggota mungkin tidak bersedia untuk mengikuti wawancara yang lama.
Orang nonanalitis bisa menjadi informan yang lebih baik. Informan nonanalitis memahami dan menggunakan teori masyarakat asli setempat atau logika pragmatis. Ini berbeda dengan informan analitis, yang melakukan praanalisa latar, menggunakan kategori dari media atau pendidikan. Bahkan informan berlatar belakang pendidikan ilmu sosial bisa belajar cara memberikan tanggapan secara nonanalitis dengan syarat mereka mengesampingkan pendidikannya dan menggunakan sudut pandang informan.

Peneliti lapangan bisa mewawancarai berbagai jenis informan. Tipe informan yang berlawanan yang memberikan sudut pandang penting termasuk remaja orang dewasa, orang yang terlibat di tengah-tengah kejadian dan mereka yang ada di luarnya, mereka yang belakangan berubah status (misalnya, karena dipromosikan) dan mereka yang statis, frustrasi atau kesusahan dan mereka yang bahagia yang posisinya aman, pemimpin pemegang kekuasaan dan bawahan yang mengikutinya. Peneliti lapangan berharap memperoleh berbagai macam pesan ketika mewawancarai serangkaian informan yang beragam.

AKSES PENELITI DI LAPANGAN

Sebelum masuk pada uraian tentang pengertian data kualitatif, ada beberapa saran dari seorang ahli sisologi, John Lofland, yang memberikan saran-saran tentang unsur-unsur dalam pengumpulan data kualitatif. John Lofland (dalam Patton, 1980:36) memberikan empat saran sebagai berikut:

Pertama, Ahli metodologi kualitatif harus cukup dekat (get close enough) pada orang-orang dan situasi yang distudi untuk bisa memahami ke dalam dan detil apa yang sedang berlangsung.
Kedua, ahli metodologi kualitatif harus sampai menangkap apa yang sebenarnya terjadi dan apa yang orang-orang sebenarnya katakan: fakta-fakta yang dipersepsikan (the perceived facts).
Ketiga, data kualitatif terdiri dari sejumlah besar deskripsi murni (pure description) tentang orang-orang, aktivitas-aktivitas, dan interaksi-interaksi.
Empat, Data kualitatif terdiri dari petikan-petikan langsung dari orang-orang, tentang apa yang mereka katakan dan apa yang mereka tulis.

Yang senantiasa harus dipahami oleh peneliti kualitatif bahwa keabsahan data pada akhirnya diserahkan pada informan atau subjek penelitian apakah informasi (data) yang diperoleh di lapangan baik melalui wawancara, observasi maupun analisis dokumen itu diakui (benar) atau tidak oleh mereka (konfirmasi). Dalam pengertian bahwa apakah data tersebut sesuai dengan persepsi atau pandangan mereka yang sebenarnya atau tidak. Hal ini dalam teknik pengecekan keabsahan data disebut sebagai konfirmasi. Tingkat akurasi data terletak pada sejauh mana responden itu secara apa adanya dan penuh keterbukaan memberikan informasi atau jawaban atas seperangkat pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Tingkat keterbukaan informan dalam memberikan jawaban itu antara lain ditentukan oleh tingkat penerimaannya pada kehadiran peneliti. Oleh sebab itu kehadiran peneliti di (akses ke) lapangan merupakan salah satu langkah penting yang harus dilakukan secara berhati-hati karena akan menentukan proses pencarian dan penemuan data secara alamiah.

Banyak hal yang harus diperhatikan dan dilakukan atau tidak dilakukan oleh peneliti saat terjun ke lapangan. Penting bagi peneliti untuk betul-betul bisa menciptakan hubungan yang efektif dengan siapa dia akan melakukan wawancara atau di suatu situasi mana dia melakukan pengamatan. Neuman, 2000:354) mengatakan bahwa setelah situs lapangan dipilih dan akses dicapai, para peneliti harus belajar segala sesuatu, mengembangkan hubungan dengan para anggota, mengadopsi peranan dalam latar, dan mempertahankan hubungan-hubungan sosial.

Peneliti harus berusaha sedemikian rupa agar kehadirannya bisa memperoleh kepercayaan dari mereka (Bogdan dan Taylor, 1975). Peneliti biasanya harus mendapatkan kepercayaan dari salah satu atau dua orang subjek terlebih dahulu agar ia dapat diterima oleh subjek yang lain atau agar ia dapat memasuki lingkungan tersebut. Yang perlu didekati dengan baik pertama kali adalah apa yang disebut dengan orang-orang kunci (key persons), yang menjadi panutan dari orang kebanyakan di lingkungan itu.

Seorang peneliti membangun hubungan dengan bergaul dengan baik dengan para anggota di lapangan. Peneliti membina hubungan yang ramah, membagi bahasa yang sama, dan tertawa serta menangis dengan mereka. Ini merupakan suatu langkah menuju perolehan pemahaman para anggota dan bergerak untuk memperoleh pemahaman empati, yakni melihat dan merasakan peristiwa dari perspektif orang lain. Tidak senantiasa mudah untuk membangun hubungan. Dunia sosial tidak semuanya dalam harmoni, dengan orang-orang yang hangat dan ramah. Suatu latar biasa terdiri dari ketakutan, ketegangan, dan konflik. Para anggota bias jadi tidak senang, tidak percaya, atau tidak benar; mereka bisa jadi melakukan sesuatu yang mengganggu peneliti. Seorang peneliti yang berpengalaman dipersiapkan untuk pengaturan peristiwa-peristiwa dan hubungan-hubungan (Neuman, 2000:356).

Pada umumnya peneliti dapat memasuki suatu lingkungan dengan jalan meminta ijin kepada mereka yang berwewenang, yaitu seseorang yang disebut sebagai “penjaga pintu” (gatekeeper). Jika lingkungan yang diteliti adalah masyarakat, yang didekati adalah tokoh masyarakat formal dan informal; jika di sekolah adalah kepala sekolah; jika di perusahaan adalah direktur atau wakil direktur; jika di kantor kabupaten adalah bupati, dan lain sebagainya. Jika yang dimasuki adalah lingkungan yang tidak terorganisasi, maka peneliti harus menciptakan hubungan dengan satu atau dua anggota/warga dari lingkungan itu dan menjelaskan identitas dan maksud kehadirannya. Dengan cara demikian warga lain bisa tahu dari orang-orang yang telah dikenali pertama kali itu dan mereka mengerti maksud kehadiran peneliti, sehingga proses penelitian dapat berjalan lebih lancar.

Dalam membina hubungan dengan penjaga pintu tersebut hendaknya ditunjukkan sikap kejujuran. Jangan berpura-pura karena akan menimbulkan kesulitan-kesulitan pada waktu penelitian itu berlangsung. Selain itu, perlu diperhatikan bahwa cara berpakaian dapat mempengaruhi hubungan peneliti dengan anggota di lapangan. Oleh karena itu peneliti hendaknya jangan berpakaian berlebihan, melainkan seyogianya menyesuaikan dengan cara berpakaian orang-orang di lapangan (Neuman, 2000:354). Penyesuaian dalam hal berpakaian tidak harus sama persis dengan cara berpakaian mereka, paling tidak tampak menonjol sehingga dapat menimbulkan jarak psikologis antara peneliti dan partisipan. Hal yang demikian sekilas sederhana, tetapi terkadang dilalaikan oleh peneliti, khususnya para peneliti yang berasal dari perkotaan yang meneliti masyarakat awam di pedesaan.

Dalam anthropologi, sosiologi, dan bidang-bidang lain perdebatan terus berlanjut tentang penggunaan makna terbuka (overt) jika dibandingkan dengan tertutup (covert) tentang memperoleh akses pada para partisipan dan latar penelitian. Praktik-praktik yang curang dan tertutup tidak sesuai dengan praktik etis atau postulat-postulat paradigma alternatif (Taylor, dan Bogdan, 1984; Lincoln dan Guba, 1985; Shils, 1959). Kita memandang para partisipan dalam penelitian sebagai kolabolator penting yang bersama-sama dengan kita saling membentuk dan menentukan tentang apa yang akan kita pahami tentang mereka dan situasi mereka.

Sebuah kajian yang dilaksanakan oleh Edwin Farrell dan asosiasinya menjelaskan dengan contoh-contoh tentang pendekatan partisipan-sebagai-kolaborator pada penelitian (Farrell, Peguero, Lindsey dan White, 1988). Farrell dilibatkan dalam pengembangan suatu program pencegahan putus sekolah, secara bersama dimulai oleh The City College of New York dan beberapa Sekolah Menengah Atas di kota New York. Namun, sebelum menentukan program pencegahan, kelompok penelitian memfokuskan pada perlunya pemahaman yang mendalam tentang siswa-siswa yang beresiko putus sekolah. Dalam kata-kata mereka: Untuk menentukan suatu program yang dapat hidup, perlu diperoleh beberapa pemahaman tentang populasi yang kita garap di luar catatan pengawas, skor tes, catatan promosi, dan referensi pembimbing. Pertama, kita perlu mengetahui seperti apa kehidupan para siswa dan bagaimana sekolah menyesuaikan dengan kehidupan ini. (Farrell, et al., 1988:489).

Dengan mendapatkan pendekatan kuantitatif tradisional penggabungan yang salah dan ketidaktepatan untuk melaksanakan suatu ‘inkuiri ke dalam kehidupan para siswa’, Farrell kembali ke metode penelitian kualitatif\, yang pada mulanya merasa tertarik untuk menjadi seorang pengamat partisipan di sekolah. Namun kemampuannya untuk ‘tidak terlihat’ disetujui bersama dengan menjadi ‘seorang kulit putih, kelas menengah, dan akademis berusia setengah baya yang masuk ke dalam suatu latar sosial yang dibuatnya, yang sebagian besar terdiri dari orang-orang dewasa kulit hitam dan Hispanic yang berpenghasilan rendah’. Farrell juga percaya perbedaan sosiokulturalnya dari sampel akan membatasi kemampuannya untuk menganalisis data sepenuhnya.

Solusi Farrell sampai pada penjelasan tentang kemungkinan penelitian kualitatif kolaboratif. Dari poling beberapa siswa yang memenuhi kriteria untuk menjadi beresiko putus sekolah di sekolah menengah atas, tujuh orang siswa dimasukkan ke dalam kolaborator dalam usaha penelitian tersebut, dan tiga orang dari siswa ini dilibatkan selama periode waktu pengkajian. Para kolaborator Farrell di sekolah menengah atas direkam dalam tape recorder dalam wawancara informal dengan para siswa lainnya dan menganalisis transkrip-transkrip wawancara dalam hubungannya dengan Farrell. Hasil dari pengkajian tersebut menyatakan kedalaman tentang pengalaman siswa yang banyak sekali dari tekanan-tekanan sosial yang bersaing dan pengalaman sekolah sebagai sumber tekanan lainnya. Kebosanan juga merupakan tema yang penting, dan diinterpretasikan oleh penulis mungkin merupakan ‘cara putus sekolah secara internal’ (Farrell, et al., 1988).

Dalam tulisan-tulisannya, Elliot Mishler (1986), seorang psikolog sosial dan peneliti kualitatif menekankan pentingnya pengurangan diferensial kekuasaan antara peneliti dan para partisipan penelitian dengan melibatkan para partisipan sebagai kolaborator. Kajian oleh Farrell dan tim penelitiannya menjelaskan kemungkinan-kemungkinan untuk berkolaborasi. Namun demikian, para peneliti yang memandang para partisipan sebagai partner bukan sebagai subjek-subjek dalam proses penelitian bisa dilihat oleh peneliti tradisional sebagai mengandung resiko untuk menyatakan tujuan dari pengkajian tersebut, dengan demikian mempengaruhi validitas hasil-hasilnya. Ini mencerminkan suatu perbedaan mendasar antara paradigma-paradigma tradisional dan paradigma-paradigma alternatif yang mengarahkan model inkuiri kita. Para pendukung paradigma kualitatif alternatif berasumsi bahwa pertalian yang dibuat dengan para partisipan pengkajian melalui pertukaran terbuka dan secara bijaksana adalah penting bagi ‘penempatan diri’ (indwelling) dan untuk memperoleh hasil-hasil pengkajian yang bermanfaat. Sementara banyak buku lainnya tentang penelitian kualitatif menyajikan kontinuum terbuka-ke-tertutup dan menyerahkannya kepada peneliti untuk diputuskan, jelas kita memilih berbuat kesalahan dari sisi pengungkapan.

Penggunaan pendekatan terbuka untuk memperoleh akses berarti bahwa peneliti mengadakan pendekatan terhadap orang-orang penting atau para ‘penjaga pintu’ (Becker, 1970) dari latar yang bersedia untuk berbagi fokus inkuirinya. Ketika pengkajian berlangsung peneliti dapat melibatkan para partisipan dengan meminta bantuan dalam menempatkan individu-individu atau latar tertentu lainnya yang kira-kira sebagai aspek-aspek penting dari fenomena yang dikaji. Para partisipan juga bisa diminta untuk memberikan respon terhadap pola-pola dan thema-thema permulaan yang telah mengembangkan penganalisisan data. Akhirnya, para partisipan penelitian diundang untuk memberikan tanggapan terhadap hasil-hasil pengkajian untuk menentukan apakah peneliti telah menangkap realita dari pengalaman-pengalaman mereka. Beberapa orang peneliti ‘merundingkan hasil’ kajian mereka dengan para partisipan penelitian, dan tidak akan melaporkan hasil yang belum disetujui oleh para partisipan (Lincoln dan Guba, 1985). Keterlibatan yang berlangsung dengan para partisipan kajian menggarisbawahi pentingnya pendekatan terbuka untuk memperoleh akses dari permulaan kajian.

Pengamat partisipan, memerlukan peneliti untuk berada di lapangan atau berada di latar alami di mana fenomena yang dikaji berada. Kita dapat melihat sekilas pada sejenis pengamat partisipan dari sebuah film terkenal pada tahun 1970-an berjudul Being There. Pemain atau aktor Peter Sellars secara menyedihkan menggambarkan Chance Gardener, seorang pria yang mengalami keterbelakangan mental. Intinya, Chance mengambil secara harfiah apa yang dikatakan oleh para pemain lainnya dan memberikan respon dengan suatu keluguan yang manis pada pernyataan-pernyataan dan permintaan-permintaan mereka, suatu keluguan yang membuat para pelaku lain menyayangi dia. Chance juga seorang pengamat yang cermat, yang jarang berbicara tetapi sangat hati-hati dalam pembicaraannya. Kita mungkin menganggap bahwa Chance sebagai seorang pengamat partisipan yang dengan segala hal ‘berada di sana’, berfungsi tanpa interpretasi, memasuki ‘melalui pandangan dan suara’ (tanpa terlihat dan terdengar) ke dalam apa yang telah terbuka.

Tantangan bagi peneliti kualitatif untuk berada di sana dikacaukan oleh tugas untuk juga menjadi tidak terlihat, sebagai seorang peneliti (Berg, 1989; Stoddart, 1986). Peneliti kualitatif berasumsi bahwa kehadirannya akan mendapatkan reaksi dari para partisipan di latar dalam berbagai ukuran, namun dengan berasumsi suatu kehadiran yang tidak menonjolkan diri peneliti meminimalkan reaktifitas ini. Terutama melalui proses keterlibatan yang diperpanjang waktunya bahwa status dari peneliti pengamat partisipan menjadi kurang menonjol, seperti terbukti di dalam percakapan dan perilaku para partisipan. Stoddart (1986) mencatat bahwa agar supaya tidak terlihat dipermudah dengan berpartisipasi di dalam kegiatan-kegiatan yang berlangsung dari para partisipan, tanpa menimbulkan perhatian khusus terhadap dirinya, bukan mengambil postur dari seorang peneliti yang mencari objektifitas.

Akan tetapi seberapa jauh seseorang berpartisipasi atau berusaha untuk menyesuaikan diri ke dalam latar dan dengan para partisipan yang dikaji seseorang? Ini bukan merupakan suatu keputusan sederhana, serta bukan seseorang yang tetap konstan di sepanjang kajian tersebut. Sekali lagi kita diarahkan oleh konsep Polanyi tentang ‘penempatan diri’. Apa yang akan mendikte seberapa jauh kita sebagai seorang partisipan dan seberapa jauh kita sebagai seorang pengamat pada saat tertentu adalah keputusan kita sendiri tentang apa yang diambil untuk memahami situasi dari dalam ke luar. Menurut kata-kata Patton (1990:128), ‘Tantangan adalah menggabungkan partisipan dan pengamatan sehingga semakin mampu memahami program tersebut [latar, para partisipan] sebagai orang dalam sewaktu menggambarkan program bagi orang-orang luar’. Ini seringkali merupakan keseimbangan halus, orang yang semakin lebih mudah untuk memperoleh pengalaman (Maykut, 1994:69 – 72).

Kendati, sebagai akibat hadirnya peneliti di tempat itu, lingkungan yang dimasuki peneliti itu tidak sama dengan biasanya, peneliti harus berusaha memperkecil pengaruh tersebut. Ia harus bertindak sedemikian rupa sehingga kejadian-kejadian yang terjadi pada waktu ia melakukan pengamatan tidak jauh berbeda dengan kejadian-kejadian yang terjadi pada waktu ia tidak ada di sana. Oleh karena itu, peneliti harus berusaha mendapatkan kepercayaan subjek; artinya menjalin hubungan baik dengan mereka (Bogdan dan Taylor, 1975). Jadi dengan kepercayaan subjek pada diri peneliti memungkinkan peneliti untuk secara leluasa mengajukan berbagai pertanyaan pada satu sisi, dan pada sisi lain memmungkinkan subjek atau informan untuk memberikan jawaban secara terbuka. Dengan demikian akan mendukung perolehan data dapat dipercaya keabsahannya.

Secara ringkas tentang strategi akses ke lapangan ini Neuman (2000:353) mengetengahkan sebagai berikut, “Memasuki suatu lapangan memerlukan suatu strategi atau perencanaan yang fleksibel, merundingkan akses dan hubungan dengan para anggota, dan menentukan bagaimana menyingkap tentang penelitian pada para anggota atau penjaga pintu lapangan. “ Strategi Neuman tersebut dilukiskan dalam gambar berikut (lihat Gambar Tangga Akses).

Gambar Tangga Akses

Pada intinya bahwa kehadiran peneliti di lapangan betul-betul berusaha untuk menjadi dekat (get close) dengan orang-orang dilapangan. Dengan menjadi dekat ini memungkinkan untuk memperoleh data faktual dan memperoleh kutipan-kutipan penting. Sebagaimana dikatakan oleh John Lofland (1971:4) bahwa komitmen untuk menjadi dekat, menjadi faktual dan quotative, merupakan komitmen yang signifikan untuk merepresentasikan para partisipan dalam istilah-istilah mereka sendiri. Ini tidak berarti bahwa seseorang menjadi apologis bagi mereka, tetapi lebih bahwa seseorang menggambarkan dengan tepat apa yang berlangsung dalam kehidupan mereka dan seperti apa kehidupan itu bagi mereka. Peneliti dapat mengambil “peran” sehingga para partisipan dapat memberikan pemahaman tentang percakapan sehari-hari (day-to-day talk), aktivitas-aktivitas sehari-hari (day-to-day activities), perhatian dan masalah sehari-hari (day-to-day concerns and problems). Konsekuensi metodolgis yang utama dalam komitmen ini adalah bahwa studi kualitatif tentang orang-orang dalam suatu latar merupakan suatu proses penemuan. Ini memerlukan suatu proses belajar tentang apa yang sedang terjadi. Karena bagian utama tentang apa yang sedang terjadi diberikan oleh orang-orang dalam istilah-istilah mereka sendiri, seseorang (peneliti) mesti menemukan tentang istilah-istilah itu. Ini adalah tugas peneliti untuk nenemukan apa yang fundamental dan sentral bagi orang-orang yang diteliti.

INSTRUMEN MANUSIA

Kebiasaan yang berlaku dalam penelitian konvensional (kuantitatif) bahwa insrumen penelitian itu tiada lain adalah berupa pensil dan kertas atau alat-alat apapun yang berupa benda (seperti kertas, pensil, tape recorder, dan lain sebagainya) yang digunakan sebagai alat untuk merekam informasi atau data yang diperoleh. Semua perangkat itu dalam penelitian kualitatif disebut dan dipergunakan sebagai alat bantu semata.

Dalam penelitian kualitatif, instrumen penelitian adalah manusia, yakni peneliti itu sendiri atau orang lain yang terlatih. Data yang akan diperoleh dalam penelitian kualitatif adalah berupa kata-kata (bahasa), tindakan, atau bahkan isyarat atau lambang. Untuk dapat menangkap atau menjelaskan data yang demikian itu, maka manusia sebagai instrumen penelitian yang paling tepat.

Penggunaan manusia sebagai instrumen bukan merupakan suatu konsep yang baru. Memang, anthropologi klasik atau kuno pada dasarnya menggunakan instrumen-instrumen lainnya, dan banyak dari tradisi tersebut telah dipelihara di dalam sosiologi modern, sekurang-kurangnya cabang yang secara kontinyu sangat bertumpu pada kajian-kajian lapangan. Akan tetapi bahkan sebagian dari para ahli penelitian konvensional telah mengetahui bahwa manusia dapat memberikan data yang sangat dekat seterpercaya seperti yang dihasilkan oleh cara-cara yang “lebih objektif” (Lincoln dan Guba, 1985:192).

Instrumen adaptif terbuka (open-ended adaptive instrument) adalah manusia, yang seperti ‘bom cerdas’ (smart bomb), dapat mengidentifikasi dan memberangkatkan caranya ke (sampel purposif) target tanpa diprogram secara persis untuk menemukannya. Manusia menemukan alat-alat pengumpulan data tertentu lebih serasi daripada yang lainnya; mereka cenderung ke arah penggunaan metode kualitatif yang “mengembangkan” wawasan manusia: penglihatan, pendengaran, dan “pemahaman-keenam” yang tak terucapkan (tacit “sixth-sensing”) yang mengarahkan seseorang ke observasi, wawancara, analisis dokumen, dan sejenisnya (Lincoln dan Guba, 1985:43).

Kita mungkin merasa heran tentang apa yang akan memungkinkan bagi para investigator yang terlatih untuk melakukan “penelitian yang penuh pertimbangan atau sistematis”. Secara jelas apa yang membuat data valid adalah “akses istimewa” dengan “intensitas dan durasi yang cukup memadai”. Hanya karakteristik inilah yang kita harapkan untuk dimiliki.

Meskipun dapat dipastikan menarik untuk mencatat bahwa fungsi-fungsi manusia-sebagai-instrumen dengan kondisi-kondisi penentu yang baik, minat kita dalam manusia-sebagai-instrumen pada dasarnya berakar dari kenyataan bahwa dalam kajian-kajian yang didasarkan secara naturalistik segala hal adalah tidak dapat ditentukan. Ini tidak seperti seolah-olah kita mempunyai sebuah pilihan menggunakan satu bentuk instrumentasi atau bentuk lainnya; para naturalis tidak mempunyai pilihan karena hanya instrumen manusialah yang mempunyai karakteristik yang perlu untuk menangani situasi yang tidak menentukan tersebut!

Guba dan Lincoln, 1981) menjelaskan penyelidikan tentang manusia-sebagai-instrumen memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:

Kepekaaan (Responsiveness)

Manusia-sebagai-instrumen dapat merasakan dan merespon semua isyarat pribadi dan lingkungan yang ada. Dengan dasar kepekaan tersebut dia dapat berinteraksi dengan situasi untuk merasakan dimensinya dan membuatnya eksplisit.

Kemampuan Beradaptasi (Adaptability)

Kita telah mencatat keseimbangan antara kesempurnaan dan kemampuan beradaptasi. Suatu instrumen yang sempurna bagi pengukuran beberapa faktor secara ucapan tidak bermanfaat untuk mengukur faktor lainnya. Tetapi manusia, tidak sempurna sebagai manusia, pada dasarnya dapat diadaptasikan dengan cara tertentu. Tujuan ganda manusia dapat mengumpulkan informasi tentang faktor-faktor ganda – dan tingkat-tingkat ganda – secara simultan. Bagaikan sebuah bomb yang cerdik, instrumen manusia dapat melokasikan dan menghantam sebuah target tanpa diprogram awal sebelumnya untuk melakukan hal demikian.

Penekanan Keseluruhan (Holistic emphasis)

Dunia setiap fenomena dan konteks di sekelilingnya adalah “semuanya dari sepotong”, dan instrumen manusia adalah satu-satunya yang cukup mampu menggapai semua rasa yang membingungkan dalam satu pandangan.

Pengembangan Dasar Pengetahuan (Knowledge base expansion)

Instrumen manusia mempunyai kompetensi untuk berfungsi secara serentak di dalam domain-domain proposisional dan pengetahuan yang tersembunyi (lebih dari yang di bawah). Seperti yang kami komentari tahun 1981, “Mengembangkan kesadaran tentang suatu situasi di luar pengetahuan proposisional saja pada tempat yang dirasakan, pada simpati-simpati yang tidak terucapkan, pada keinginan-keinginan yang tidak disadari, dan pada penggunaan-penggunaan sehari-hari yang tidak teruji akan memberikan kedalaman dan kekayaan pada pemahaman kita tentang setting-setting sosial dan organisasional”.

Kesegeraan Proses (Processual immediacy)

Dengan “kesegeraan proses” dimaksudkan kemampuan instrumen manusia (dan hanya instrumen manusia) untuk meproses data segera setelah data tersebut tersedia atau mencukupi, untuk menghasilkan hipotesis di tempatnya, dan untuk menguji hipotesis-hipotesis tersebut dengan para responden dalam situasi-situasi di mana diciptakan.

Kesempatan untuk Klarifikasi dan Pembuatan Rangkuman.(Opportunities for clarification and summarization.

Instrumen manusia mempunyai kemampuan yang unik dalam merangkum data di tempat penelitian dan memberikan umpan balik kembali kepada para responden untuk klarifikasi, koreksi, dan penguatan.

Kesempatan untuk Menyelidiki atau Respon-respon Ideosinkratis (Opportunity to explore a typical or idiosyncratic responses)

Respon-respon yang tidak tipikal tidak mempunyai manfaat pada instrumen biasa; ini bahkan harus dicabut atau dibuang karena tidak dapat dikode atau jika tidak demikian merupakan pemborosan. Instrumen manusia dapat mengembangkn respon-respon seperti tersebut tidak hanya untuk menguji validitasnya tetapi juga untuk mencapai tingkat pemahaman dibandingkan dengan kemungkinan sebaliknya.

Ini semua sungguh merupakan suatu keuntungan yang luar biasa! Namun, sudah barang tentu, tidak akan berarti jika instrumen manusia juga tidak dapat dipercaya. Di sini kita bisa membuat dua poin. Yang pertama, dapat dipercayanya instrumen manusia dapat diukur dengan cara yang sama seperti dapat dipercayanya semua instrumen kertas-dan-pensil. Yang kedua, instrumen manusia mempunyai kemampuan untuk memperbaiki seperti semua keragaman yang lainnya. Tidak ada investigator konvensional mengharapkan semua instrumen yang sempurna – sebernarnya jika tidak dikembangkan terlebih dahulu, dan mungkin tidak akan pernah. Memang, ini merupakan pengalaman lembaga-lembaga pengembangan-test (seperti the Educational Testing Service) yang mana percobaan-percobaan dan revisi ekstensif biasanya perlu dilakukan sebelum suatu instrumen dapat dianggap secara minimal dapat diterima. Dan sudah barang tentu hal yang sama benarnya tentang instrumen manusia. Kita tidak akan berharap bahwa individu-individu berfungsi secara memadai karena instrumen-instrumen manusia tanpa adanya latar belakang pelatihan dan pengalaman. Dan penampilan mereka dapat diperbaiki. Untungnya manusia mempunyai karakteristik lain yang penting – kemampuan untuk belajar dan mengambil keuntungan dari pengalaman. Jika belajar tersebut diarahkan oleh seorang penasehat, perbaikan-perbaikan yang mengagumkan dalam penampilan instrumen manusia dapat diperoleh. Tidak ada alasan untuk percaya bahwa manusia tidak dapat mendekati suatu tingkat keterpercayaan yang serupa dengan test-test terstandar yang biasa – dan untuk tujuan-tujuan tertentu, dengan adanya karakteristik-karakteristik khusus yang telah digambarkan seperti di atas, bahkan tingkat-tingkat yang lebih tinggi.

Dalam proses pengumpulan data, walaupun manusia sebagai instrumen dipercaya memiliki banyak kelebihan, itu tidak berarti peneliti hanya cukup mambawa dirinya ke lapangan. Bagaimanapun juga, peneliti memerlukan seperangkat alat bantu lain untuk merekam informasi atau data di lapangan, seperti alat-alat tulis (pensil), kertas, tape recorder, kamera, dan lain sebagainya.

DATA PENELITIAN KUALITATIF

Bagi peneliti penelitian kualitatif, sebelum mengumpulkan data harus terlebih dahulu mengetaui data kualitatif itu seperti apa. Ini penting sehingga dia paham apa yang sedang dicarinya.

Data kualitatif adalah apa yang dikatakan oleh orang-orang yang diajukan seperangkat pertanyaan oleh peneliti. Apa yang orang-orang katakan itu menurut Patton (1980:30) merupakan sumber utama data kualitatif, apakah apa yang mereka katakan diperoleh secara verbal melalui suatu wawancara atau dalam bentuk tertulis melalui analisa dokumen, atau respon survey. Lebih konkrit lagi, Patton (1980:36) mengatakan bahwa pada dasarnya data kualitatif itu terdiri dari petikan-petikan dari orang-orang dan deskripsi tentang situasi, peristiwa, interaksi, dan peristiwa. Tujuan data ini adalah untuk memahami sudut pandang dan pengalaman orang lain. Neuman (2000:148) mengungkapkan hal senada bahwa data itu adalah dalam bentuk kata-kata, termasuk kutipan-kutipan atau deskripsi peristiwa-peristiwa khusus. Selanjutnya Neuman (2000:417) mengetengahkan bahwa data kualitatif adalah dalam bentuk teks, kata-kata tertulis, frase-frase, atau simbol-simbol yang mendeskripsikan atau mempresentasikan orang-orang, tindakan-tindakan, dan peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sosial. Menurut Bogdan & Biklen (1982:106) bahwa yang dimaksud dengan data adalah bahan-bahan kasar (rough materials) yang dikumpulkan para peneliti dari dunia (lapangan) yang ditelitinya; bahan-bahan itu berupa hal-hal khusus yang menjadi dasar analisa. Data meliputi bahan-bahan yang direkam secara aktif oleh orang yang melakukan studi, seperti transkrip wawancara dan catatan dari lapangan hasil observasi pelibatan. Data juga meliputi apa-apa yang diciptakan orang lain dan yang ditemukan peneliti, misalnya buku harian, foto, dokumen resmi, dan artikel surat kabar. Data meliputi baik bukti nyata maupun petunjuk (atau pertanda). Jika dikumpulkan secara seksama, data merupakan fakta segar yang dapat menghemat penulisan yang akan anda kerjakan. Data membuat anda berpijak di dunia empiris dan, bila dikumpulkan dengan sistematis dan ketat, akan menghubungkan riset kualitatif dengan bentuk-bentuk sains lainnya. Data mencakup hal-hal khusus yang perlu anda pikirkan baik-baik dan dalam-dalam tentang segi-segi kehidupan yang hendak anda selidiki. Sebagaimana yang Patton (1980:303) katakan bahwa data kasus (kualitatif) terdiri dari semua informasi yang seseorang miliki tentang kasus itu. Data kasus mencakup seluruh data wawancara, data observasi, data dokumen, kesan-kesan dan pernyataan orang-orang lain tentang kasus itu, dan data pada waktunya, sebenarnya, semua informasi yang seseorang kumpulkan tentang kasus-kasus khusus atau kasus-kasus dalam pertanyaan. Ini adalah data mentah untuk analisis kasus, dan dapat bertambah pada kumpulan informasi yang besar. Pada data kasus tingkat undividual dapat mencakup catatan klinis, informasi statistik tentang orang, informasi latar belakang, profil kisah kehidupan, dan diari. Pada data kasus tingkat program dapat mencakup dokumen-dokumen program, laporan program, wawancara dengan partisipan dan staf program, observasi program, dan sejarah program.

Khusus mengenai data observasi, Patton (1980:124) menjelaskan bahwa tujuan data observasi adalah untuk mendeskripsikan latar yang diobservasi; kegiatan-kegiatan yang terjadi dalam latar itu; orang-orang yang berpartisipasi dalam kegiatan; dan makna latar, kegiatan, dan partisipasi mereka pada orang-orang itu. Laporan observasi harus termasuk detil deskripsi yang memadai untuk memungkinkan seseorang mengetahui apa yang telah terjadi dan bagaimana hal itu terjadi. Sedangkan cara-cara untuk mengumpulkan data observasi menurut Lofland (1971:93) adalah termasuk observasi partisipan, observasi lapangan, observasi kualitatif, observasi langsung, atau penelitian lapangan. Semua istilah ini mengarah pada lingkungan dalam atau sekitar latar sosial yang sedang berlangsung dengan maksud membuat analisis kualitatif tentang latar itu.

Para peneliti kualitatif memandang banyak aspek dalam kehidupan sosial sebagai kualitatif secara intrinsik. Bagi mereka, data kualitatif adalah makna (meaningful), bukan kurang, dan isu-isu sentral bukan bagaimana mengubah data ke dalam variabel-variabel yang dapat dinyatakan dengan jumlah-jumlah objektif, lebih dari itu, mereka perhatian pada masalah-masalah demikian sebagai aksessibilitas (sub) budaya lain, relativitas jumlah pelaku pada dunia sosial mereka dan hubungan antara deskripsi sosiologis dan konsep-konsep pelaku tentang tindakan-tindakan mereka (Halfpenny, 1979:803 dalam Neuman, 2000:144).

Beberapa orang percaya bahwa data kualitatif adalah “lembut” (“soft”), tidak dapat dinyatakan secara jelas (intangiable), dan bukan material (immaterial). Data yang demikian begitu tidak jelas dan sukar dipahami sehingga para peneliti tidak dapat mengungkapnya secara nyata. Data kualitatif adalah data empiris. Data itu termasuk dokumen peristiwa nyata, rekaman apa yang mereka nyatakan (dengan kata-kata, isyarat, nada), observasi perilaku spesifik, studi dokumen tertulis, atau menguji kesan visual. Semua data itu adalah aspek-aspek konkret suatu dunia. Tidak sebagaimana para peneliti kuantitatif yang mengubah ide atau aspek dunia sosial ke dalam variabel-variabel umum untuk membentuk hipotesis, para peneliti kualitatif meminjam ide-ide dari orang-orang yang mereka studi ketika mereka menguji suatu kasus spesifik dalam konteksnya atau latar alamiah khusus. Kategori-kategori teoritik yang parapeneliti kualitatif gunakan untuk memahami dan menginterpretasi dunia sosial seringkali dalam bentuk grounded theory. Teori-teori itu adalah motif-motif, tema-tema, perbedaan-perbedaan, dan ide-ide yang peneliti ciptakan sebagai bagian proses pengumpulan dan analisa data kualitatif (Neuman, 2000:145).

Data kualitatif terdiri dari deskripsi situasi, peristiwa, orang, interaksi, dan perilaku terobservasi yang mendetil; pertanyaan-pertanyaan yang terarah dan orang-orang tentang pengalaman, sikap, kepercayaan, dan pikirannya; serta kutipan atau seluruh bagian dari dokumen, korespondensi, dan sejarah suatu kasus.

Deskripsi mendetil, kutipan langsung, dan dokumentasi kasus dalam penelitian kualitatif merupakan data mentah (raw data) dari dunia empiris. Data itu tidak terbatas agar menemukan apa makna kehidupan, pengalaman, dan interaksi mereka bagi dirinya dalam istilah (term) sendiri dan dalam latar budaya mereka sendiri (Patton, 1980:22).

Kedalaman dan detil data muncul melalui petikan langsung dan deskripsi yang hati-hati. Tingkat kedalaman detil data itu akan berbeda-beda tergantung pada sifat dan tujuan studi tertentu. Pada tingkat yang paling sederhana, kedalaman dan detil bisa jadi muncul dari respon pada pertanyaan-pertanyaan terbuka. Suatu contoh yang baik perbedaan kedalaman dan detil yang diperoleh dari pertanyaan-pertanyaan terbuka melawan item-item pertanyaan questionnaire yang terstandar dapat diobservasi dengan membandingkan dua jenis data dari satu studi tunggal (Patton, 1980:22).

Kutipan langsung merupakan sumber dasar data mentah dalam pengukuran (penelitian) kualitatif, yang menyatakan tingkatan emosi responden, suatu cara di mana mereka telah mengorganisir dunianya, pikiran-pikirannya tentang apa yang sedang terjadi, pengalamannya, dan persepsi-persepsi dasarnya. Tugas para ahli metode kualitatif adalah memberikan kerangka kerja sehingga orang-orang dapat merespon dalam suatu cara yang mempresentasikan secara akurat atau keseluruhan pandangan-pandangannya tentang dunia, atau bagian dari dunia mengenai apa yang sedang mereka bicarakan (Patton, 1980:28).

Kebenaran data adalah apa yang benar-benar diungkapkan oleh subjek penelitian, yang mereka katakan pada saat dia diwawancarai. Ungkapan mereka tentang persepsinya, perasaannya, dan pengetahuannya tentang suatu fenomena adalah data yang akurat, yang menjadi tujuan setiap penelitian kualitatif. Untuk mengungkap ini biasanya dengan wawancara. Seperti yang Patton (1980, 29) katakan bahwa cara utama yang dilakukan oleh para ahli metodologi kualitatif untuk memahami persepsi, perasaan, dan pengetahuan orang-orang adalah wawancara mendalam dan intensif.

Kebenaran muncul tidak seabagai satu pandangan yang objektif, melainkan sebagai gambar campuran tentang bagaimana pendapat orang terhadap fenomena (dunia) dan terhadap sesamanya. Sebagaimana halnya orang yang berlainan bisa menafsirkan hal yang sama secara berbeda, orang yang sama pun mungkin dapat mempunyai interpretasi yang berbeda tentang sesuatu hal yang sama pada saat yang berbeda. Perspektif seseorang terhadap suatu kejadian atau pengalaman dapat berubah bersama dengan berubahnya waktu. Dengan demikian, peneliti kualitatif mungkin akan menemui subjek-subjek yang kelihatannya tidak konsisten dalam pernyataan dan tingkah laku mereka. Misalnya bagaimana orang-orang menilai atau memberikan persepsi tentang seseorang yang kaya raya di suatu daerah, misalnya si “A”. Saat anda bertanya pada si “B” mungkin dia mempersepsikan bahwa kekayaan “A” itu karena hasil kerja kerasnya sendiri, tapi si “C” dan seterusnya bisa jadi mempersepsikan bahwa kekayaan “A” itu karena warisan kekayaan orangtua atau mertuanya; atau ragam persepsi lainnya. Ini menunjukkan bahwa orang-orang yang berbeda mempersepsikan suatu hal yang sama secara berbeda. Tetapi si “B” itu sendiri, misalnya, pada saat berbeda karena berbagai situasi atau lingkungan bisa berubah persepsinya. Dia mungkin mengatakan bahwa kekayaan “A” itu hasil korupsi di kantornya. Ini menunjukkan persepsi seseorang berbeda terhadap suatu hal yang sama pada waktu yang berbeda.

Sebagai peneliti kualitatif, tugas peneliti adalah menembus pengertian akal sehat tentang “kebenaran” dan “kenyataan.” Apa yang kelihatannya keliru atau tidak konsisten menurut perspektif dan logika peneliti mungkin, menurut subjek anda, tidak demikian. Dan, kendati anda tidak harus sependapat dengan pandangan subjek terhadap dunia ini, anda harus dapat mengetahui, menerima, dan menyajikan pandangan mereka itu sebagaimana adanya (Bogdan dan Taylor, 1975). Misalnya, jika kita mewawancarai seorang pimpinan ketika perusahaan atau lembaganya memperoleh suatu penghargaan; mungkin sekali dia memberikan jawaban atau informasi secara terbuka dan mendetil. Waktu itu ia perasaannya senang karena banyak memperoleh ucapan selamat dari berbagai individu dan lembaga lain atas keberhasilan mengelola lembaganya. Namun pada waktu perusahaannya mengalami masalah (gagal), maka dia bisa jadi enggan atau menolak untuk diwawancarai, dan jika maun diwawancarai mungkin dia memberikan informasi yang menurut anda tidak rasional. Dalam hal yang demikian peneliti tetap menerima dan menyajikan informasi itu apa adanya.

Data penelitian kualitatif dan kuantitatif itu sama-sama berkualitas. Apa arti data yang berkualitas tinggi bagi penelitian lapangan (kualitatif)? Apakah yang dimaksud dengan data berkualitas tinggi di dalam penelitian lapangan, dan apa yang harus dilakukan seorang peneliti untuk memperoleh data seperti itu. Bagi seorang peneliti kuantitatif, data yang berkualitas tinggi adalah reliable dan valid; yaitu memberikan pengukuran yang tepat, konsisten pada kebenaran “tujuan-tujuan” yang sama bagi semua peneliti. Suatu pendekatan interpretif menyarankan tentang suatu jenis kualitas data yang berbeda. Bukan mengasumsikan data kebenaran ojekif tunggal, para peneliti lapangan berpendapat bahwa para anggota secara subjektif menginterpretasikan pengalaman di dalam suatu konteks sosial. Apa yang nggota terima menjadi suatu yang benar adalah berasal dari interaksi sosial dan interpretasi. Dengan demikian, data lapangan yang kualitas yang tinggi menangkap proses-proses yang demikian itu dan memberikan suatu pemahaman tentang sudut pandangan anggota.

Seorang peneliti lapangan tidak mengeliminasi pandangan subjektif untuk memperoleh data yang berkualitas; namun, data yang kualitas mencakup respon dan pengalaman subjektif. Data lapangan yang berkualitas merupakan deskripsi yang terinci dari penenggelaman peneliti dan pengalaman otentik di dalam dunia social para anggotanya (Neuman, 2000:368).

Reliabilitas Penelitian Lapangan. Reliabilitas data lapangan menjawab pertanyaan: apakah observasi peneliti tentang seorang anggota atau peristiwa lapangan secara internal dan konsisten secara eksternal? Konsistensi internal dimaksudkan ialah apakah data dapat dipercaya memberikan semua yang diketahui tentang seseorang atau peristiwa, menghapuskan bentuk umum tentang penipuan manusia. Dengan kata lain, melakukan hal-hal yang kecil yang cocok semuanya ke dalam suatu gambar yang melekat? Sebagai contoh, apakah tindakan seorang anggota konsisten sepanjang waktu dan dalam konteks sosial yang berbeda?

Konsistensi eksternal dicapai dengan memverifikasikan suatu pengamatan cross-checking dengan yang lain, sumber data yang menyebar. Dengan kata lain, apakah semua itu sesuai dengan konteks secara keseluruhan? Sebagai contoh, apakah dapat pihak lain memverifikasikan apa yang diamati peneliti tentang seseorang? Apakah bukti lain memperkuat pengamatan peneliti?

Reliabilitas di dalam penelitian lapangan juga memasukkan apa yang tidak dikatakan atau dilakukan, tetapi diharapkan atau diantisipasi. Penghilangan seperti itu atau data nol dapat signifikan tetapi sulit untuk dideteksi. Sebagai misal, ketika mengamati seorang kasier mengakhiri pergantian waktu tugasnya, peneliti memperhatikan atau mengamati bahwa uang yang ada di laci tidak dihitung. Dia bisa memperhatikan penghilangan hanya jika kasir-kasir lainnya selalu menghitung uang pada akhir waktu pergantiannya.

Reliabilitas di dalam penelitian lapangan tergantung pada wawasan, kesadaran, kecurigaan dan pertanyaan peneliti. Dia melihat seorang anggota dan peristiwa darisudut yang berbeda (hukum, ekonomi, politis, pribadi) dan secara mental mengajukan pertanyaan: Di manakah uang tersebut berasal untuk hal itu? Apakah yang dilakukan orang-orang tersebut sepanjang hari?

Para peneliti lapangan tergantung pada apa yang diceriterakan kepada mereka. Ini membuat kredibilitas para anggota dan pernyataan mereka menjadi bagian dari reliabilitas. Untuk mengecek kredibilitas anggota, seorang anggota mengajukan sebuah pertanyaan: Apakah orang tersebut mempunyai alasan untuk berbohong? Apakah dia dalam posisi untuk mengetahui hal tersebut? Apakah nilai-nilai seseorang dan bagaimana hal ini membentuk apa yang dikatakannya? Apakah dia hanya mengatakan hal itu untuk menyenangkan saya? Apakah ada hal yang mungkin membatasi spontanitasnya? Banyak pengalaman berharga yang diperoleh dari lapangan bagaimana responden memberikan jawaban yang tidak sebenarnya melainkan demi menyenangkan orang atau lembaga yang melakukan penelitian pada satu sisi, dan untuk kesenangan diri dan anggotanya (kelompoknya) yang lain. Ini biasanya terjadi pada penelitian-penelitian proyek yang didanai pemerintah. Peneliti mungkin bertanya, “Apakah program yang Bapak lakukan berjalan dengan lancar?” Ia akan menjawab, “Ya, betul Pak. Semua program telah berjalan sebagaimana yang diharapkan. Sungguh, sangat berhasil!” Jawaban yang demikian menunjukkan bahwa program itu berhasil, dan biasanya jika program itu dikatakan berhasil maka pihak pemberi dana (pemerintah) senang dan cenderung kucuran dana pun akan mengalir. Peristiwa yang demikian merupakan tantangan tersendiri bagi peneliti kualitatif, khususnya bagi pemula, untuk mampu mengungkap informasi (data) yang betul-betul akurat.

Para peneliti lapangan mengambil subjektifitas dan konteks ke dalam perhitungan ketika mereka mengevaluasi kredibilitas. Mereka mengetahui bahwa pernyataan atau tindakan seseorang dipengaruhi oleh persepsi subjektif. Pernyataan dibuat dari suatu sudut pandangan khusus dan diwarnai oleh pengalaman individu. Disamping mengevaluasi masing-masing pernyataan untuk mengetahui apakah itu benar, seorang peneliti lapangan merasakan bahwa pernyataan adalah sangat bermanfaat bagi diri mereka sendiri. Bahkan pernyataan dan tindakan yang tidak akurat dapat dinyatakan dari perspektif seorang peneliti.

Seperti yang disebutkan sebelumnya, tindakan dan pernyataan terbentuk oleh konteks di mana hal itu muncul. Apa yang dikatakan di suatu latar mungkin berbeda dalam konteks yang lainnya. Sebagai contoh, jika bertanya “Mau berdansa?” seorang anggota mungkin mengatakan tidak di tempat umum yang penuh dengan para penari yang hebat, tetapi mengatakan ya di tempat yang semi pribadi dengan beberapa penari yang baik dan musik yang berbeda. Ini bukan berarti bahwa anggota tersebut berbohong tetapi jawaban tersebut terbentuk oleh konteks.

Hambatan-hambatan lain pada reliabilitas meliputi perilaku yang dapat salah arah bagi seorang peneliti: misinformasi, evaluasi, kebohongan dan penipuan. Misinformasi adalah kesalahan yang tidak disengaja yang disebabkan oleh ketidakpastian dan kompleksnya kehidupan. Sebagai contoh, para perawat di sebuah rumah sakit menyatakan sesuatu seperti “ kebijakan rumah sakit resmi” jika, kenyataannya, tidak ada kebijakan seperti itu secara tertulis.

Penghilangan adalah tindakan yang disengaja untuk menghindarkan atau tidak menyatakan informasi. Penghilangan yang umum dilakukan ialah tidak menjawab pertanyaan, menjawab pertanyaan yang berbeda daripada ditanya, mengalihkan topik-topik, atau menjawab suatu kekaburan yang disengaja dan bersikap meragukan. Sebagai contoh, seorang salesman terlihat tidak nyaman ketika topik dengan menggunakan gadis panggilan meminta seorang pelanggan datang pada pesta makan malam. Dia menyatakan “Ya, banyak orang menggunakannya”. Tetapi kemudian, sendiri, setelah bertanya secara hati-hati, salesman tersebut pergi keluar dan menyatakan bahwa dia sendiri melakukan kebiasaan tersebut.

Berbohong adalah ketidakbenaran ditujukan untuk menyalaharahkan atau membelokkan atau memberikan suatu pendapat yang salah. Sebagai contoh, seorang anggota gang memberikan kepada seorang peneliti sebuah nama dan alamat yang salah, atau seorang pendeta gereja memberikan suatu gambaran keanggotaan yang menggelembung agar kelihatan lebih berhasil. Douglas (1976:73) mencatat, “di semua latar penelitian yang lain saya telah mengetahui secara terinci, berbohong adalah hal biasa, baik di antara bagi anggota dan bagi para peneliti, khususnya tentang hal-hal yang benar-benar penting bagi para anggota”.

Menipu adalah kebohongan bersama dan dipelajari serta penipuan. Ini termasuk penggunaan alat-alat dan para kolaborator fisik. Sebagai contoh, sebuah bar sebenarnya adalah suatu tempat untuk membuat taruhan ilegal. Bar terlihat terlegitimasi dan menjual minuman-minuman, tetapi bisnis yang sebenarnya hanya dinyatakan dengan investigasi yang cermat.

Validitas dalam Penelitian Lapangan. Validitas di dalam penelitian lapangan ialah kepercayaan yang ditempatkan pada analisis peneliti dan data seakurat mungkin yang menggambarkan dunia sosial di lapangan. Replikabilitas bukan merupakan suatu kriteria karena penelitian lapangan pada dasarnya tidak memungkinkan untuk disalin. Aspek-aspek penting dari perubahan lapangan: Peristiwa sosial dan perubahan konteks, anggota-anggota adalah berbeda, peneliti individu adalah berbeda, dan sebagainya. Ada empat jenis validitas atau uji keakuratan penelitian: validitas ekologis, sejarah alami, validitas anggota, dan kinerja orang dalam yang berkompetensi.

Validitas ekologis adalah tingkat di mana dunia sosial digambarkan oleh seorang peneliti dipadukan dengan dunia para anggota. Ini menanyakan: Apakah latar alami digambarkan secara relatif tidak terganggu oleh kehadiran atau prosedur peneliti? Suatu proyek mempunyai validitas ekologis jika peristiwa terjadi tanpa kehadiran peneliti.

Sejarah alami adalah suatu deskripsi terinci tentang bagaimana proyek atau perencanaan dilaksanakan. Ini merupakan suatu penyingkapan sepenuhnya dan apa adanya tentang tindakan, asumsi dan prosedur seorang peneliti bagi orang lain untuk dievaluasi. Suatu proyek adalah valid dalam hal sejarah alami jika orang luar melihat dan menerima situs lapangan dan tindakan peneliti.

Validitas anggota terjadi jika seorang peneliti mengambil hasil lapangan kembali untuk para anggota, yang menilai ketercukupannya… suatu proyek dikatakan valid anggota jika para anggotanya mengetahui dan memahami deskripsi peneliti yang mencerminkan kedekatan dunia sosialnya. Validasi anggota mempunyai keterbatasan karena perspektif yang berbeda pada suatu latar menghasilkan ketidaksetujuan dengan pengamatan peneliti, dan para anggota boleh menolak jika hasil tersebut tidak mencerminkan kelompok mereka dengan pandangan yang menyenangkan. Sebagai tambahan, para anggota mungkin tidak mengetahui deskripsi karena tidak berasal dari perspektif mereka atau tidak sesuai dengan tujuan mereka.

Perfoma atau kinerja orang dalam yang kompeten ialah kemampuan dari non anggota untuk berinteraksi secara efektif sebagai seorang anggota atau dilekatkan sebagai seseorang. Ini meliputi kemampuan untuk menyampaikan dan memahami gurauan orang dalam. Suatu proyek lapangan yang valid memberikan ketercukupan bumbu kehidupan sosial di lapangan, dan detil yang cukup sehingga seorang luar dapat bertindak sebagai seorang anggota. Keterbatasannya ialah bahwa tidak memungkinkan untuk mengetahui peraturan sosial bagi semua situasi. Juga, seorang luar mungkin dapat melewatinya dengan mudah karena para anggotanya bersikap sopan dan tidak ingin mencari kesalahan sosial (Neuman, 2000:368).

Interpretasi data dalam penelitian kualitatif adalah memberikan arti atau makna yang penting. Peneliti kualitatif menginterpretasi data dengan memberikannya makna, menerjemahkannya, atau membuatnya dapat dimengerti. Bagaimanapun juga, makna yang ia berikan mulai dengan sudut pandang orang-orang yang distudi. Dia (peneliti) menginterpretasi data dengan menemukan bagaimana orang-orang yang distudi melihat dunia, bagaimana mereka mendefinisikan situasi atau apa maknanya bagi mereka. Jadi langkah pertama dalam interpretasi kualitatif, apakah seorang peneliti memeriksa (examining) dokumen-dokumen historis atau teks kata-kata yang dituturkan atau perilaku manusia, adalah mempelajari tentang maknanya bagi orang-orang yang distudi. Orang-orang yang menciptakan perilaku social memiliki alasan-alasan atau motif personal untuk tindakan-tindakan mereka. Inilah interpretasi urutan-pertama (first-order interpretation). Penemuan atau rekonstruksi peneliti terhadap interpretasi urutan-pertama merupakan interpretasi urutan-kedua (second-order interpretation), karena peneliti berasal dari luar, untuk menemukan apa yang terjadi. Dalam interpretasi urutan-kedua (second-order interpretation), peneliti mendapatkan makna yang pokok atau kesan terhadap makna dalam data. Karena makna berkembang dalam seperangkat makna yang lain, bukan dalam kevakuman, interpretasi urutan-kedua menempatkan tindakan manusia yang distudi dalam “arus perilaku” (stream of behavior) atau peristiwa-peristiwa yang terkait—konteksnya.

Seorang peneliti yang mengadopsi pendekatan interpretif yang keras bisa jadi berhenti pada interpretasi urutan-kedua—yakni, sekali dia memahami makna tindakan bagi mereka yang distudi. Banyak peneliti kualitatif yang pergi lebih jauh untuk menggeneralisasikan atau mengaitkan interpretasi urutan-kedua pada teori umum. Mereka bergerak ke tingkat interpretasi yang lebih luas, atau interpretasi urutan-ketiga (third-order interpretation), di mana peneliti memberikan makna teoritikal umum (Neuman, 2000:148).

Jadi interpretasi dalam penelitian kualitatif adalah bukan bagaimana peneliti memahami dunia atau memberikan makna terhadap situasi, melainkan bagaimana orang-orang yang distudi itu memahami dunia atau memberikan makna terhadap situasi.

Tentang data kualitatif ini memang dapat membingungkan. Suatu sumber kebingungan menurut Neuman (2000:426) adalah format-format ganda pengambilan data dalam tahapan-tahapan penelitian kualitatif yang beragam. Misalnya, data penelitian lapangan adalah data mentah yang peneliti alami, data yang direkam dalam catatan lapangan, dan data yang dipilih dan diproses yang muncul dalam laporan akhir. (lihat Gambar Data Penelitian Lapangan di bawah).

Gambar Data Penelitian Lapangan

WAWANCARA MENDALAM

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian kualitatif lebih menekankan pada jenis teknik wawancara, khususnya wawancara mendalam (deep interview). Guba dan Lincoln (1981:78) menyatakan bahwa teknik ini memang merupakan teknik pengumpulan data yang khas bagi penelitian kualitatif. Hal ini senada dengan pendapat Patton (1980:29) bahwa… Cara utama yang dilakukan oleh para ahli metodologi kualitatif untuk memahami persepsi, perasaan, dan pengetahuan orang-orang adalah wawancara mendalam dan intensif (Patton, 1980:29).

Maykut (1994:79) mengemukakan bahwa dalam kajian-kajian kualitatif, wawancara sering berperanan sewaktu seseorang berperan sebagai seorang pengamat partisipan, meskipun orang-orang di tempat latar mungkin tidak menyadari bahwa percakapan informal mereka adalah wawancara. Di lapangan kadang-kadang mungkin mengatur wawancara dengan orang-orang yang menurut keyakinan peneliti bisa menambah pemahamannya tentang fenomena yang dikaji. Para partisipan setuju untuk diwawancarai untuk membantu peneliti mendapatkan fokus penelitian.

Dexter (1970) menggambarkan bahwa wawancara adalah sebuah percakapan dengan tujuan. Tujuan wawancara antara lain adalah untuk memperoleh bentukan-bentukan di-sini-dan-sekarang dari orang, peristiwa, kegiatan, organisasi, perasaan, motivasi, klaim, perhatian (concern), dan cantuman lainnya; rekonstruks tentang cantuman-cantuman seperti itu sebagaimana dialami di masa lalu; proyeksi-proyeksi dari cantuman seperti itu diharapkan akan dialami di masa mendatang; verifikasi, perbaikan, dan pengembangan informasi (pengecekan anggota) (Lincoln & Guba, 1985:268).

Dalam bukunya Research Interviewing: Context and Narative, Elliot Mishler memperjelas perbedaan antara suatu wawancara peneliti kualitatif dan bentuk-bentuk standar wawancara lainnya:

Pada intinya bahwa wawancara adalah suatu bentuk dari wacana. Gambaran-gambaran khususnya mencerminkan struktur dan tujuan wawancara yang berbeda, yaitu bahwa wacana dibuat dan diorganisir dengan menanyakan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan. Suatu wawancara adalah suatu produk bersama (joint product) tentang apa yang dibicarakan oleh orang-responden dan pewawancara dan bagaimana mereka berbicara satu sama lain. Catatan sebuah wawancara yang peneliti buat dan kemudian digunakan di dalam pekerjaan analisa dan interpretasi adalah sebuah penggambaran atau representasi dari percakapan tersebut.

Kajian kualitatif yang telah menggunakan model Mishler tentang wawancara penelitian sebagai metode pengumpulan data telah menambah pengetahuan kita secara substansial di berbagai bidang. Dalam anthropologi budaya dan sosiologi, manfaat wawancara untuk memperjelas gambaran yang menonjol tentang budaya dan pengalaman manusia mempunyai suatu sejarah yang panjang dan telah diperbaiki.

Karakter-karakter apakah yang diberikan wawancara yang disajikan dalam laporan penelitian adalah kedalaman dari percakapan, yang bergerak di luar percakapan permukaan ke suatu diskusi yang banyak tentang pemikiran dan perasaan. Beberapa gambaran situasi wawancara kualitatif membuat hal berikut mungkin.

Pertama, wawancara kualitatif rata-rata satu setengah jam hingga dua jam lamanya, memungkinkan interaksi yang diperpanjang dengan orang-responden. Kerangka waktu ini memungkinkan pewawancara yang kompeten untuk membuat hubungan dengan responden dan untuk membentuk suatu iklim kepercayaan.

Kedua, di berbagai kajian responden mendapatkan wawancara lebih dari satu kali, mengejar dalam topik wawancara berikutnya yang muncul sebagai hal yang penting dari analisa data permulaan. Jenis keterlibatan yang kuat dengan responden membuatnya lebih cenderung bahwa peneliti akan semakin memahami persepsi mereka secara lebih mendalam terhadap fenomena yang dikaji. Wawancara penelitian kualitatif secara khas berarti sebagai wawancara yang mendalam (Lincoln dan Guba, 1985; Taylor dan Bogdan, 1984).

Keterampilan tentang mewawancarai telah menjadi pokok bahasan dari berbagai buku karena merupakan keterampilan yang mempunyai penerapan yang luas. Di dalam interaksi kita sehari-hari di rumah, di tempat kerja dan di sekolah, dan evaluator program, kita belajar dengan menanyakan kepada orang lain untuk memberitahukan kepada kita dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan kita. Karakteristik dari pewawancara kualitatif yang baik sangat serupa dengan karakter dari orang-orang yang dapat meminta dan mendengar dengan penuh kearifan tentang apa yang dikatakan oleh orang lain. Akan tetapi mungkin yang paling kritis untuk menjadi seorang pewawancara kualitatif yang terampil adalah keingintahuan dan kejujuran yang mendalam tentang pemahaman mengenai pengalaman orang lain.

Untuk tujuan penelitian kualitatif, bentuk yang yang bisa diambil oleh wawancara telah digambarkan dengan berbagai cara. Yang umum pada sebagian besar deskripsi adalah suatu kontinum dari format wawancara berkisar dari format terstruktur hingga suatu format yang relatif tidak terstruktur. Struktur dari wawancara berkenaan dengan ukuran di mana pertanyaan yang diajukan kepada responden dikembangkan terlebih dahulu sebelum wawancara. Setiap format wawancara berbeda dalam tingkat keterampilan yang diperlukan dari peneliti untuk melaksanakan percakapan di sekitar tujuannya. Namun demikian, masing-masing format memberikan suatu kelaziman kritis: Pertanyaan-pertanyaan terbuka dan dirancang untuk menyatakan apa yang penting untuk memahami tentang fenomena yang dikaji.

Wawancara Terstruktur

Jenis wawancara yang terstruktur seringkali disebut sebagai suatu wawancara “terfokus”, dan yang tidak terstruktur sebagai suatu wawancara “mendalam”, “klinis’, “elite”, ‘spesialis”, atau “eksploratori” (Lincoln & Guba, 1985:268). Selanjutnya Guba & Lincoln dalam tulisannya Effective Evaluation (1981:155-156) memberikan komentarnya sebagai berikut.

Dalam wawancara terstruktur, persoalan saya definisikan dengan peneliti sebelum wawancara. Pertanyan-pertanyaan telah dirumuskan terlebih dahulu, dan responden diharapkan menjawab dalam hal-hal kerangka wawancara dan definisi atau ketentuan dari masalah. Wawancara terstruktur atau spesialisasi beragam dari model ini. Dalam wawancara tidak terstruktur, format tidak distansdardisasikan, dan pewawancara tidak mencari respon normatif. Akan tetapi, masalah yang diminati diharapkan timbul dari reaksi responden pada masalah yang luas yang dimunculkan oleh peneliti. Seperti yang ditentuklan Dexter (1970:3) bentuk wawancara ini meliputi: menekankan definisi pewawancara pada situasi; memberikan dorongan kepada responden pada struktur jawaban dari situasi tersebut; dan memberikan kesempatan kepada responden untuk memperkenalkan sebanyak-banyaknya tentang pandangan yang dianggapnya relevan, bukan bertumpu pada paham relevansi oleh investigator. Dengan demikian, tidak seperti suatu wawancara yang terfokus, atau terstandar, wawancara tidak terstruktur atau “elite” berkenaan dengan sudut pandangan individu yang unik, idiosinkratis, dan keseluruhan.

Dengan cara lain, wawancara terstruktur adalah model pilihan jika pewawancara mengetahui apa yang tidak diketahuinya dan oleh karenanya dapat membuat kerangka pertanyaan yang tepat untuk memperolehnya, sedangkan wawancara yang tidak terstruktur adalah sebuah model pilihan jika pewawancara tidak mengetahui tentang apa yang tidak diketahuinya dan oleh karena itu harus berpedoman pada responden untuk menceriterakan kepada mereka. Dalam wawancara terstruktur pertanyaan ada di tangan pewawancara dan respon terletak pada responden; di dalam wawancara tidak terstruktur pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawabannya diberikan oleh responden (“Ceriterakan kepada saya tentang pertanyaan yang harus saya berikan kepada anda dan kemudian jawablah untuk saya”) (Lincoln & Guba, 1985:269).

Wawancara tidak Terstruktur

Wawancara seperti yang digunakan di dalam inkuiri naturalistik biasanya tidak terstruktur, meskipun pada tahap-tahap selanjutnya dari inkuiri (khususnya untuk tujuan-tujuan triangulasi atau pengecekan anggota) bentuk-bentuk yang lebih terstruktur bisa didapatkan; hampir selalu terbuka sepenuhnya dan jarang menyimpang jauh dari standar untuk alasan etis; dan ini biasanya merupakan suatu wawancara mendalam (menurut pengertian Massarik) yang mana di dalamnya pewawancara dan responden bisa saling memberikan pendapat seperti layaknya teman. Lincoln & Guba, 1985:269).

Percakapan informal dimulai dan diarahkan oleh peneliti sementara di lapangan adalah merupakan tipe wawancara yang tidak terstruktur (Maykut, 1994:81). Wawancara percakapan informal adalah pendekatan fenomenologis untuk wawancara. Suatu pendekatan fenomenologis digunakan jika peneliti tidak mempunyai perkiraan tentang apa yang mungkin penting yang bisa dipelajari dengan berbicara dengan orang-orang di dalam program tersebut. Pewawancara fenomenologis ingin mempertahankan atau memelihara fleksibilitas maksimal yang dapat memburu informasi pada arah manapun yang dianggap tepat, tergantung pada informasi yang muncul dari mengamati suatu latar khusus dari berbicara dengan satu individu atau lebih di latar tersebut. Sebagian besar dari pertanyaan akan mengalir dari konteks segera. Dengan demikian, wawancara percakapan merupakan suatu alat utama yang digunakan dengan dikombinasikan dengan pengamatan partisipan untuk memungkinkan evaluasi (penelitian) siapa yang berpartisipasi di dalam beberapa kegiatan pogramatis untuk memahami alasan para partisipan lainnya terhadap apa yang sedang terjadi tidak ada perangkat yang dipastikan terlebih dahulu tentang pertanyaan yang memungkinkan dengan keadaan seperti itu, karena evaluator (peneliti) tidak mengetahui sebelumnya apa yang akan terjadi dan apa yang akan penting untuk mengajukan seperangkat pertanyaan.

Data yang dikumpulkan dari wawancara percakapan informal akan berbeda bagi masing-masing responden. Dalam banyak hal, orang yang sama mungkin diwawancarai tentang sejumlah kesempatan yang berbeda dengan menggunakan pendekatan yang informal, percakapan. Pendekatan fenomenologis secara khusus bermanfaat di mana evaluator dapat berada pada situasi selama beberapa periode waktu, sehingga dia tidak tergantung pada satu wawancara untuk mengumpulkan informasi tentang program tersebut. Pertanyaan wawancara akan berubah sepanjang waktu, dan masing-nmasing wawancara saling memperbaiki satu sama lain, mengembangkan atau memperluas informasi yang telah diambil sebelumnya, bergerak ke beberapa arah yang baru dan berusaha mengembangkan dan mengerjakan dengan secermat-cermatnya dari berbagai partisipan dalam hal-hal mereka sendiri. Pewawancara fenomenologis harus “mengikuti arus”. Tergantung pada bagaimana peran pewawancara telah ditentukan, responden mungkin tidak mengetahui selama percakapan khusus secara informal bahwa tujuan dari percakapan tersebut adalah pengumpulan data. Ini berarti bahwa dalam beberapa kasus para pewawancara fenomenologis membuat catatan selama wawancara tersebut; namun, mereka menulis apa yang telah mereka pelajari setelah mereka meninggalkan situasi wawancara atau pengamatan. Dalam hal-hal lainnya, ini dapat cocok dan nyaman untuk membuat catatan atau bahkan menggunakn sebuah tape recorder.

Kekuatan dari pendekatan fenomenologis untuk mewawancarai ialah bahwa hal itu memungkinkan pewawancara untuk responsif pada perbedaan dan perubahan situasional. Pertanyaan-pertanyaan dapat diindividualisasikan untuk membentuk komunikasi secara mendalam dengan responden dan untuk memanfaatkan lingkungan sekitar secara langsung dan situasi untuk meningkatkan kekongkritan dan segera dari pertanyaan dan jawaban wawancara. Wawancara informal, percakapan adalah suatu aliran utama dari pengamatan partisipan. Ini secara khusus bermanfaat jika pewawancara dapat menyelidiki suatu latar lapangan atau program selama periode waktu yang cukup lama sehingga suatu pangkalan data yang komprehensif terakumulasi melalui wawancara mendalam (di mana wawancara membuat informasi yang diperoleh dalam wawancara sebelumnya), dengan demikian membuat suatu gambaran yang holistik dari perubahan program dan pengembangan.

Kelemahan dari wawancara konversasional informasi ialah bahwa ini memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengumpulkan informasi yang sistematis karena perlu beberapa percakapan dengan orang-orang yang berbeda sebelum satu rangkaian pertanyaan yang serupa telah diberikan kepada masing-masing partisipan di dalam program tersebut. Wawancara percakapan informal tersebut juga lebih terbuka bagi pengaruh pewawancara di dalamnya ini tergantung pada ketrampilan percakapan dari pewawancara sejauh mana dibandingkan dengan yang dilakukan dengan format lebih formal, dan terstandar. Pewawancara fenomenologis harus dapat berinteraksi dengan mudah dengan orang-orang dalam suatu latar yang beragam, menghasilkan wawasan yang cepat, merumuskan pertanyaan dengan cepat dan halus/lancar, dan membimbing terhadap pertanyaan yang mengharuskan interpretasi tentang situasi dengan struktur dari pertanyaan tersebut. Data yang diperoleh dari wawancara percakapan informal juga sulit untuk diambil bersama-sama dan dianalisis. Karena pertanyaan yang berbeda akan menghasilkan respon yang berbeda pula, ahli fenomenologi harus menghabiskan banyak waktu melalui respon untuk memperoleh pola yang telah muncul pada poin yang berbeda dengan wawancara yang berbeda dengan orang yang berbeda. Sebaliknya, wawancara yang lebih tersistematis dan terstandar mempermudah analisis tetapi sulit memberikan fleksibilitas dalam hal dapat menjadi responsif bagi individu dan situasi yang berbeda (Patton, 1980: 198-200).

Dengan fokus penelitian seseorang yang jelas di dalam pikiran, peneliti secara arif menanyakan dan secara aktif mendengarkan agar dapat memahami apa yang penting untuk diketahui mengenai latar dan pengalaman orang yang ada di tempat latar. Percakapan yang mempunyai tujuan ini tidak dikonsep secara tercatat terlebih dahulu. Akan tetapi, peneliti mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang tepat pada kajian sebagai kesempatan yang ada, kemudian mendengarkan secara dekat kepada orang-orang yang memberikan respon terhadap isyarat-isyarat tentang pertanyaan apa yang diajukan, atau apakah kiranya penting untuk menyelidiki lebih mendalam untuk mendapatkan informasi tambahan. Jean Piaget (1926), seorang perintis awal dari metode penelitian ini, menyebutnya metode klinis. Fokus penelitiannya adalah untuk memahami lebih banyak tentang bagaimana anak-anak berfikir.

Sebagian peneliti kualitatif menggunakan wawancara tidak terstruktur atau hanya dengan metode pengumpulan data. Wawancara secara khusus adalah penting jika seseorang merasa tertarik dalam memperoleh perspektif partisipan, bahasa dan makna yang disusun oleh individu-individu (Bogdan dan Biklen, 1982). Karya William Perry menjelaskan pendekatan ini. Perry menentukan untuk menginvestigasi apa yang terbaik untuk dirangkum dalam judul laporan penelitiannya, Forms of Intellectual and Ethical Development in the Colege Year. Perry mengundang suatu sampel yang terdiri dari mahasiswa-mahasiswa pria yang belajar di Harvard University sebagai relawan yang diwawancarai tentang pengalaman mereka di sekolah tinggi. Surat undangan untuk berpartisipasi berbunyi: ‘Kami merasakan bahwa para mahasiswa dengan pendapat yang berbeda tentang pendidikan yang mungkin mereka alami di tahun-tahun mereka di sekolah tinggi dengan cara yang berbeda dan bahwa penting sekali untuk mengetahui tentang bagian dari eksistensi yang berbeda-beda ini’ (1970:17). Undangan untuk berpartisipasi di dalam kajian ini disebarkan pada akhir tahun pertama masuk. Dalam perhitungan metodologi penelitiannya, Perry (1970) menggambarkan pentingnya untuk memberikan kesempatan bagi para mahasiswa untuk saling memberikan persepsi dan istilah mereka sendiri dengan pewawancara, bukan mendapatkan pengaruh dari pewawancara terhadap respon mahasiswa melalui format wawancara yang lebih terstruktur. Setelah beberapa percobaan, Perry memutuskan cara menjalankan wawancara tersebut:

Kami terlebih dahulu menyambut baik mahasiswa, menentukan kembali minat kami dalam mendengarkan para mahasiswa tentang pengalaman mereka sendiri, dan meminta ijin (dengan jaminan kerahasiaan nama/identitas) untuk merekam dengan tape. Kami kemudian mengatakan, dalam bentuk umum yang dikembangkan oleh Merton (Merton, Fiske dan Kendall), 1952): ‘Mengapakah anda tidak memulai dengan apa saja yang ada pada pikiran anda tentang hal-hal yang terjadi di tahun tersebut?’

(Perry 1970:19).

Dengan menggunakan pertanyaan tunggal terbuka ini dan kemudian bertumpu pada keterampilan dari pewawancara untuk mengerjakan dan memperluas muatan dari setiap wawancara, Perry dapat membuat manfaat yang luar biasa dari wawancara tidak terstruktur untuk memahami cara berpikir para mahasiswa pria. Teori epistemologis yang berasal dari wawancara mahasiswa Harvard telah mempermudah cara bagi kajian kualitatif tambahan tentang pemikiran dan perkembangan orang-orang dewasa (Belenky et al., 1986; Gilligan, 1982).

Nilai dari suatu pertanyaan tunggal yang penting dalam membuat kerangka wawancara kualitatif telah terbukti dalam kajian yang dilaksanakan di sekolah menengah lokal. Dosen-dosen dan para administrator merasa tertarik dalam memahami praktek sekolah apa (termasuk praktek mengajar) yang dapat membantu pada kegagalan akademis di antara mahasiswa. Tim peneliti membentuk dua peneliti dosen universitas dan sembilan anggota fakultas sekolah menengah, ditentukan untuk menyelidiki persepsi-persepsi para mahasiswa, dosen, dan para orangtua pada topik ini. Setelah mencoba untuk mengembangkan seperangkat pertanyaan terbuka secara ekstensif untuk menanyakan setiap kelompok yang menjadi bagian, tim tersebut sampai pada kesimpulan bahwa satu pertanyaan menangkap inti dari penelitian: ‘Praktek-praktek berdasarkan sekolah apa yang membantu pada kegagalan akademis di sekolah ini?’ Melalui wawancara tidak terstruktur individual dan kelompok tim memutuskan untuk menempatkan pertanyaan ini sebagai dasar bagi kajian mereka (Maykut dan Erickson, 1992).

Apakah wawancara tidak terstruktur dilaksanakan di lapangan atau diatur, muatan dari wawancara tersebut harus ditulis. Wawancara informal di lapangan disusun kembali dan dimasukkan ke dalam catatan lapangan peneliti. Wawancara yang diatur seringkali direkam di dalam tape, dan jika perekaman ke dalam tape tidak diinginkan atau tidak mungkin, peneliti dapat membuat beberapa catatan selama wawancara dan kemudian menyusun kembali wawancara setelah itu (Maykut, 1994:83).

Wawancara Terbuka Terstandar

Tentang wawancara terbuka terstandar ini dikemukakan oleh Patton (1980) dalam penerapannya pada evaluasi program.

Dalam beberapa hal, ketika melaksanakan suatu evaluasi program, hanya memungkinkan bagi para partisipan selama suatu periode waktu yang terbatas. Kadang-kadang hanya memungkinkan untuk mewawancarai masing-masing partisipan sekali. Pada waktu yang lainnya memungkinkan dan diinginkan mewawancarai para partisipan sebelum mereka masuk ke dalam program tersebut, ketika mereka meninggalkan program tersebut, dan lagi setelah beberapa periode waktu (misalnya, enam bulan) setelah mereka meninggalkan program tersebut. Karena terbatasnya waktu, dan karena diinginkan untuk mempunyai informasi yang sama dari setiap responden, suatu format ‘open-ended’ terstandar bisa digunakan di mana masing-masing orang diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan yang pada dasarnya sama. Pertanyaan-pertanyaan wawancara tersebut ditulis sebelumnya secara pasti dengan cara yang sama ditanyakan selama wawancara tersebut. Pertimbangan yang cermat perlu diberikan sebelum wawancara tentang bagaimana menyusun kata-kata pada masing-masing pertanyaan. Semua klarifikasi yang harus digunakan ditulis ke dalam wawancara itu sendiri. Pertanyaan yang menyelidiki secara mendalam ditempatkan di dalam wawancara tersebut pada tempat-tempat yang tepat. Tujuan utama dari wawancara terbuka terstandar ialah untuk meminimalkan pengaruh wawancara dengan menanyakan pertanyaan yang sama kepada masing-masing responden. Lebih-lebih, wawancara harus sistematis dan perlunya bagi pertimbangan pewawancara juga membuat analisis data lebih mudah karena ini memungkinkan untuk menempatkan jawaban dari masing-masing responden pada pertanyaan yang sama secara agak cepat dan untuk mengorganisir pertanyaan dan jawaban yang serupa.

Ada tiga faktor utama untuk menggunakan wawancara terbuka terstandar sebagai bagian dari evaluasi:

instrumen yang pasti digunakan di dalam evaluasi tersedia untuk pemeriksaan dengan para pembuat keputusan dan pengguna informasi;
variasi diantara para pewawancara dapat diminimalkan di mana sejumlah pewawancara yang berbeda harus digunakan; dan
wawancara sangat difokuskan sehingga waktu peserta wawancara digunakan secara hati-hati.

Dalam banyak hal cukup untuk membuat suatu pedoman wawancara topikal (berkenaan dengan topik) bagi para pembuat keputusan dan para pengguna informasi untuk memeriksanya. Bagaimanapun juga, persoalan tentang legitimasi dan kredibilitas untuk data kualitatif dapat dibuat bijaksana secara politis untuk menghasilkan suatu bentuk wawancara yang eksak yang dapat ditunjukkan kepada para pembuat keputusan dan para pengguna informasi, memberitahu kepada mereka dengan kepastian bahwa terdapat pertanyaan yang pasti yang akan ditanyakan oleh para klien atau pihak lain yang diwawancarai. Dengan mengeneralisaskan suatu bentuk terstandar para pembuat keputusan dan pengguna informasi dapat berpartisipasi secara lebih lengkap di dalam penulisan instrumen wawancara sebelum wawancara tersebut digunakan. Selanjutnya mereka akan mengetahui secara pasti apa yang akan ditanyakan dan apa yang tidak akan ditanyakan. Ini memperkecil kecenderungan tentang data yang akan diserang suatu saat nanti karena pertanyaan tertentu hilang atau ditanyakan dengan cara yang salah. Dengan memperjelas sebelumnya tentang pengumpulan data, secara pasti pertanyaan apa yang akan ditanyakan, pembatasan data dapat diketahui dan dibahas sebelumnya.

Suatu persoalan yang berkenaan dengan politik ialah menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang berbeda kepada klien-klien yang berbeda. Sedangkan suatu pendekatan fenomenologis, dan bahkan pendekatan pedoman wawancara, mempunyai kekuatan untuk memungkinkan fleksibilitas yang lebih besar dan individualisasi, pendekatan-pendekatan ini juga membuka kemungkinan bahwa lebih banyak informasi akan dikumpulkan dari beberapa orang bukan dari pihak-pihak lain. Ketika menganalisis data menjadi sulit secara pasti bagaimana temuan dipengaruhi oleh perbedaan kualitatif dalam kedalaman dan keluasan informasi yang diterima dari orang-orang yang berbeda. Untuk pelaksanaan penelitian dasar, jika seseorang berusaha untuk memahami pandangan dunia keseluruhan dari sekelompok orang ini tidak perlu mengumpulkan informasi yang sama dari masing-masing orang. Wawancara terbuka terstandar juga memperkecil variasi di antara para pewawancara. Beberapa evaluasi berdasar pada relawan-relawan untuk melakukan wawancara; pada waktu yang lain staf program bisa dilibatkan dalam mengerjakan beberapa wawancara; dan masih pada hal yang lain pewawancara mungkin orang baru, para mahasiswa, atau lainnya yang bukan merupakan para ilmuwan pengetahuan sosial evalutor yang profesional. Jika sejumlah pewawancara yang berbeda digunakan, variasi di dalam data yang dibuat dengan perbedaan-perbedaan di antara para pewawancara secara khusus akan semakin jelas jika suatu pendekatan percakapan informal pada pengumpulan data digunakan atau bahkan jika masing-masing pewawancara menggunakan suatu pedoman dasar. Cara terbaik untuk menjaga terhadap variasi diantara para pewawancara ialah menyusun kata-kata pertanyaan secara hati-hati sebelumnya dan melatih para pewawancara untuk tidak menyimpang dari bentuk yang tepat. Data yang dikumpulkan masih open-ended, dalam arti bahwa responden menyediakan kata-kata, pikiran, wawasan sendiri dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan, tetapi pembuatan kalimat atau kata-kata yang tepat dari seperangkat pertanyaan ditentukan sebelumnya.

Kelemahan pendekatan ini ialah bahwa ini tidak memungkinkan bagi pewawancara untuk mencari topik-topik yang tidak diantisipasi jika wawancara tersebut ditulis. Ketidakluasan juga ditempatkan pada penggunaan baris-baris yang berbeda dari pertanyaan dengan orang-orang yang berbeda berdasarkan pengalaman unik mereka. Oleh karena itu, suatu pendekatan wawancara terbuka terstandar akan memperkecil sejauh mana perbedaan individual dan keadaan dapat diperhitungkan; sebaliknya, pendekatan ini dapat memperkecil pengaruh pewawancara dan mempermudah analisis data.

Jika perlu memungkinkan untuk menggabungkan pendekatan fenomenologis dengan suatu pendekatan pedoman wawancara, juga memungkinkan untuk menggabungkan suatu pendekatan pedoman wawancara dengan suatu pendekatan terbuka terstandar. Dengan demikian, sejumlah pertanyaan dasar bisa disusun secara tepat dengan gaya yang ditentukan sebelumnya, sambil memungkinkan pewawancara lebih fleksibel dalam menyelidiki secara mendalam dan lebih banyak fleksibilitas pembuat keputusan dalam menentukan jika cocok untuk menyelidiki subjek-subjek tertentu secara lebih mendalam, atau bahkan untuk menjalankan seluruh bidang inkuiri baru yang pada mulanya tidak dimasukkan ke dalam instrumen wawancara. Bahkan memungkinkan untuk menggunakan suatu format wawancara terbuka terstandar pada bagian awal wawancara dan kemudian membiarkan pewawancara bebas untuk memburu subjek yang diminati selama bagian berikutnya dari wawancara tersebut. Kombinasi lain meliputi penggunaan pendekatan fenomenologis (wawancara percakapan informal) pada bagian awal dalam proyek evaluasi, diikuti bagian tengah dengan suatu pedoman wawancara, dan kemudian menutup evaluasi program dengan suatu wawancara terbuka terstandar untuk memberikan informasi sistematis dari suatu sampel partisipan dari akhir program atau jika melaksanakan kajian-kajian partisipan lanjutan (Patton, 1980:2002-205).
Langkah-langkah Wawancara

Lincoln dan Guba (1985) mengetengahkan tahapan-tahapan penelitian kualitatif sebagai berikut:

Menentukan kepada siapa wawancara dilakukan.

Langkah ini “Menentukan di mana dan dari siapa data akan dikumpulkan”. Bahan yang dinegosiasikan sepenuhnya tentang pernyataan yang diinformasikan dan pengidentifikasian serta menggunakan informan-informan juga sesuai dengan tugas ini.

Mempersiapkan diri untuk mewawancarai.

Langkah ini meliputi melakukan pekerjaan rumah dalam hubungannya dengan rersponden (semakin elite respondennya, dalam arti istilah tersebut seperti yang digunakan oleh Dexter, 1970, semakin pentinglah bagi pewawancara sepenuhnya mendapatkan informasi tentang responden); mempraktekkan wawancara dengan peranan “berada di tempat” yang tepat; menentukan urutan yang tepat tentang pertanyaan-pertanyaan (meskipun jika wawancara tidak terstruktur); dan menentukan peranan, pakaian, tingkat formalitas yang dimiliki oleh pewawancara itu sendiri, dan sebagainya. Konfirmasi dengan responden waktu dan tempat wawancara juga tindakan yang bijaksana.

Gerakan-gerakan awal.

Meskipun responden telah diberikan briefing secara meyakinkan berkenaan dengan hakekat dan tujuan wawancara sebagai bagian dari prosedur pemberian ijin yang diinformasikan, suatu hal yang bijaksana untuk mengingat kembali rincian ini pada awalnya. Responden harus diberi kesempatan untuk “melakukan pemanasan” dengan diberi pertanyaan-pertanyaan “yang bersifat umum” (Spradley, 1979; misalnya, “Betapa khusus agaknya hari ini ?” “Bagaimana anda sampai masuk ke pekerjaan ini?”) yang memberikan kepada responden latihan dalam berbicara dengan pewawancara dengan suatu iklim yang santai sambil pada saat yang sama memberikan informasi yang bermanfaat tentang bagaimana responden menguraikan karakteristik umum dari konteks tersebut. Responden juga dapat diberi kesempatan untuk “mengatur pikiran” dengan diberikan pertanyaan tentang pertanyaan-pertanyaan umum lainnya. Yang mengarahkan kepada persoalan-persoalan yang diinginkan oleh pewawancara untuk dibahas secara terinci selanjutnya.

Membuat dan mempertahankan tahapan wawancara agar tetap produktif.

Pertanyaan-pertanyaan semakin spesifik dan spesifik ketika pewawancara beralih dan ketika pewawancara mulai merasakan apa yang kelihatan menonjol tentang informasi yang diberikan oleh responden. Penting untuk menjaga irama yang mudah, dan sebanyak mungkin, menjaga “berbicara bergantian” dengan responden (pewawancara jarang belajar sesuatu ketika dia berbicara). Menjaga fleksibilitas sehingga pewawancara ini dapat mengikuti pengarahan yang menjanjikan atau kembali ke poin-popin sebelumnya yang agaknya memerlukan pengembangan penting selanjutnya. Pewawancara yang telah trampil adalah ahli dalam menggunakan penelitian – mengarahkan isyarat untuk lebih banyak informasi dan informasi yang lebih berkembang. Penelitian mendalam bisa mengambil bentuk diam (para responden tidak menyukai suatu kekosongan pendengaran, tetapi harus jelas bahwa “giliran berbicara” adalah dengan responden); “pumps” – suara-suara seperti “uh-huh” atau “umm” atau memberikan dorongan lambaian tangan; harus lebih banyak diadakan (“Dapatkah anda menceriterakan kepada saya lebih banyak lagi dalam hal tersebut?”); mengambil contoh-contoh; mengambil reaksi-reaksi pada perumusan kembali pewawancara tentang apa yang telah dikatakan (“Apakah saya mengerti kamu untuk mengatakan hal itu …”; atau “Jika saya memahamimu secara benar; anda agaknya mengatakan bahwa …”), atau hanya bertanya secara khusus yang dirumuskan oleh pewawancara untuk membumbui atau mengembangkan sesuatu apa yang telah dikatakan oleh responden.

Menghentikan wawancara dan memperoleh penjelasan.

Jika wawancara telah dihentikan dianggap produktif (informasi diulang; baik pewawancara ataupun responden menunjukkan kepenatannya; respon agaknya perlu diarahkan; dan sebagainya) ini waktunya untuk menghentikannya. Pada poin ini pewawancara harus merangkum dan “memutar kembali” untuk apa yang telah dikatakan oleh responden (“Saya percaya poin-poin utama yang telah anda buat adalah X, Y, dan Z; apakah itu agaknya benar bagi anda?”. Proses ini mempunyai beberapa keuntungan bagi pewawancara. Yang pertama, ini mengundang responden untuk bereaksi – mengecek anggota – validitas dari bentukan-bentukan yang telah dibuat oleh pewawancara. Yang kedua, seringkali menggoda responden untuk menambahkan materi-materi baru di mana dia diingatkan untuk mendengarkan rangkuman. Akhirnya, itu menempatkan responden pada catatan, sehingga dia kurang ada kecenderungan untuk menunda atau menolak informasi selanjutnya (sudah barang tentu penolakan mutlak tidak mungkin jika pernyataan telah dicatat dan jika bentuk pernyataan yang diinformasikan telah diberikan).

Tuntutan sopan santun adalah di mana pewawancara harus berterima kasih kepada responden terhadap kerjasamanya. Pewawancara juga ingin memberikan kesempatan tambahan untuk komunikasi “akankah semua hal lainnya yang menarik terjadi pada responden”, dan mungkin faktanya diatur untuk wawancara tambahan jika jelas bahwa terdapat lebih banyak dasar yang dicakup. Sebagai suatu tata kesopanan terakhir pewawancara harus mengadakan tindak lanjut dengan sebuah surat ucapan terima kasih secara formal, khususnya jika responden adalah suatu subjek “elite” dalam pandangan Dexter (1970).

Data wawancara dapat dicatat atau direkam dengan beberapa cara. Yang paling jelas, tape recorder dapat dimanfaatkan, sebuah model yang mempunyai banyak keuntungan, seperti memberikan suatu sumber data yang tidak tercela; memperkuat kelengkapan; memberikan kesempatan untuk mereview sesering yang diperlukan untuk meyakinkan bahwa pemahaman sepenuhnya telah dicapai; memberikan kesempatan untuk review selanjutnya bagi isyarat-isyarat nonverbal seperti misalnya jeda-jeda yang signifikan, suara-suara yang meninggi, atau meledaknya emosional; dan memberikan materi untuk mengadakan pelatihan pewawancara bersama-sama dan mengecek reliabilitas. Akan tetapi keuntungan yang mengesankan ini, dalam pertimbangan kita adalah lebih dari penyeimbangan ketidakpercayaan responden (kenyataan bahwa perekaman tidak memberikan suatu rekaman yang akurat serta tidak tercela seringkali lebih dari cukup untuk menghambat respon-respon terbuka dan terus terang). Orang juga tidak melihat kemungkinan kegagalan mekanis, dan semuanya terlalu biasa ketika tape berjalan terus atau baterinya habis muatannya.

Jika data tidak direkam pada tape recorder, kita harus gagal kembali pada catatan-catatan tertulis yang dilakukan selama wawancara itu sendiri. Membuat catatan-catatan dapat tidak menguntungkan: Kita tidak dapat mencatat semuanya; menulis tangan secara cepat seringkali lebih lambat dan tidak dapat ditentukan; responden memperlambat temponya untuk memungkinkan pewawancara meneruskan dan bisa kehilangan jalan pikirannya atau hanya kehabisan waktunya. Tetapi keuntungan dari mencatat dengan tulisan tangan sangat mengesankan; mengambil kekuatan pewawancara untuk mendengarkan secara hati-hati tentang apa yang telah dikatakan oleh responden; pewawancara dapat menyisipkan pertanyaan atau komentar (termasuk catatan tentang isyarat-isyarat nonverbal) ke dalam kertas tanpa kesadaran responden, catatan tersebut dapat ditandai dengan mudah untuk item-item penting di mana pewawancara ingin kembali suatu saat nanti; pewawancara perlu bertumpu pada memorinya untuk menyusun semua rangkuman yang penting yang harus disediakan pada akhir wawancara. Sebagai imbangan, kami menyarankan bahwa para pewawancara tidak merekam ke dalam tape recorder kecuali jika terdapat ketentuan atau alasan pelatihan untuk melakukan hal demikian; keuntungan membuat catatan tertulis cukup terlihat untuk membuat model pilihan tersebut.

Segera setelah wawancara, pewawancara harus membuat catatan agar dapat digunakan dalam analisis berikutnya. Jika wawancara telah dibuka, proses ini dapat meliputi pembuatan transkrip draft kasar yang harus diedit terlebih dahulu oleh pewawancara (untuk menjelaskan kesalahan pembuat transkrip) dan selanjutnya diketik dalam bentuk akhir – suatu tugas yang tidak ringan tidak hanya banyak menyita energi tetapi memusatkan perhatian dan menyita waktu interval antara memperoleh data dan dapat bekerja dengan data tersebut. Sulit dibayangkan, misalnya, bagaimana merekam dalam tape recorder untuk mewawancarai seseorang dapat digunakan secara efektif untuk membantu membuat pertanyaan wawancara pada hari berikutnya. Memang, interval waktu bisa begitu penting (beberapa pekan mungkin tidak biasa) bahwa pewawancara tidak lagi segar pada pikiran pewawancara, oleh karena itu akan banyak mengurangi kemampuannya umtuk memproses data tersebut. Jika wawancara telah dicatat dengan tulisan tangan, pewawancara harus sesegera mungkin (segera setelah wawancara, jika hal itu memang dapat diatur demikian) mereview catatan dan memperbanyaknya dari memori. Catatan yang telah dibuat buatlah tanda memori dari pewawancara sehingga item-item lainnya tidak dicatat jika terjadi diingat kembali; kita telah mengetahui pada pewawancara telah cukup berketrampilan dalam gaya retrospektif ini dapat menyusun lagi sebuah wawancara seolah-olah wawancara tersebut sudah tercatat. Pewawancara juga dapat menandai komentar sendiri (“K.S.”) atau pertanyaan-pertanyaan (“P.S.”) atau hipotesis (“H.S.”) sehingga bagian-bagian itu nantinya tidak akan dianggap sebagai komentar responden.

Selama penyusunan kembali ini pewawancara bisa memulai analisis data, setidak-tidaknya untuk kepentingan bahwa pekerjaan hari berikutnya dapat dibuat kembali dengan dasar wawasan hari ini.

Akhirnya, informasi yang diperoleh dari setiap wawancara – dan, ketika kajian berlangsung, dari wawancara yang telah terkumpul – harus diperiksa pada triangulasi dan pengecekan anggota lebih lanjut. Item-item data ilmiah dapat diverifikasikan dengan responden lainnya atau dari sumber-sumber seperti pengamatan atau analisis dokumen. Kategori-kategori yang muncul (yang menggambarkan hipotesis di dalam penelitian, berkenaan dengan evaluasi responsif, pengukuran dalam kajian kebijakan, dan banyak jenis data lainnya) dapat menjadi pengecekan anggota dalam wawancara berikutnya (“Saya telah berbicara dengan sejumlah guru seperti anda dan mereka agaknya mengatakan X; apakah itu cukup benar bagi anda?”) (Lincoln & Guba, 1985:273).
Pedoman Wawancara

Pedoman wawancara dan jadual wawancara penting diperhatikan oleh para peneliti kualitatif. Dengan pedoman wawancara paling tidak peneliti dapat menjaga arah wawancara sebagaimana yang mereka rencanakan, walaupun dalam pelaksanaannya peneliti tidak tergantung secara kaku pada pedoman wawancara tersebut.

Sangat mungkin bahwa terdapat lebih dari satu pertanyaan kunci yang diinginkan peneliti untuk didapatkan di dalam suatu wawancara kualitatif. Serangkaian topik atau pertanyaan wawancara luas di mana peneliti bebas untuk menyelidiki dan memeriksa dengan wawancara biasanya diartikan sebagai suatu pedoman wawancara [interview guide] (Patton, 1990). Sebuah pedoman wawancara ialah sebuah daftar pertanyaan yang diselidiki dalam proses suatu wawancara. Pedoman wawancara dipersiapkan agar dapat meyakinkan bahwa pada dasarnya informasi yang sama diperoleh dari sejumlah orang dengan mencakup materi yang sama. Pedoman ini memberikan topik-topik atau bidang-bidang subjek di mana pewawancara bebas untuk mengembangkannya, dan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang akan membentangkan atau menghilangkan subjek-subjek khusus. Dengan demikian, pewawancra masih bebas untuk membuat suatu percakapan di dalam suatu bidang subjek khusus, untuk menyusun kata-kata pertanyan secara spontan, dan untuk membuat suatu gaya percakapan – tetapi dengan fokus pada suatu subjek khusus yang telah ditentukan sebelumnya.

Keuntungan dari pedoman wawancara ialah akan meyakinkan bahwa pewawancara/evaluator telah menentukan dengan hati-hati seberapa baik menggunakan waktu yang terbatas yang tersedia di dalam suatu situasi wawancara. Pedoman wawancara membantu membuat wawancara dengan sejumlah orang yang berbeda secara lebih sistematis dan komprehensif dengan tidak membatasi pada hal-hal yang dibahas di dalam wawancara tersebut. Pendekatan pedoman wawancara secara khusus bermanfaat dalam melaksanakan wawancara kelompok. Suatu pedoman mempertahankan interaksi tetap terfokus, tetapi memungkinkan perspektif dan pengalaman individu untuk muncul. Pedoman wawancara dapat dikembangkan sejauh mana peneliti kurang atau lebih mendetil tergantung pada ukuran di mana peneliti dapat menspesifikasikan urutan pertanyaan-pertanyaan khusus adalah penting untuk ditanyakan kepada para responden dengan cara yang sama atau tatanan yang sama (Lofland:1971).

Dalam situasi apapun, kita mendapatkan prosedur yang sangat bermanfaat dalam mengembangkan suatu kerangka awal untuk wawancara. Dalam situasi wawancra yang sebenarnya, peneliti yang berketerampilan akan mendapatkan apa yang penting bagi orang-responden, pada batas-batas luas dari topikpertanyaan wawancara, dan mengejar penemuan baru ini di dalam wawancara. Apakah peneliti bekerja sendiri atau dengan sebuah tim, prosedur kita untuk mengembangkan suatu pedoman wawancara yang lebih terstruktur terbukti sangat bermanfaat. Keterlibatan tim dalam pengembangan wawancara dapat menghasilkan ide-ide yang lebih menarik daripada menurut pendapat orang jika dilakukan sendiri. Para peneliti individual juga akan diuntungkan dengan menempatkan pikiran-pikiran mereka pada kertas. Jenis pendekatan grafis ini pada pengembangan wawancara banyak menghasilkan idea, sintesa dan pemecahan masalah, dan memberikan suatu rekaman yang dapat digunakan kembali dari karya individu atau tim (Sibbet, 1981). Dengan memelihara suatu rekaman pengembangan wawancara, para peneliti mulai suatu ‘jejak audit’ dari karya mereka, yang membantu pada rasa percaya pada hasil penelitian (Lincoln dan Guba, 1985).

Lofland (1971), dalam bukunya, Analyzing Sosial Setting, memberikan sejumlah conoh tentang pedoman wawancara yang telah digunakan dalam pengantar penelitian sosiologis. Berikut ini adalah sebuah contoh tentang pedoman wawancara yang digunakan dengan para partisipan dalam suatu program pelatihan tenaga kerja.

———————————————————————————————– —
Pedoman Wawancara untuk

Evaluasi Program Ketenagakerjaan

Apa yang dilakukan peserta pelatihan di dalam program: kegiatan-kegiatan? Interaksi-interaksi? Produk? Pelaksanaan kerja?

Apakah ketrampilan-ketrampilan kerja peserta latihan saat ini? Hal apakah yang dapat dilakukan oleh peserta latihan yang dapat dipasarkan?

Bagaimanakah peserta latihan dapat dipengaruhi oleh program di dalam bidang-bidang selain ketrampilan kerja – perasaan terhadap diri? Sikap terhadap pekerjaan? Aspirasi-aspirasi? Ketrampilan interpersonal?

Apakah rencana peserta latihan untuk masa depan – rencana kerja? Harapan penghasilan? Harapan /rencana gaya hidup?

Apakah yang dipikirkan peserta latihan tentang program tersebut? Kekuatan-kekuatan? Kelemahan-kelemahan? Hal-hal yang disenangi? Hal-hal yang tidak disenangi? Komponen-komponen yang terbaik? Komponen-komponen yang paling buruk? Hal-hal yang harus diubah?

—— ——————————————————————————————–

Pedoman wawancara ini memberikan suatu kerangka kerja yang mana di dalamnya pewawancara akan mengembangkan pertanyaan, urutan dari pertanyaan tersebut, dan membuat keputusan tentang informasi mana yang dikejar dengan kedalaman yang lebih besar. Namun demikian, pewawancara pada umumnya tidak akan mengharapkan, akan masuk ke dalam subjek yang sama sekali baru yang tidak tercakup di dalam kerangka dari pedoman wawancara tersebut. Pewawancara tidak akan mengajukan pertanyaan-pertanyaan, misalnya, tentang pendidikan kerja sebelumnya, bagaimana orang tersebut masuk ke dalam program tersebut, bagaimana program ini dibandingkan dengan program-program lain yang telah diikuti oleh peserta latih, dan kesehatan peserta latih. Topik-topik lain yang masih bisa muncul selama wawancara, topik tentang pentingnya responden yang tidak tercatat secara eksplisit di dalam pedoman tersebut, dan oleh karena itu, pada umumnya tidak akan diselidiki dengan responden. Sebagai contoh, responden mungkin memberikan komentar tentang reaksi mereka terhadap staf, reaksi terhadap bahan-bahan tertulis, dan reaksi terhadap komponen-komponen program khusus. Komentar tentang urusan ini mungkin bisa muncul jika, sesuai dengan pedoman wawancara, perserta latihan diminta untuk bereaksi terhadap kekuatan, kelemahan program, dan sebagainya, tetapi jika staf tidak disebutkan oleh responden, pewawancara tidak akan memunculkan masalah tersebut.
Mengembangkan Kategori Inkuiri

Dengan mengikuti suatu sesi “urun gagasan’ (brainstorming) yang produktif, peneliti biasanya mempunyai ide yang direkam atau dicatat. Langkah berikutnya ke arah pengembangan wawancara adalah menguji ide tentang kesamaan, dan mengelompokkan ide-ide yang serupa bersama-sama. Ini dapat dilakukan secara langsung pada kertas sesi urun gagasan dengan melingkari ide-ide yang sama dengan penanda sama yang berwarna, atau selembar kertas yang baru dapat digunakan untuk mencatat ide-ide yang sama. Kemudian, mengembangkan sebuah kata atau ungkapan yang menggambarkan setiap kelompok ide-ide. Kita mengacu pada kelompok ide yang sama sebagai kategori penelitian yang potensial untuk wawancara. Perlu dicatat bahwa kategori inkuiri secara induktif berasal dari pengetahuan bekerja dan ide dari peneliti. Akhirnya, diantara kategori-kategori penyeleksian inkuiri ada hal-hal yang paling menarik bagi anda yang diinginkan di dalam wawancara tersebut.

Menentukan Format Wawancara

Pada poin ini peneliti perlu menentukan apakah mengembangkan suatu pedoman wawancara atau suatu jadwal yang lebih cermat. Ada beberapa faktor untuk menentukan di dalam keputusan ini: keterampilan seseorang sebagai seorang pewawancara, pengetahuan bekerja seseorang tentang fokus penelitian, dan apakah wawancara dilaksanakan oleh lebih dari seorang peneliti. Para pewawancara pemula cenderung mencari pedoman wawancara yang hanya memberikan sedikit arah untuk wawancara. Melengkapi suatu pedoman wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin, penelitian-penyelidikan dan isyarat-isyarat akan sangat bermanfaat, meskipun suatu jadwal wawancara yang lebih terstruktur mungkin merupakan alternatif yang lebih baik. Para pewawancara yang berpengalaman mungkin menyenangi kebebasan yang ditawarkan di dalam pedoman wawancara untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan mengusahakan informasi dengan cara mereka sendiri.

Format pedoman wawancara secara khusus cocok untuk menyelidiki fenomena melalui wawancara jika sedikit yang diketahui tentang topiknya. Sebagai contoh, penyelengaraan kajian kualitatif dengan dua orang kolega yang berkaitan dengan pengalaman tentang para anggota Dewan Keamanan National Amerika Serikat yang bertugas di Perang Teluk Persia pada tahun 1991 (Schafer, McClurg, Morehouse dan Maykut, 1991). Sementara Schafer dan McClurg mempunyai banyak pengalaman bekerja dengan para veteran perang lainnya, peneliti relatif mempunyai informasi yang dapat dipercaya tentang pengalaman para tentara pria dan wanita di perang tersebut. Peneliti mempunyai kesempatan untuk melaksanakan wawancara kelompok dengan para tentara yang merasa tertarik selama akhir pekan pertama dari tugas berjaga setelah perang tersebut.

Meskipun masing-masing dari peneliti mempunyai banyak keterampilan dalam mewawancarai, peneliti memutuskan untuk melaksanakan bersama setiap wawancara kelompok agar memungkinkan peneliti untuk menghadirkan lebih penuh kelompok yang relatif besar (13-23 orang dalam setiap kelompok). Peneliti memulai wawancara kelompok dengan fokus kajian: Memahami lebih banyak tentang pengalaman para pria dan wanita yang bertugas di peperangan, khususnya mereka yang sedang pulang kembali. Ada pengantar singkat dan kemudian salah seorang dari kita menanyakan pertanyaan pertama dari pedoman wawancara. Percakapan yang hidup dan luas yang meyakinkan, dengan selingan permintaan kejelasan, mencakup setiap pertanyaan dalam pedoman peneliti, dan lebih penting lagi, menyatakan banyak pengalaman yang tidak diharapkan dan masalah tentang pentingnya para veteran. Pedoman wawancara memberikan suatu kerangka bagi peneliti untuk menyelidiki pengalaman yang belum pernah kita ketahui sebelumnya sama sekali.

Keputusan untuk menggunakan pedoman wawancara juga dipengaruhi oleh banyaknya peneliti yang terlibat di dalam pelaksanan wawancara. Manakala lebih dari seorang peneliti terlihat seyogyanya mengembangkan suatu format wawancara yang lebih terinci untuk meyakinkan bahwa orang-responden ditanyakan tentang topik yang sama (Lincoln dan Guba, 1985; Patton, 1990). Namun demikian, dengan wawancara yang terampil, topik-topik yang tidak diharapkan masih dimungkinkan untuk muncul meskipun di luar jadwal wawancara yang lebih terstruktur.

Jika peneliti memilih untuk mengembangkan suatu pedoman wawancara, keputusan berikutnya adalah apakah hanya mencatat kategori penelitian yang dikehendaki di dalam wawancara tersebut atuakah menempatkan serangkaian pertanyaan luas yang berdasarkan pada kategori penelitian. Jika menggunakan hanya kategori penelitian, tanpa adanya pertanyaan yang dipersiapkan, peneliti harus bertumpu pada mengajukan pertanyaan dan keterampilan komunikasi lainnya untuk melaksanakan wawancara. Banyak para peneliti kualitatif memilih keterbukaan dari pendekatan ini.

Mempersiapkan Pertanyaan Wawancara

Seperti yang dicatat Stanley Payne (1951), mengajukan-pertanyaan adalah suatu seni, dan seperti sebagian besar bentuk seni ini dikembangkan melalui praktek dan kesungguhan. Mempersiapkan seperangkat pertanyaan untuk suatu pedoman wawancara, terdapat banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Pertimbangan utama bagi penelitian kualitatif adalah bahwa pertanyaan hendaknya terbuka, mengundang responden untuk berpartisipasi dalam suatu percakapan. Pertanyaan terbuka dimulai dengan kata-kata seperti misalnya:

‘Bagaimanakah pendapat anda ………?’

‘Bagaimana perasaan anda ………?’

‘Dengan cara apa ………?’

‘Bagaimana mungkin ………?’

Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang tidak mudah dijawab dengan suatu respon yang tersendiri, seperti misalnya ‘ya’ atau ‘tidak’, atau sebuah kata atau frasa singkat. Pertanyaan yang dirancang untuk menghasilkan respon yang lepas atau tunggal diartikan sebagai pertanyaan yang tertutup. Respon tersebut menutup percakapan, dan memberikan sedikit kesempatan untuk memperoleh perspektif partisipan. Agar dapat menjalankan suatu wawancara yang dialami oleh peneliti dan responden sebagai suatu ‘percakapan dengan suatu tujuan’, adalah penting untuk mengajukan petanyaan yang terbuka.

Sebuah contoh akan membantu untuk menggambarkan perbedaan antara pertanyaan yang terbuka dan tertutup. Dalam dialog dibawah ini, seorang dosen sekolah tinggi berusaha untuk memahami dari seorang mahasiswa bagaimana dia dapat memperbaiki pelajaran selama pertengahan semester panjang yang kedua.

Pertanyaan : Bagaimanakah menurutmu pelajaran tersebut dilaksanakan?

Jawab : Bagus, sangat bagus.

P: Adakah pelajaran yang cukup menarik untuk membuat anda masuk kelas?

J: Memang.

P: Bagaimana dengan buku-buku teksnya? Apakah menurut anda buku-buku tersebut merupakan bacaan yang bagus?

J: Yah, lumayan.

P: Menurut pendapatmu apakah saya memberikan tugas terlalu banyak atau terlalu sedikit?

J: Secara tertentu tidak terlalu sedikit.

P: Menurutmu apakah mahasiswa lainnya di kelasmu saling memberikan pandangan denganmu?

J: Saya kira demikian.

P: Bagaimanakah anda mengukur pekerjaanmu sendiri dalam pelajaran selama ini?

J: Antara ‘B’ dan ‘C’.

P: Saya rasa karya anda sangat menarik untuk dibaca. Terima kasih atas umpan baliknya di dalam kelas. Sampai jumpa hari Senin.

(Para mahasiswa tersebut berpikir, ‘Sangat cepat’, dosen berpikir, ‘Mahasiswa hanya tidak ingin menceriterakan kepada anda tentang apa yang sebenarnya ada pada pikiran dia’)

Pada contoh diatas, dosen menanyakan kepada mahasiswa serangkaian pertanyaan yang tertutup yang mengharuskan sedikit lebih dari respon lepas yang singkat. Dalam percakapan normal kita seringali mengajukan pertanyaan yang tertutup, sewaktu mengharapkan dan mencari kejelasan yang sebenarnya ditunjukkan di dalam pertanyaan tersebut. Pada contoh di atas, dosen ingin mahasiswa menceriterakan bagaimana tentang pelajaran, buku teks, dan kelas, apa yang membuat pelajaran ‘baik-baik saja’. Maksud ini hilang pada mahasiswa yang memberikan tanggapan pada pertanyaan ketika mereka ditanya. Dialog tersebut bisa mengambil giliran yang berbeda jika dosen menggunakan pertanyaan terbuka ketika berbicara dengan mahasiswa tersebut:

P: Saya merasa tertarik untuk mengetahui apa yang ada dalam pikiran mahasiswa tentang mengajar saya dan pelajaran membaca serta tugas-tugas. Memikirkan kembali semester ini selama ini, bagaimanakah anda menggambarkan pelajaran ini kepada orang lain?

J: Hm ……… Baiklah, saya akan menggambarkan pelajaran seperti biasanya menarik dan menyatu. Pada jam-jam kosong saya hanya duduk di sana, meskipun saya mempunyai sesuatu yang harus saya ceriterakan. Saya tak tahu mengapa, namun saya banyak berpartisipasi dalam pelajaran anda. Mungkin karena anda menyuruh kami melakukan banyak tugas.

P: Baiklah, tujuan saya adalah membuat mahasiswa berpartisipasi. Kita cenderung belajar lebih banyak dengan cara itu. Saya ingin menanyakan kepada kamu sedikit hal tentang buku-buku teks. Bagaimana anda melakukan membaca sebuah bab dan mempersiapkan untuk pembahasan di kelas?

J: (Berhenti sejenak) saya mulai membacanya seperti yang saya lakukan dengan buku-buku teks lainnya; banyak selama sekali duduk dan melakukan banyak hal yang memperjelasnya. Tetapi sebenarnya tidak mempersiapkan saya untuk jenis-jenis pertanyaan yang anda tanyakan di kelas. Dan saya juga tidak mengerjakan dengan cukup bagus pada tes pertama, maka saya mengubah cara untuk membaca. Saya membacanya dengan penggalan-penggalan kecil dan melakukan apa yang anda bahas di kelas. Anda tahu, ketika anda menulis pertanyaan-pertanyaan yang akan anda tanyakan tentang penulis seandainya dia sedang duduk di dekat saya. Ini akan sedikit membantu, meskipun kadang-kadang saya rasa sedikit konyol.

P: Saya lihat bahwa kamu telah mengerjakan dengan sangat bagus pada tugas-tugas kelas. Bagaimana anda mengaturnya?

J: Saya merasa sangat berat, karena begitu banyak tugas. Saya telah mengerjakannya dengan baik selama ini, tetapi ketika saya lihat kembali jadwal saya saya tidak mengetahui jika saya dapat menyelesaikannya.

P: Dan bagaimanakah mahasiswa lainnya di kelas? Bagaimana menurutmu pendapat umum tentang kelas dengan memperhatikan pada banyaknya tugas?

J: Saya hanya dapat berbicara kepada kelompok mahasiswa di kelas dengan teman saya. Kita semua mengeluh tentang banyaknya pekerjaan tersebut.

P: Saya menghargai kejujuran anda. Umpan balik anda akan sangat bermanfaat. Terima kasih. Sampai jumpa hari Senin.

(Mahasiswa berpikir, ‘Saya benar-benar mempunyai kesempatan untuk mengatakan apa yang sedang ada dalam pikiran saya, dan rasanya sepertinya dia mendengarkan dan memperhatikan tentang apa yang saya katakan. Saya juga mempelajari sesuatu tentang diri saya sendiri: saya suka berpartisipasi di kelas jika ada kesempatan’. Dosen berpikir, ‘Ini merupakan informasi yang seharusnya sering saya dapatkan. Saya mendapatkan suatu idea yang jelas tentang apa yang mungkin perlu saya ubah dan apa yang ingin saya teruskan dalam pelajaran’).

Dengan hal tersebut di atas peneliti berusaha mengembangkan pertanyaan terbuka, tugas di depan dia untuk memutuskan pertanyaan apakah yang harus diajukan. Kita mempunyai tipologi pertanyaan yang disajikan oleh Patton (1990) bermanfaat sebagai suatu pedoman terhadap pertanyaan yang bisa kita buat. Patton membuat garis besar tentang enam jenis pertanyaan yang bisa diajukan dalam suatu wawancara:

Pertanyaan tentang pengalaman/perilaku;
Pertanyaan tentang pendapat/nilai;
Pertanyaan tentang perasan;
Pertanyaan tentang pengetahuan;
Pertanyaan tentang sensori atau penginderaan; dan
pertanyaan tentang latar belakang/demografi.

Pertanyaan tentang pengalaman/perilaku menanyakan tentang apa yang dilakukan atau apa yang telah dikerjakan orang-orang, seperti misalnya ‘Jenis pekerjaan apa sajakah yang anda kerjakan pada tugas ini?’ pertanyaan tentang pengalaman/perilaku sangat bermanfaat untuk memulai sebuah wawancara, khususnya jika mereka meminta seseorang untuk menggambarkan apa yang biasa mereka kerjakan. Jelas ini merupakan sesuatu yang diketahui oleh responden dan dapat menawarkan untuk memulai percakapan.

Patton membuat suatu pembedaan antara pertanyaan tentang pendapat/nilai dan pertanyaan tentang perasaan. Yang disebut terdahulu tersebut mendapatkan kepercayaan yang utamanya bersifat kognitif, seperti misalnya ‘Bagaimanakah pendapatmu tentang kebijakan yang baru ditinggalkan oleh perusahaan tersebut?’ atau ‘Bagaimanakah pendapatmu tentang negosiasi kembali kontrak yang baru tersebut?’ Sebaliknya, pertanyaan tentang perasaan menanyakan tentang keadaan afeksi, seperti ‘Jenis perasaan bagaimanakah yang anda alami ketika mendengar tentang penutupan perusahaan tersebut?’ Para pewawancara harus jelas tentang jenis informasi bagaimanakah yang mereka cari – pemikiran ataukah perasaan – dan memberikan pertanyaan dan isyarat yang tepat bagi responden.

Pertanyaan tentang pengetahuan menanyakan kepada para responden untuk menceritakan apa yang mereka ketahui tentang suatu topik khusus, mendapatkan informasi ke dalam pengetahuan mereka yang sebenarnya, seperti misalnya ‘Apa sajakah yang dimuat di dalam deskripsi tugas perusahaan untuk tugas ini?’ atau ‘Bagaimanakah prosedur di kantor anda tentang pengisian suatu pengaduan hambatan jenis kelamin? Jenis pertanyaan ini secara khusus dapat menimbulkan rasa takut jika resonden percaya bahwa mereka harus mengetahui jawabannya dan mereka tidak mengetahuinya. Wawancara dapat menyimpang jika responden mulai melihat pertemuan tersebut sebagai suatu pemeriksaan yang seksama tentang topik-topik di mana mereka tidak dapat memberikan informasi yang perlu.

Pertanyaan tentang penginderaan atau sensori dirancang untuk mencari informasi ke dalam apa yang diketahui, didengar, disinggung, tercium dan terasa oleh responden, dan dapat memberikan jenis pengalaman yang mewakili kepada peneliti. Responden mungkin dapat meberikan kesempatan kepada pewawancara untuk ‘tetap berada di posisinya’ dengan memberikan respon secara deskriptif terhadap -pertanyaan seperti misalnya, ‘Apakah yang anda perhatikan terlebih dahulu ketika anda masuk ke kantornya?’

Pertanyaan tentang latar belakang/demografis mungkin penting dalam membantu peneliti menentukan -sifat setiap responden, serta sampel yang pada akhirnya mencakup kajian tersebut. Namun demikian, informasi sosiodemo-grafis tidak harus dikumpulkan secara samar-samar secara rutin dalam bentuk penelitian lain. Pertanyaan-pertanyaan ini harus diajukan jika potensinya bermanfaat untuk memahami fenomena yang dikaji. Jika dimasukkan, misalnya informasi tentang usia, lamanya tahun pengalaman, status perkawinan, tempat tinggal, dsb., yang faktual, singkat, dan kadang-kadang diangap terlalu mengganggu, seyogyanya dikumpulkan pada akhir wawancara. Kadang-kadang, pewawancara bisa mempunyai kesempatan untuk mengumpulkan infomasi latar belakang secara tidak mencolok pada berbagai poin di dalam wawancara. Sebagai contoh: ‘Jadi, anda telah bekerja pada tugas ini selama lima tahun. Berapa usia anda ketika anda memulai di sini?’ memungkinkan pewawancara untuk menghitung usia seseorang pada saat sekarang tanpa menanyakan secara langsung.

Gambaran lain tentang tipologi pertanyaan Patton adalah kerangka waktu dari masing-masing pertanyaan. Sebuah pertanyaan dapat diberikan pada waktu sekarang, yang lalu, atau akan datang. Jenis-jenis pertanyaan yang ditanyakan pada kerangka waktu digambarkan oleh setiap pertanyaan akan ditentukan secara luas oleh fokus penelitian.

Tipologi pertanyaan Patton nmemberikan suatu tempat yang bermanfaat untuk memulai mengembangkan beberapa pertanyaan yang luas untuk suatu pedoman wawancara atau merumuskan banyak pertanyaan yang meliputi jadwal wawancara. Tipologi pertanyaan Patton secara khusus bermanfaat untuk hal yang terakhir tersebut. Akan tetapi sebelum anda mempersiapkan suatu pedoman atau jadwal wawancara, akan sangat membantu untuk berlatih mengembangkan pertanyaan wawancara.

Pertanyaan wawancara yang bagus, seseorang yang akan menarik partisipan wawancara ke dalam percakapan dan menghasilkan informasi yang bermanfaat, dapat menantang untuk dikembangkan. Ada tiga perangkap utama yang dihadapi oleh para peneliti pemula dalam mengembangkan pertanyaan untuk suatu wawancara penelitian: pertanyaan tertutup, pertanyaan yang tidak jelas atau kabur dan pertanyaan kompleks. Pertanyaan yang tertutup kadang-kadang terlihat seperti suatu pertanyaan pilihan ganda, meminta partisipan untuk merespon pada seperangkat respon yang telah disediakan. Pertanyaan, ‘Seberapa jauhkah program akademis ini memenuhi kebutuhan anda?’ adalah sebuah pertanyaan tertutup, mengarahkan individu untuk menjawab dalam beberapa variasi berikut ini: (a) pada ukuran besar; (b) pada beberapa ukuran; (c) tidak sama sekali. Jenis pertanyaan tertutup lainnya yang diidentifikasi oleh Patton adalah pertanyaan yang dikhotomis, orang yang menggunakan kata-kata menggambarkan bahwa suatu respon ‘ya’ atau ‘tidak’ yang diinginkan, seperti misalnya ‘Apakah anda merasa puas terhadap dukungan akademis yang diberikan oleh sentra belajar di sekolah tersebut?’ Pertanyaan tertutup dapat menghentikan percakapan kecuali jika diikuti oleh pertanyaan atau pemeriksaan yang ada kaitannya.

Pertanyaan wawancara yang tidak jelas atau samar-samar cenderung dihasilkan jika tujuan penelitian tidak jelas bagi peneliti. Suatu fokus penelitian yang jelas adalah penting untuk kesempatan yang direncanakan terlebih dahulu dan di tempat untuk mengumpulkan informasi. Sebagai tambahan cobalah pertanyaan yang menarik bagi orang lain dan menanyakan untuk umpan balik yang terus terang akan membantu anda memperjelas pertanyaan anda.

Perangkap yang ketiga dalam mengembangkan pertanyaan wawancara membuatnya terlalu kompleks atau rumit. Masing-masing pertanyaan wawancara harus merupakan satu pertanyaan tunggal, bukan serangkaian pertanyaan yang mengelilingi di mana partisipan harus menyimpannya dalam pikiran. Pertanyaan ‘Bagaimana anda menangani pemecahan persoalan tersebut, dan bagaimana perasaan anda tentang hasilnya?’ adalah suatu pertanyaan yang kompleks atau rumit, yang dengan mudah dapat dibagi ke dalam dua pertanyaan. Para partisipan penelitian anda akan menghargai kesederhanaan anda.

Tinjaulah kembali pertanyaan wawancara anda yang telah anda kembangkan untuk latihan Penelitian. Apakah pertanyaan anda berkaitan dengan fokus penelitian anda? Sudahkah anda mengidentifikasi secara jelas jenis pertanyaan-pertanyaan yang telah anda kembangkan, dengan menggunakan tipologi Patton? Sudahkan anda mengidentifikasi kerangka waktu dari masing-masing pertanyaan: telah lalu (lampau), sekarang, yang akan datang? Apakah masing-masing pertanyaan tertutup? Apakah makna dari masing-masing pertanyaan telah jelas? Apakah masing-masing pertanyaan adalah pertanyaan tunggal? Dalam wawancara kualitatif pembuatan kata-kata dalam pertanyaan mempengaruhi jenis respon atau jawaban yang diberikan partisipan penelitian dan kekayaan dan kualitas dari wawancara itu sendiri.

Membuat Draft Pedoman Wawancara dan Jadwal Wawancara

Dalam pembahasan kita tentang pengembangan wawancara, kita telah menguji beberapa langkah penting: mengembangkan suatu fokus penelitian; urun gagasan dan memperbaiki kategori penelitian; memutuskan pada suatu format, apakah suatu pedoman atau suatu jadwal wawancara; dan mempersiapkan pertanyaan wawancara. Dengan mempraktekkan pengembangan pertanyaan wawancara, anda mungkin mempunyai idea yang lebih baik tentang format wawancara mana yang akan anda pilih jika anda memang benar-benar berusaha untuk mencari fokus penelitian. Jika kita kembali ke diagram prosedural yang membuat garis besar tentang pengembangan wawancara, kita mengetahui bahwa keputusan untuk mempersiapkan suatu pedoman wawancara berarti anda akan menggunakan -kategori penelitian sebagai pedoman wawancara anda, atau anda akan mengembangkan seperangkat kecil tentang pertanyaan terbuka yang luas, berdasarkan pada kategori penelitian. Jika anda memilih untuk mengembangkan suatu jadwal wawancara, dan mengorganisirnya ke dalam suatu urutan yang berguna. Seperti yang kita bahas di atas, secara khusus bermanfaat untuk menulis setiap pertanyaan yang potensial pada selembar kertas atau kartu indek secara terpisah. Setiap pertanyaan pada pooling anda tentang pertanyaan yang memungkinkan kemudian dapat dihilangkan atau ditambahkan dengan mudah, dan pertanyaan yang telah diseleksi dapat diurutkan dengan mudah di dalam kategori penelitian. Kategor penelitian itu sendiri selanjutnya dapat ditempatkan di dalam suatu susunan yang masuk akal untuk wawancara.

Patton (1990) menawarkan lagi beberapa saran yang sangat bermanfaat tentang pembuatan pedoman wawancara. Satu, mulailah wawancara dengan pertanyaan nonkontroversial yang dikerangkakan sekarang difokuskan pada pengalaman atau perilaku para responden. Dua, simpanlah pertanyaan pengetahuan yang mempunyai potensi menakutkan hingga beberapa hubungan telah terbentuk dengan responden. Tiga, minimalkan jumlah pertanyaan tentang latar belakang dan demografis, dan pisah-pisahkan pertanyaan-pertanyaan tersebut di seluruh wawancara tersebut secara tepat. Perhatian yang cermat untuk penyusunan pertanyaan akan meningkatkan kecenderungan mengenai suatu wawancara poduktif. Namun demikian, di dalam proses pelaksanaan wawancara penelitian tidak ada pengganti untuk mengetahui pertanyaan wawancara anda dengan baik. Urutan dari pertanyaan-pertanyaan sebenarnya ditentukan oleh responden, dan ini merupakan tugas bagi pewawancara kualitatif untuk menjadi orang yang menguasai dan responsif, untuk merasakan suatu saat yang tepat untuk mengajukan sebuah pertanyaan, dan mengetahui kapan sebuah pertanyaan harus dijawab di luar urutan.

Dalam mempersiapkan draft pedoman wawancara, penting untuk memulai wawancara dengan beberapa bentuk yang penting: perkenalan pribadi, pernyataan tentang tujuan, termasuk apa yang akan dilakukan dengan hasil kajian tersebut; pernyataan yang menunjukkan kerahasiaan dari wawancara tersebut; pernyataan yang memperhatikan pada pembuatan catatan yang bisa berperanan selama wawancara; permohonan ijin untuk merekam wawancara tersebut ke dalam tape; harus mencari informasi yang memungkinkan; dan pernyataan yang memberikan informasi kepada responden mengapa dia diwawancarai.

Menggunakan Pemeriksaan dalam Wawancara

Suatu keterampilan penting bagi para peneliti kualitatif adalah penggunaan pertanyaan pemeriksaan atau pertanyaan lanjut (probes or follow-up questions) dalam suatu wawancara penelitian. Untuk informasi lebih banyak tentang pemeriksaan (probes), kita kembali lagi pada karya Patton. Dia mendefinisikan suatu ’pemeriksaan’ sebagai ‘suatu alat wawancara yang digunakan untuk menggali lebih mendalam ke dalam respon wawancara’ (1990:238). Karena tujuan wawancara penelitian kualitatif adalah untuk memperoleh pemahaman yang dalam tentang pengalaman dan perspektif responden, dengan menggunakan pemeriksaan secara efektif merupakan suatu keterampilan penelitian kualitatif yang penting. Dengan memeriksa lebih mendalam respon responden, kita agaknya menambahkan pada kekayaan data, dan mengakhiri dengan suatu pemahaman yang lebih baik tentang fenomena yang kita kaji.

Patton (1990) mengidentifikasi tiga jenis pemeriksaan: (1) pemeriksan yang berorientasi-terinci; (2) pemeriksaan elaborasi (untuk mengerjakan secara teliti), dan (3) pemeriksaan untuk klarifikasi. Ketiga jenis pemeriksaan tersebut akan dijabarkan sebagai berikut:

Pemeriksan mendalam berorientasi terinci (detail-oriented probes).

Dalam percakapan biasa kita, kita saling menanyakan satu sama lain untuk memperoleh lebih mendalam. Pertanyaan-pertanyaan follow-up jenis ini dirancang untuk mengisi gambaran tentang apapun yang kita coba untuk memahminya. Kita dengan mudah mengajukan pertanyaan jika kita benar-benar ingin tahu secara jujur.

Siapakah yang bersama anda?
Bagaimanakah rasanya berada di sana?
Kemana anda pergi setelah itu?
Kapankah hal tersebut terjadi pada kehidupan anda?
Bagaimanakah usaha anda untuk mengatasi situasi tersebut?
Pemeriksaan elaborasi.

Jenis pemeriksaan lain dirancang untuk mendorong responden untuk menceritakan lebih banyak lagi kepada kita. Kita menunjukkan keinginan kita untuk mengetahui lebih banyak tentang hal-hal seperti misalnya menganggukkan kepala ketika orang berbicara, seringkali bersuara dengan lembut ‘un-huh’, dan kadang-kadang hanya diam diri saja tetapi penuh perhatian. Kita juga dapat menanyakan kepada responden untuk terus berbicara.

Ceriterakan lebih banyak tentang hal tersebut.
Dapatkah anda memberikan contoh kepada saya tentang apa yang anda katakan?
Saya kira saya memahami tentang apa yang anda maksud.
Ceriterakan lebih banyak tentang hal tersebut, maukah anda?
Saya ingin mendengarkan anda lebih banyak berbicara tentang hal tersebut.
Ini sangat membantu. Dapatkah anda mengatakan sedikit lebih banyak tentang hal tersebut?
Pemeriksaan untuk klarifikasi.

Agaknya ada kalanya dalam suatu wawancara ketika pewawancara tidak yakin tentang apa yang dikatakan oleh responden, apa yang dia maksud. Dalam situasi seperti ini seorang pewawancara dengan sopan meminta klarifikasi, meyakinkan untuk berkomunikasi bahwa ini merupakan kesulitan bagi pewawancara dalam memahami dan bukan kesalahan responden.

Saya tidak yakin memahami apa maksud anda?. Dapatkah anda membantu saya untuk mehamai apa maksudnya?
Saya merasa kesulitan untuk memahami persoalan yang telah anda gambarkan. Dapatkah anda menceritakan sedikit lebih banyak tentang hal tersebut?
Saya ingin meyakinkan bahwa saya memahami apa maksud anda. Maukah anda menggambarkannya lagi untuk saya?
Maaf. Saya tidak begitu mengerti. Ceritakan lagi, maukah anda?

Anda dapat menjadi terampil untuk menggunakan pemeriksaan dengan menyadari tentang manfaat anda bagi mereka dalam percakapan sehari-hari dan juga dengan melatih untuk menggunakannya dalam situasi yang lebih formal. Rekamlah wawancara tersebut ke dalam tape recorder dan mainkan kembali untuk menguji manfat pemeriksan anda adalah merupakan teknik pembentukan keterampilan yang sangat bermanfaat. Hanya dengan mendengarkan pemeriksaan yang berbeda bahwa anda dapat menggunakan dalam suatu wawancara yang sebenarnya benar-benar sangat bermanfaat. Anda mungkin juga ingin menulis dalam pemeriksaan yang mungkin pada pedoman atau jadwal wawancara yang dapat anda gunakan dalam wawancara sebenarnya.

Sebuah Catatan Tentang Struktur

Dalam penelitian kualitatif suatu wawancara terstruktur tidak menggantikan manusia sebagai instrumen dari pengkajian. Postur kualitatif merupakan salah satu fleksibilitas dan kepekaan (responsiveness) terhadap keadaan darurat tentang tidak diharapkannya akan adanya penyimpangan dan pembelokan yang tidak terantisipasi dalam muatan atau isi wawancara. Sangat memungkinkan bahwa setelah wawancara dimulai, menjadi jelas bahwa apa yang penting untuk dicari tentang fenomena yang dikaji tidak tercerminkan di dalam pertanyaan-pertanyaan yang dipersiapkan. Instrumen manusia mengharapkan hal-hal yang tidak diharapkan dan menyesuaikan serta menyelidiki aspek-aspek halus dengan orang-responden. Karena aspek-aspek ini dinyatakan pada peneliti, dia memfokuskan kembali penelitian serta wawancara berikutnya. Dalam kata-kata Patton, ‘Prinsip dasar dari mengadakan wawancara kualitatif adalah untuk menyediakan suatu kerangka di mana para responden dapat menyatakan pemahaman yang mereka miliki dengan istilah mereka sendiri’ (1990:290).

Setelah mengembangkan draft lengkap suatu wawancara, khususnya jika beberapa pertanyaan sedang ditanyakan, adalah bermanfaat untuk melatih wawancara dengan orang-orang yang serupa dengan orang-orang yang akan menyusun sampel penelitian. Sangat menguntungkan untuk melatih wawancara dengan orang-orang yang memberikan umpan balik yang konstruktif tentang muatan dan format wawancara itu sendiri dan tentang keterampilan anda sebagai seorang pewawancara. Perubahan yang perlu dapat dibuat dalam format dan muatan wawancara, dan anda dapat mengidentifikasi keterampilan-keterampilan mewawancarai yang perlu pengembangan lebih lanjut.

Perlengkapan Wawancara

Para peneliti kualitatif telah mengambil kedudukan yang sangat ekstrim mengenai apakah tepat untuk merekam suatu wawancara ke dalam tape recorder, berkisar dari ‘tidak merekam ke dalam tape recorder kecuali jika ada alasan-alasan resmi atau pelatihan untuk melakukan hal tersebut’ (Lincoln dan Guba, 1985: 272), untuk menilai tape recorder sebagai ‘bagian dari perlengkapan yang tidak dapat dihindarkan’ dari pewawancara kualitatif (Patton, 1990:348). Kita dalam persetujuan dengan Patton tentang pentingnya merekam ke dalam tape recorder bilamana dapat diijinkan untuk memperoleh rekaman yang sebaik mungkin rekaman tentang kata-kata dari responden. Perekaman ke dalam tape recorder adalah penting bilamana seseorang merencanakan untuk menggunakan wawancara sebagai sumber data utama. Dalam sebagian besar kasus, kehadiran tape recorder dengan cepat lemah pada latar belakang, khususnya jika pewawancara mahir menggunakan mesin dan para partisipan dalam wawancara yang termasuk di dalam pengalaman.

Melaksanakan Wawancara

Tanggung jawab untuk menciptakan dan memelihara suatu iklim wawancara yang positif terletak pada pewawancara. Lebih-lebih, ‘kualitas informasi yang diperoleh selama suatu wawancara sangat tergantung pada pewawancara’ (Patton, 1990:279). Seorang pewawancara yang mengetahui pertanyaan-pertanyaanya dengan baik, yang lebih banyak mendengarkan daripada berbicara, dan yang secara jujur ingin mengetahui tentang topik dan apa yang harus dikatakan oleh responden tentang hal tersebut akan memperkecil kesempatan adanya wawancara yang bagus. Yang lebih penting lagi, seorang pewawancara yang mengadakan komunikasi, melalui kata-kata dan perilaku, bahwa responden adalah seorang kolaborator dalam proses penelitian mulai mengurangi kekuasaan yang berbeda antara keduanya. Menurut Mishler, pendayagunaan jenis ini dalam hubungan pewawancara dengan responden dapat membantu orang-orang dalam ‘usaha mereka untuk membuat kedekatan dan dunia makna yang masuk akal dan untuk membuat arti bagi pengalaman mereka’ (1986:118). Bila keseimbangan kekuasaan diubah, catat Mishler, orang-responden lebih cenderung menceriterakan ceritera-ceritera mereka sendiri.

Seorang pewawancara yang dipersiapkan dan yang mempunyai keingintahuan untuk melibatkan para responden sebagai kolaborator mereka cenderung masih memerlukan bantuan dengan logistik-logistik dari wawancara penelitian. Seperangkat pedoman berikut ini dapat membantu untuk mengorganisir pengalaman melakukan wawancara dan meyakinkan suatu transkrip yang lengkap:

Kumpulkanlah bersama bahan-bahan dan perlengkapan yang akan anda perlukan untuk melaksanakan wawancara, termasuk tape recorder (bateri, kabel elektro, kabel sambungan), kaset tape, pedoman wawancara, serta kertas dan pena untuk mencatat. Sangat bermanfaat untuk mengumpulkan bahan-bahan tersebut ke dalam suatu kumpulan alat pengumpulan data untuk wawancara sekarang atau mendatang.
Temui orang yang akan anda wawancarai segera pada waktu dan tempat yang dijadwalkan. Catat apakah ada suara yang potensial mengganggu yang mungkin mengganggu perekaman. Ujilah tape recorder dengan responden, mainkan ulang komentar tes anda, dan sarankan penyesuaian, seperti berbicara lebih keras, jika perlu. Lakukan wawancara.
Segera setelah anda menyelesaikan wawancara, refleksikan wawancara tersebut ke dalam tulisan. Catatan pewawancara yang dibuat setelah wawancara merupakan bagian dari data anda. Tuliskan hal-hal yang tidak ditangkap oleh tape recorder, seperti ekspresi wajah, postur tubuh, mood, dan pengamatan lainnya yang mungkin memberikan sumbangan untuk merasakan perspektif responden. Berikut merupakan kutipan singkat dari catatan pewawancara yang ditulis setelah wawancara gabungan yang mendalam dengan sepasang teman yang berlainan jenis kelamin:

Selama wawancara Ellie dan Dan sangat sering membuat kontak mata. Mereka nampaknya sangat tertarik terhadap respons satu sama lain, dan mempertahankan perhatian mereka satu sama lain. Minat ini terlihat lebih mendalam ketika mereka berbicara beberapa kali mengenai ketertarikan romantis mereka terhadap rekan mereka pada -waktu yang berbeda selama persahabatan mereka. Seperti yang mereka nyatakan dalam wawancara, beberapa dari detil ketertarikan ini merupakan hal yang baru bagi tiap-tiap mereka.

Merupakan ide yang bagus juga untuk merekam perasaan anda sendiri selama wawancara, untuk mengingatkan anda bagaimana anda telah mempengaruhi apa yang disampaikan selama wawancara. Sebagai contoh, kapankah anda mungkin memimpin? Berbicara terlalu banyak? Memotong pembicaraan responden? Juga, tulis pemahaman, dugaan, ide, pertanyaan, dan lain-lain yang berhubungan dengan fokus penyelidikan. Refleksikan apa yang anda pelajari yang bisa membantu memfokuskan usaha pengumpulan data anda saat ini. Catatlah ini segera!

Wawancara Kelompok

Bagi peneliti-mahasiswa dan juga untuk kita sendiri, wawancara kelompok seringkali menghasilkan hal-hal yang tidak diinginkan – interaksi, pemahaman, ide, dan informasi yang tidak diinginkan. Tetapi mungkin inilah yang seharusnya kita inginkan! Seperti yang ditekankan oleh seorang peneliti, David Morgan (1988), tujuan melakukan wawancara kelompok adalah membawa beberapa perspektif yang berbeda ke dalam kontak. Sifat paling alami dari pengalaman kelompok inilah yang mengatur metode pengumpulan data kualitatif ini berbeda dari lainnya. Bagaimanapun juga, seperti wawancara individu dan pengamatan peserta, tujuan melakukan wawancara kelompok adalah untuk memahami apa yang dialami dan dipandang oleh orang mengenai fokus penelitian, melalui suatu proses yang terbuka dan timbul.

Ada situasi-situasi khusus di mana kelompok yang paling tepat untuk diwawancarai hanya terdiri dari dua orang. ‘Wawancara gabungan’ ini berhasil dipakai dalam studi riset kualitatif keluarga (Gilgun, Daly dan Handel, 1992). Dalam satu studi, Kerry Daly (1992) menggali pengalaman dari pasangan yang tidak subur pada beragam tahap dari pertimbangan mereka untuk mengadopsi melalui penggunaan wawancara gabungan. Daly mencatat bahwa meskipun pasangan tersebut bekerja sama untuk melindungi perilaku pribadi mereka atau tanpa sengaja mengungkap informasi yang melanggar hak pribadi dari yang lainnya, keuntungan dari wawancara gabungan lebih banyak dari kerugiannya. Dia dan peneliti lainnya berargumen bahwa mewawancarai pasangan menghasilkan gambaran kehidupan keluarga yang lebih akurat (Bennett dan McAvity, 1985; Daly, 1992). Bidang-bidang topik lainnya, seperti pengalaman orang tua mengenai pengajaran-tim atau pengalaman dari teman baik mereka bisa digali melalui variasi dua-orang dari wawancara kelompok ini.

Kita mendefinisikan wawancara kelompok sebagai suatu percakapan kelompok dengan suatu tujuan. Peneliti kualitatif menyatukan suatu kelompok orang yang relatif sedikit, biasanya 6 hingga 7, menemukan apa yang mereka pikirkan, rasakan, atau tahu mengenai fokus penelitian dari peneliti. Bagaimanapun juga, adalah penting untuk memisahkan wawancara kelompok yang dipakai dalam peneliti kualitatif dengan situasi lainnya yang kadangkala disebut sebagai wawancara kelompok; yaitu serangkaian wawancara individu yang terjadi dalam susunan kelompok. Meskipun yang terakhir tadi mungkin nyaman dan efisien, menggunakan latar kelompok dalam cara ini tidak mengambil keuntungan dari kualitas yang paling penting dari wawancara kelompok; menggunakan dinamika dari interaksi kelompok untuk memperoleh informasi dan pemahaman yang nampaknya kurang bisa dicapai melalui wawancara individu atau pengamatan peserta. Beberapa peneliti lebih suka memakai istilah kelompok fokus untuk menyebut wawancara kelompok yang menekankan interaksi kelompok yang dinamis (Krueger, 1988; Morgan, 1988).

Wawancara kelompok memiliki tempat yang penting dalam penelitian kualitatif, yang mengkombinasikan wawancara individu dan pengamatan peserta. Pada intinya, wawancara kelompok merupakan kesempatan untuk mengamati sekelompok orang yang terpilih yang membahas topik yang menarik bagi peneliti.

Dalam wawancara kelompok yang dilakukan dengan baik, peserta memiliki kesempatan untuk mendengarkan kontribusi dari yang lain, yang mungkin memicu pemahaman baru atau membantu mereka mengembangkan ide-ide mereka secara lebih jelas. Informasi yang mungkin tidak terpikir atau terbagi dalam wawancara individu bisa timbul dalam proses kelompok. Orang seringkali menikmati dan belajar mengenai diri mereka sendiri dari berpartisipasi dalam wawancara kelompok. Mereka memiliki kesempatan untuk memikirkan mengenai persepsi pribadi mereka mengenai masalah atau kejadian, kadangkala mendapatkan pemahaman baru melalui interaksi mereka dengan orang lain dalam kelompok. Peneliti kadangkala mampu untuk “melihat” orang yang berpikir melalui interaksi ini dan bisa memperoleh pemahaman baru dalam bagaimana orang menyusun dunia mereka. Morgan (1988) percaya bahwa wawancara kelompok paling berguna untuk menyelidiki apa yang dipikirkan orang dan mengungkap mengapa orang berpikir demikian.

Wawancara kelompok juga berguna untuk membantu peneliti menggali suatu topik yang baru baginya, atau di mana hanya sedikit informasi yang tersedia. Informasi dan ide-ide yang bisa dihasilkan secara potensial dari diskusi kelompok bisa menyediakan pertanyaan riset yang penting bagi penelitian untuk dikejar di kelompok lain dan/atau dengan metode pengumpulan data lainnya. Jadi wawancara kelompok bisa menjadi suatu cara yang efisien dalam membantu peneliti untuk mulai berfokus pada aspek yang lebih menonjol dari fenomena yang dipelajari.

Keuntungan lain dari wawancara kelompok adalah menyediakan kesempatan bagi peserta untuk mengecek peneliti. Jika peneliti mengejar suatu area penelitian yang pribadi atau cenderung menghasilkan respons yang diinginkan secara sosial, wawancara kelompok menyediakan suatu kesempatan bagi peneliti untuk menunjukkan sensitivitasnya terhadap pandangan dan pengalaman dari peserta penelitian. Ini sangat berharga jika penelitian ingin melakukan wawancara lanjutan secara individu dengan anggota kelompok, di mana menjadi pewawancara yang tidak menghakimi dan bisa dipercaya adalah hal yang krusial.

Merencanakan dan Melakukan Wawancara Kelompok

Ada dua pertimbangan utama dalam merencanakan suatu wawancara kelompok sebagai bagian dari pengumpulan data kualitatif: siapa yang seharusnya saya masukkan ke dalam kelompok? Dan apa yang harus saya tanyakan? Jelasnya, fokus penelitian dari peneliti akan menyediakan suatu arahan awal untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Sangatlah membantu untuk memikirkan anggota potensial dari wawancara kelompok sebagai suatu sampel kecil. Dalam sampel kecil ini anda mungkin ingin memasukkan orang-orang yang, tentunya, relevan bagi studi anda. Jika anda berminat dalam menggali pengalaman remaja, anda akan menginginkan suatu kelompok yang terdiri dari para remaja. Tetapi di luar kategori sampling umum ini, anda mungkin harus memutuskan, atau ‘menduga’, faktor atau variabel mana yang memberikan sumbangan terhadap pengalaman berkencan yang ditemukan di antara para remaja. Penelitian sebelumnya mungkin memberikan beberapa petunjuk, khususnya jika risetnya kualitatif.

Berdasar pada dugaan awal anda mengenai apa yang memberikan sumbangan terhadap variabilitas dalam pengalaman berkencan (atau topik studi lainnya), anda bisa mulai membangun profil anggota wawancara kelompok. Dalam contoh kami, kita bisa berspekulasi bahwa gender, usia, dan budaya sekolah adalah penting dalam memahami pengalaman berkencan. Dengan ini kita mulai merekrut peserta untuk wawancara kelompok, mencari anak wanita dan laki-laki dari usia remaja yang berbeda, dan dari sekolah yang berbeda. Kita mungkin lebih jauh memutuskan bahwa remaja yang muda dan lebih tua mungkin bukan merupakan kombinasi yang bagus untuk dinamika wawancara kelompok, karena perbedaan pengalaman di sekolah menengah pertama dan SMU, dan memutuskan untuk membuat kelompok tersebut lebih homogen. Juga, kita mungkin berspekulasi bahwa kelompok yang berjenis kelamin sama cenderung menghasilkan informasi yang lebih jujur, misalnya tidak dipengaruhi oleh apa yang dipikirkan oleh anggota dari lawan jenisnya terhadap pengalaman dan perspektifnya. Seperti yang bisa anda lihat, tipe-tipe keputusan yang dibuat seseorang mengenai komposisi kelompok sangat berkaitan dengan fokus penelitian peneliti dan pengetahuan peneliti mengenai topik.

Berapa orang yang seharusnya berada dalam wawancara kelompok? Sekali lagi, ada beberapa hal yang dipertimbangkan. Tidak ada jumlah yang terbaik, tetapi batasan luar nampaknya tidak kurang dari 4 orang dan pada umumnya tidak lebih dari 12 orang (Krueger, 1988; Morgan, 1988). Dalam wawancara kelompok kami dengan veteran perang teluk, yang dijelaskan sebelumnya, kami tidak tahu berapa orang veteran yang sukarela menjadi peserta wawancara kelompok kami pada hari ketika kami diundang di tugas pelatihan akhir minggu mereka. Kami berada dalam kelompok yang beragam dari 13 hingga 24 orang anggota, dan kami masih mampu untuk mengadakan ‘percakapan kelompok dengan tujuan’. Bagaimanapun juga, kami sangat merekomendasikan:

a. Kelompok yang lebih kecil yang lebih cenderung untuk memastikan bahwa semua orang akan mampu untuk menjadi bagian diskusi, dan

b. Kelompok yang cukup besar yang akan memberikan sumbangan terhadap keberagaman dalam perspektif.

Seberapa lama waktu wawancaranya? Jika kita berpikir mengenai hal-hal yang perlu dicapai dalam wawancara, menjadi jelas mengapa wawancara kelompok perlu waktu paling tidak satu jam, mungkin dua jam. Kebanyakan peserta mungkin ingin untuk lebih kenal dengan anggota kelompok lainnya dan dengan peneliti sebelum mereka mau untuk membagi pengalaman dan perspektif pribadi mereka. Pembangunan kepercayaan ini memerlukan keterlibatan yang lebih lama. Hal yang paling baik adalah menjadwalkan wawancara kelompok selama dua jam, dan merencanakan wawancara kelompok selama satu setengah jam. Blok waktu dua jam akan menyediakan fleksibilitas yang mencukupi jika wawancaranya menjadi lebih pendek atau lebih panjang.

Ada beberapa pertimbangan logistik dalam melakukan wawancara kelompok. Jelasnya, anda perlu untuk mampu menyusun waktu untuk wawancara ketika semua orang yang diundang bisa datang. Susunan wawancara harus nyaman dan tenang. Anda juga mungkin ingin memakai pena dan kertas untuk mencatat.

Suatu pedoman wawancara seringkali merupakan alat yang berguna bagi pewawancara untuk dipakai dalam situasi wawancara kelompok (Patton, 1990). Ingat bahwa wawancara merupakan serangkaian topik atau pertanyaan yang relatif singkat yang dipakai oleh peneliti untuk memandu percakapan kelompok. Rekomendasi yang ada beragam mengenai seberapa banyak topik atau pertanyaan untuk bisa menyusun pedoman wawancara yang berguna, tetapi kebanyakan peneliti setuju bahwa adalah penting untuk memiliki paling tidak dua topik atau pertanyaan yang luas, dengan subtopik dan pemeriksaan yang telah siap.

Sangatlah menggoda bagi peneliti pemula untuk membangun suatu pedoman wawancara yang luas yang menunjukkan suatu jadwal wawancara. Meskipun jenis persiapan ini bisa membantu untuk meringankan kecemasan dalam melakukan wawancara kelompok, suatu jadwal wawancara yang sangat terstruktur akan membuat kaku percakapan, khususnya jika peneliti memaksa untuk mengajukan semua pertanyaan dan melibatkan semua peserta. Seperti keterampilan riset lainnya, praktek dalam melakukan wawancara kelompok akan mengasah kemampuan peneliti untuk menanyakan beberapa pertanyaan terbuka yang luas untuk secara umum berfokus pada diskusi dan kemudian menyelidiki informasi dan idea lebih jauh. Dalam situasi wawancaralah manusia-sebagai-instrumen paling teruji.

Kenyataan bahwa wawancara kelompok menyatukan beberapa peserta untuk suatu percakapan terbuka mengenai suatu topik tertentu berarti bahwa peneliti tidak akan memiliki peran yang utama daripada dalam situasi wawancara individu satu lawan satu. Peran peneliti dalam wawancara kelompok kadangkala dikarakteristikkan sebagai moderator, mencerminkan pemahaman bahwa peneliti melakukan wawancara yang tidak terlalu langsung daripada ketika wawancara individu. Bagaimanapun juga, keberadaan yang dingin bisa membuat partisipan penelitian merasa menjadi subjek dalam suatu eksperimen dan menghindari untuk membangun hubungan antara peneliti dengan anggota kelompok. Peran moderator akan lebih efektif jika peneliti menunjukkan minat yang tinggi dan juga pemahaman yang kurang lengkap, yang tercermin dalam undangan verbal dan isyarat untuk partisipasi oleh anggota kelompok, dan menyelidiki untuk klarifikasi dan penelitian.

Kami ingin menawarkan beberapa tip lainnya bagi peneliti yang melakukan wawancara kelompok. Seperti dalam situasi wawancara lainnya, adalah penting bahwa peneliti tahu apa yang ingin dia temukan: pedoman wawancara harus berfungsi lebih sebagai referensi daripada suatu skrip. Pada awal wawancara, sangat berguna untuk mengajukan suatu pertanyaan yang bisa dengan mudah direspons oleh semua orang, dan yang menyediakan informasi yang berguna bagi orang lain mengenai tiap-tiap orang, seperti “saya ingin mulai dengan meminta semuanya untuk membagi sedikit mengenai tempat anda tinggal dan bekerja. Kita tidak perlu berurutan. Bill, maukah anda mulai?” Petunjuk yang diberikan oleh peneliti, “Kita tidak perlu berurutan” meminimalkan kecenderungan berputar, rutinitas mengambil giliran, yang menurunkan kualitas pembicaraan yang diinginkan dalam suatu wawancara kelompok. Adalah adil untuk berkata bahwa bagi kebanyakan orang, semakin lama mereka diam dalam suatu kelompok baru, semakin sulit bagi mereka untuk berkontribusi kemudian. Tugas pewawancaralah untuk meminimalkan keadaan ini, dan memandu suatu iklim yang positif yang mendorong keterlibatan. Dalam wawancara kelompok, peneliti yang memimpin atas apa yang dia inginkan akan menjadi suatu diskusi yang spontan, menarik dan melibatkan semua orang di sekitar fokus studi.

Dalam merencanakan dan melakukan suatu wawancara kelompok, anda akan membangun banyak keterampilan dan proses-proses yang telah anda praktekkan di latihan riset sebelumnya.

Anda akan memerlukan beberapa item untuk melakukan latihan ini: (1) Kertas dan pena, (2), Tape recorder, baterai, kabel listrik, (3) Mikrofon eksternal (jika ada), (4) Kaset, dan (5) Ruang yang tenang yang dilengkapi dengan beberapa kursi

Ada beberapa langkah dalam melakukan penelitian kualitatif. Pamela Maykut (1994:109) mengetengahkan beberapa langkah penelitian kualitatif sebagai berikut:

Tentukan suatu fokus penelitian. Anda mungkin ingin menggunakan suatu fokus penelitian yang dikembangkan dalam latihan sebelumnya, atau memformulasikan yang baru untuk latihan ini. Ingat bahwa suatu wawancara kelompok akan berguna untuk menggali suatu topik yang tidak banyak anda ketahui.
Kembangkan suatu pedoman wawancara berdasar pada fokus penelitian anda. Untuk latihan ini anda harus mencoba melakukan paling tidak wawancara kelompok selama satu jam, sehingga anda akan bisa mengembangkan pertanyaan-pertanyaan yang bisa dibahas. Gunakan informasi yang ada dalam bab ini mengenai wawancara untuk membantu anda mengembangkan pedoman wawancara anda.
Kembangkan suatu rencana sampling. Sampel apa yang disarankan oleh fokus penelitian anda? Mengapa anda perlu berbicara dengan orang lain untuk memperoleh pemahaman mengenai topik anda? Dalam kelompok luas ini, jenis karakteristik atau pengalaman yang berbeda apakah yang akan mempengaruhi pengetahuan, pengalaman, atau perspektif seseorang mengenai topik yang anda gali? Tipe orang seperti apa yang cenderung bisa menyediakan informasi yang terbesar bagi anda mengenai topik anda? Kembangkan suatu profil dari tiap orang yang ingin anda masukkan sebagai bagian dari wawancara kelompok anda. Profil-profil ideal ini merupakan pedoman anda untuk memilih orang bagi kelompok anda, dan tidak ditujukan sebagai syarat wajib.
Temukan paling tidak empat peserta bagi wawancara kelompok anda, di luar anda sendiri. Atur waktu dan tempat untuk wawancara yang nyaman bagi peserta, dan yang memungkinkan perekaman secara audio (misal, adakah colokan listrik? Apakah ruang tersebut tenang? Bisakah kita bekerja tanpa terganggu?).
Sebelum melakukan wawancara:
Ingat-ingat pedoman wawancara anda. Meskipun anda akan membawa pedoman wawancara anda selama wawancara, semakin pasti anda akan apa yang akan anda tanyakan, semakin besar kemungkinan bahwa anda akan mendapatkan ‘suatu percakapan kelompok dengan suatu tujuan’.
Satukan semua material dan peralatan yang anda perlukan untuk melakukan wawancara: audio-casette recorder, kabel listrik, mikrofon eksternal (jika ada), paling tidak dua kaset kosong, pena dan kertas, pedoman wawancara anda, dan buku catatan. Pastikan semua peralatan dalam kondisi yang bagus.
Telepon peserta semalam sebelum wawancara untuk mengingatkan mereka waktu dan tempat wawancara.
Lakukan wawancara kelompok. Pada awal wawancara: (a) sebutkan tujuan dari wawancara, (b) beritahu peserta secara umum mengapa mereka diminta terlibat, (c) bagi komitmen anda akan kerahasiaan; dan kemudian, dan kemudian (d) minta ijin untuk merekam wawancara tersebut. Hidupkan tape recorder dan minta ijin tiap-tiap peserta untuk direkam dalam tape. Kemudian mulai wawancara.
Segera setelah wawancara selesai, tuliskan suatu ringkasan mengenai apa yang terjadi. Ini merupakan kesempatan untuk ringkasan reflektif tanpa mendengarkan rekaman wawancara terlebih dahulu. Rekoleksi anda merupakan hal yang berharga.
Dengarkan rekaman tape dengan hati-hati untuk menilai keterampilan wawancara anda. Bagaimana anda mengevaluasi keterampilan wawancara anda? Apa yang anda lakukan dengan baik? Apa yang perlu anda kembangkan? Dalam melakukan wawancara kelompok lainnya di masa depan, apakah yang anda lakukan dengan cara yang sama? Apa yang akan anda lakukan secara berbeda?
Akhirnya, dengarkan rekaman tape dari wawancara kelompok mengenai muatan substantifnya. Apa yang telah anda pelajari mengenai fokus penelitian anda? Apakah tema yang menonjol yang bisa dikejar, jika anda ingin melanjutkan kajian kualitatif ini?

Transkrip dari wawancara kelompok disiapkan sesuai dengan pedoman untuk menuliskan wawancara individu yang dibahas di atas. Sebagai tambahan, tiap anggota kelompok diberikan nama samaran dan kata-katanya dituliskan sesuai dengan apa yang dia ucapkan. Kadangkala merupakan proses yang menjengkelkan untuk mengidentifikasi siapa yang berbicara pada waktu tertentu; penulisan yang segera memfasilitasi usaha ini. Setelah selesai, transkrip wawancara kelompok difotokopi untuk dipakai dalam analisis data (Maykut, 1994:110).

Konteks Wawancara

Di mana sebaiknya peneliti melakukan wawancara? Pertanyaan ini penting mengingat tempat di mana peneliti melakukan wawancara sangat mempengaruhi hasil wawancara (data). Dalam hal ini peneliti sebaiknya tidak menentukan sendiri di mana sebaiknya wawancara dilakukan. Peneliti jangan segan-segan untuk menawarkan pada responden di mana sebaiknya wawancara dilakukan. Tempat wawancara yang baik adalah yang dipilih oleh responden sendiri, bukan yang nyaman menurut selera peneliti. Usahakan informan sendiri yang menentukan atau disepakati bersama. Melakukan wawancara di kantor pribadi bisa jadi kurang nyaman karena suasana yang biasanya ramai dan relatif banyak gangguan. Seringkali wawancara terjadi di lingkungan rumah anggota (informan) sehingga dia merasa nyaman. Tatapi hal ini tidak senantiasa menjadi yang terbaik. Apabila anggota tidak merasa nyaman (no privacy), peneliti pindah ke tempat lain (Neuman, 2000:375).

Tempat yang nyaman memberikan keleluasaan bagi informan untuk menyampaikan secara lebih bebas dan terbuka berbagai informasi atau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti. Dengan demikian informasi atau data yang diperoleh lebih terjamin keakuratannya.

TEKNIK OBSERVASI

Observasi merupakan salah satu teknik pengumpulan data dalam penelitian apapun, termasuk penelitian kualitatif, dan digunakan untuk memperoleh informasi atau data sebagaimana tujuan penelitian. Istilah observasi dalam penelitian kuantitatif biasanya hanya dikenal dengan satu sebutan saja, yakni teknik observasi (pengamatan). Sedangkan dalam penelitian kualitatif ada beberapa tipe observasi sebagaimana akan dijabarkan dalam uraian mendatang. Istilah observasi, di mana sebagian besar ilmuwan sosial memaknakan observasi partisipan, telah menjadi sinonim dengan penelitian lapangan (Williamson, Karp, dan Dalpin, 1977:199), kerja lapangan, atau observasi tidak terkontrol, observasi partisipan dan nonpartisipan (Guban dan Lincoln, 1981:189).

Tujuan data observasi adalah untuk mendeskripsikan latar yang diobservasi; kegiatan-kegiatan yang terjadi di latar itu; orang-orang yang berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan; dan makna latar, kegiatan-kegiatan, dan partisipasi mereka dalam orang-orangnya (Patton, 1980:124).

Ada banyak alasan yang baik untuk mempergunakan teknik-teknik observasi dalam penelitian; misalnya, teknik ini dibangun atas pengalaman langsung (direct experinence). Douglas (1976) membuat pernyataan bahwa di dalam kehidupan sehari-hari orang-orang menggunakan tes-tes kebenaran yang beragam tetapi yang paling penting dari tes-tes ini adalah pengalaman langsung. Kami menggunakan pengalaman langsung tentang sesuatu. “Melihat adalah percaya.” “Pengalaman adalah guru terbaik.” Pengalaman langsung tampak menjadi tes kebenaran yang paling dapat menembus, paling mendasar; pengalaman personal yang langsung paling dapat dipercaya pada setiap orang. Teknik observasi memungkinkan untuk merekam perilaku atau peristiwa ketika perilaku dan peristiwa itu terjadi. Selltiz (1959) menjelaskan bahwa asset utama observasi itu adalah memungkinkannya untuk merekam perilaku ketika terjadi. Kualitas simultanitas, kualitas “saya di sana,” merupakan persuasi yang sangat besar bukan hanya pada pengamat tetapi juga orang-orang lain pada siapa pengamat itu melaporkan hasil observasi. Lebih dari itu, teknik observasi membuat kemungkinan untuk membangun dalil (propositional) dan pengetahuan tak terucapkan (tacit knowledge). Kemungkinan utama peneliti menjadi instrumennya sendiri adalah kemampuannya untuk menggunakan pemahaman tak terucapkan dan dalil-dalil suatu situasi. Observasi sebagai teknik tidak diragukan lagi memberikan rentangan yang paling luas tentang input (data) yang dapat diinterpretasikan oleh peneliti yang sedang menggunakan basis pengetahuan yang tak terucapkan. Selanjutnya McCall dan Simmons (1969) menegaskan bahwa teknik-teknik observasi diadaptasi dengan baik untuk memaksimalkan penemuan dan deskripsi. Tentu ini merupakan asset yang memberikan keuntungan khusus ketika tidak ada teori a priori untuk membimbing observasi. Dibandingkan dengan teknik-teknik lainnya dalam pengumpulan data pada umumnya, kerjasama aktif subjek diperlukan; misalnya, ia harus mengisi questionnaire atau merespon pertanyaan. Tetapi observasi dapat dalam banyak hal dilakukan tanpa kerjasama yang demikian, dan sungguh, bahkan tanpa pengetahuan subjek observasi dapat berlangsung. Teknik-teknik observasi juga meningkatkan kemampuan peneliti untuk memahami situasi-situasi yang rumit. Yang terakhir, bahwa teknik-teknik observasi memungkinkan pengumpulan data dalam hal-hal di mana bentuk-bentuk komunikasi lainnya tidak mungkin bisa melakukan. Dalam penelitian di mana subjek baik yang tidak bisa berbicara – bayi, misalnya, atau anak-anak yang cacat – atau tidak mau berbicara, misalnya, yang tidak percaya pada pengamat dan anti usaha penelitiannya – metode observasi memungkinkan paling tidak beberapa kesempatan untuk melakukan studi tanpa kerjasama aktif subjek. Lagi pula, aspek-aspek etika dalam observasi itu harus dipertimbangkan.

Tentang penggunaan teknik observasi kadang-kadang orang-orang belum memahami apakah teknik itu digunakan secara tunggal atau dapat digunakan dengan teknik-teknik lainnya. Dalam penelitian kualitatif teknik observasi biasa digunakan bersamaan dengan teknik wawancara mendalam (deep interview). Kedua teknik ini merupakan teknik-teknik utama. Seperti dikatakan Strauss (1990: 18) bahwa beberapa peneliti mengumpulkan data dengan alat wawancara dan observasi—teknik-teknik yang biasanya berkaitan dengan metode kualitatif. Para pekerja lapangan anthropologi mengkombinasikan data catatan lapangan dari observasi saksi mata personal dengan informasi yang diperoleh dari wawancara alamiah informal dan deskripsi informan (Pelto and Pelto, 1978:5). Namun demikian tidak melepas juga penggunaan teknik analisa dokumentasi; hanya saja fungsinya lebih sebagai pelengkap data yang diperoleh khususnya melalui teknik wawancara mendalam

Observasi Partisipan

Bagian ini akan menjelaskan secara khusus mengenai observasi partisipan. Dalam uraian di atas telah dikemukakan antara lain tentang definisi umum observasi, alasan penggunaan maupun beberapa jenis observasi. Menurut Becker dan Geer (dalam Patton, 1980:30) bahwa observasi partisipan adalah yang paling komprehensif dari semua tipe strategi penelitian. Dengan observasi partisipan ini peneliti dapat memahami lebih dalam tentang fenomena (perilaku atau peristiwa) yang terjadi di lapangan.

Bogdan dan Taylor (1975) mendefinisikan observasi partisipan sebagai suatu periode interaksi sosial yang intensif antara peneliti dan subjek dalam suatu lingkungan tertentu. Observasi partisipan dipakai untuk menunjuk kepada penelitian yang bercirikan suatu periode interaksi sosial yang intensif antara peneliti dengan subjeknya, di dalam lingkungan subjek itu. Hartouse Powdermaker menggambarkan asumsi dasar mengenai observasi partisipan: Untuk memahami suatu masyarakat, ahli anthropologi telah membenamkan dirinya ke dalam masyarakat itu, sejauh mungkin, berpikir, melihat, merasa dan kadang-kadang bertindak sebagai anggota ahli anthropologi yang terlatih dari budaya yang lain (Powdermaker, 1967:9). Pengamat partisipan terlibat sepenuhnya dalam mengalami latar di bawah studi sementara pada waktu yag sama mencoba untuk memahami latar itu melalui pengalaman seseorang, mengobservasi dan wawancara dengan partisipan lain tentang apa yang sedang terjadi (Patton: 1980:127). McCall dan Simmons (dalam Bogdan dan Taylor, 1975) juga menegaskan bahwa pengamat menenggelamkan diri dalam kehidupan orang-orang dan situasi yang ingin dimengerti. Ia berbicara, bergurau, bersatu rasa (empati) dengan mereka, dan ikut menghayati kehidupan serta pengalaman mereka. Kontak yang berlangsung lama di tempat itu memungkinkan pengamat melihat dinamika konflik dan perubahan, sehingga ia dapat melihat susunan, hubungan, serta definisi kelompok dan individu yang sedang berkembang. Oleh karena itu, dibandingkan dengan praktisi metodologi lainnya, ia memperoleh keuntungan yang unik.

Dalam pelaksanaannya, observasi partisipan seringkali digunakan bersama teknik wawancara, bahkan juga analisa dokumen. Observasi partisipan memerlukan suatu kombinasi dan wawancara informal. Ini penting, sehingga pengamat …tidak membuat asumsi tentang makna mengenai apa yang mereka observasi tanpa memasukkan persepsi-persepsi partisipan tentang perilaku mereka sendiri (Patton, 1980:145). Denzin juga mengungkapkan hal yang senada, bahwa observasi partisipan adalah suatu strategi lapangan yang menyangkut banyak hal yakni mengkombinasikan secara simultan analisa dokumen, wawancara responden dan informan, observasi partisipan langsung serta introspeksi (Denzin, 1978:183).

Secara historis adalah para anthropolog budaya yang telah mengembangkan dan memperbaiki metode pengumpulan data kualitatif yang disebut observasi partisipan. Para anthropolog budaya yang terkenal seperti Margaret Mead dan Ruth Benedict telah berusaha untuk memahami kehidupan orang-orang dengan istilah-istilah mereka sendiri dengan memakan waktu yang sangat lama dengan orang-orang yang hidup di latar alami di mana mereka tinggal. Usaha-usaha para anthropolog tersebut dengan menggambarkan kultur aspek-aspek kultur yang disebut ethnografi, dan berbagai perhitungan ethnografis tentang kehidupan orang-orang di tempat-tempat, iklim-iklim, dan tahap-tahap perkembangan yang berbeda-beda (Boas, 1911; Malinoswki, 1932; Mead, 1960). Observasi partisipan juga mempunyai tradisi yang kaya dalam sosiologi dan pendidikan. Yang lebih baru lagi Robert Coles (1989) John Holt (1964, 1967), dan Jonathan Kozol (1986) telah memberikan penjelasan tentang perhitungan pengalaman sekolah para siswa dan menemukan cara pada reformasi-reformasi pendidikan yang penting. Dari para ahli ethnografi inilah kita telah mempelajari untuk menjadi seorang pengamat partisipan.

Pengamat partisipan berusaha untuk masuk ke dalam kehidupan orang-orang lain, mendiami, menurut istilah Polanyi, menghentikan sementara sebanyak mungkin cara-cara mereka sendiri untuk memandang dunia. Dalam arti yang luas, pengamat partisipan mengajukan pertanyaan-pertanyaan: Apa yang sedang terjadi di sini? Apa yang penting di dalam kehidupan orang-orang di sini? Bagaimanakah mereka akan menggambarkan kehidupan mereka dan bahasa apakah yang akan mereka gunakan untuk melakukannya? Tugasnya adalah mendengarkan dengan sungguh-sungguh dan mengamati dengan cermat tentang apa yang sedang terjadi di antara orang-orang di dalam suatu situasi atau organisasi atau budaya tertentu dalam suatu usaha untuk memahami secara lebih mendalam tentang hal-hal tersebut dan tentang orang-orang tersebut. Dengan berdasarkan lagi pada disain penelitian ‘darurat’, pengamat partisipan memulai dengan suatu fokus penelitian yang luas dan melalui proses yang sedang berlangsung tentang mengamati dan berpartisipasi di dalam latar, mencatat apa yang sia lihat dan dengar, dan menganalisa data, aspek-aspek yang menonjol dari latar yang muncul. Observasi secara berurutan diarahkan dengan penemuan awal.

Observasi partisipan merupakan metode pengumpulan data yang sangat memerlukan ketrampilan tertentu bagi peneliti kualitatif. Seperti yang dicatat oleh Norman Denzin (1978), observasi partisipan ‘secara bersamaan menggabungkan analisa dokumen, observasi responden dan informan, partisipasi dan observasi langsung, serta introspeksi’. Sebagai tambahan, dengan memperoleh akses pada latar yang ingin kita kaji seringkali memerlukan taktik dan ketangguhan. Dengan berada di dalam dan di luar latar juga sambil mengamatinya, memperluas ketrampilan-ketrampilan antar pribadi dan pemrosesan informasi. Dan keterlibatan yang diperpanjang, selama berpekan-pekan atau berbulan-bulan, perlu memahami orang-orang lain dalam konteks beban-beban enerji dan meskipun bagi para peneliti yang paling berpengalaman. Namun demikian, memungkinkan untuk menggambarkan banyak ketrampilan yang mungkin telah anda miliki untuk mengembangkan ketrampilan anda sebagai seorang pengamat partisipan (Maykut, 1994:69-70).

Jenis Partisipasi
Tentang jenis partisipasi dalam penelitian kualitatif dikemukakan oleh beberapa ahli penelitian kualitatif yang antara lain sebagaimana dalam uraian berikut berikut.

Patton (1980:130) menyatakan bahwa suatu hal yang utama tentang validitas dan reliabilitas tentang data observasi berkenaan dengan efek-efek dari pengamat tentang apa yang diamati. Pengertian dasar di sini ialah bahwa orang-orang mungkin berperilaku sangat berbeda jika mereka mengetahui bahwa mereka diamati dibandingkan dengan bagaimana mereka berperilaku jika mereka tidak menyadari bahwa mereka diamati. Jadi, argumentasi terus berjalan, observasi terbuka lebih cenderung menangkap apa yang sebenarnya terjadi dibandingkan dengan observasi terbuka atau terang-terangan di mana orang-orang di dalam latar menyadari bahwa mereka dikaji.

Ada suatu tingkatan sepenuhnya tentang pendapat-pendapat yang berkenaan dengan etika dan moralitas tentang pelaksanaan penelitian terbuka. Pada ujung akhir dari ‘kontinuum’ (rangkaian kesatuan) adalah oposisi absolut oleh Edward Shils (1959) pada semua bentuk penelitian terbuka. Dia menentang “observasi perilaku pribadi, namun demikian kelayakan secara teknis, tanpa ijin eksplisit dan sepenuhnya diinformasikan dari orang yang diamati”; dia membantah bahwa seharusnya ada penyingkapan penuh tentang tujuan dari setiap proyek penelitian, dan membantah bahwa bahkan teknik dari observasi partisipan adalah “tidak layak secara moral ….. manipulasi” kecuali jika pengamat membuat pertanyaan-pertanyaan secara eksplisit pada permulaan dari observasi tersebut (Shils, 1959; dikutip dalam Webb et al., 1966:vi). Pada ujung kontinuum lainnya adalah pendekatan “penelitian sosial investigatif” dari Jack Dougklas (1976). Douglas membantah bahwa metode-metode bidang anthropologis konvensional telah didasarkan pada suatu pandangan konsensus tentang masyarakat yang berasumsi bahwa orang-orang pada dasarnya adalah kooperatif dan suka membantu serta bersedia untuk memiliki sudut pandangan mereka dipahami dan berbagi dengan isi dunia lainnya, berbeda dengan model konsensus, Douglas menggunakan suatu paradigma konflik dari masyarakat yang mengarahkannya untuk percaya bahwa setiap dan semua metode penelitian tersamar harus dianggap merupakan pilihan dapat diterima dalam suatu usaha mencari kebenaran.

Paradigma investigatif didasarkan pada asumsi bahwa perbedaan perbedaan minat, nilai, dan tindakan yang menonjol yang mencakup kehidupan sosial. Dijamin bahwa banyak orang yang dimaksud, mungkin semua orang pada hakekatnya, mempunyai alasan yang baik untuk menyembunyikan tentang apa yang sedang dilakukannya dan bahkan berbohong kepada mereka. Disamping percaya kepada orang-orang dan mengharapkan kepercayaan pada gilirannya, orang mencurigai orang-orang lain dan mengharapkan mencurigai mereka. Konflik adalah realita kehidupan; rasa curiga adalah mengarahkan pada prinsip … Ini adalah perang dari semua pihak terhadap semua pihak dan tidak ada yang memberikan kepada setiap orang sesuatu bukan untuk apa-apa, khususnya kepercayaan.

Semua orang dewasa yang berkompetensi diasumsikan mengetahui bahwa setidak-tidaknya terdapat empat persoalan utama terletak pada cara untuk sampai pada realita dengan menanyakan kepada orang tentang apa yang sedang terjadi dan bahwa persoalan ini harus ditangani jika orang harus menghindarkan untuk diambil, dikorbankan, ditertibkan, digunakan, dipakai, dibodohkan, ditipu, dan lain sebagainya. Keempat persoalan tersebut adalah (1) misinformasi; (2) penyingkiran; (3) berbohong; (4) dihadapi (Douglas, 1976:55, 57).

Hanya sebagai partisipan bukan merupakan suatu pernyataan di dalam suatu penelitian observasional, observasi dan tujuan dari penelitian tersebut bukan suatu pernyataan juga. Ukuran di mana partisipasi di dalam suatu program yang dikaji, jadi pertanyaan tentang seberapa eksplisitkah diinformasikan bahwa mereka diamati dan diberitahu tujuan penelitian beragam dari penyingkapan sepenuhnya hingga tidak dan penyingkapan, dengan banyaknya variasi sepanjang pertengahan dari kontinuum ini. Buford Junker (dalam Patton, 1980:131-132) mengembangkan suatu tipologi tentang observasi partisipan yang menggambarkan empat poin sepanjang kontinum ini:

Partisipasi Lengkap.

Dalam peranan ini, kegiatan-kegiatan pengamat seperti seperti itu adalah seluruhnya tersembunyi. Pekerja lapangan tersebut adalah atau menjadi seorang anggota lengkap dari suatu kelompok-dalam, dengan demikian berbagi informasi rahasia yang dijaga dari pihak-pihak luar. Kebebasan petugas lapangan untuk mengamati di luar sistem hubungan-hubungan kelompok-dalam mungkin sangat terbatas sekali, dan dalam suatu peranan seperti itu cenderung menutup persepsi tentang bekerja mengenai reaksi berbalasan antara kelompok-dalam dan sistem sosial yang lebih besar, juga tidak mudah untuk beralih dari peran ini ke peran lain memungkinkan observasi secara mendetil tentang sistem yang lebih besar.

Partisipan sebagai Pengamat.

Pada peranan ini, kegiatan-kegiatan pengamat petugas lapangan tidak seluruhnya tersembunyi, tetapi “tertutup di bawah selubung” sedemikian rupa, atau terlihat kurang penting pada kegiatan-kegiatan sebagai partisipan, kegiatan-kegiatan yang memberikan kepada orang-orang dalam situasi itu dasar-dasar utama mereka untuk mengevaluasi para petugas lapangan dalam peranan mereka. Peranan ini mungkin membatasi akses pada beberapa jenis informasi, mungkin khususnya pada tingkat rahasia; tepatnya bagaimana dia “merangking” sebagai seorang “Anggota dari Pernikahan” semu akan berpengaruh terhadap kemampuan para petugas lapangan untuk mengkomunikasikan di bawah tingkat informasi publik.

Pengamat sebagai Partisipan.

Ini merupakan peranan di mana kegiatan-kegiatan pengamat seperti itu diketahui secara umum pada permulaannya, adalah lebih kurang disponsori secara publik oleh orang-orang di dalam situasi yang dikaji, dan secara sengaja tidak “tertutup di bawah selubung”. Peranan tersebut bisa memberikan akses pada informasi yang sangat luas dan bahkan rahasia bisa diberikan kepada petugas lapangan ketika dia semakin diketahui untuk menyimpannya, serta untuk menjaga informasi dapat dipercaya. Pada peranan ini para ilmuwan sosial bisa memperoleh kebebasan maksimal yang dapat dilihat untuk mengumpulkan informasi tetapi hanya pada harga menerima hambatan-hambatan maksimal terhadap pelaporannya.

Pengamat yang Lengkap.

Ini menggambarkan luasnya peranan di mana, pada satu ekstrim, pengamat bersembunyi di balik cermin satu sisi, mungkin dilengkapi dengan fasilitas film suara, dan pada ekstrim yang lainnya, kegiatan-kegiatannya secara lengkap adalah umum atau publik, dengan konsensus, “tidak ada rahasia” dan “tidak ada yang disakralkan” (Junker, 1960:35-38).

Di dalam kerja lapangan tradisional untuk tujuan penelitian dasar, keputusan tentang sejauh mana observasi akan tersamar dibuat di dalam konteks usaha peneliti untuk memperoleh kebenaran. Peneliti itu sendiri menanggung tanggung jawab untuk memutuskan bagaimana kebenaran ilmiah dapat diperoleh dengan sebaik-baiknya (Patton, 1980:132).

Spradley (1980:58) menyatakan bahwa setiap survei tentang pengamat partisipan menyatakan perbedaan besar tentang daya dari penelitian mereka. Salah satu perbedaan penting ialah tingkat dari keterlibatan mereka, baik dengan orang-orang ataupun di dalam kegiatan-kegiatan yang mereka amati. Selanjutnya dia menjelaskan lima jenis partisipasi yang berkisar sepanjang kontinuum keterlibatan, yang meliputi: (1) nonpartisipasi, (2) partisipasi pasif, (3)partisipasi moderat, (4) partisipasi aktif, dan (5) partisipasi lengkap. Kelima jenis partisipasi tersebut dijelaskan dalam uraian berikut.
Nonpartisipasi

Seorang pengamat bisa melakukan pengumpulan data tanpa harus melibatkan diri langsung ke dalam situasi di mana peristiwa itu berlangsung, melainkan dengan menggunakan media tertentu (misalnya, elektronik). Cara yang demikian itu disebut sebagai nonpartisipasi. Tentu penggunaan nonpartisipasi itu karena alasan-alasan atau tujuan tertentu. Kadang-kadang jenis penelitian ini bisa dilaksanakan oleh orang yang sangat pemalu yang senang melaksanakan bidang ethnografis tetapi ingin menghindarkan keterlibatan. Kadang-kadang suatu situasi sosial khusus tidak memungkinkan untuk semua partisipasi, tetapi akan memungkinkan untuk mengadakan penelitian.

Menonton televisi memberikan kesempatan lain bagi nonpartisipan untuk melakukan observasi. Sebagai contoh, jenis perogram yang sedikit kurang “dipanggungkan” yang memberikan kemungkinan pengamat, seperti permainan sepak bola. Atau juga pada petistiwa insidental di mana tidak memungkinkan pengamat terjun di lokasi di mana peristiwa berlangsung, misalnya bagaimana perilaku para calon presiden pada waktu mereka hadir di pasar, pabrik, lokasi pengungsian dan lain sebagainya dalam rangka memperoleh simpatik masyarakat. Dengan menonton berbagai permainan yang ditelevisikan, seorang pengamat dapat memperoleh tidak hanya peraturan eksplisit bagi permainan tersebut tetapi juga peraturan yang tidak diucapkan untuk mengenakan seragam, menampilkan permainan separuh waktu, mengkomunikasikan secara tidak verbal, memperlihatkan rasa tertarik bagi anggota tim lainnya, dan bahkan bagaimana berperilaku sebagai seorang pengamat olah raga. Kartoon anak, iklan komersial, reporter berita, dan seluruh rangkaian program-program yang memberikan kesempatan lain bagi kajian ethnografis tanpa adanya keterlibatan

Adanya aturan-aturan dari pihak pemegang kekuasaan atau pimpinan yang tidak memungkinkan pengamat berpartisipasi di dalamnya, memungkinkan pengamat mengumpulkan data melalui media elektronik (televisi), seperti tayangan (langsung) sidang tahunan atau sidang istimewa DPR, di mana kita dapat mengetahui bagaimana suasana sidang, bagaimana perilaku anggota sidang saat mereka mengikuti berlangsungnya sidang baik cara mereka mengajukan pertanyaan maupun saat memberikan komentar atau tanggapan terhadap laporan-laporan tertentu, dan bentuk-bentuk perilaku lainnya.
Partisipasi Pasif

Para pengamat yang terlibat di dalam partisipasi hadir pada saat tampilan tindakan tetapi tidak berpartisipasi atau berinteraksi dengan orang-orang lain pada ukuran tertentu. Tentang segala hal yang perlu anda lakukan ialah mendapatkan suatu “paska observasi” dari mana untuk mengamati dan merekam apa yang sedang berlangsung. Jika partisipan pasif menduduki peranan di dalam situasi sosial, itu hanya merupakan “orang yang berdiri di dekatnya”, “penonton atau pemerhati”, atau “orang yang luntang-lantung”. Misalnya, observasi terhadap suasana dan perilaku (interaksi) pedagang dan pembeli pada saat melakukan tawar-menawar jual-beli di pasar. Pengamat mengambil posisi di dekat mereka atau jalan-jalan di sekitarnya sambil mendengarkan pembicaraannya, melihat rawut muka atu penampilan fisiknya dan wujud barang-barang yang ditawarkan sambil lalu melakukan pertanyaan-pertanyaan tertentu baik pada pembeli atau pada penjual.

Observasi partisipan di tempat-tempat umum sering dimulai dengan jenis sikap teguh seperti ini. Saya menghabiskan waktu beberapa jam sebagai penonton di Pengadilan Kriminal Seattle mengamati pemabuk, karyawan pengadilan, penonton lainnya. Untuk memulai dengan tidak ada orang yang mengetahui tentang identitas saya atau apa yang sedang saya lakukan. Selanjutnya, saya mulai lebih aktif dan mewawancarai hakim, berbicara dengan para pegawai, dan mengembangkan hubungan-hubungan yang aktif dengan banyak orang yang muncul di pengadilan tentang bahan pembicaran pemabuk (Spradley, 1970).

Kita dapat menyimpulkan banyak sekali tentang peraturan kultural yang diikuti oleh orang-orang dari sudut yang menguntungkan bagi seorang partisipan pasif. Jika anda berdiri di luar jendela dari sebuah rumah sakit anak-anak dan mengamati para perawat dan bayi, anda akan memperhatikan pola perilaku kultural – cara memegang bayi, berapa lama boleh menangis, dan pola mengubah dan memberi makan/minum mereka. Di latar atau tempat-tempat ini anda diharuskan untuk tetap berada di luar jendela anak-anak tersebut, tetapi di banyak situasi kita dapat segera pindah dari partisipan pasif ke yang lebih banyak keterlibatan.

Perhatikan contoh lainnya tentang partisipasi pasif. Pada kajiannya tentang kelas-kelas ballet, Hall (1976) menerima ijin untuk mengadakan observasi di enam studio ballet. Dia telah mengambil pelajaran sendiri selama enam belas tahun pada masa sebelumnya dari kehidupannya tetapi memutuskan untuk mengamati untuk tujuan-tujuan pengamat. Dia mengunjungi kelas-kelas yang telah lanjut di setiap studio selama tiga pekan, kemudian menentukan untuk mengamati tiga kelas di satu studio selama dua bulan. Dia tidak masuk ke dalam kegiatan kelas tetapi mengambil tempat di dekatnya mengamati dan membuat catatan. Dari pengalaman sebelumnya sebagai seorang partisipan biasa, dia pindah ke mengamati dengan cara pasif ini. Selanjutnya dia mewawancarai sepuluh orang anggota dari sebuah kelas lanjut untuk melengkapi observasinya.
Partisipasi Moderat

Meningkatkan skala keterlibatan kita sampai pada gaya penelitian yang digambarkan telah digambarkan sebelumnya pada bab ini. Partisipasi moderat terjadi bila ahli ethnografi berusaha untuk memelihara suatu keseimbangan antara menjadi seorang dalam dan orang luar, antara partisipasi dan pengamat. Kajian Sander tentang para pemain “jackpot” atau “pinball” (1973) merupakan salah satu contoh yang bagus dari partisipasi moderat. Dia masuk ke daerah ‘West Coast’ pool hall sebagai seorang “lontang lantung” dan “penonton permainan”, dua peran yang dia amati dapat diterima di tempat ini. Dari permulaan dia membuat catatan dengan hati-hati, merekamnya setelah kembali dari suatu perjalanan. Pada waktu dia memainkan mesin tersebut, bahkan mengembangkan kecenderungan khusus seperti yang dimainkan oleh para pemain reguler, tetapi dia tidak pernah memperoleh ketrampilan atau status dari seorang reguler.

Partisipasi Aktif

Partisipan aktif berusaha melakukan apa yang dilakukan orang lain, tetapi pada belajar yang lebih penuh peraturan atau perilaku kultural. Partisipasi aktif dimulai dengan observasi, tetapi ketika pengetahuan tentang apa yang dilakukan orang lain tumbuh, ahli ethnografi tersebut berusaha untuk mempelajari perilaku yang sama. Richard Nelson berusaha untuk menjadi seorang partisipan aktif selama penelitiannya di antar0a orang-orang Eskimo. Dia menulis: Metode utama dari pengumpulan data di seluruh kajian ini didasarkan pada observasi. Tetapi observasi tentang suatu hakekat khusus. Ini bukan “observasi partisipan” dalam arti bahwa sebagian besar anthropolog menggunakan istilah tersebut. Ini melibatkan lebih dari hidup di dalam sebuah komunitas dan berpartisipasi di dalam kehidupan sehari-hari hanya dalam ukuran bahwa seseorang selalu berada di sana untuk melihat apa yang sedang terjadi. Jenis observasi ini tanpa benar-benar terlibat sebagai bagian dari kegiatan atau interaksi yang bisa diistilahkan dengan partisipasi pasif.

Kajian sekarang ini menggunakan sebuah teknik yang saya pilih untuk disebut partisipasi “aktif” atau “penuh”. Artinya bahwa agar dapat mendokumentasikan teknik-teknik berburu dan mengadakan perjalanan di mana pengamat berusaha untuk mempelajari dan menguasainya sendiri – berpartisipasi di dalamnya pada ukuran sepenuhnya.

Jika partisipasi sepenuhnya digunakan untuk mendokumentasikan suatu teknik seperti misalnya suatu metode “/berburu”, pengamat harus belajar melakukannya sendiri dengan sekurang-kurangnya kemampuan miniml yang perlu untuk berhasil. Dalam arti, dia mengamati orang-orang lain dan belajar dari mereka, tetapi dia belajar mengamati sendiri juga. (1969:394).

Meskipun partisipasi aktif merupakan suatu teknik yang benar-benar bermanfaat, tidak semua situasi sosial memberikan kesempatan yang sama seperti yang dilakukan orang Eskimo berburu anjing laut. Pengamat belajar membuka pembedahan jantung di rumah sakit atau tarian para penari ballet profesional bisa mengalami kesulitan untuk melaksanakan kegiatan yang sama seperti mereka melakukan dengan pembedahan atau dengan cara menari ballet. Sebagian besar para ahli ethnografi dapat memperoleh beberapa bidang dalam penelitian mereka di mana partisipasi aktif adalah layak dan bahkan penggunaan yang terbatas dari teknik ini akan memberikan kontribusi pada pemahaman yang lebih bersar.
Partisipasi Lengkap

Tingkat keterlibatan yang tertinggi bagi pengamat mungkin ada ketika mereka mengkaji suatu situasi di mana mereka telah menjadi para partisipan biasa. Nash (1975) naik bus setiap hari ke Universitas Tulsa dan memutuskan untuk melakukan ethnografi untuk para penumpang bus. Dia adalah seorang partisipan yang lengkap, telah mempelajari peraturan untuk menumpang bus, dan hanya mulai untuk mengadakan observasi sistematis selama proses kegiatannya lengkap setiap hari. Dalam kajian ethnografis lainnya, Nash (1977) memanfaatkan keterlibatannya lengkap dalam perjalanan yang berjarak cukup jauh untuk melakukan ethnografi dari para penumpang bus tersebut. Dia merupakan seorang partisipan yang lengkap, telah belajar tentang pergi ke rumah sakit karena, dengan cepat setelah menyelesaikan pekerjaan sarjana, dia menjadi seorang pasien. Becker mengkaji para musisi jazz, dan menulis: Saya mengumpulkan bahan untuk kajin ini dengan observasi partisipan, dengan berpartisipasi dengan para musisi pada berbagai situasi yang meningkatkan pekerjaannya dan kehidupan waktu luangnya. Pada waktu yang sama saya melakukan kajian tersebut. Saya telah memainkan piano secara profesional selama beberapa tahun dan aktif dalam lingkaran musik di Chicago (1963:83-84).

Contoh-contoh dari para pengamat tersebut yang telah mengubah situasi biasa di mana mereka merupakan anggota ke dalam latar penelitian dapat terus berjalan. Memang, dalam sebuah artikel yang mengagumkan, “Berbagai Penelitian tentang kesempatan”, Reiner (1977) meninjau kembali berbagai kajian yang berdasarkan pada keterlibatan lengkap oleh para anthropolog dan para sosiolog, meliputi rumah tangga di kota kecil, sopir taksi, bar, departemen kepolisian, kegiatan para tawanan perang, suatu klinik penyembuhan tulang punggung, balap mobil/motor, karnaval, dan bahkan Akademi Penjaga Pantai. Pengamat permulaan mungkin ingin mengikuti contoh-contoh ini dan mencari kesempatan yang sangat dekat. Saya ingin memberikan satu kalimat peringatan: semakin banyak anda mengetahui tentang suatu situasi sebagai seorang partisipan biasa, semakin sulit untuk mengkajinya sebagai seorang pengamat. Tidak ada bukti bahwa pengamat dilahirkan dan dikembangkan di dalam kajian tentang kultur-kultur non-Barat. Semakin kurang akrab anda dengan suatu situasi sosial, semakin banyak kemungkinan anda dapat melihat peraturan yang utuh di tempat kerja tersebut.

Ketika anda membuat pemilihan terakhir tentang suatu situasi sosial untuk dikaji, pikirkanlah kemungkinan bagi keterlibatan. Teknik-teknik yang akan anda kaji dengan langkah-langkah berikut ini akan membantu anda dengan baik tentang tingkat keterlibatan anda, dari non-partisipasi ke partisipasi lengkap. Dengan menggunakan teknik-teknik ini anda dapat menemukan pengetahuan kultural yang menjadi dasar pemikiran pertandingan gulat profesional di televisi atau peraturan kultural bagi perilaku di dalam sebuah kelas perguruan tinggi. Dan setelah anda mempelajari strategi bertanya tentang berbagai pertanyaan ethnografis, mengumpulkan data ethnografis, dan merekam serta menganalisis data tersebut, anda dapat menggunakan ketrampilan ini untuk memahami kultur tentang dunia sosial yang semakin kompleks (Spradley, 1980).

Suatu keuntungan utama dari wawancara ialah bahwa wawancara memungkinkan bagi responden untuk bergerak maju mundur dalam waktu – untuk menyusun kembali masa lalu, menginterpretasi masa kini, dan memprediksikan masa depan, tanpa meninggalkan masa sekarang. Keuntungan utama dari observasi langsung, sebaliknya, ialah bahwa observasi langsung ini memberikan pengalaman di sini dan sekarang secara mendalam. Ketika kita mengamati dalam Effective Evaluation: Argumentasi metodologis dasar untuk observasi, selanjutnya, bisa dirangkum sebagai berikut: observasi … memaksimalkan kemampuan peneliti untuk mereka motif, kepercayaan, urusan, minat, perilaku yang tidak disadari, kebiasaan, dan sejenisnya, observasi … memungkinkan bagi peneliti untuk melihat dunia superti subjek melihatnya, untuk hidup di dalam kerangka waktu mereka, untuk menangkap fenomena di dalam dan pada urusan sendiri, dan untuk menggambarkan kultur dalam alaminya sendiri, lingkungan yang terus berjalan, pengamatan … memberikan akses reaksi emosional kepada penanya (peneliti) dari kelompok secara introspektif – yaitu, dalam arti yang sebenarnya ini memungkinkan bagi pengamat untuk menggunakan dirinya sendiri sebagai suatu sumber data; dan observasi … memberikan kesempatan pengamat untuk membangun pengetahuan tersembunyi, baik kepada dirinya sendiri ataupun para anggotya dari kelompok. (Guba & Lincoln, 1981:192).

Observasi memang merupakan suatu alat yang sangat kuat. Seperti halnya pada wawancara, observasi dapat diklasifikasikan dengan berbagai cara ganda. Yang pertama, pengamat bisa bertindak dalam model seorang partisipan atau nonpartisipan; dalam contoh yang pertama, pengamat satu peran saja yang harus dimainkan, yaitu pengamat, tetapi berikutnya dia harus memainkan dua peranan secara bersamaan, yaitu pengamat dan anggota dari kelompok-kelompok resmi. Sulit untuk bertindak sebagai seorang pengamat-partisipan, jika hanya untuk alasan-alasan logis; peranan tersebut sebaiknya dialihkan kepada informan yang secara historis merupakan bagian dari konteks daerah atau lokal. Observasi bisa terbuka atau tertutup (“under cover”), tetapi tuntutan etika bahwa ketertutupan dihindari kecuali dalam keadaan yang sangat terkecuali (klaim di mana “orang dalam” memperoleh data “nyata” secara etika tidaklah memaksa). Dan observasi dapat mengambil tempat dalam latar “alam” sebagai lawan dari latar “rekaan”. Dalam beberapa hal dikotomi ini sejajar dengan dikotomi “terstruktur-tidak terstruktur” dari wawancara, dan latar alami lebih disenangi dibandingkan dengan yang rekaan dengan alasan-alasan yang sama bahwa wawancara tidak terstruktur lebih disenangi dibandingkan dengan wawancara terstruktur. Dalam banyak hal peneliti tidak cukup yakin tentang apa itu bahwa dia tidak mengetahui dalam menangani latar yang lebih mengutungkan. Pembuatan rekaan latar juga bertentangan dengan prinsip bahwa fenomena mengambil arti dari konteksnya sebanyak mungkin dari semua karakteristik individu yang mereka miliki; suatu konteks rekaan tidak hanya berupa tiruan (pembuatan terhadap validitas eksternal, untuk menempatkannya ke dalam hal-hal konvensional), akan tetapi secara tertulis mengubah fenomena yang dikaji dengan cara-cara fundamental.

Pemilihan situasi observasi diarahkan dengan prinsip-prinsip yang serupa dengan mengarahkan pemilihn tempat atau situs penelitian dan responden wawancara – purposive sampling dimaksudkan untuk memaksimalkan ruang lingkup informasi yang diperoleh. Latar kontrastif dipilih secara periodik untuk memenuhi kebutuhan tersebut dengan sebaik-baiknya. Dan selama observasi tidak seintensif dan seindividualis seperti wawancara satu lawan satu, langkah-langkah yang tepat untuk membersihkan dengan penjaga, memperoleh pernyataan yang diinformasikan sepenuhnya, dan memelihara kesantunan bahasa adalah diwajibkan.

Data observasi dapat direkam ke dalam model yang mensejajarkan dengan yang ada pada pewawancara. Sebagai contoh, rekaman berupa film atau video-recording dapat digunakan untuk mendapatkan suatu rekaman lengkap tentang apa yang dilihat dan didengarkan. Observasi tidak lagi lebih banyak menghambat apa yang didengar dibandingkan dengan wawancara yang harus menghambat apa yang dilihat – sebagai contoh, isyarat nonverbal. Tetapi penggunaan perlengkapan seperti itu terkecoh dengan kelemahan dari wawancara yang direkam ke dalam tape recorder; memang kelemahan mungkin bisa menjengkelkan, karena pengamat mungkin ingin merekam komentarnya sendiri selama observasi dan komentar ini mungkin terlalu banyak didengar dan dilakukan oleh orang yang mengadakan observasi. Tetapi haruskah pengamat membatasi diri sendiri pada bentuk lain dari catatan dibandingkan dengan film atau videotape, suatu keragaman tentang model cukup tersedia, termasuk hal-hal berikut ini:

Membuat catatan, secara langsung berupa adekdotal atau diorganisir ke dalam kategori pada saat diperolehnya.
Pengalaman lapangan atau diari, serupa dengan catatan lapangan tetapi biasanya ditulis pada waktu setelah observasi yang sebenarnya.
Catatan pada unit-unit tematis, yang telah ditentukan terlebih dahulu waktunya, seperti misalnya, unit-unit yang dispesifikasikan dengan suatu teori mendasar.
Kronologis, menghitung perilaku-perilaku yang diorganisir selama batas waktu yang ketat (yaitu, mencatat masing-masing episode perilaku yang terpisah dan mencatat waktu di mana hal itu terjadi, atau membuat sebuah notasi atau catatan pada beberapa interval temporer yang ditentukan, katakanlah setiap dua menit).
Peta konteks, yaitu, peta, sketsa, atau diagram tentang konteks di mana observasi terjadi, seperti misalnya di dalam kelas, gerakan orang yang diamati dapat juga dicatat pada peta-peta tersebut.
Cantuman-cantuman menurut beberapa sistem taksonomis atau kategoris, misalnya, taksonomi atau kategori yang telah disusun sebelumnya dari awal wawancara atau catatan observasi.
Sosiometri, diagram yang berkenaan yang menggambarkan berbagai jenis interaksi (misalnya, siapa saja bermain dengan siapa) atau hubungan-hubungan (misalnya siapa menyebutkan siapa sebagai teman yang terdekat).
Wawancara debriefing, bukan ditujukan untuk responden tetapi untuk pengamat, secara tipikal digunakan setelah pengamat meninggalkan adegan, untuk mengingatkan dia tentang kategori utama tentang informasi yang harus dicatat.
Sesi debriefing, dengan anggota-anggota lain tim penelitian, juga untuk kepentingan menggambarkan dari pengamat apa yang telah dilihat dan didengar.
Skala angka (rating scales) dan daftar cek, meskipun bentuk-bentuk ini biasanya lebih banyak dihubungkan dengan penelitian konvensional sains yang mereka pandang sebagai pengetahuan a priori tentang apa yang bermanfaat untuk diamati (item-item harus dispesifikasikan sebelumnya).

Observasi, seperti wawancara, cenderung mempunyai bentuk-bentuk yang berbeda-beda pada tahap-tahap yang berbeda dari penelitian. Sebelumnya, observasi mungkin sangat tidak terstruktur, suatu tahap yang tidak terstruktur atau pendalaman (Douglas, 1976) agar dapat memungkinkan pengamat untuk mengembangkan pengetahuan tersembunyi mereka dan untuk mengembangkan beberapa arti dari sesuatu yang bersifat permulaan atau menonjol. Selanjutnya, observasi semakin difokuskan sebagai wawasan dan informasi yang tumbuh.

Sangat bermanfaat, seperti halnya dengan data, untuk memusatkan pada satu fokus periode awal dari analisis data di antara periode-periode observasi. Untuk semua tujuan praktis, catatan lapangan dari observasi dapat dilakukan seperti yang dilakukan pada catatan lapangan selama wawancara; ini dapat disempurnakan (atau ditranskripsikan, jika direkam) dan dianalisis untuk unit dan kategori informasi awal. Kategori awal tersebut dapat diperiksa, diperluas, dan dihubungkan selama observasi berikutnya. Juga akan bermanfaat untuk memeriksa data yang muncul ini dengan beberapa orang responden untuk kredibilitasnya; para informan sebagai anggota tim penelitian telah mengumpulkan infomasi tersebut dapat ditekan ke dalam jasa-jasa untuk tujuan ini.

Isyarat-isyarat nonverbal. Komunikasi nonverbal kadang-kadang didefinisikan sebagai pertukaran infomasi melalui tanda-tanda nonlinguistik: isyarat yang kurang lebih disadari, dan bahasa tubuh, kurang atau lebih tidak disadari, semuanya tercakup ke dalam definisi ini. Para mahasiswa dari bidang-bidang yang sedang berkembang ini (Birdwhistell, 1970; Hall, 1966, Mehrabian, 1972; Gordon, 1980; Wolfgang, Longstreet, 1978) telah mendefinisikan beberapa cabang, termasuk kinesics (gerakan tubuh) proxemics (hubungan-hubungan spasial), synchrony (hubungan-hubungan berirama tentang pengirim dan penerima), chronemics (penggunaan waktu sebagai pentahapan, penyelidikan dan berhenti sebentar), paralinguistik (volume, kualitas suara, aksen, dan pola-pola infleksional, misalnya), dan haptics (sentuhan). Untungnya, ada sedikit kebutuhan bagi peneliti perlu lebih dari mengetahui secara sebab akibat dibandingkan dengan tipe-tipe ini, (dan banyak percabangannya), karena apa yang penting adalah kurangnya informasi bahwa isyarat nonverbal mengkomunikasikan bukan pemisahan yang jelas antara perilaku nonverbal seperti itu dan apa yang sedang dikomunikasikan secara nonverbal. Pengamat, dan bahkan lebih dari itu pewawancara, hanya mempunyai sedikit waktu untuk hadir dan membuat catatan tentang semua pernyataan nonverbal, tetapi peneliti dengan peran yang lain dapat mencatat hal-hal di mana perilaku nonverbal bertentangan dengan perilaku verbal, memberikan kebohongan kepadanya atau setidak-tidaknya mengajukan pertanyaan tentang kejujuran dan kelengkapannya. Pewawancara atau pengamat yang mencatat pemisahan seperti itu dapat memperolehnya (yang lebih baik tidak pada saat terjadi) agar dapat menyelidiki secara lebih mendalam ke dalam informasi tersebut selanjutnya disediakan atau diperhatikan dan sudah barang tentu informasi yang dapat ditanyakan dapat diterima pada triangulasi yang lebih kuat atau usaha penguatan lainnya. Dengan demikian isyarat nonverbal sebaiknya digunakan dalam bentuk suplementer untuk menandai item-item informasi yang memerlukan perhatian kebih terinci lagi (Lincoln & Guba, 1985).

TEKNIK ANALISIS DOKUMEN

Yang dimaksud dengan dokumen di sini adalah mengacu pada material (bahan) seperti fotografi, video, film, memo, surat, diari, rekaman kasus klinis, dan sejenisnya yang dapat digunakan sebagai informasi suplemen sebagai bagian dari kajian kasus yang sumber data utamanya adalah observasi partisipan atau wawancara (Bogdan & Biklen, 1998:57). Dapat ditambahkan pula seperti: usulan, kode etik, buku tahunan, selebaran berita, surat pembaca (di surat kabar, majalah), dan karangan di surat kabar (Bogdan dan Biklen, 1998:133). Kami akan menggambarkan cara-cara di mana metode-metode pengumpulan data yang berbeda tersebut dipakai dalam beberapa kajian.

Ada beberapa jenis dokumen yang dapat dipertimbangkan, yakni sebagai berikut:

Dokumen Pribadi

Dokumen pribadi dihasilkan oleh perorangan untuk tujuan pribadi dan untuk penggunaan terbatas seperti: surat, diari, otobiografi, album foto keluarga, dan rekaman visual lainnya. Dokumen pribadi digunakan secara luas yang artinya adalah setiap cerita orang pertama yang dihasilkan oleh seorang individu, cerita itu menyajikan tindakan, pengalaman, dan kepercayaannya sendiri. Tujuan pengumpulan bahan dokumen pribadi itu adalah untuk memperoleh bukti rinci mengenai bagaimana situasi sosial tampak oleh para pelaku di dalam situasi itu dan apa makna berbagai faktor di sana bagi para pesertanya (Angell, 1945:178). Dokumen yang ditulis sendiri oleh subjek biasanya ditemukan daripada diminta oleh peneliti. Kadang-kadang memang ada peneliti yang meminta orang-orang untuk menulis baginya atau yang meminta membantunya menghasilkan bahan seperti itu.

Fokus penyelidikan seorang peneliti bisa menunjukkan bahwa informasi yang akan cenderung menghasilkan pemahaman terhadap fenomena yang dipelajari terdapat dalam dokumen pribadi. Pada tahun 1947, psikolog Gordon Allport mendorong koleganya untuk mempertimbangkan dokumen pribadi sebagai sumber yang penting dalam membangun teori (Allport, 1947). Allport mengakui karya penting yang dibuat di pergantian abad oleh William James, dalam eksplorasinya mengenai pengalaman religius yang ditarik dari pengakuan pribadi dari ‘orang-orang berjiwa besar yang bergelut dengan krisis takdir mereka’ (James, seperti disebutkan dalam Allport, 1947:5). Menurut Allport, Sigmund Freud juga ‘bersikap berat sebelah (parsial) terhadap dokumen pribadi’, suatu praktek yang belum diterima dengan baik dalam komunitas ilmiah di masanya. Psikologi, sebagaimana pendidikan dan bidang ilmu sosial lainnya, bimbang mengenai kegunaan dan kredibilitas yang diberikan kepada data yang ada dalam dokumen pribadi untuk mengetahui pengalaman manusia. Bangkitnya kembali minat terhadap riset kualitatif dan metode kualitatif untuk pengumpulan data menunjukkan suatu pergeseran dalam angin intelektual.

Beberapa kajian menunjukkan bergunanya dokumen pribadi dalam pencarian makna oleh peneliti. Sebagai contoh, untuk memahami secara lebih akurat kehidupan dari wanita pionir di tahun-tahun awal di AS, peneliti telah melakukan tugas untuk mencari surat-surat dan buku harian dari wanita-wanita tersebut. Dalam analisis yang melelahkan terhadap dokumen pribadi ini, peneliti telah mengungkap suatu gambaran dari kehidupan wanita tersebut jauh berbeda dari yang ada dari yang direkam secara publik oleh sejarah kajianlihat, sebagai contoh, Myres, 1982; Schlissel, 1982; Smuksta, 1991). Peneliti lainnya tertarik untuk mempelajari kehidupan orang-orang yang telah mampu untuk memperoleh akses ke dokumen pribadi mereka, seperti buku harian atau jurnal. Dalam kajiannya mengenai permainan anak-anak, Janet Lever (1976) menuliskan buku harian mengenai bagaimana anak-anak menghabiskan waktu di luar waktu sekolah dan juga mengamati permainan mereka. Dalam kajian kami sendiri mengenai peran televisi dalam kehidupan mahasiswa sekolah tinggi, kami meminta tujuh puluh lima mahasiswa untuk membuat catatan yang mendetil mengenai TV yang mereka lihat untuk memperluas apa yang kami pelajari melalui wawancara mendalam. Dengan mengkombinasikan metode pengumpulan data, kami juga meningkatkan kredibilitas dari temuan kami.

Dalam menggali kehidupan dan pengalaman orang, secara individual atau sebagai anggota organisasi, jenis-jenis dokumen lainnya mungkin berguna. Dalam memeriksa kehidupan mahasiswa sekolah tinggi, koran kampus, buku tahunan, dan poster serta pemberitahuan-pemberitahuan lainnya di papan bulletin umum telah dipelajari (Kuh dan Andreas, 1991). Juga mungkin untuk melakukan suatu kajian kualitatif menggunakan dokumen saja, seperti dalam kajian mengenai literatur yang populer mengenai pernikahan dan pensiun (Harbert, Vinick, dan Ekerdt, 1992). Para peneliti ini melakukan suatu analisis kualitatif dari buku dan artikel populer yang diterbitkan antara tahun 1960 dan 1987 yang berkaitan dengan topik mereka. Tema yang mereka identifikasi dalam media populer mengindikasikan perubahan dalam nasihat yang diberikan kepada pasangan mengenai bagaimana menyesuaikan diri terhadap suami yang pensiun.

Tentang buku harian, Alport (1942:95) mengatakan bahwa buku harian yang spontan dan yang sangat pribadi itu merupakan dokumen pribadi yang rata-rata bagus mutunya. Yang dimaksud bahwa bahan yang dihasilkan seseorang yang memelihara perian secara teratur dan terus-menerus dengan komentar reflektif mengenai kejadian-kejadian dalam hidupnya. Biasanya untuk melakukan ini jarang dilakukan oleh orang dewasa yang telah begitu sibuk dengan kegiatan kesehariannya, namun hal itu umumnya lebih sering dilakukan oleh kaum remaja (siswa dan mahasiswa angkatan muda) karena seusia mereka senang-senangnya melukiskan apa yang mereka pikirkan, angankan, atau perasaan-perasaan sedih dan bahagia.

Mengenai surat pribadi, bahwa surat-surat antara kawan dan famili merupakan sumber lain yang kaya akan data kualitatif. Bahan ini secara khusus bermanfaat dalam pengungkapan hubungan di antara orang-orang yang bersurat-suratan. Otobiografi yang juga sebagai dokumen pribadi kaya akan hal-hal rinci, ditulis dengan maksud menceritakan keadaan diri seseorang ketika mengalami hal itu, dapat disamakan dengan peranan yang dimainkan seorang informan bagi peneliti.

Dokumen Resmi

Dokumen resmi dihasilkan oleh para karyawan organisasi untuk pemeliharaan rekaman dan tujuan penyebaran seperti memo, surat kabar, arsip, buku tahunan dan sejenisnya digunakan untuk mengkaji retorik birokrasi.

Dokumen Budaya Popular

Dokumen ini dihasilkan untuk tujuan komersial untuk menghibur, membujuk, dan memberikan penerangan kepada publik seperti komersial, program TV, laporan berita, atau audio dan rekaman visual. Dokumen-dokumen yang demikian merupakan minat khusus bagi para peneliti kualitatif yang tertarik pada kajian media, dan juga bagi mereka yang dipengaruhi oleh kajian budaya, teori kritis dan bentuk-bentuk postmodernism yang beragam lainnya.

Fotografi dan Film

Fotografi (gambar) sebenarnya sejak lama digunakan dalam dunia penelitian, khususnya penelitian sosial. Foto itu memberikan data yang sangat deskriptif, sering dipergunakan untuk memahami hal-hal yang subjektif, dan hasilnya sering dianalisis secara induktif. Walaupun foto sudah lama dipergunakan dalam penelitian, baru belakangan ini foto menjadi perhatian lebih karena dianggap sebagai terobosan dalam penelitian. Hal ini karena foto itu memungkinkan peneliti untuk memahami dan mempelajari segi-segi kehidupan yang tidak dapat diteliti dengan cara lain, dan foto dipandang lebih dapat memberikan informasi (data) daripada kata-kata (Bogdan & Biklen, 1998:141-142).

Katakanlah tentang peristiwa gempa tektonik dan tsunami, mungkin kita kurang jelas memperoleh informasi betapa dasyatnya gempa tersebut jika hanya informasi diperoleh dari keterangan secara lisan (kata) atau tertulis. Sedangkan gambar-gambar (foto) seperti rumah, gedung, dan jembatan yang rusak; mobil-mobil dan kendaraan lainnya yang ringsek; reruntuhan bangunan dan mayat-mayat yang berserakan; raut wajah dan perilaku warga masyarakat ketika rebutan bahan makanan dan lain sebagainya sangatlah memberikan informasi (data) yang jauh lebih akurat.

Fungsi foto (gambar) dalam penelitian kualitatif menjadi pelengkap pengumpulan data dengan wawancara mendalam dan observasi parrtisipan, namun sangat memungkinkan bahwa foto (gambar) sebagai bagian dari dokumentasi dapat berfungsi sebagai cara yang pertama, sedangkan wawancara dan observasi menjadi pelengkap dokumentasi tersebut.

Dalam ilmu sosial, minat terhadap foto sebagai data riset merupakan pengalaman yang relatif baru (Bogdan & Biklen, 1982). Satu kajian yang dilakukan oleh penulis-penulis tersebut melibatkan perbandingan foto yang diambil pada 1920-an di sekolah negeri untuk mahasiswa yang diberi label terbelakang mentalnya, di mana mahasiswa terlihat bersih, rapi, dan berperilaku baik. Gambar foto ini sangat kontras dengan cara penggambaran orang yang terbelakang mentalnya pada saat itu. Orang dengan mental yang terbelakang dianggap ‘penyakit masyarakat’ dan merupakan bahaya bagi kesejahteraan masyarakat (Bogdan dan Biklen, 1982:104).

Lebih baru lagi, penggunaan videotape memiliki tempat di antara strategi pengumpulan data yang tersedia bagi peneliti. Sebuah tim penelitian di Sekolah Tinggi Dartmouth mempelajari seringaian muka dan gerakan-gerakan simbolis yang dibuat oleh politisi selama pidato yang direkam melalui kamera video (Berg, 1989). Erickson dan Mohatt (1982) merekam gambar mahasiswa dan dosen di dua kelas pertama selama satu tahun untuk menggali pengorganisasian struktur partisipasi di kelas. Ada juga badan kajian videotape yang tumbuh mengenai interaksi antara pasien dengan dokter pada penanganan primer. Analisis yang hati-hati telah mengungkap pentingnya konteks dan keberlanjutan penanganan perkembangan hubungan pasien-dokter yang memuaskan (Stewart, 1992).

Pemotretan (foto/gambar)) orang atau latar itu sangat membantu peneliti untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas bagaimana perilaku orang (subjek) dalam latar tertentu. Data yang direkam dengan film itu berfungsi untuk melengkapi data yang diperoleh melalui wawancara dan observasi atau bahkan sebagai sumber data utama dalam masalah tertentu terutama apabila data itu tidak dapat atau sulit disampaikan melalui kata-kata.

Tentang fotografi ini, Bogdan & Biklen (1998:142) membedakannya menjadi dua jenis, yakni foto yang ditemukan (sudah tersedia) dan foto (gambar) yang dihasilkan oleh peneliti.

Foto Temuan

Yang dimaksud dengan foto temuan adalah foto-foto yang telah ada di lokasi (latar) yang dihasilkan oleh orang lain baik secara pribadi maupun secara melembaga. Berbagai foto yang diperoleh di lokasi penelitian dapat memberikan gambaran yang baik mengenai orang-orang yang tidak lagi ada di situ, atau seperti apa kejadian yang pernah berlangsung di latar itu. Foto mampu memberikan suatu terjemahan historis mengenai latar itu dan para pelakunya. Pada peristiwa bencana di Aceh misalnya, pengambilan foto dari (pesawat) udara tentang kondisi alam yang rusak yang menggambarkan betapa lokasi gempa tersebut bagaikan kota mati. Kehadiran presiden dan wakil presiden ke lokasi gempa yang difoto oleh wartawan misalnya, dapat dijadikan bukti otentik akan kehadiran mereka ke lapangan. Foto tentang pertemuan-pertemuan memberikan informasi konkerit bagi peneliti siapa saja mereka yang hadir dalam pertemuan tersebut. Jika peneliti ingin memperoleh informasi apakah si Ahmad Tabrani dan Zainal Abidin kenal satu sama lain, jika peneliti memperoleh informasi (data) dengan bertanya pada seseorang, tentu, tidak kalah akuratnya apabila ditunjukkan dengan foto di mana mereka berdua berdampingan dan tampak bersenda gurau satu sama lain.

Penting untuk dipahami bahwa foto yang ditemukan atau diberikan orang itu diambil untuk suatu maksud atau dari sudut pandang tertentu. Agar tidak begitu saja dalam mempergunakan foto tersebut, peneliti harus tahu apa maksud dan kerangka pikiran pembuat foto. Dengan cara demikian, sebuah foto itu sama seperti semua bentuk lain data kualitatif: untuk mempergunakannya, orang harus menempatkannya di dalam konteks yang tepat dan memahami apa yang dapat diceritakannya sebelum menarik keterangan dan pemahaman daripadanya. Foto dapat menggambarkan pandangan juru fotonya sendiri apa yang penting, atau perintah yang diterimanya dari seorang atasan, atau permintaan orang-orang yang menjadi subjeknya.

Selain memberikan gambaran umum mengenai suatu latar, foto juga dapat memberikan informasi faktual khusus yang dapat dipergunakan bersamaan dengan sumber-sumber lainnya. Bila kita mempelajari foto kita berusaha mencari petunjuk hal apa yang dinilai baik orang-orang dan citra apa yang lebih mereka sukai. Meskipun foto barangkali tiak mampu membuktikan sesuatu secara meyakinkan, bila digunakan berbarengan dengan data yang lain, ia dapat memperkaya kumpulan bukti-bukti penelitian (Bogdan & Biklen, 1998:144). Jika peneliti ingin tahu dengan benar bahwa seseorang adalah pegawai bank misalnya, tentu tidak cukup dengan bukti pernyataan (kata-kata) orang bersangkutan, tetapi foto di mana ia sedang melakukan tugas kerja di bank akan memberikan data yang lebih meyakinkan.

Foto juga mempunyai fungsi lain. Ia bisa menunjukkan kelainan-kelainan, gambar-gambar yang tiak cocok dengan konstruk-konstruk teori yang disusun peneliti. Bila gambar-gambar foto tidak cocok dengan analisis yang sedang dikembangkan, gambar-gambar itu dapat menjadi pendorong bagi peneliti untuk melakukan analisis dan memperoleh pengertian yang mendalam lebih jauh daripada yang telah dikerjakan semula. Para peneliti juga menggunakan foto untuk menduga-duga bagaimana orang mengartikan dunianya: mereka dapat mengungkapkan apa yang dianggapnya sebagai hal yang sudah semestinya, apa yang mereka anggap sebagai hal yang tidak meragukan lagi. Mencari dan menggunakan foto-foto itu memerlukan daya imajinasi dan harus saksama. Lembaga-lembaga pendidikan dan perusahaan misalnya, seringkali mengambil foto-foto kegiatan yang dilakukan untuk ditunjukkan pada pers atau sebagai dokumen untuk menjadi bahan laporan akhir tahun. Tentu gambar-gambar foto yang diambilnya itu membuat keyakinan peneliti tentang aktivitas-aktivitas yang pernah dilakukan daripada hanya berdasarkan pengungkapan secara lisan; dan bisa saja mudah mengelabui orang lain (peneliti).

Foto Hasil Peneliti

Jenis foto yang kedua adalah foto yang memang dibuat oleh peneliti. Di tangan peneliti, kamera dapat menghasilkan foto-foto suatu objek atau peristiwa yang langka atau tidak mungkin dicapai tanpa media elektronik tersebut. Seseorang tidak mungkin mengetahui bagaimana posisi bayi dalam kandungan jika tidak dilakukan dengan menggunakan USG yang kemudian dicetak menjadi gambar (foto). Kita tidak mungkin mengetahui bagaimana ikan-ikan hidup di dasar laut dan keadaan di dasar laut itu sendiri. Data tentang keduanya hanya bisa didapat melalui kamera yang dilakukan dengan penyelaman oleh ahlinya dan menghasilkan foto-foto gambar sebagaimana keadaan sebenarnya.

Barangkali penggunaan kamera yang paling umum adalah dalam pelaksanaan observasi pelibatan. Dalam hal ini kamera paling sering digunakan sebagai sarana mengingat dan mempelajari hal-hal rinci yang mungkin diabaikan jika tidak ada gambar foto untuk keperluan refleksi. Foto-foto yang diambil peneliti di lapangan memberikan gambar untuk kelak dipergunakan peneliti secara mendalam petunjuk-petunjuk yang dapat mengungkapkan adanya hubungan dan kegiatan. Lencana dan simbol yang menunjukkan afiliasi organisasi, tampilan orang-orang yang menghadiri peritiwa-peristiwa tertentu, pengaturan tempat duduk, bagan tata letak kantor dapat dipelajari dan dipergunakan sebagai data jika kamera digunakan sebagai bagian dari teknik pengumpulan data.

Ada suatu hal yang perlu dikemukakan tentang penggunaan kamera/tustel dan pengaruhnya terhadap penjalinan hubungan baik peneliti dan subjek. Penggunaan kamera tersebut dapat menimbulkan resiko di lapangan terutama pada awal terjun di lapangan. Kamera itu menekankan peranan peneliti sebagai orang luar atau memberikan kesan bahwa ia mata-mata. Ia juga dapat mengganggu hubungan subjek-peneliti secara lain. Pengambil foto menjauhkan jarak dirinya dengan orang lain karena pengambilan foto itu bisa menggantikan percakapan dan interaksi yang memungkinkan peneliti mengembangkan empati dengan seorang subjek. Peneliti harus berusaha agar hal ini tidak terjadi. Sebaiknya pengambilan gambar tidak di awal penelitian, sebelum subjek mengenal dan menaruh kepercayaan kepada peneliti. Dalam beberapa kejadian, waktunya sama sekali tidak tepat untuk mengambil foto karena hal itu hanya akan melawan kemauan subjek. Jika akan memulai pengambilan gambar, ambillah foto mula-mula hal yang paling menjadi kebanggaan orang di latar yang diteliti.

Saran agar penggunaan kamera harus berhati-hati dalam penelitian, ternyata juga dibantah oleh ahli lain. Collier (1967) misalnya, menyebut bahwa kamera sebagai cara yang paling bagus untuk membina hubungan baik. Ia menyebutnya seperti istilah para pakar antropolgi “pembuka kaleng” atau “kunci emas”, dan menganjurkan agar kamera digunakan pada hari pertama. Pendiriannya adalah bahwa kamera itu dapat memberikan kepada seorang peneliti keabsahan tujuan dan pekerjaan di latar penelitian. Selesai foto diambil dan dicetak, gambar-gambarnya dapat dijadikan dasar berakrab-akraban untuk perbincangan, yang akan menghasilkan data—data mengenai bagaimana tanggapan orang terhadap gambar foto itu. Apa yang dikemukakan itu dimaksudkan bagi penggunaannya di kebudayaan yang sangat berbeda dengan kebudayaan peneliti. Tetapi ini tidak berarti bahwa mengambil foto pada hari pertama itu kena untuk kebanyakan situasi yang diteliti, tetapi peneliti hendaknya terbuka bagaimana memanfaatkan potensi foto untuk menciptakan hubungan baik.

Dalam pelaksanaan penelitian di lapangan, peneliti harus menimbang-nimbang untuk rugi mengambil foto, dalam memutukan bagaimana dan bilamana melakukannya. Sebagai contoh, pada kejadian tertentu, yaitu jika orang-orang juga menggunakan tustel foto, maka tampaknya aman betul kalau memotret. Padakesempatan lain, jika peneliti bimbang apakah memotret itu tepat atau tidak, cocokkan pendapat peneliti itu dengan seorang informan yang dapat dipercaya. Cara lain yang dapat ditempuh oleh peneliti untuk mengambil foto adalah dengan meminta subjek membantu memotretnya. Cara ini dapat merupakan cara untuk memperoleh pengertian mendalam mengenai bagaimana para subjek itu melihat dunianya (Bogdan & Biklen, 1998:146).

Dalam perkembangan IPTEK belakangan ini, maka pengumpulan data penelitian bukan saja berupa foto atau gambar mati. Sekarang sudah mulai digunakan oleh sebagian masyarakat, khususnya masyarakat perkotaan (metropolitan) yaitu kamera yang disertai dengan monitor. Kamera dapat dipasang di suatu latar di mana kegiatan akan berlangsung, kemudian monitornya bisa di tempat di lokasi yang agak jauh dari kamera dengan perantara kabel. Kamera yang demikian dikenal juga dengan istilah kamera tersembunyi (hidden camera), yang biasanya digunakan di pertokoan, garasi mobil, atau pintu rumah. Gambar peristiwa yang direkam menjadi gambar hidup (seperti film). Hal ini merupakan cara yang lebih canggih lagi dari kamera foto.

Diabandingkan dengan foto, penggunaan kamera yang disertai dengan monitor dapat menyajikan data peristiwa dan situasi/kondisi yang lebih utuh karena akan tampak jelas hingga gerakan-gerakan dan/atau mimik orang-orang yang ada di latar. Hasil dari penggunaan media ini dapat direkam melalui CD dan dapat dibuka (ditayangkan) kembali setelah peneliti pulang dari lokasi. Hanya saja media ini kurang lincah karena kamera sudah dipasang secara tetap. Lain halnya dengan kamera yang portable, yakni kamera yang bisa dibawa kemana-mana oleh peneliti seperti yang dilakukan oleh wartawan media elektronik (TV). Selain itu, monitornya biasanya ditempatkan di suatu tempat yang relatif menetap karena memang bendanya tidak memungkinkan untuk dibawa ke mana-mana. Namun begitu baik media kamera yang disertai dengan monitor atau kamera portable, keduanya dapat digunakan untuk pengumpulan data kualitatif. Hasil penggunaan media tersebut berupa film (gambar hidup), yang menyajikan peristiwa-peristiwa sebagaimana aslinya.

CATATAN LAPANGAN

Pada saat peneliti mulai masuk lapangan, berkenalan dan melakukan wawancara dengan orang-orang, mengamati suatu peristiwa atau keadaan, melihat dan/atau membaca dokumen-dokumen; dalam waktu yang bersamaan dia mulai melakukan pencatatan walau relatif sederhana (garis besar) sehingga data atau informasi saat itu tidak hilang dari ingatan. Itulah yang disebut dengan catatan lapangan (fieldnotes), yaitu catatan tertulis tentang apa yang peneliti dengarkan, lihat, alami, dan pikirkan dalam pengumpulan data serta merefleksikan pada data dalam sebuah studi kualitatif (Bogdan & Biklen, 1998:107-108).

Setiap kembali dari observasi, wawancara, atau acara penelitian lainnya, ciri lazim yang dilakukan peneliti adalah menulis apa-apa yang terjadi dengan cermat. Patton (1980:303) bahwa sekali data itu dikumpulkan, tugas pertama dalam hal analisis adalah menulis rekaman kasus. Rekaman kasus mencakup semua informasi utama yang akan digunakan dalam melakukan analisis kasus dan studi kasus. Rekaman kasus harus lengkap tetapi dapat dikelola; rekaman itu mencakup semua informasi yang diperlukan untuk analisis berikutnya. Dia membuat deskripsi orang-orang, objek, tempat, peristiwa, kegiatan, dan percakapan. Di samping itu, sebagai bagian dari catatan-catatan semacam itu, peneliti akan merekam pikiran, siasat, refleksi, firasat, juga pola catatan yang muncul. Ini adalah catatan lapangan: cerita tertulis mengenai apa yang didengar, dilihat, dialami, dipikirkan peneliti selama berlangsungnya pengumpulan dan refleksi data dalam studi kualitatif.

Sebagian besar data penelitian lapangan adalah dalam bentuk catatan lapangan. Catatan yang bagus terdiri dari batu bata dan luluh (atau perekat) dari penelitian lapangan (Fetterman, 1989). Catatan lapangan yang lengkap dapat terdiri dari peta, diagram, foto, wawancara, rekaman tape recorder, videotape, memo, objek dari lapangan, catatan yang dilakukan dengan cepat di lapangan. Sebuah penelitian lapangan diharapkan mengisi banyak buku catatan, atau setara dengan memori komputer. Ini dapat menghabiskan lebih banyak waktu untuk menulis catatan dibandingkan dengan jika berada di lapangan. Sebagian peneliti menghasilkan 40 halaman spasi tunggal catatan selama tiga jam observasi atau pengamatan. Dengan latihan, bahkan seorang peneliti lapangan yang baru dapat menghasilkan beberapa halaman catatan selama setiap jam di lapangan.

Menulis catatan seringkali merupakan sebuah pekerjaan yang membosankan, menjemukan sehingga memerlukan kedisiplinan diri yang kuat. Catatan berisi rincian deskriptif ekstensif yang diambil dari memori. Seorang peneliti membuatnya suatu kebiasaan harian atau memaksa diri untuk menulis catatan segera setelah meninggalkan lapangan. Catatan harus rapi dan terorganisir karena peneliti akan kembali membukanya berulangkali. Setelah ditulis catatan tersebut adalah milik pribadi dan sangat berharga peneliti menyimpan dan menjaganya dengan baik. Anggota mempunyai hak untuk tidak disebut namanya, dan para peneliti seringkali menggunakan nama-nama samaran dalam catatan. Catatan lapangan mungkin merupakan hal yang menarik minat bagi pihak-pihak yang ingin berbuat jahat, para pemeras, atau pejabat resmi, sehingga sebagian peneliti menulis catatan lapangan dengan kode-kode tertentu (Neuman, 2000:363).

Keadaan pikiran peneliti, tingkat perhatian, dan kondisi di lapangan mempengaruhi pembuatan catatan. Dia biasanya akan memulai dengan waktu yang relatif pendek hingga tiga jam di lapangan sebelum menulis catatan. Johnson (1975:187) mengingatkan: Kuantitas dan kualitas catatan observasi beragam dengan perasaan pekerja lapangan dari situasi yang tidak pernah beristirahat atau rasa capek, reaksi terhadap peristiwa khusus, hubungan dengan orang lain, konsumsi minuman beralkohol, banyaknya pengamatan tersendiri.

Keberhasilan studi observasi pelibatan khususnya, tetapi juga keberhasilan bentuk-bentuk riset kualitatif lainnya, adalah mengandalkan catatan lapangan yang dibuat secara rinci, cermat, dan luas. Pada studi observasi pelibatan semua data dipandang merupakan catatan lapangan; istilah ini mempunyai arti kolektif bagi semua data yang dikumpulkan selama berlangsungnya studi seperti itu, yang meliputi catatan lapangan, transkrip wawancara, dokumen resmi, statistik resmi, gambar, dan bahan-bahan lain.

Sementara para peneliti tahu bahwa catatan lapangan itu merupakan inti dari observasi pelibatan, ada sejumlah orang yang lupa bahwa catatan itu dapat merupakan tambahan penting bagi metode-metode pengumpulan data lainnya. Sebagai contoh, dalam melakukan wawancara yang direkam pita makna dan konteks wawancara itu dapat ditangkap dengan lebih lengkap kalau, sebagai suplemen bagi setiap wawancara, peneliti itu menulis juga catatan lapangan. Tape recorder tidak bisa merekam pemandangan, bau, kesan, dan pernyataan-pernyataan tambahan yang diucapkan sebelum dan sesudah wawancara. Catatan lapangan dapat memberikan bagi setiap studi catatan pribadi yang akan memudahkan peneliti untuk terus mengikuti arah perkembangan proyek penelitiannya, untuk memperoleh gambaran bagaimana rencana penelitian telah terpengaruh oleh data yang dikumpulkan, dan untuk tetap sadar diri mengenai bagaimana pengaruh data itu terhadapnya (Bogdan & Biklen, 1982:107-108).

Pengamatan yang cermat dan percakapan penting yang dimiliki seseorang di lapangan tidak dapat dimanfaatkan sepenuhnya di dalam suatu analisa data yang secara kaku jika tidak secara tertulis. Catatan lapangan peneliti kualitatif berisi tentang apa yang telah dilihat dan didengar oleh peneliti, tanpa interpretasi. Dengan kata lain, tugas utama pengamat partisipan adalah mencatat apa yang terjadi tanpa melibatkan perasaan pada para partisipan dan tanpa mengindahkan mengapa atau bagaimana sesuatu terjadi. Penyimpangan ini adalah penting untuk dicatat, akan tetapi interpretasi peneliti tentang peristiwa harus jelas diambil dari pengamatan. Ini dapat dilakukan dengan sangat mudah dengan menggunakan tanda kurung untuk menunjukkan komentar oleh pengamat partisipan. Sebagian peneliti juga menggunakan inisial OC untuk menunjukkan komentar-komentar pengamat dalam catatan lapangan mereka (Taylor dan Bogdan, 1984). Penelitian mahasiswa yang memberikan contoh catatan lapangan dengan menggunakan tanda kurung untuk membedakan komentar mereka dari apa yang kita amati di lapangan.

Bagaimana seseorang agar tidak terlihat dan dapat mengambil banyak catatan tentang apa yang sedang dialami seseorang? Dalam banyak situasi ini bertindak sangat waspada di lapangan, mengetahui bahwa peneliti akan perlu menulis apa yang telah peneliti lihat dan dengar secara sangat terinci setelah peneliti meninggalkan latar. Kadang-kadang mungkin saja untuk memaafkan diri peneliti sendiri secara tidak menyolok dari latar dan secara pribadi mencatat dengan cepat beberapa pengamatan yang peneliti inginkan dapat diingat kembali suatu saat nanti. Sebagai tambahan, telah menjadi pengalaman kita bahwa orang biasanya sangat bersedia untuk diwawancarai secara informal oleh para pengamat partisipan, jika secara jelas mengkomunikasikan bahwa apa yang harus mereka katakan adalah penting dan bahwa menulis kata-kata mereka akan membantu daya ingat peneliti. Kemungkinan ini cenderung meningkat jika orang-orang menganggap diri mereka sendiri sebagai para kolaborator dalam usaha penelitian.

Mempersiapkan catatan lapangan yang bermanfaat merupakan tugas yang sangat menantang, orang yang dipermudah dengan adanya waktu yang cukup banyak untuk segera menulis setelah dia meninggalkan lapangan. Banyak para peneliti memulai catatan lapangan mereka dengan menulis secara cepat penggalan informasi yang ingin mereka ingat-ingat, seperti misalnya istilah dan idea menarik yang telah mereka dengar atau baca, perilaku-perilaku yang secara khusus aneh atau luar biasa dan objek-objek yang patut dicatat di lingkungan tersebut. Penggalan-penggalan informasi ini kemudian dapat diorganisir ke dalam suatu jenis narasi tentang apa yang telah diamati, biasanya mendekati suatu susunan yang kronologis.

Jenis-jenis Catatan Lapangan.

Peneliti lapangan membuat catatan dengan berbagai cara. .Ada beberapa tipe yang akan digambarkan di sini. Ini biasanya yang terbaik untuk menyimpan semua catatan selama periode pengamatan bersama-sama dan untuk membedakan tipe-tipe dari catatan dengan halaman-halaman yang terpisah. Sebagian peneliti memasukkan kesimpulan dengan pengamatan langsung jika ditentukan dengan suatu rancangan yang dapat dilihat seperti tanda kurung atau tinta berwarna. Kuantitas dari catatan sangat beragam menurut berbagai jenisnya. Sebagai contoh, enam jam di lapangan bisa dihasilkan satu halaman catatan kilat, 40 halaman dari pengamatan langsung, lima halaman dari kesimpulan peneliti, dan 2 halaman total untuk catatan metodologis, teoritis, dan catatan pribadi.

Catatan Kilat

Hampir tidak mungkin untuk membuat catatan yang bagus di lapangan. Meskipun seorang pengamat yang terkenal di tempat publik terlihat aneh jika menulis secara serampangan. Yang lebih penting, ketika melihat dan menulis, peneliti tidak dapat melihat dan mendengar tentang apa yang sedang terjadi. Perhatian yang diberikan untuk menulis catatan diambil dari pengamatan lapangan yang ada. Tempat atau latar khusus menentukan apakah catatan di lapangan dapat dibuat. Peneliti mungkin dapat menulis, dan para anggota dapat mengharapkannya, atau dia mungkin harus bersifat merahasiakan (misalnya, pergi ke ruang istirahat).

Catatan kilat ditulis di lapangan. Catatan ini pendek, memicu memori sementara seperti misalnya kata-kata, ungkapan, atau gambar yang diambil secara tidak mencolok, seringkali merupakan teka-teki di dalam item yang menyenangkan (misalnya, serbet, buku matematika). Catatan ini tidak digabungkan ke dalam pengamatan langsung tetapi tidak pernah digantikan untuk catatan tersebut.

Catatan Pengamatan Langsung

Sumber dasar data lapangan adalah seorang peneliti menulis segera setelah meninggalkan lapangan, yang dapat ditambahkannya kemudian setelah itu. Catatan harus disusun secara khronologis dengan tanggal, waktu, dan tempat pada masing-masing entri. Catatan tersebut berperan sebagai suatu deskripsi terinci tentang apa yang didengar dan dilihat sebagai hal-hal yang kongkrit dan khusus. Sedapat mungkin, catatan tersebut merupakan suatu rekaman yang eksak tentang kata-kata, ungkapan, atau tindakan khusus.

Memori seorang peneliti berkembang dengan praktek atau latihan. Seorang peneliti yang baru akan dapat segera mengingat ungkapan yang pasti dari lapangan. Pernyataan kata demi kata harus ditulis dengan tanda petik ganda untuk membedakan dari parafrasa. Aksesori dialog (komunikasi nonverbal, kata-kata kiasan, nada, kecepatan, volume, isyarat) harus direkam juga. Seorang peneliti merekam apa yang sebenarnya dikatakan dan tidak menghapusnya; catatan memasukkan ujaran nongramatikal, slang, dan pernyataan yang salah ucap (misalnya menulis, “Oh, saya akan membeli mobil seperti itu”, bukan, “Oh, saya membeli mobil seperti itu.”

Seorang peneliti menempatkan detil yang kongkrit dalam catatan, bukan rangkuman atau ringkasan. Sebagai contoh, bukan “Kami berbicara tentang olah raga” dia menulis, “Anthony berbantah dengan Sam dan Jason. Dia mengatakan bahwa Cubs akan menang pekan depan karena mereka memperdagangkannya selama penghentian yang pendek, Chiappetta. Dia juga mengatakan bahwa tim tersebut adalah lebih baik dari Mets, yang menurut pendapatnya mempunyai “infielder” yang penakut. Dia mengutip pertandingan pekan yang lalu di mana the Cubs menang dengan Boston dengan 8-3”. Seorang peneliti mencatat siapa saja yang hadir, apa yang terjadi, di mana itu terjadi, kapan, dan dengan keadaan yang bagaimana. Para peneliti yang baru mungkin tidak melakukan pencatatan karena “tidak ada apa-apa yang penting terjadi”. Seorang peneliti yang berpengalaman mengetahui bahwa peristiwa kapan “tidak ada sesuatu yang terjadi” dapat menyatakan banyak hal. Sebagai misal, para anggota dapat menyatakan perasaan dan mengorganisir pengalaman ke dalam kategori ceritera rakyat meskipun dapat percakapan tiga arah.

Catatan Kesimpulan Peneliti

Seorang peneliti lapangan mendengarkan para anggota agar dapat “merayap di kulitnya” atau “masuk ke dalam sepatunya”. Ini melalui proses tiga langkah. Peneliti mendengarkan tanpa menerapkan kategori-kategori analitis; dia membandingkan apa yang didengar dengan apa yang telah didengarnya pada waktu yang lain dan pada apa yang dikatakan oleh orang lain; selanjutnya peneliti menerapkan interpretasinya sendiri untuk menyimpulkan atau menggambar-kan apa maknanya. Pada interaksi yang biasa, kita melakukan ketiga langkah tersebut secara bersamaan dan dengan cepat melompat ke kesimpulan kita sendiri. Seorang peneliti lapangan belajar untuk melihat dan mendengarkan tanpa menyimpulkan atau memaksakan interpretasi. Pengamatan tanpa kesimpulan berjalan ke arah catatan pengamatan langsung.

Seorang peneliti merekam kesimpulan dalam suatu bagian yang terpisah yang membuka ke dalam pengamatan langsung. Orang tidak akan pernah melihat hubungan sosial, emosi, atau makna. Mereka melihat tindakan fisik khusus dan mendengarkan kata-kata; selanjutnya mereka menggunakan pengetahuan kultural latar belakang, isyarat dari konteks, dan apa yang dilakukan atau dikatakan untuk mengambil makna sosial. Sebagai contoh, orang tidak melihat cinta atau kemarahan; orang melihat dan mendengar tindakan khusus (wajah yang merah, suara yang keras, isyarat yang liar, kekejian) dan menarik kesimpulan dari hal-hal tersebut (orang tersebut adalah marah).

Orang secara konstan menyimpulkam makna sosial berdasarkan tentang apa yang mereka lihat dan mereka dengar, tetapi tidak selalu benar. Sebagai contoh, keponakan saya mengunjungi saya dan menemani saya di sebuah toko untuk membeli sebuah layang-layang. Karyawan yang ada di kasir tersenyum dan bertanya kepada saya apakah dia dan “Ayahnya” (memandang saya) akan menerbangkan layang-layang tersebut pada hari itu. Karyawan tersebut mengamati interaksi kami, kemudian menyimpulkan hubungan antara seorang ayah/anak perempuan, bukan seorang paman/keponakan. Dia melihat dan mendengarkan seorang lelaki dewasa dan seorang anak perempuan, tetapi dia menyimpulkan makna sosial secara tidak benar.

Seorang peneliti menyimpan makna yang disimpulkan secara terpisah dari pengamatan secara langsung karena makna dari tindakan tidak selalu dibuktikan sendiri. Kadang-kadang, orang-orang berusaha untuk menipu orang lain. Sebagai contoh, seorang pasangan yang tidak ada hubungannya mendaftarkan diri di sebuah motel sebagai Tn. dan Ny. Smith. Semakin sering, perilaku sosial merupakan hal yang mungkin meragukan atau bisa bermakna ganda. Sebagai contoh, saya melihat seorang lelaki White dan seorang wanita, keduanya berusia akhir dua puluhan tahun, keluar dari sebuah mobil dan masuk ke sebuah rumah makan bersama. Mereka duduk di satu meja, memesan makanan, dan berbicara dengan suatu ekspresi yang serius dengan nada tergesa-gesa, kadang-kadang membungkuk ke depan untuk saling mendengarkan satu sama lain. Ketika mereka beranjak, akan pergi wanita, yang mempunyai ekspresi sedih dan terlihat siap untuk menangis, dan dengan erat dipeluk pria tersebut. Mereka kemudian meninggalkan tempat tersebut bersama-sama apakah saya melihat pasangan tersebut berpisah, dua orang teman membicarakan teman ketiga, dua orang berusaha memutuskan apa yang harus dilakukan karena mereka mengetahui bahwa suami istri mempunyai perselingkuhan satu sama lain, ataukah seorang kakak laki-laki dan adik perempuannya yang ayahnya sudah meninggal? Ada pemisahan tentang kesimpulan yang memungkinkan makna yang ganda yang timbul untuk membaca kembali catatan pengamatan secara langsung. Jika seorang peneliti merekam makna yang tersimpulkan tanpa pemisahan, dia akan kehilangan makna lainnya.

Catatan Analitis

Para peneliti membuat banyak keputusan tentang bagaimana menjalankan tugasnya selama di lapangan. Beberapa tindakan direncanakan (misalnya, untuk melaksanakan sebuah wawancara, untuk mengamati suatu kegiatan khusus, dsb) dan hal-hal lainnya yang kira-kira terjadi di luar hal itu. Para peneliti lapangan memegang idea metodologis dalam catatan analitis untuk merekam rencana, taktik, etika dan keputusan-keputusan prosedural mereka, serta kritikan diri sendiri tentang taktik.

Teori yang muncul pada penelitian lapangan selama pengumpulan data diklarifikasi ketika peneliti meresensi catatan lapangan. Catatan analitis mempunyai suatu perhitungan yang berjalan tentang usaha seorang peneliti untuk memberikan arti pada peristiwa. Dia berpikir keras tentang catatan mereka dengan menggambarkan hubungan idea, menciptakan hipotesis, mengajukan dugaan, dan mengembangkan konsep yang baru.

Memo Analitis

Memo analistis adalah bagian dari catatan teoritis. Ini merupakan penyimpangan sistematis ke dalam teori, di mana seorang peneliti mengerjakan dengan teliti tentang idea mendalam, mengembangkan idea selama masih berada di lapangan, dan memodifikasi atau mengembangkan teori yang lebih kompleks dengan membaca ulang dan memikirkan tentang memo tersebut.

Catatan Pribadi

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, perasaan pribadi dan reaksi emosional menjadi bagian dari data dan warna tentang apa yang dilihat atau didengar pengamat di lapangan. Seorang peneliti menyediakan satu bagian dari catatan yang modelnya seperti buku harian. Dia merekam peristiwa kehidupan dan perasaan pribadi di dalamnya (“Saya tegang hari ini, saya mengira ini karena perkelahian yang saya lakukan dengan … kemarin”; “Saya merasa sakit kepala di hari yang kelam, dan berawan ini”).

Catatan pribadi mempunyai fungsi tiga: Memberikan suatu jalan keluar bagi seorang peneliti dan suatu cara untuk menangani dengan penekanan; merupakan sumber data tentang reaksi pribadi; memberikan suatu cara untuk mengevaluasi pengamatan langsung atau catatan kesimpulan jika catatan tersebut suatu saat nanti dibaca kembali. Sebagai contoh, jika peneliti dalam keadaan suasana hati yang baik selama pengamatan, ini bisa mewarnai apa yang diamatinya (lihat Gambar Tipe-tipe Catatan Lapangan).

Tipe-tipe Catatan Lapangan
Pengamatan langsung Kesimpulan Analitis Jurnal Pribadi
Senin, 4 Oktober,

Kafe Kay pukul 3.000.

Seorang wanita Kulit Putih Besar sekitar usia 40 tahun., kelebihan berat, masuk. Dia mengenakan jaket cokelat kumuh. Dia sendiri; duduk pada kursi #2. Kay datang menghampirinya, mena-nyakan “Ada apa?” Pria tersebut berkata, “Kopi, hitam sekarang”. Kay meninggalkannya dan pria tersebut menyulut rokok dan membaca menu. 3.15. Kay membunyikan radio.
Kay kelihatannya ramah hari ini, sangat giat. Dia menjadi bersikap tenang dan waspada. Saya kira dia membunyikan radio jika dia nervous. Wanita merasa takut terhadap pria yang datang sendiri sejak perampokan itu. Waktu itu hujan. Saya merasa nyaman dengan Kay tetapi saya bosan hari ini.

Diadaptasi dari Neuman (2000:366).

Peta dan Diagram

Para peneliti lapangan seringkali membuat peta dan mengambar diagram atau gambar dari gambaran tentang suatu situs lapangan. Ini mempunyai dua tujuan. Yaitu membantu seorang peneliti untuk mengorganisir peristiwa di lapangan dan membantu untuk menyampaikan suatu situs lapangan kepada orang lain. Sebagai contoh, seorang peneliti sedang mengamati sebuah bar dengan 15 tempat duduk bisa menggambar sejumlah lingkaran untuk menyederhanakan perekaman (misalnya, “Yosuke masuk dan duduk pada tempat duduk 12; Phoebe telah berada pada tempat duduk 10”). Para peneliti lapangan merasakan tiga manfaat dari peta: spasial, sosial, dan temporer. Yang pertama membantu untuk mengorientasikan data; kemudian dua hal berikutnya adalah bentuk-bentuk penganalisaan data awal. Peta spasial menempatkan orang-orang, peralatan, dan sejenisnya dalam hal-hal ruang fisik geografis untuk menunjukkan di mana kegiatan terjadi (lihat A. Spatial Map). Suatu peta sosial menunjukkan banyaknya atau keragaman orang dan pengaturan diantara mereka tentang kekuasaan, pengaruh, persahabatan, pembagian buruh dan sebagainya (lihat B. Social Map). Suatu Peta Temporer menunjukkan pasang surut dan aliran orang, barang dagangan, jasa, dan komunikasi, atau jadwal-jadwal (lihat C. Temporal Map).

Diadaptasi dari Neuman (2000:367).

Perekaman Mesin pada Memori Suplemen

Tape recorder dan videotape sangat merupakan suplemen yang bermanfaat dalam penelitian lapangan. Alat-alat tersebut tidak dapat diganti dengan catatan lapangan atau kehadiran seorang peneliti di lapangan. Alat-alat tersebut tidak dapat memperkenalkan ke dalam semua situasi lapangan; dan hanya dapat digunakan setelah peneliti mengembangkan hubungan. Recorder dan videotape memberikan suatu ketepatan yang dekat pada apa yang terjadi dan suatu rekaman permanen yang dapat diresensi oleh orang lain. Kedua alat tersebut membantu peneliti untuk mengingat kembali peristiwa dan pengamatan tentang apa yang tidak terjadi, atau non respon, yang sangat mudah terlupakan. Kendatipun demikian, item-item ini menimbulkan gangguan dan suatu kesadaran yang meningkat tentang pengawasannya. Para peneliti yang berdasarkan atau bertumpu padanya harus mencari persoalan yang berkaitan (misalnya, pastikan bahwa baterinya masih baru dan sediakan cukup banyak bateri). Juga, mendengarkan atau meresensi kembali rekaman tape dapat banyak sekali memakan waktu. Sebagai contoh, akan memakan waktu sekitar 100 jam untuk mendengarkan hingga 50 jam merekam di lapangan. Transkripsi dari tape akan mahal dan tidak selalu akurat; transkripsi ini tidak menyampaikan makna kontekstual yang halus atau kata yang menggumam.

Catatan Wawancara

Jika seorang peneliti melaksanakan wawancara lapangan, dia menyimpan catatann wawancara tersendiri. Sebagai tambahan dalam pertanyaan dan jawaban rekaman, dia membuat suatu lembar depan (face sheet). Ini merupakan halaman pada permulaan dari catatan dengan informasi seperti misalnya tanggal, tempat wawancara, sifat dari wawancara, muatan wawancara, dan sebagainmya. Ini membantu pewawancara ketika membaca ulang dan membuat hal-hal yang masuk akal pada catatan tersebut.

Beberapa Rekomendasi untuk Membuat Catatan Lapangan

Rekamlah catatan dengan segera setelah masing-masing periode di lapangan, dan jangan berbicara dengan orang lain hingga pengamatan dicatat.
Mulailah rekaman dengan setiap kunjungan lapangan dengan sebuah halaman baru, dengan tanggal dan waktu yang dicatat.
Gunakan catatan kilat sebagai sebuah alat bantu memori sementara, dengan kata-kata atau istilah-istilah kunci, atau hal-hal pertama atau terakhir yang dikatakan.
Gunakanlah margin yang lebar untuk memudahkan penambahan pada catatan setiap saat dibutuhkan. Kembalilah dan tambahkan pada catatan jika peneliti ingat sesuatu selanjutnya.
Rencanakan untuk mengetik catatan dan simpanlah setiap tingkat dari catatan yang terpisah sehingga akan mudah untuk kembali kepadanya suatu saat nanti.
Catatatlah peristiwa secara berurutan ketika peristiwa tersebut terjadi, dan catatlah belapa lama itu berakhir (misalnya, menunggu selama 15 menit, berkendaraan selama satu jam).
Buatlah catatan sekongkrit, lengkap, dan dapat dipahami mungkin.
Gunakan seringkali paragraf dan tanda kutipan; gunakan kutipan tunggal untuk membuat paragraf.
Rekamlah percakapan singkat atau rutinitas yang kelihatannya tidak signifikan pada saat itu, mungkin akan penting di kemudian hari.

10. “Biarkanlah perasaan peneliti terus mengalir” dan tulislah dengan cepat tanpa merasa khawatir dengan ejaan “atau idea-idea gila”. Bayangkan bahwa tidak ada orang lain akan melihat catatan tersebut, tetapi gunakanlah nama samaran.

11. Jangan pernah mengganti rekaman tape recorder secara keseluruhan untuk catatan lapangan.

12. Masukkanlah diagram atau peta tentang ‘setting’, dan buatlah garis besar gerakan-gerakan peneliti sendiri dan orang-orang lain selama periode pengamatan.

13. Masukkanlah kata-kata peneliti sendiri dan perilaku-perilaku yang ada di dalam catatan. Juga rekamlah perasaan-perasaan emosional dan pikiran-pikiran pribadi dalam bagian tersendiri.

14. Hindarkanlah kata-kata yang merangkum secara evaluatif. Disamping “bak tempat mencuci menjijikkan”, katakanlah “Bak tempat mencuci agaknya telah lama sekali tidak dibersihkan. Sisa-sisa makanan dan barang pecah belah yang terlihat sepertinya telah ditumpuk di sana selama beberapa hari”.

15. Bacalah kembali catatan secara periodik dan idea yang telah direkam yang dihasilkan dari membaca ulang.

16. Selalu membuat salinan untuk mem-back-up-nya, simpanlah di tempat yang terkunci, dan simpanlah salinan di tempat lain di rak-rak yang terlindung dari api.

Ahli lain, Crabtree & Miller (1992:65-66) mengetengahkan lima saran dalam proses perekaman catatan lapangan, yakni:

Rekamlah catatan-catatan peneliti sesegera mungkin setelah observasi.
Jangan diskusikan observasi peneliti pada siapa pun hingga peneliti usai merekamnya.
Temukan tempat tersendiri yang ada perlengkapan yang peneliti butuhkan untuk melakukan pekerjaan peneliti.
Rencanakan waktu yang memadai untuk melakukan perekaman, dan
Janganlah mengedit ketika peneliti menulis.

Isi Catatan Lapangan

Dalam membuat catatan lapangan perlu diperhatikan apa yang harus dimuat pada bagian pertama. Bogdan & Biklen (1998:125) menjelaskan bahwa bentuk dan isi catatan lapangan itu berbeda-beda. Dia menyarankan bahwa halaman pertama pada setiap lembar catatan itu berisi kepala (heading) dengan informasi sebagaimana ketika observasi kita lakukan (tanggal dan waktu), siapa yang melakukannya, di mana observasi itu terjadi, dan nomor lembar catatan dalam studi secara keseluruhan. Hal senada juga dikemukakan oleh Stephen P. Bogdewic (dalam Crabtree & Miller, 1992: 62). Lebih jauh Stephen P. Bogdewic menjelaskan bahwa setiap halaman harus ada garis tepi yang luas ke bawah pada satu sisi. Garis tepi ini memungkinkan peneliti dan orang-orang lain untuk memberikan komentar pada catatan itu, komentar yang dapat kemudian digunakan untuk merefleksikan keadaan perasaan, makna-makna yang mungkin, atau bahkan dugaan teoritis tentang apa yang mungkin sedang terjadi. Garis tepi ini juga berguna dalam memberikan kode catatan-catatan itu. Pada dasarnya, pemberian kode menunjukkan isu bahwa fakta itu tidak berbicara untuk dirinya sendiri (Jorgensen, 1989). Oleh karena itu, sebagai catatan lapangan yang ditulis dan ditinjau ulang, ini penting untuk membuat catatan pinggir yang mengidentifikasi dan melabel isu-isu yang tampaknya relevan dengan apa yang sedang distudi. Isu-isu ini bisa termasuk tema-tema, tata hubungan, kata-kata atau pertanyaan kunci, pola-pola, urutan-urutan, dan seterusnya.

Dalam tulisan ini catatan lapangan ada dua, yaitu catatan lapangan untuk wawancara dan observasi; dan sering kali observasi itu menyatu dengan wawancara. Pada dasarnya bentuknya sama, hanya isi kepala catatan lapangan tersebut berbeda. Untuk wawancara berisi: tanggal, peneliti, tempat, informan, dan waktu (lihat contoh Gambar Catatan Wawancara); sedangkan catatan lapangan untuk observasi berisi: tanggal, peneliti, tempat, kegiatan, dan waktu (lihat contoh Gambar Catatan Observasi).

Gambar Catatan Wawancara
CATATAN WAWANCARA W/S1/L…..

Tanggal: Tempat:

Informan: Waktu: pukul ……………….

Peneliti : s.d. ……………….

————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————

Gambar Catatan Observasi
CATATAN OBSERVASI O/T1/L…..

Tanggal:………………………. Tempat:…………………………….

Pengamat …………………….. Waktu: pukul ……………………

Kegiatan:……………………… s.d. ……………………

————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————————

Ahli lain memberikan format lain yang sedikit berbeda dan lebih detil. Stephen P. Bogdewic (dalam Crabtree & Miller, 1992:58) mengatakan bahwa deskripsi-deskripsi harus cukup mencakup konteks sekitar aktivitas sehingga komparasi-komparasi dan kontras-kontras yang bermanfaat dapat dibuat selama analisis. Hingga kebiasaan-kebiasaan dan ketrampilan-ketrampilan merekam observasi secara akurat dikembangkan secara penuh, ini sangat membantu untuk menggunakan suatu kerangka kerja atau daftar cek untuk mengkonstruk konteks itu. Spradley (1980:78) mengajukan satu kerangka kerja sebagai berikut:

Ruang: tempat atau tempat-tempat fisik.
Pelaku: orang-orang yang terlibat (berpartisipasi).
Aktivitas: seperangkat tindakan-tindakan terkait yang orang-orang lakukan.
Objek: benda-benda atau barang-barang fisik yang ada.
Tindakan: tindakan-tindakan tunggal yang orang-orang lakukan.
Peristiwa: seperangkat aktivitas terkait yang orang-orang selenggarakan.
Waktu: tahapan atau urutan yang terjadi sepanjang waktu.
Tujuan: sesuatu yang orang-orang coba untuk diselesaikan.
Perasaan: emosi-emosi yang dirasakan dan diekspresikan.

Kerangka kerja yang demikian mendorong deskripsi yang tebal (thick description), dan “catatan lapangan yang kaya” (“rich field notes”) dibantu dengan deskripsi-deskripsi kualitas (Bogdan & Biklen, 1982). Bagaimanapun juga, melebihi bagian deskripsi catatan lapangan, adalah bagian refleksi. Karena peneliti adalah merupakan alat penelitian yang utama dalam studi observasi partisipan, ini penting bahwa perjalan personal peneliti termasuk dalam catatan lapangan. Bahkan sebelum masuk lapangan, penting untuk merekam perasaan anda, dugaan, bias yang dikenal, asumsi, dan bahkan hasil yang diharapkan. Melakukan yang demikian itu memberikan suatu garis besar yang berlawanan dengan yang anda dapat bandingkan apa yang sebenarnya muncul selama studi itu berkembang. Sekali studi itu sedang berlangsung, dimensi-dimensi reflektif catatan lapangan menjadi beberapa kategori (Bogdan & Biklen, 1982):

Refleksi tentang analisis.
Refleksi tentang metode.
Refleksi tentang dilema etika dan konflik.
Poin-poin klarifikasi.
Refleksi tentang kerangka pikiran pengamat.

Catatan lapangan itu harus ditulis secara sistematis, sehingga rangkaian peristiwa atau pernyataan-pernyataan informan mudah dipahami dan membantu proses analisis. Dalam hal ini Spradley memberikan saran untuk mensistematisir catatan lapangan dan dengan demikian memperbaiki reliabilitasnya. Implisit di dalamnya adalah kebutuhan untuk membedakan antara analisis etik (berdasarkan konsep-konsep peneliti) dan analisis emik (diperoleh dari kerangka konseptual orang-orang yang distudi). Perbedaan yang demikian adalah digunakan dalam konvensi-konvensi catatan lapangan (fieldnote conventions). Berikut contoh konvensi catatan lapangan.

Konvensi-konvensi Catatan Lapangan

TANDA KONVENSI PENGGUNAAN
“ “

‘ ‘

( )

< >

/

_____
Tanda petikan ganda

Tanda petikan tunggal

Tanda kurung

Tanda kurung sudut

Garis miring

Garis penuh
Petikan-petikan sebagaimana dikatakan atau ditulis; atau kata demi kata.

Penyusunan kata kembali (re-wording) dari suatu tulisan, atau pernyataan dan lain sebagainya untuk membuatnya lebih mudah dimengerti.

Data kontekstual atau interpretasi pekerja lapanga (peneliti)

Konsep-konsep emik

Konsep-konsep etik

Waktu pembagian (partitions time)

Diadaptasi dari Silverman (1993:147).

Berdasarkan contoh konvensi di atas, peneliti bisa mengembangkannya sendiri dengan prinsip bahwa pemberian tanda itu harus disiplin sehingga pembaca lain memungkinkan untuk melakukannya dengan cara yang sama.

Pertimbangan lain dalam menulis catatan lapangan adalah bagaimana merekam dialog secara akurat. Kata-kata aktual yang para para partisipan gunakan adalah penting. Setiap kultur memiliki bahasanya sendiri, yang berarti bahasa mempunyai suatu makna khususbagi para penduduk budaya itu. Kata (-kata) yang bisa peneliti pilih untuk mendeskripsikan suatu fenomena dapat secara mudah memiliki suatu makna yang sama sekali berbeda dari apa yang dimaksud oleh subjek itu. Ini penting kemudian bahwa dialog direkam secara akurat.

Jika dialog tidak direkam secara mekanis, yang tidak senantiasa mungkin diinginkan, peneliti mesti bergantung pada percakapan (jottings) dan memori untuk merekonstruk dialog. Suatu metode yang konsisten untuk membedakan keakuratan itu adalah penting. Berikut salah satu metode yang disarankan:

Verbatims (kata-kata sebagaimana yang dikatakan atau ditulis; atau kata demi kata): Jika anda yakin mempunyai kata-kata aktual yang digunakan dalam suatu kalimat atau frase, atau suatu kata kunci yang dinyatakan, tempatkan dalam tanda petik ganda (“………”).
Paraphrase (perkataan ulang (re-wording) suatu lembaran tulisan, pernyataan dan seterusnya untuk membuatnya lebih mudah dipahami): Kutipan-kutipan di mana anda memilkiki derajat keyakinan yang lebih sedikit tetapi yakin layak tentang apa yang dikatakan dapat ditempatkan dalam tanda petik tunggal (‘……….’).
Observer’s Comment (komentar pengamat): Kata-kata itu sendiri dapat salah arah. Seseorang dapat mengatakan “ya” ketika sebenarnya ini jelas yang ia maksudkan “tidak”. Seringkali konteks suatu pertukaran itu dipahami lebih baik dengan memasukkan komentar atau deskripsi penjelasan. Penyisipan ini dapat dipisahkan dari sisa teks dengan menggunakan tanda kurung besar ([...........]).

Bebaslah dalam memulai paragraf baru. Peristiwa atau keadaan apapun yang baru bagi pemandangan yang diamati gunakan paragraf baru. Jika seseorang baru memasuki ruangan atau jika suasana hati atau perubahan topik, mulailah paragraf baru. Dengan melakukan yang demikian, catatan anda banyak lebih mudah untuk dibaca dan dikode. Cara lain untuk menunjukkan pergeseran atau pecahan dalam observasi, atau bagian dari serangkaian observasi, adalah memasukkan baris pisah dalam teks (Crabtree & Miller, 1993:63). Cara ini memudahkan peneliti untuk memilah-milah data sesuai dengan kategori untuk kepentingan analisis.
PENGODEAN DATA KUALITATIF

Seorang peneliti kuantitatif melakukan pengodean (pemberian kode) setelah semua data dikumpulkan. Dia mengatur pengukuran variabel-variabel, yang ada dalam bentuk bilangan, dalam bentuk yang dapat dibaca mesin untuk analisis statistik. Pengodean data mempunyai makna dan peranan yang berbeda di dalam penelitian kualitatif. Seorang peneliti mengorganisir data mentah ke dalam kategori-kateggori konseptual dan menciptakan tema atau konsep, yang kemudian dia gunakan untuk menganalisis data. Disamping tugas administrasi sederhana, pemberian kode kualitatif merupakan suatu bagian integral dari analisis data. Ini dipandu dengan pertanyaan penelitian dan mengarahkan pada pertanyaan-pertanyaan baru. Ini membebaskan peneliti dari keadan dapat dirabanya detil-detil dari data mentah dan memberikan dorongan pada pemikiran tingkat yang lebih tinggi tentang hal tersebut. Ini juga memindahkan dia ke arah teori dan generalisasi.

Pengertian kode dikemukakan oleh Miles dan Huberman (1994:56) sebagai berikut: Kode adalah etiket atau label untuk menandai unit-unit makna pada informasi deskriptif atau inferensial yang disetujui selama suatu kajian. Kode biasanya dipasang pada “sepotong-sepotong” dari ukuran yang beragam – kata-kata, ungkapan, kalimat atau alinea keseluruhan, dihubungkan atau tidak dihubungkan pada suatu latar khusus.
Pengodean adalah dua kegiatan yang bersamaan: pengurangan data mekanis dan pengkategorian analitis dari data ke dalam tema. Peneliti mengenakan tatanan di dalam data (lihat Tema dan Pengodean Data Kualitatif). “Berbeda dengan pekan-pekan dan pekan-pekan di mana dia akan melibatkan diri ke dalam pemrosesan mekanis, momen-momen analitis yang sebenarnya akan terjadi selama meledaknya wawasan atau pengenalan pola” (Wolcott, 1994:24). Pengodean data adalah pekerjaan yang berat dari penurunan tumpukan data mentah ke dalam tumpukan yang dapat dikelola. Sebagai tambahan terhadap pembuatan suatu kelompok besar data yang dapat dikelola, pengodean memungkinkan seorang peneliti untuk menemukan kembali bagian-bagian yang relevan yang dapat dikelola, pengodean memungkinkan seorang peneliti untuk menemukan kembali dengan cepat bagian-bagian relevan daripadanya antara saat-saat gentar dan inspirasi, banyak sekali data kualitatif diberi kode, atau pekerjaan mengarsip, dapat meragukan dan kaku. Plath (1990:375) mengingatkan, ini mempunyai “semua ketegangan dramatis untuk melihat cat-cat basah hingga kering. Dia juga menyatakan: Tugas beralih dari banyak materi dapat menjadi hilang semangat. Selama beberapa pekan, bahkan beberapa bulan anda mungkin tidak mempunyai apa-apa untuk ditunjukkan ketika bukti usaha berkembang. Pekerjaan mengarsip adalah manifestasi yang keluar dari suatu jaminan yang kita buat untuk terus berjuang memahami orang-orang khusus. (Plath, 1990:374).

Strauss (1987) mendefinisikan tiga jenis pengodean data kualitatif, yang akan diuraikan selanjutnya nanti. Peneliti meninjau kembali data pada tiga kesempatan dengan menggunakan pengodean yang berbeda setiap saat, dan memberi kode data mentah dalam tiga tahap. Strauss (1987:55) mengingatkan: “Pengodean adalah merupakan suatu pekerjaan yang sulit bagi para peneliti yang kurang berpengalaman untuk memahaminya dan menguasainya”.

Pengodean Terbuka

Pengodean terbuka dilaksanakan selama tahap pertama selama pengumpulan data. Peneliti menempatkan tema dan menandai kode atau label awal dalam suatu usaha pertama untuk memampatkan kumpulan data ke dalam kategori-kategori. Dia membaca dengan perlahan catatan lapangan, sumber historis, atau data lainnya, mencari istila-istilah kritis, peristiwa-peristiwa penting, atau tema-tema, yang kemudian dicatat. Selanjutnya dia menulis suatu konsep permulaan atau melabel pada dari sebuah kartu catatan atau rekaman komputer dan menerangkannya dengan tinta yang berwarna cerah dengan cara yang serupa. Peneliti terbuka untuk menciptakan tema-tema baru untuk mengubah kode-kode permulaan ini dalam analisis berikutnya. Suatu kerangka teoritis membantu jika digunakan dengan cara yang fleksibel.
Tema dan Pengodean Data Kualitatif

“Suatu kode tematis yang bagus ialah salah satu yang menangkap kekayaan kualitatif dari fenomena tersebut, ini dapat digunakan di dalam analisis, interpretasi, dan penyajian penelitian” (Boyatzis, 1998:31). Untuk mengkodekan data ke dalam tema-tema, seorang peneliti terlebih dahulu perlu mempelajari bagaimana “melihat” atau mengenal tema-tema di dalam data. Melihat tema-tema terletak pada empat kemampuan, yaitu: (1) mengenal pola-pola di dalam data, (2) memikirkan dalam hal sistem dan konsep, (3) mempunyai pengetahuan yang tidak diceritakan atau latar belakang pengetahuan yang mendalam (yaitu, ini membantu untuk mengetahui Mithos Yunani untuk memahami drama-drama Shakespeare), dan (4) mempunyai informasi yang relevan (yaitu, seseorang perlu mengetahui banyak hal tentang musisi-musisi dan musik rock untuk mengkodekan tema-tema tentang sebuah konser musik rock) (lihat Boyatzis, 1998:7-8). Kode mempunyai lima bagian: label satu hingga tiga kata atau nama, sebuah definisi dengan suatu karakteristik utama, suatu deskripsi “bendera” tentang bagaimana mengenal kode tersebut di dalam data, semua ekslusi atau kualifikasi, dan sebuah contoh, seperti yang ditunjukkan di sini.

Label. Memperbantahkan peran gender adalah sebuah contoh

Definisi. Ketidaksetujuan antar pribadi secara verbal adalah sebuah contoh, seperti konflik-konflik atau perbantahan tentang bagaimanakah perilaku yang baik dapat diterima bagi pria dan wanita dalam interaksi mereka bersama atau terpisah karena mereka adalah pria atau wanita.

Flag (bendera). Sebuah contoh akan merupakan peringatan yang sarkastik, gurauan, atau ketidaksetujuan (sangat halus terhadap argumentasi kemarahan) terhadap apa yang harus dilakukan oleh pria atau wanita karena mereka adalah seorang pria atau wanita.

Kualifikasi. Hanya berbantahan di antara orang-orang yang mempunyai gender yang sama dipertimbangkan. Semua jenis perilaku (verbal atau nonverbal) dapat menjadi target dari sebuah perbantahan. Interaksi di antara orang-orang homoseksual dan transgender tidak dimasukkan.

Contoh. Di luar kelas, Sara dan Jessica usia 16 tahun, berdiskusi tentang kencan atau janji mereka malam yang lalu. Sara berkata, “Kita keluar untuk membeli pizza – sudah pasti tida yang membayar”. Jessica mengingatkan “Sudah pasti? Kamu mengira kamu berharap dia yang membayar?” Sara menjawab, “Oh, lupakanlah”.

Tiga kesalahan untuk menghindarkan ketika pemberian kode (lihat Schwandt, 1997:17) tetap berada pada lebel deskriptif saja (tidak analitis), memperlakukan pengodean sebagai proses mekanisme murni, dan membiarkan kode-kode sesuai dan tidak fleksibel.

Pengodean terbuka membawa tema ke permukaan dari kedalaman di dalam data. Tema-tema mempunyai tingkat abstraksi yang rendah dan dari pertanyaan penelitian permulaan dari peneliti, konsep di dalam literatur, istilah yang digunakan oleh para anggota di tempat-tempat sosial, atau pikiran baru yang distimulir oleh penyelaman ke dalam data. Seperti yang diingatkan oleh Schatzman dan Strauss (1973:121), penting bagi para peneliti untuk melihat konsep abstrak di dalam data kongkrit dan untuk kembali ke belakang dan ke depan antara konsep abstrak dan detil khusus.

Orang baru kadang-kadang, jika bukan merupakan karakteristik (kebiasaan), terhenti atau macet dalam usaha mereka untuk memanfaatkan pengungkit substantif (yaitu, konsep kedisiplinan) karena mereka memandangnya sebagai bentuk-bentuk nyata. Para peneliti dan sarjana yang telah berpengalaman lebih sering melihat melalui bagian-bagian abstrak ini pada hal yang biasa, realita empiris yang diperlihatkannya; oleh karenanya mereka mampu menghadapi banyak sekali mobilitas konseptual. Dengan demikian, kita mendesak orang baru di dalam analisis untuk kembali keabstraksi yang relatif lamban di dalam cerita – meskipun dengan plot atau alur cerita.

Sebuah contoh dari hal ini kita dapatkan pada kajian penelitian lapangan LeMasters (1975) tentang sebuah kedai minuman kelas pekerja ketika dia mengetahui bahwa pernikahan sampai ketika dalam banyak percakapan. Jika dia membuka catatan lapangan yang diberinya kode, dia bisa memberi kode sebuah catatan lapangan ‘yang diblok’ dengan tema pernikahan.

Saya mengenakan dasi di bar pada hari Kamis karena saya telah keluar dari sebuah pertemuan. Sam memperhatikannya segera dan berkata. “Sialan, Doc. Saya satu mengenakan salah satu dari benda itu – ketika saya menikah – dan melihat apa yang terjadi padaku! Demi Tuhan, orang yang melakukannya pasti akan mengenakan yang berikutnya”. Saya memesan bir, lalu bertanya kepadantya “Mengapa anda menikah?” dia menjawab, “Apa yang akan kamu lakukan?” Kamu tidak akan dapat menghadapi gadis-gadis selama hidupmu – banyak yang telah saya lakukan ketika saya masih bujang” dengan sebuah senyuman dan kedipan mata. Dia berhenti sejenak untuk memesan beer lainnya dan menyalakan rokok, lalu meneruskan. “seorang pria, cepat atau lambat, senang mempunyai sebuah rumah milik sendiri, dan beberapa orang anak-anak dan melihat, bahwa anda harus menikah. Tidak ada cara untuk menghindarinya - itu akan menyulitkanmu”, kata saya, “Helen [istrinya] agaknya seperti wanita manis” Dia kembali, “Oh, dia bukan anak yang tidak baik, tetapi dia wanita sialan, dan mereka akan memarahiku. Mereka mengencingi saya. Jika kamu pergi ke peasta, ketika kamu baru mulai bersenang-seang, istri tersebut mengatakan, mari kita pulang”. Diangkat dari LeMasters, 1975:36-37).

Para peneliti historis-komparatidf juga menggunakan pengodean terbuka. Sebagai contoh, seorang peneliti mengkaji ‘the Knight of Labor’, sebuah pergerakan orang Amerika abad sembilan belas untuk reformasi ekonomi dan politik, membaca sebuah sumber sekunder tentang kegiatan-kegiatan dari sebuah cabang lokal dari pergerakan tersebut di sebuah kota kecil tertentu. Ketika sampai dan membuat catatan, peneliti tersebut memperhatikan bahwa partai Terlarang tersebut adalah penting dalam pemilihan daerah dan bahwa kesederhanaan diperdebatkan oleh para anggota dari cabang daerah. Minat utama dari peneliti ialah ada di dalam struktur internal, ideologi, dan pertumbuhan dari pergerakan Knights. Kesederhanaan adalah merupakan kategori yang baru dan tidak diharapkan. Peneliti memberi kode catatan-catatan dengan label “kesederhanaan” dan memasukkannya sebagai suatu tema yang memungkinkan.

Meskipun sebagian peneliti (misalnya Miles dan Huberman, 1944:58) menyatakan bahwa peneliti mulai pengodean dengan sebuah daftar konsep, para peneliti tersebut menghasilkan tema-tema yang sebagian besar dikode selama membaca catatan data. Terlepas dari apakah dia memulai dengan sebuah daftar tema, seorang peneliti membuat sebuah daftar tema setelah pengodean terbuka. Daftar seperti itu mempunyai peranan tiga tujuan:

Membantu peneliti untuk melihat tema-tema yang muncul sekilas.
Menstimulir peneliti untuk mendapatkan tema-tema pada pengodean terbuka di masa mendatang.
Peneliti menggunakan daftar tersebut untuk membuat suatu ruang dari semua tema di dalam kajian tersebut, yang mana dia mengorganisir, menentukan atau membentuk, nmenggabungkan, mencabut atau menghilangkan, atau memperluasnya dalam analisis selanjutnya.

Para peneliti kualitatif beragam dalam seberapa lengkapkah dan seberapa terincikah mereka memberikan kode. Sebagian memberi kode setiap baris atau setiap beberapa kata; yang lainnya memberi kode paragraf-paragraf dan membantah bahwa banyak dari data tersebut tidak diberi kode dan dibiarkan. Tingkatan detil dalam mengkode tergantung pada pertanyaan penelitian, “kekayaan” data, dan tujuan peneliti.

Pengodean ‘open-ended’ berkembang ke catatan analitis atau memo yang ditulis oleh peneliti untuk dirinya sendiri selama pengumpulan data. Para peneliti harus menuliskan memo-memo pada kode mereka.

Pengodean Aksial

Ini merupakan “jalan atau cara” kedua pada data. Selama pengodean terbuka, seorang peneliti memusatkan perhatian pada data aktual dan menandai label kode untuk tema. Tidak ada kaitan tentang pembuatan hubungan antara tema atau membuat konsep yang digambarkan oleh tema-tema. Sebaliknya, dalam axial coding, peneliti memulai dengan sejumlah kode permulaan yang terorganisir atau konsep permulaan. Pada cara yang kedua ini, dia memfokuskan pada tema yang dikode awal lebih dari yang ada pada data. Kode tambahan atau idea yang baru bisa muncul selama cara ini, dan peneliti mencatatnya; tetapi tugas utamanya ialah untuk meninjau kembali dan menguji kode permulaan. Dia berpindah ke arah pengorganisasian idea atau tema dan mengidentifikasi aksis atau poros tentang konsep penting di dalam analisis.

Miles dan Huberman (1994:62) mengingatkan: Apakah kode-kode dibuat dan direvisi sebelumnya atau sesudahnya adalah secara mendasar kurang penting dibandingkan dengan apakah mereka mempunyai beberapa tatanan konseptual dan struktural. Kode-kode harus berhubungan dengan yang lainnya secara erat, cara-cara kajian penting, ini harus merupakan bagian dari suatu struktur yang mengatur.

Selama axial coding, seorang peneliti menanyakan tentang sebab dan akibat, kondisi- dan interaksi, strategi dan proses, dan mencari kategori atau konsep yang terkelompok bersama-sama. Dia mengajukan pertanyaan seperti misalnya: Dapatkan saya membagi konsep-konsep yang ada ke dalam sub-sub devisi atau sub-sub kategori? Dapatkah saya menggabungkan beberapa konsep yang berkaitan erat ke dalam satu lagi yang umum? Dapatkah saya mengorganisir kategori-kategori ke dalam suatu urut-urutan (misalnya A, B, kemudian C), atau dengan lokasi fisiknya (misalnya, di mana terjadi), atau hubungannya dengan suatu topik minat utama) sebagai contoh, seorang peneliti lapangan mengkaji kehidupan kelas pekerja yang membagi hal-hal umum tentang pernikahan ke dalam sub-sub bagian (misalnya, keterlibatan, pernikahan). Dia menandai semua catatan berkenaan dengan bagian dari pernikahan dan kemudian menghubungkan pernikahan dengan tema seksualitas, pembagian perburuhan dalam tugas rumah tangga, memandang tentang anak-anak, dan sebagainya. Bila tema muncul lagi di tempat lainnya, peneliti membuat perbandingan sehingga dia dapat melihat tema baru (misalnya pria dan wanita mempunyai sikap yang berbeda terhadap perkawinan).

Pada contoh tentang penelitian historis tentang the Knight and Labor, seorang peneliti mencari tema yang berkenaan dengan kesederhanaan. Dia mencari pembahasan tentang tempat menjual minuman keras, pemabuk, dan hubungan antara pergerakan dan partai politik yang mendukung atau menentang kesederhanaan tema-tema yang terkumpul sekitar kesederhanaan harus bisa juga memasukkan minuman sebagai bentuk dari rekreasi, minuman sebagai bentuk dari kultur etnis, dan perbedaan antara pria dan wanita berkenaan dengan minuman.

Axial coding tidak hanya menstimulir pemikiran tentang hubungan antara konsep atau tema tetapi ini juga menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru. Ini dapat menggambarkan penurunan beberapa tema atau pengujian yang lainnya secara lebih mendalam. Sebagai tambahan, ini menguatkan hubungan antara bukti dan konsep. Ketika peneliti mengkonsolidasikan kode-kode dan menempakan bukti, dia mendapatkan bukti di banyak tempat untuk tema inti dan membentuk jaringan yang padat tentang dukungan di dalam data kualitatif untuk mereka. Ini analog dengan idea tentang indikator-indikator ganda yang digambarkan berkenaan dengan reliabilitas dan pengukuran variabel-variabel. Hubungan antara suatu tema dan data diperkuat oleh contoh ganda tentang bukti empiris.

Pengodean Selektif

Pada saat seorang peneliti siap untuk cara terakhir ini untuk seluruh data, dia telah mengidentifikasi tema utama dari proyek penelitian. Pengodean selektif meliputi scanning data dan kode-kode sebelumnya. Para peneliti mencari secara selektif kasus-kasus yang menggambarkan tema-tema dan membuat perbandingan serta membedakan setelah sebagian besar pengumpulan data terselesaikan. Kasus-kasus tersebut dimulai setelah mereka mengembangkan dengan baik konsep-konsep dan telah mulai mengorganisir analisis mereka seluruhnya sekitar beberapa generalisasi inti atau idea inti. Sebagai contoh, seorang peneliti mengkaji kehidupan kelas pekerja di dalam sebuah tempat penjual minuman memutuskan untuik membuat hubungan gender suatu tema utama. Di dalam pengodean selektif, peneliti melanjutkan melalui catatan lapangannya, mencari perbedaan-perbedaan di dalam bagaimana para pria dan para wanita berbicara tentang kencan mereka, keterlibatan, pernikahan, perceraian, afair perselingkuhan, atau hubungan suami/istri. Dia selanjutnya membandingkan sikap pria dan wanita pada masing-masing bagian dari tema pernikahan mereka.

Demikian juga halnya, peneliti yang mengkaji the Knights of Labor memutuskan unuk membuat kegagalan pergerakan tersebut untuk membentuk aliansi-aliansi dengan kelompok-kelompok politik lainnya sebagai suatu tema utama. Peneliti melanjutkan catatannya untuk mencari persesuaian dan konflik antara the Knights dan partai-partai politis lainnya, memasukkan kelompok-kelompok kesederhanaan dan partai Terlarang. Deretan konsep dan tema yang berkaitan dengan kesederhanaan dalam pengodean poros membantunya mendapatkan bagaimana isu-isu kesederhanaan mempermudah aliansi-aliansi.

Selama pengodean selektif, tema-tema utama atau konsep-konsep utama akhirnya mengarahkan pencarian oleh peneliti. Dia mengorganisir kembali tema-tema khusus yang diidentifikasi dalam pengodean sebelumnya dan mengerjakan dengan teliti lebih dari satu tema. Sebagai contoh, dalam kajian penjual minuman keras kelas pekerja, peneliti menguji pendapat-pendapat tentang pernikahan untuk memahami kedua tema tersebut tentang hubungan gender dan tema-tema tentang tahap-tahap siklus kehidupan yang berbeda. Dia melakukan hal ini karena pernikahan dapat dilihat dengan dua cara tersebut. Demikian juga, di dalam kajian the Knights of Labor, peneliti dapat menggunakan kesederhanaan untuk memahami tema utama atau aliansi yang gagal dan juga untuk memahami tema yang lain, sumber-sumber pembagian di dalam pergerakan tersebut yang didasarkan pada perbedaan-perbedaan etnis atau agama di antara para anggotanya.
Penulisan Memo Analitis

Para peneliti kualitatif selalu menulis catatan. Data mereka direkam atau dicatat dalam catatan, mereka menulis komentar tentang metode atau strategi penelitian mereka di dalam catatan dan sebagainya. Mereka merupakan para pembuat catatan yang mempunyai dorongan kuat, menyimpan catatan mereka yang terorganisir pada arsip-arsip, dan sering mempunyai banyak arsip dengan jenis catatan yang berbeda-beda: sebuah arsip tentang hal-hal mengenai metodologis (misalnya lokasi sumber-sumber atau mengenai etis), suatu arsip tentang peta atau diagram, arsip tentang garis-garis besar keseluruhan yang memungkinkan tentang suatu laporan akhir, arsip tentang orang-orang atau peristiwa-peristiwa khusus, dan sebagainya.

Memo analitis adalah jenis catatan khusus. Ini adalah merupakan memo atau pembahasan tentang pikiran dan idea tentang proses pengodean yang ditulis oleh seorang peneliti untuk dirinya sendiri. Setiap tema atau konsep yang dikode membentuk basis suatu memo yang terpisah, dan memo tersebut berisi suatu pembahasan tentang konsep atau tema. Catatan teoritis kasar membentuk memo awal atau analitis.

Memo-memo analitis membuat hubungan antara data kongkrit atau bukti kasar dan lebih abstrak, pemikiran-pemikiran teoritis (lihat Gambar Memo Analitis dan Arsip Lain di bawah). Memo analitis ini berisi refleksi peneliti dan pikiran tentang data dan pengodean. Peneliti menambah pada memo dan menggunakannya ketika dia mengerjakan lewat data dengan masing-masing tipe pengodean. Memo membentuk basis untuk menganalisis data di dalam laporan penelitian. Memang, bagian-bagian yang ditulis kembali dari memo analitis dengan kualitas yang bagus dapat menjadi bagian-bagian dari laporan akhir.

Gambar Memo Analitis dan Arsip Lain

Diadaptasi dari Neuman (2000:424).

Teknologi yang digunakan di dalam penulisan memo analitis adalah sederhana: pena dan kertas, beberapa buku catatan, satu rak berkas arsip, dan fotokopi tentang berbagai catatan. Sebagian peneliti menggunakan komputer, tetapi ini tidak merupakan keharusan. Banyak cara untuk menulis memo analitis; masing-masing peneliti mengembangkan gaya atau metodenya sendiri. Beberapa saran kongkrit berdasarkan pada pengalaman dari para peneliti lainnya diberikan di dalam Kotak 2 (lihat Saran-saran Penulisan Memo Analitis). Sebagian peneliti membuat kopi ganda tentang catatan, kemudian memotongnya dan menempatkan bagian-bagian dari satu kopi ke dalam suatu arsip memo analitis. Ini berjalan dengan baik jika arsip secara fisik adalah besar dan memo analitis disimpan berbeda di dalam arsip (misalnya, pada kertas dengan warna yang lain atau ditempatkan pada bagian awal). Peneliti lainnya mencatat di dalam tempat-tempat arsip memo analitis dalam catatan data di mana sebuah tema terlihat. Maka akan modah untuk memindahkan antara memo analitis dan data. Karena catatan-catatan data diterangkan atau ditandai tema-tema, maka akan mudah untuk mendapatkan bagian-bagian khusus di dalam data tersebut. Suatu strategi yang segera ialah menyimpan sebuah catatan cepat tentang lokasi di mana suatu tema utama terlihat di dalam data, tetapi juga memasukkan kopi-kopi tentang beberapa bagian penting dari catatan untuk referensi yang mudah didapat.

Ketika seorang peneliti meninjau kembali dan memodifikasi memo-memo analitis, dia membahas idea tersebut dengan kolega-kolega dan kembali ke literatur dengan suatu fokus tentang idea baru. Memo analitis bisa membantu untuk menghasilkan hipotesis yang potensial, yang dapat ditambahkan dan dikurangi bilamana diperlukan, dan untuk mengembangkan tema-tema baru atau kode-kode sistem yang baru.
Saran-saran Penulisan Memo Analitis

Mulailah menulis memo dengan pendek setelah anda mulai pengumpulan data, dan melanjutkan penulisan memo hingga sebelum laporan penelitian akhir diselesaikan.
Tempatkanlah tanggal pada entri memo sehingga anda dapat melihat kemajuan dan perkembangan berpikir. Ini akan membantu jika membaca kembali cukup lama. Memo yang rumit, karena anda secara periodik akan memodifikasi memo sebagai kemajuan dan penambahan bagi memo tersebut.
Interupsi pembuatan kode atau perekaman data untuk menulis sebuah memo. Jangan menunggu dan membiarkan suatu ledakan kreatif atau wawasan baru hilang – tulislah segera.
Bacalah secara periodik memo tersebut dan bandingkanlah memo tersebut tentang kode yang serupa untuk mengetahui apakah memo tersebut dapat digabungkan, atau apakah perbedaan-perbedaan antara kode-kode dapat dibuat secara lebih jelas.
Simpanlah suatu arsip terpisah untuk memo tentang masing-masing konsep atau tema. Semua penulisan memo pada tema atau konsep tersebut disimpan bersama dalam satu arsip, berkas, atau buku catatan. Buatlah label dengan nama dari konsep atau tema tersebut sehingga dapat ditempatkan dengan mudah. Penting untuk dapat membuat jenis-jenis atau mereorganisir memo-memo secara fisik ketika analisis berlangsung, jadi anda harus dapat membuat jenis-jenis memo tersebut dengan cara tertentu.
Simpanlah memo analitis dan catatan data karena mempunyai tujuan yang berbeda. Data tersebut adalah merupakan bukti. Memo analitis mempunyai maksud konseptual, pembentukan teori. Mereka tidak melaporkan data, tetapi merupakan komentar tentang bagaimana data terikat bersama atau bagaimana sebuah kelompok data merupakan suatu contoh dari sebuah tema atau konsep umum.
Acukanlah pada konsep-konsep lainnya di dalam suatu memo analitis. Jika menulis sebuah memo, pikirkanlah kesamaan, perbedaan antara konsep tersebut, atau hubungan sebab akibat dengan konsep-konsep lain. Catatlah ini semua di dalam memo analitis untuk memudahkan penggabungan, sintesis, dan analisis kelaknya.
Jika dua idea timbul secara bersamaan, tempatkanlah masing-masing di dalam memo yang terpisah. Usahakanlah untuk menyimpan masing-masing tema yang berbeda di dalam sebuah memo dan arsip yang berbeda.
Jika tidak ada yang baru yang dapat ditambahkan pada sebuah memo dan anda telah mencapai suatu titik kepuasan dalam mendapatkan data lebih lanjut, tunjukanlah hal itu di dalam memo.

10. Simpanlah sebuah daftar kode atau label untuk memo-memo yang akan membuat anda melihat daftar tersebut dan lihatlah semua memo. Jika anda secara periodik membuat jenis-jenis dan mengelompokkan kembali memo-memo, organisir kembalilah daftar label memo untuk menyesuaikan dengan penjenisan tersebut.

Mengembangkan Pengodean

Pemberian kode merupakan kegiatan teknis dalam proses pencatatan data ke arah persiapan untuk analisis data. Sebelum pemberian kode dilakukan, ada beberapa kegiatan awal yang dilakukan, yaitu membaca ulang catatan hasil pencatatan awal, menyempurnakan hasil catatan awal, pemberian kode, kemudian membuat kategorisasi. Tentu ada banyak model lain proses pembuatan kode terhadap data atau informasi (teks) yang diperoleh dilapangan baik hasil observasi atau wawancara.

Beberapa tahapan pencatatan dan pemberian kode akan dijelaskan secara singkat dalam uraian berikut.

Catatan Awal.

Yang dimaksud dengan catatan awal di sini adalah pencatatan hasil pengumpulan data selama peneliti berada di lapangan. Catatan ini menurut Spradley (dalam Silverman, 1993:146) disebut sebagai catatan singkat (short notes), yakni catatan yang dibuat pada saat itu (pada saat peneliti sedang observasi atau wawancara). Biasanya catatan awal ini ditulis dalam kalimat yang tidak sempurna atau tidak engkap karena mengejar derasnya arus informasi selama observasi atau wawancara berlangsung. Peneliti biasanya menggunakan singkatan-singkatan tertentu tetapi tetap dimengerti oleh peneliti. Misalnya, kata pembangunan disingkat pemb.; kata pendidikan disingkat pend.; dan manajemen disingkat manj.; dan lain sebagainya (Lihat Contoh Catatan Awal berikut).
Catatan Awal
Apa yang mendrg Bapak untuk berpart. dalam prog.?

Sy diajak oleh pengurus untuk ikut kegiat. tersebut.

Tentu. Ternyata ada pengalm. baru bagi saya.

Apa bentuk sumbangan yang Bapak berikan pada program?

Ya. Sumbangan dana bulanan. Saya juga ikut membrk ide tentang pengembangan program.

Bgmn menurut pendapat Bapak ttg tingkat partsp. masy.?

Partsp. masy. cukup tinggi. Masy. sekitar respek sekali. Banyak mrk memberikan bantuan baik uang dan fasilitas yang diperlukan kegtn.

Bgm cara yang dilakukan pengurus untuk menumbuhkan partisp. masy.?

Ya, pengurusnya memang aktif memberikan penergn pada masy baik melalui perorangan dg tokoh masy. maupun melalui berbagai lembaga dan acara (kegiatan) di masy.

Catatan Lanjut.

Menurut Spradley (dalam Silverman, 1993:146) catatan ini disebut sebagai catatan yang diperluas (expanded notes), yakni catatan yag debuat segera mungkin setelah masing-masing sesi lapangan. Segera setelah peneliti melakukan observasi atau wawancara, dia menyempurnakan catatan awal dengan membetulkan hurup-hurup atau singkatan-singkatan yang digunakan sehingga menjadi kalimat sempurna dan komunikatif. Pembetulan catatan ini diperlukan untuk kepentingan baik untuk reliabilitas data maupun untuk kepentingan teknis proses pengetikan dengan komputer terutama apabila data teks tersebut harus diketik oleh orang lain.

Catatan awal dan catatan lanjut biasanya menggunakan kartu catatan dan ditulis tangan sehingga praktis dan tidak mengganggu interaksi. Namun begitu, catatan lanjut bisa saja langsung diketik dengan komputer (jika mungkin). Pemberian kode (sandi), peneliti bisa menggunakan pengodean (penyandian) tangan (hand coding) terutama dengan pensil (Crabtree & Miller, 1992: 102).

Catatan lanjut (penyempurnaan catatan awal) dilakukan pada saat peneliti meninggalkan medan observasi atau wawancara, sehingga peneliti dapat melakukan pembetulan catatan dengan tenang dan benar (Lihat Contoh Catatan Lanjut berikut).

Catatan Lanjut

Apa yang mendorong Bapak untuk berpartisipasi dalam program?

Saya diajak oleh pengurus untuk ikut kegiatan tersebut.

Tentu. Ternyata ada pengalaman baru bagi saya.

Apa bentuk sumbangan yang Bapak berikan pada program?

Ya. Sumbangan dana bulanan. Saya juga ikut memberikan ide tentang pengembangan program.

Bagaimana menurut pendapat Bapak tentang tingkat partisipasi masyarakat?

Partisipasi. masyarakat cukup tinggi. Masyarakat sekitar respek sekali. Banyak mereka memberikan bantuan baik uang dan fasilitas yang diperlukan kegiatan.

Bagaimana cara yang dilakukan pengurus untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat?

Ya, pengurusnya memang aktif memberikan penerangan pada masyarakat baik melalui perorangan dengan tokoh masyarakat maupun melalui berbagai lembaga dan acara (kegiatan) di masyarakat.

Penulisan Transkrip dan Pemberian Kode.

Dalam proses pemberian kode terhadap data (informasi) atau teks, peneliti membuat transkrip (observasi atau wawancara) dengan mengetik data dari catatan lanjut (yang ditulis tangan) atau mengkopi dari teks yang sudah diketik komputer. Formatnya adalah ada kolom nomer baris dan kolom data teks. Pemberian nomor baris (line numbers) juga penting, dan ini mudah dilakukan karena menggunakan perangkat komputer. Lihat contoh pembuatan Transkrip Data berikut:

Transkrip Data

BARIS


DATA TEKS

00049

00050

00051

00052

00053

00054

00055

00056

00057

00058

00059

00060

00061

00062

00063

00064

00065
Apa yang mendorong Bapak untuk berpartisipasi dalam program?

Saya diajak oleh pengurus untuk ikut kegiatan tersebut.

Tentu. Ternyata ada pengalaman baru bagi saya.

Apa bentuk sumbangan yang Bapak berikan pada program?

Ya. Sumbangan dana bulanan. Saya juga ikut memberikan ide tentang pengembangan program.

Bagaimana menurut pendapat Bapak tentang tingkat partisipasi masyarakat?

Partisipasi masyarakat cukup tinggi. Masyarakat sekitar respek sekali. Banyak mereka memberikan bantuan baik uang dan fasilitas yang diperlukan kegiatan .

Bagaimana cara yang dilakukan pengurus untuk menumbuhkan partisipasi masyarakat?

Ya, pengurusnya memang aktif memberikan penerangan pada masyarakat baik melalui perorangan dengan tokoh masyarakat maupun melalui berbagai lembaga dan acara (kegiatan) di masyarakat.

Kemudian peneliti menggunakan kode-kode tertentu secara disiplin untuk kepentingan analisis. Berikut contoh pembuatan kode yang diadaptasi dari Crabtree & Miller, 1992:102) dengan kutipan langsung dari tulisan aslinya (Lihat contoh Pembuatan Kode berikut).
Pembuatan Kode

Kode Catatan Lapangan yang Mengilustrasikan Kode yang Lebih Detil yang Digunakan untuk “Usaha Kesehatan/Perilaku Sakit”
HEALTH SEEKING/ILNESS BEHAVIOR SHB
——————————————– ———————————————–

Health Beliefs HSB-BELIEFS

Illness Experiences HSB-ILLNESS

Hospital Experiences HSB-HOSP

Doctor/Patient Relationship HSB-DOC/PAT

Medications HSB-MEDS

Pain HSB-PAIN

Illness Impacy HSB-IMPACT

Role of Family/Peers HSB-FAM/PEER

Personal Decision-making HSB-DECIDE

Coping HSB-COPING

Money/Access HSB-MONEY

Jika berdasarkan contoh data teks sebelumnya, maka pembuatan kode dapat dilakukan dengan modifikasi sebagai berikut:
KATEGORI KODE
Alasan Partisipasi

Bentuk Partisipasi

Persepsi Partisipasi

Cara Menumbuhkan Partisipasi
ALAS-PART

BTK-PART

PERS-PART

CARTUM-PART

Perlu dipahami bahwa kategori di atas bisa dijabarkan lagi menjadi sub-kategori atau sub-sub kategori sesuai dengan keperluan atau dengan menggunakan istilah unsur-unsur kategori. Misalnya, kategori teknik pengumpulan data dijabarkan menjadi sub-kategori atau komponen-komponen kategori seperti: wawancara, observasi, dan dokumentasi. Jadi ketiganya tersebut termasuk unsur-unsur kategori teknik pengumpulan data.

Membuat Kategori.

Pada tahapan terakhir, yaitu kategorisasi/klasifikasi, peneliti memenggal teks dari tumpukan teks yang sangat banyak dan dipindah/diletakkan pada unsur-unsur kategori atau klasifikasi tertentu sesuai dengan fokus penelitian. Pada tahapan ini peneliti harus membuat format kategori data. Dengan format yang demikian peneliti mudah mengetahui teks-teks tertentu yang diperlukan untuk kepentingan analisis. Lihat contoh Kategori Data di bawah.

Kategori Data
KATEGORI KUTIPAN DATA TEKS, KODE DAN BARIS
Alasan Partisipasi (ALAS-PART)

Bentuk Partisipasi (BTK-PART)

Persepsi Partisipasi (PERS-PART)

Cara Menumbuhkan Partisipasi (CARTUM-PART)
Saya diajak oleh pengurus untuk ikut kegiatan tersebut (W/S1/ALAS-PART, 00050).

Tentu. Ternyata ada pengalaman baru bagi saya (W/S.1/ALAS-PART, 00051)

Ya. Sumbangan dana bulanan. Saya juga ikut memberikan ide tentang pengembangan program (W/S.1/BTK-PART,00053).

Partisipasi masyarakat cukup tinggi. Masyarakat sekitar respek sekali. Banyak mereka memberikan bantuan baik uang dan fasilitas yang diperlukan kegiatan (W/S1/PERS-PART, 00056-00058).

Ya, pengurusnya memang aktif memberikan penerangan pada masyarakat baik melalui perorangan dengan tokoh masyarakat maupun melalui berbagai lembaga dan acara (kegiatan) di masyarakat (W/S.1/CARTUM-PART, 00062).

Silverman (1993:147) mengatakan bahwa ketika anda berhadapan dengan teks, data itu telah tersedia, tidak disaring melalui catatan lapangan peneliti. Isu-isu realibilitas sekarang muncul hanya melalui kategori-kategori yang anda gunakan untuk menganalisis setiap teks. Ini penting bahwa kategori-kategori ini hendaknya digunakan dalam suatu cara yag terstandar, sehingga peneliti lain pun dapat mengkategorikan denga cara yang sama.

Penerapan pengodean catatan lapangan dalam contoh-contoh pada tulisan ini mungkin kurang mendetil mungkin. Untuk itu penulis menyarankan pembaca untuk membaca buku-buku metodologi penelitian kualitatif yang lain yang disertai contoh-contoh praktis tentang penerapan pengodean catatan lapangan (baca: Crabtree & Miller, 1992; dan Silverman, 1993 – judul bukunya lihat pada daftar kepustakaan pada buku ini).
ANALIS DATA

Analisis data pada penelitian kuantitatif dan kualitatif sangat berbeda. Pada penelitian kuantitatif, analisis data biasanya dilakukan dengan menggunakan statistik, sedangkan pada penelitian kualitatif analisis data dilakukan melalui pengaturan data secara logis dan sistematis. Kapan analisis data dilakukan juga berbeda; analisis data pada penelitian kuantitatif biasanya dilakukan apabila seluruh data sudah terkumpul, sementara analisis data penelitian kualitatif dilakukan sejak awal peneliti terjun ke lapangan hingga pada akhir penelitian (pengumpulan data). Adapun yang melakukan alanisis juga berbeda. Analisis data penelitian kuantitatif dapat dilakukan siapa pun asalkan ia atau mereka menguasai statistik walaupun tidak pernah ikut dalam proses penelitian. Pada penelitian kualitatif, yang melakukan analisis data adalah peneliti yang sejak awal terjun ke lapangan berinteraksi dengan latar dan orang (subjek) dalam rangka pengumpulan data. Itulah beberapa perbedaan analisis data kuantitatif dan kualitatif.

Secara umum, menurut Neuman (2000:426) bahwa analisis data merupakan suatu pencarian (search) pola-pola dalam data – perilaku yang muncul, objek-objek, atau badan pengetahuan (a body of knowledge). Sekali suatu pola itu diidentifikasi, pola itu diinterpretasi ke dalam istilah-istilah teori sosial atau latar di mana teori sosial itu terjadi. Peneliti kualitatif pindah dari deskripsi peristiwa historis atau latar sosial ke interpretasi maknanya yang lebih umum. Analisis data mencakup menguji, menyortir, mengkategorikan, mengevaluasi, membandingkan, mensintesakan, dan merenungkan (contemplating) data yang direkam juga meninjau kembali data mentah dan terekam. Spradley (1980:85) mengetengahkan bahwa jenis analisis apapun termasuk cara berpikir. Analisis itu mengarah pada eksaminasi sistematis tentang sesuatu untuk menentukan bagian-bagiannya, hubungan diantara bagian-bagian, dan hubungan bagian-bagian secara keseluruhan. Sedangkan Bogdan dan Biklen (1998:157) mengatakan bahwa nalisis data itu merupakan suatu proses penyelidikan dan pengaturan secara sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan, dan material-material lain yang anda (peneliti) kumpulkan untuk meningkatkan pemahaman anda (peneliti) sendiri tentang nya (data) dan memungkinkan anda untuk mempresentasikan apa yang telah anda temukan pada orang-orang lain. Analisis meliputi mengerjakan data, mengorganisirnya, membaginya menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, mensintesanya, mencari pola, menemukan apa yang penting dan apa yang akan dipelajari, dan memutuskan apa yang akan anda laporkan.

Peneliti kualitatif menggunakan analisis induktif, yang berarti bahwa kategori, tema, dan pola berasal dari data. Kategori-kategori yang muncul dari catatan lapangan, dokumen, dan wawancara tidak ditentukan sebelum pengumpulan data (Denzin dan Lincoln, 1998:47).

Prosedur analisis penelitian kualitatif itu mengacu pada prosedur analisis nonmatematik yang hasil temuannya diperoleh dari data yang dihimpun oleh ragam alat (Strauss, 1990:18). Menurut Patton (1980:303) bahwa analisis kasus (kualitatif) meliputi mengorganisir data dengan kasus-kasus sepsifik yang memungkinkan studi yang mendalam tentang kasus-kasus ini. Kasus-kasus dapat berupa individual, programs, institusi, atau kelompok. Pendekatan studi kasus pada penelitian analisis kualitatif adalah cara yang spesifik untuk menghimpun data, mengorganisir data, dan menganalisa data.Tujuannya adalah untuk menghimpun data yang mendalam, sistematis, komprehensif tentang masing-masing kasus yang diminati. Kemudian, permulaan penting untuk analisis kasus adalah membuat yakin bahwa informasi untuk masing-masing kasus selengkap mungkin.

Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan sejak awal peneliti terjun lapangan, yakni sejak peneliti mulai melakukan pertanyaan-pertanyaan dan catan-catan lapangan. Seperti yang Patton (1980:295) katakan bahwa analisa data kualitatif yang dihimpun dari wawancara mendalam dan catatan lapangan berasal dari pertanyaan-pertanyaan yang dihasilkan pada proses yang paling awal dalam penelitian; selama pembuatan konseptual; dan fase pertanyaan-menfokus pada penelitian. Singkatnya analisis data itu dilakukan dalam dua tahapan, yaitu selama proses pengumpulan data dan pada akhir pengumpulan data.
TEKNIK-TEKNIK ANALISIS

Ada beberapa teknik analisis data penelitian kualitatif. Dalam tulisan Spradley (1980) dikemukakan ada empat teknis analisis data, yaitu analisis domain, analisis taksonomi, analisis tematik, dan analisis komponensial. Dalam tulisan Neuman (2000:432-434) diketengahkan teknik-teknik lain analisis data kualitatif, yaitu: Event-Structure Procedure, Network Analysis, Time Allocation Analysis, Flowchart and Time Sequence, dan Multiple Sorting Procedure. Teknik-teknik analisis data kualitatif tersebut diuraikan dalam paparan berikut, namun tidak semua dikemukakan secara lengkap.
ANALISIS DOMAIN

Dalam analisis domain ini ada beberapa istilah yang perlu dipahami, yaitu: istilah tercakup (included term), hubungan semantik (semantic relation), dan istilah pencakup (cover term). Istilah pencakup adalah suatu istilah (kultural) yang di dalamnya mencakup beberapa istilah yang memiliki makna kultural. Sedangkan beberapa istilah yang dicakup atau termasuk dalam istilah pencakup tersebut disebut sebagai istilah tercakup. Istilah-istilah dalam istilah tercakup itu harus ada hubungannya dengan istilah pencakup di mana untuk mengetahui macam dan bentuk hubungannya digunakan apa yang disebut dengan hubungan semantik. Perhatikan macam dan bentuk hubungan semantik berikut:
Bentuk Hubungan Semantik

Strict Inclusion X is a kind of Y

(Pencantuman/pemasukan (X adalah jenis dari Y) atau

yang tepat) (X termasuk dalam Y)

Spatial X is a place in Y

(Ruangan/Tempat) (X adalah tempat dalam Y)

X is part of Y

(X adalah bagian dari Y)

Cause-effect X is a result of Y

(Sebab-akibat) (X adalah hasil dari Y)

Rationale X is a reason for doing Y

(Alasan) (X adalah alasan melakukan Y)

Location-for-action X is a place for doing Y

(Lokasi untuk tindakan) (X adalah tempat melakukan Y)

Function X is used for Y

(Fungsi) (X digunakan untuk Y)

Means-end X is a way to do Y

(Cara/jalan-tujuan) (X adalah cara melakukan Y)

Sequence X is a step (stage) in Y

(Tahapan/rangkaian (X adalah tahapan dalam Y

Attribution X is an attribution (characteristic) of Y

(Atribut/karakteristik) (X adalah atribut (karakteristik) Y

Contoh Hubungan Semantik

Pencantuman/ X adalah jenis dari Y Komputer (adalah termasuk jenis)

Pemasukan perlengkapan kantor

Ruang/Tempat X adalah tempat dalam Y Laboratorium Bahasa (adalah tempat

belajar bahasa) dalam sekolah

X adalah bagian dari Y Ruang Guru (adalah bagian) dari Ruang

Pimpinan Sekolah

Sebab-Akibat X adalah hasil dari Y Pandai (adalah hasil) dari rajin belajar

Kriminalitas sosial (merupakan akibat)

dari kemiskinan.

Alasan X adalah alasan melakukan Y Menjadi orang bahagia (adalah alasan)

bekerja keras.

Lokasi Tindakan X adalah tempat melakukan Y Masjid (adalah tempat melakukan) .

Sembahyang

Fungsi X adalah digunakan untuk Y Payung (digunakan untuk) berlindung

dari hujan dan panas matahari

Cara/jalan-tujuan X adalah cara melakukan Y Mengikuti bimbingan belajar

(merupakan cara) untuk berhasil

dalam sekolah

Atribut/ X adalah atribut/ Pakaian jilbab (merupakan

Karakteristik Karakteristik Y karakteristik) wanita Muslim
Langkah-langkah Analisis Domain

Ada lima langkah dalam melakukan analisis domain, yaitu sebagai berikut:

1. Siapkan lembar kerja analisis domain.

2. Pilih hubungan semantik tunggal.

3. Pilih satu sampel dari masukan catatan (lapangan).

4. Teliti istilah-istilah pencakup dan tercakup sesuai dengan hubungan semantik.

5. Ulangi penelitian untuk domain-domain dengan menggunakan hubungan semantik yang berbeda.

6. Buatlah daftar seluruh daftar domain yang teridentifikasi.
Lembar Kerja Analisis Domain

Ada dua bentuk format analisis domain, yaitu sebagai berikut:

Format A:

Istilah Tercakup Hubungan Semantik Istilah Pencakup

————————–

————————–

————————–

Format B:

Istilah Pencakup

Hubungan Semantik

Istilah Tercakup

Contoh:

Istilah Tercakup Hubungan Semantik Istilah Pencakup

Ceramah———–

Diskusi————- merupakan jenis metode pembelajaran

Tanya jawab——
Domain-domain Kultural Umum

Yang dimaksud domain kulturl adalah kategori-kategori makna (Spradley, 1980:88). Sebelum memulai menganalisis data dalam penelitian kualitatif, peneliti hendaknya memahami (dan mendaftar jika perlu) beberapa domain kultural umum (general cultural domains). Hal ini diperlukan untuk mempermudah dalam memilih dan menempatkan jenis-jenis istilah tercakup (included terms) dan jenis-jenis hubungan semantik (semantic relationship) dalam proses analisis data. Menurut Spradely (1980:102) bahwa domain-domain kultural umum itu berdasarkan pada sembilan dimensi situasi social yang meliputi: ruang (space), objek (object), perbuatan (act), kegiatan (activity), peristiwa (event), waktu (time), pelaku (actor), tujuan (goal), dan perasaan (feeling).
Beberapa Daftar Domain
1. Strict inclusion: X is a kind of Y

(X adalah jenis dari Y)

a. Jenis perbuatan (tindakan)

b. Jenis tempat

c. Jenis objek

d. Jenis kegiatan

e. Jenis hubungan

f. Jenis waktu

g. Jenis pelaku

h. Jenis perasaan

i. Jenis tujuan

Contoh: 1.a.

Berkata baik——-

Bersikap sopan—– merupakan jenis perbuatan yang sebaiknya yang

Minta ijin———— dilakukan anak pada

Menghormat——- orangtua.

Contoh: 1.b.

Primagama—–

WTC————-

SOB————– merupakan jenis-jenis tempat studi Program 1 Tahun

Wearnes———- di Kota Malang

LPMBK——–

Contoh: 1.c.

Sengkaling———-

Jatim Park———- adalah jenis-jenis objek parawisata di kota Malang

Selekta————–

Cobanrondo——–

Contoh: 1.d.

Membaca buku——-

Membaca koran——- adalah jenis-jenis kegiatan membaca untuk memper-

Membaca majalah—– oleh informasi

Membaca jurnal——

Contoh: 1.h.

Kuatir———–

Senang———- adalah jenis-jenis perasaan peserta UMPTN

Sedih————

Cemas———–

2. Spatial: X is a part of Y

( X adalah bagian dari Y)

a. Bagian dari kegiatan

b. Bagian dari tempat

c. Bagian dari peristiwa

d. Bagian dari objek

Contoh: 2.a.

Membuat persiapan ——

Menyampaikan materi—- merupakan bagian dari kegiatan pengajaran

Melakukan ujian———–

Contoh: 2.b.

Ruang buku————–

Ruang baca—————

Ruang referensi———- adalah bagian-bagian ruangan di dalam gedung

Ruang Koran/majalah– perpustakaan

Ruang pimpinan——–

Contoh: 2.c.

Gempa tektonik——–

Banjir air laut———— merupakan bagian peristiwa bencana di Aceh

Kebakaran pertokoan– 26 Des. 2004

Contoh: 2.d.

Kolam renang——–

Taman mainan——–

Aquarium————- adalah bagian-bagian dari objek Taman Rekreasi

Restaurant————- Selekta Batu

Miniatur helikopter–

3. Cause-effect: X is a result of Y

(X adalah suatu hasil dari Y)

a. hasil dari kegiatan

b. hasil dari perbuatan

c. hasil dari peristiwa

d. hasil dari perasaan

Contoh 3.a.

Memiliki ketrampilan————-

Wawasan luas———————- merupakan hasil dari kegiatan Program

Memiliki pengalaman baru——- Pendidikan Kewi-

Memiliki semangat wirausaha— usahaan

Contoh 3.b.

Dihukum ————————-

Dikucilkan oleh masyarakat— merupakan hasil perbuatan korupsi

Keluarga malu —————— orangtua di kantor

Pekerjaan hilang—————–

Ekonomi keluarga hancur——

Contoh 3.c.

Kaki patah ———-

Tangan patah——– merupakan hasil dari peristiwa tabrakan

Kepala remuk——-

Motor hancur——-

Contoh 3.d.

Tidak enak makan——–

Badan menjadi kurus—– merupakan hasil dari perasaan sedih karena

Kesehatan terganggu—– suami meninggal

Sulit tidur——————

4. Rationale: X is a reason for doing Y

(X adalah suatu alasan melakukan Y)

a. alasan untuk perbuatan

b. alasan melakukan kegiatan

c. alasan untuk pementasan peristiwa

d. alasan untuk perasaan

e. alasan untuk objek

f. alasan untuk tujuan

g. alasan mengatur ruang

Contoh 4.a.

Tidak bisa bayar merupakan alasan (melakukan perbuatan)

biaya sekolah gantung diri

Contoh 4.b.

Ketatnya persaingan merupakan alasan mengikuti berbagai

di dunia kerja kegiatan pendidikan

Contoh 4.c.

Rendahnya kesadaran merupakan alasan pementasan peristiwa

peristiwa bencana banjir akibat habisnya

pohon-pohon di hutan

Contoh 4.d.

Lulus ujian tesis merupakan alasan perasaan bahagia

Contoh 4.e.

Untuk memenuhi tempat merupakan alasan pembangunan gedung

olah raga siswa olah raga di sekolah

Contoh 4.f.

Mengikuti bimbingan belajar—-

Aktif belajar bersama————- merupakan alasan untuk berhasil dalam

Rajin membaca pelajaran——– UMPTN

Mempelajari soal-soal

UMPTN—————————

Contoh 4.g.

Ada pertemuan guru merupakan alasan mengatur ruang

dan wali murid di gedung sekolah

5. Location for action: X is a place for doing Y

(X adalah suatu tempat melakukan Y)

a. tempat untuk kegiatan

b. tempat di mana orang berbuat

c. tempat di mana peristiwa diselenggarakan

d. tempat untuk objek

e. tempat untuk mencapai tujuan

Contoh: 5.a.

Rumah sakit———

Klinik—————– merupakan tempat dokter melayani pengobatan

Balai Pengobatan— pasiennya

Contoh: 5.b.

Terminal——–

Pasar————- merupakan tempat penjahat melakukan tindakan

Stasiun———- kriminal

Pertokoan——

Contoh: 5.e.

Hutan—————

Gua—————– merupakan tempat bersemedi untuk mencapai cita-cita

Kuburan————

Pegunungan——–

6. Function: X is used for Y

(X digunakan untuk Y)

a. penggunaan untuk objek

b. penggunaan untuk peristiwa

c. penggunaan untuk perbuatan

d. penggunaan untuk kegiatan

e. penggunaan untuk perasaan

f. penggunaan untuk tempat

Contoh: 6.a.

Jembatan laying—-

Jalan raya———– tempat yang digunakan untuk pemasangan iklan yang

Jalan tol———— strategis

Pusat pertokoan—

Pasar—————

Contoh: 6.b.

Gedung olahraga———

Auditorium————— digunakan untuk menyelenggarakan peritiwa

Aula Kampus———— pernikahan

Lapangan olahraga—–

Rumah pribadi———-

Contoh: 6.c.

Pisau————-

Celurit————-

Kapak————- digunakan untuk melakukan perbuatan kriminal

Pentungan——–

Linggis———-

7. Means-end: X is a way to do Y

(X adalah cara melakukan Y)

a. cara-cara untuk mengorganisir ruang

b. cara-cara untuk berbuat

c. cara-cara untuk menyelenggarakan kegiatan

d. cara-cara untuk mementaskan peristiwa

e. cara-cara untuk mencapai tujuan

f. cara-cara untuk menjadi pelaku

g. cara-cara untuk merasakan

Contoh: 7.a.

Menata meja pimpinan—–

Menata kursi pimpinan—–

Menata meja komputer—– merupakan cara-cara mengatur ruang kantor

Memasang papan agenda— pimpinan

Memasang Ac—————

Contoh: 7.b.

Memberikan uang———

Memberikan makanan—- merupakan cara-cara membantu korban bencana

Memberikan pakaian—–

Memberikan rumah——-

Contoh: 7.e.

Belajar dengan rajin——

Aktif masuk kelas——–

Aktif dalam kelas——— merupakan cara-cara untuk mencapai prestasi hasil

Belajar kelompok——— belajar yang baik

Rajin ke perpustakaan—

Contoh: 7.g.

Datang ke lokasi bencana—

Mengunjungi korban di

Rumah Sakit—————–

Berdialog dengan korban –

Melihat mayat yang merupakan cara-cara untuk merasakan kepedihan

berserakan——————– korban bencana Aceh

Melihat reruntuhan

bangunan———————-

8. Sequence: X is a step in Y

(X adalah suatu tahapan dalam Y)

tahapan dalam mencapai tujuan
tahapan dalam suatu perbuatan
tahapan dalam peristiwa
tahapan dalam suatu kegiatan
tahapan menjadi seorang pelaku

Contoh: 8.a.

Mengikuti bimbingan belajar—-

Memilih perguruan tinggi——–

Mendaftar ————————- merupakan tahapan-tahapan masuk perguruan

Mengikuti ujian masuk PT—— tinggi

Mengikuti orientasi pendidikan–

Contoh: 8.d.

Mendaftar———————

Menyerahkan biodata——– merupakan tahapan-tahapan untuk menjadi nasa

Mengisi kartu formulir——- nasabah bank

Menandatangani Buku Bank–

9. Attribution: X is an attribute/characteristic of Y

(X adalah atribut/karakteristik dari Y)

a. karakteristik dari objek

b. karakteristik dari tempat

c. karakteristik dari waktu

d. karakteristik dari pelaku

e. karakteristik dari kegiatan

Contoh: 9.c.

Jangka pendek——-

Jangka menengah—- merupakan ciri-ciri waktu penyelenggaraan

Jangka panjang—— program

Contoh: 9.d.

Muka bulat—————

Rambut cepak————-

Badan kekar————— merupakan karakteristik pelaku pengeboman

Kulit hitam—————- di Hotel Marriot

Tinggi sekitar 170 CM—

Mata bulat—————-
ANALISIS TAKSONOMI

Analisis taksonomi pada dasarnya hampir sama dengan analisis domain, yakni merupakan seperangkat kategori yang diorganisir atas dasar hubungan semantik tunggal. Perbedaan utama kedua analisis tersebut bahwa taksonomi itu menunjukkan lebih banyak hubungan diantara sesuatu di dalam domain kultural.
Langkah-langkah Analisis Taksonomi

Memilih domain analisis taksonomi.
Mencari kesamaan-kesamaan berdasarkan hubungan semantic yang sama.
Mencari istilah-istilah tercakup tambahan.
Meneliti domain lebih besar yang lebih inklusif yang bisa masuk sebagai bagian perangkat domain yang sedang dianalisa.
Membuat konstruk suatu taksonomi tentative.
Membuat observasi-observasi terfokus untuk mengecek analisa anda.
Membuat konstruk suatu taksonomi yang lengkap.

Kita sekarang mengambil contoh di mana saat kita mencari perguruan tinggi di Jawa Timur, misalnya, ternyata banyak macam perguruan tinggi, yang antara lain adalah: (1) Universitas Negeri Malang (UM), (2) Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi (STIA) Malang, (3) Institut Teknologi Negeri (ITN) Malang, (4) Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, (5) Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Malangkucekwara, (6) Institut Agama Islam (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, (7) Universitas Putera Bangsa (UPB) Surabaya, (8) Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Al-Khoziny, (9) Institut Teknologi Surabaya (ITS), (10) Universitas Islam Malang (UNISMA), (11) Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Negara Bali, (12) Institut Agama Islam Ibrahimi (IAII), (13) Universitas Brawijaya (UNIBRAW) Malang, (14) Sekolah Tinggi Teknologi Malang (STTM), dan (15) Institut Teknologi Palapa (ITP) Malang.

Jenis-jenis perguruan tinggi di atas dapat dianalisis dengan taksonomi sebagai berikut:

UM Malang

UIN Malang

Universitas UPB Surabaya

UNISMA Malang

UNIBRAW Malang


STTM Malang

STIA Malang

Perguruan Tinggi Sekolah Tinggi STIE Malangkucekwara

STAI Al-Khoziny

STIT Negara


ITP Malang

ITN Malang

Institut IAIN Surabaya

ITS Surabaya

IAII Sitobondo

Tipe-tipe Diagram Taksonomi

Box Diagram

__________________________________________________________

Cover Term

_______ __________________________________________________



A B C D

_________ _______________

1 2 3




2. Lines and Nodes

Cover Term


A B C D


1 2 3 1 2 3

3. Outline

Cover Term

A.

1.

a.

b.

2.

3.

B.

C.

D.

1.

2.

3.

ANALISIS KOMPONENSIAL

Analisis komponensial adalah penelitian yang sistematis tentang atribut-atribut (komponen-komponen makna) yang berkenaan dengan kategori-kategori kultural. Yang dimaksud dengan atribut adalah elemen informasi apapun yang dikaitkan secara reguler dengan kategori kultural. Kapanpun etnografer menemukan kontras-kontras diantara anggota-anggota domain, kontras-kontras ini merupakan pikiran terbaik sebagai atribut-atribut atau komponen-komponen makna. “Komponen” adalah istilah lain dari “unit”: jadi, analisis komponen adalah mencari unit-unit makna yang orang-orang telah tentukan untuk kategori-kategori kultural mereka.

Langkah-langkah Analisis Komponensial

Analisis komponensial mencakup seluruh proses penelitian kontras-kontras (perbedaan-perbedaan atau perbandingan-perbandingan), menyortir konstras-kontras tersebut, mengelompokkan satu sama lain sebagai dimensi-dimensi kontras, dan memasukkan seluruh informasi ke dalam suatu paradigma.

Secara operasional, langkah-langkah analisis komponensial adalah sebagai berikut:

Memilih domain untuk analisis.
Menginventaris seluruh kontras yang ditemukan sebelumnya.
Mempersiapkan lembar kerja paradigma.
Mengidentifikasi dimensi-dimensi kontras yang memiliki nilai-nilai pasangan.
Mengkombinasikan secara dekat dimensi-dimensi kontras yang berkaitan ke dalam dimensi-dimensi yang memiliki nilai-nilai ganda.
Mempersiapkan pertanyaan-pertanyaan kontras untuk atribut-atribut yang lepas.
Melakukan observasi-observasi selektif untuk menemukan informasi yang lepas.
Mempersiapkan paradigma yang lengkap.

Kita bisa mengambil contoh sederhana, yakni tentang “jenis-jenis pos” yang diterima setiap saat baik yang dikirimkan ke rumah atau ke kantor. Domain kultural dari “jenis-jenis pos” itu dapat dijabarkan ke dalam kategori-kategori yang lebih kecil sebagai berikut:

JENIS-JENIS POS

_________ _______________________________________________

Pos surat/barang cetakan:

1.1. Pemberitahuan.

1.2. Iklan

1.3. Permohonan

Rekening
Majalah
Jurnal
Buku
Surat Kabar
Surat Pribadi

__________ __________________________________________________

Semua kategori di atas adalah sama, yakni jenis-jenis pos. Tetapi kategori-kategori itu juga berbeda, di mana masing-masing kategori memiliki tandan (cluster) atribut-atribut yang unik. Makna kultural setiap jenis pos ini diperoleh, sebagian, dari atribut-atribut ini. Dua amplop bisa jadi tampak identitas di luar, tetapi dapat dibaca cepat alamat, alamat kembali, perangko, dan menyatakan bahwa yang satu adalah “rekening” dan yang lain adalah “surat pribadi.” Setelah dibuka akan dikenali atribut-atribut yang membedakan dengan jelas pos yang satu dari yang lain.

Contoh lain tentang ragam agama yang ada di negara Indonesia. Di Indonesia, penduduknya menganut bermcam-macam agam yang antara lain adalah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Buda; semua itu adalah “jenis-kenis agama”. Domain kultural tersebut paling sedikit mempunyai kategori-kategori yang lebih kecil sebagai berikut:

JENIS-JENIS AGAMA

__________ ___________________________________________

Agama Islam

1.1. Islam Ahlussunnah wal Jamaah

1.2. Islam Muhammadiyah

Agama Kristen
Agama Katolik
Agama Hindu
Agama Buda

__________ ____________________________________________

Semua itu sama, yakni jenis-jenis agama. Tetapi semua itu juga berbeda. Masing-masing agama memiliki klaster atribut-atribut yang unik. Makna kultural masing-masing agama itu diperoleh, sebagian, dari atribut-atribut tertentu. Antara Islam dan Hindu, misalnya, tampak jelas perbedaannya dilihat (dipahami) dari atributnya masing-masing ketika mereka melakukan ibadah sembahyang. Dalam hal cara berpakaian (bentuk pakaian) misalnya, orang Islam mengenakan kopiah hitam atau putih (biasanya bagi mereka yang telah menunaikan ibadah haji – tetapi sekarang sudah tidak mesti) dan sarung bagi laki-laki (biasaya yang berbasis pesantren – Islam Ahlussunnah wal Jamaah) dan mukenah bagi muslimah. Adapun umat Hindu mengenakan pakaian keagamaannya sendiri, yakni ikat kepala (Sapuk) dan kain panjang ditambah dengan ikat pinggang (Bebet), dan biasanya ada selipan bunga kamboja di telinganya. Mereka memiliki tempat dan waktu sembahyang masing-masing baik sembahyang yang dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah. Apabila kita masuk lebih jauh pada perilaku keagamaannya akan semakin jelas bahwa kedua agama tersebut memiliki atribut-atribut (komponen-komponen makna) yang berbeda dan memberikan informasi budaya (cultural information) yang diikatkan pada masing-masing agama dan membuat agama-agama itu bermakna. Jadi Islam dan Hindu, keduanya sama, yakni sama-sama jenis agama. Pemeluknya sama-sama bersembahyang (menyembah Tuhannya). Tetapi keduanya juga berbeda, antara lain dalam pakaian keagamaan, tempat dan waktu sembahyang, Tuhan yang disembah, termasuk cara-cara melakukan sembahyang (ritual keagamaan). Cara pandang dan/atau persepsi tentang Tuhan, kehidupan, hubungan antar sesama manusia, dan hubungan manusia dengan lingkungannya pada satu sisi bisa sama, namun pada sisi lain bisa berbeda.

Atribut-atribut untuk semua kategori kultural dalam suatu domain dapat direpresentasikan dalam bagan (chart) yang dikenal dengan paradigma. Alat yang sederhana ini juga akan membuat kerja analisis komponensial lebih mudah dan lebih sistematis. Berikut contoh paradigma yang menggunakan tiga jenis lembaga pendidikan.

JENIS-JENIS LEMBAGA PENDIDIKAN

DOMAIN

PENDIDIKAN


DIMENSI-DIMENSI KONTRAS

Tes Masuk


Kurikulum


Ujian


Ijasah


Waktu
Pendidikan

Formal


Ada


Ada


Ada


Ada


Terikat
Pendidikan

Nonformal


Tidak ada



Ada/

Tidak ada


Ada/

Tidak ada


Ada/

Tidak ada


Fleksibel
Pendidikan

Informal


Tidak ada


Tidak ada


Tidak ada


Tidak ada


Bebas

Melalui paradigma di atas telah ditunjukkan beberapa attibut untuk tiga kategori kultural: apakah ada tes masuk, kurikulum, ujian resmi pada akhir program, ijasah, dan apakah lama penyelenggaraan pendidikan. Berdasarkan bagan paradigma di atas dapat dijelaskan bahwa pada pendidikan formal (sekolah) terdapat pelaksaan tes penyaringan pada saat penerimaan siswa baru, ada kurikulum yang bersifat baku, ada ujian pada akhir program, ada ijasah bagi mereka yang dinyatakan lulus, dan waktu penyelenggaraan pendidikan lama. Pada pendidikan nonformal (seperti kursus-kursus atau pelatihan-pelatihan) tidak dilakukan tes masuk bagi calon peserta baru, ujian bisa jadi ada atau tidak ada tergantung pada masing-masing lembaga, kurikulumnya bis jadi ada atau tidak ada, isajah bagi mereka yang menyelesaikan studinya bisa jadi ada atau tidak ada, dan waktunya relatif pendek. Sedangkan pada pendidikan informal tidak pernah ada tes masuk, kurikulum, ujian, maupun ijasah; dan waktunya bebas (pendek atau bahkan lama sekali).

DOMAIN

KULTURAL


DIMENSI KONTRAS

I


II


III
kategori kultural

atribut 1


atribut 2


atribut 3
kategiru kultural

atribut 1


atribut 2


atribut 3
kategori kultural

atribut 1


atribut 2


atribut 3

Perlu dipahami bahwa pada kolom pertama berisi anggota-anggota domain atau beberapa bagian kumpulan domain. Jika kita mengambil kategori kultural tunggal, baris-baris pada ruang yang berlawanan berisi atribut-atribut yang berkaitan dengannya. Jika kita menggeser perhatian kita dari kategori kultural tunggal pada semua tiga kolom, setiap kolom atribut menjadi sebuah dimensi kontras. Inilah dimensi makna di mana beberapa atau seluruh kategori kultural menjadi kontras. Dengan alat analisis ini peneliti dapat membuat analisis komponensial pada domain manapun yang telah peneliti temukan dalam kancah kultural yang sedang diteliti.

Berikut akan dipaparkan beberapa contoh domain kultural yang dapat dianalisis dengan analisis komponensial yang dimaksudkan untuk memperkaya wawasan pembaca tentang analisis komponensial. Beberapa contoh berikut tentu tidak sampai pada jabaran domain sangat detil; pembaca dapat menjabarkannya lebih lanjut.

JENIS-JENIS TELEPON

———– ——————————————————————-

Telpon rumah kabel.
Telpon rumah antena.
Telpon flexi pra bayar.
Telpon flexi pasca bayar.
Telpon seluler pra bayar.
Telpon seluler pasca bayar.

———- ——————————————————————–

JENIS-JENIS BANK

——– ———————————————————————

Bank Konvensional

1.1. Bank simpan-pinjam negara.

1.2. Bank simpan-pinjam swasta.

1.3. Bank perkreditan negara.

1.4. Bank perkreditan swasta.

Bank Syariah

2.1. Bank syariah simpan-pinjam.

2.2. Bank syariah perkreditan.

Baitul Maal wat Tanwil (BMT)

——— ———————————————————————————

JENIS-JENIS LEMBAGA PENDIDIKAN

———————- ——————————————————————-

Sekolah Dasar (SD).

1.1. Sekolah Dasar Negeri.

1.2. Sekolah Dasar Swasta.

1.3. Madrasah Ibtidaiyah Negeri.

1.4. Madrasah Ibtidaiyah Swasta.

Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).

2.1. SMP Negeri.

2.2. SMP Swasta.

2.3. MTs Negeri.

2.4. MTs Swasta

Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA).

3.1. SMU Negeri.

3.2. SMU Swasta.

3.3. Madrasah Aliyah Negeri.

3.4. Madrasah Aliyah Swasta.

Perguruan Tinggi (Universitas, Sekolah Tinggi, Institut)

4.1. Universitas Umum Negeri.

4.2. Universitas Umum Swasta.

4.3. Universitas Islam Negeri.

4.4. Universitas Islam Swasta.

4.5. Institut Umum Negeri.

4.6. Institut Umum Swasta

4.7. Institut Agama Islam Negeri.

4.8. Institut Agama Islam Swasta.

4.9. Sekolah Tinggi Umum Negeri.

4.10. Sekolah Tinggi Umum Swasta

4.11. Sekolah Tinggi Islam Negeri.

4.12. Sekolah Tinggi Islam Swasta

———– —————————————————————————————

Analisis Struktur Peristiwa (Event-Structure Analysis)

Banyak peneliti kualitatif mengatur data secara kronologis dalam bentuk narasi untuk menjelaskan suatu kisah atau cerita. Event-structure analysis (ESA) merupakan metoda analisis data jenis baru untuk membantu para peneliti mengorganisasikan urutan kejadian dengan cara-cara tertentu sehingga mempermudah mengetahui hubungan kausal. Metode ini dan program komputer yang digunakan bersamanya (disebut ETHNO) pertama kali digunakan untuk data penelitian lapangan, namun metode ini juga bisa digunakan untuk data historis. Dalam ESA, peneliti terlebih dulu mengorganisasikan data menjadi kejadian, kemudian menempatkan kejadian-kejadian dalam suatu urutan sementara.

ESA berbeda dengan narasi, di mana dalam ESA peneliti tidak sekadar mengulang cerita, tetapi juga menguraikan rangkaian hubungan antara kejadian-kejadian yang terjadi. Peneliti memisahkan kejadian-kejadian mana saja yang harus terjadi sebelumnya dari kejadian yang bisa terjadi. Program komputer mengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang hubungan antara kejadian-kejadian tersebut yang harus dijawab oleh peneliti. Misalnya, dalam sebuah sanaasi ada kejadian A, B, C, X, dan Y. Peneliti diberi pertanyaan: Apakah kejadian A terjadi sebelum kejadian X yang menyebabkan Y (yaitu, Apakah A merupakan prakondisi yang diperlukan untuk memunculkan hubungan kausal X:Y ?) atau apakah X mempengaruhi Y tanpa A? Jika diperlukan, A harus terjadi sekali lagi sebelum X mempengaruhi Y lagi. Proses ini memaksa peneliti untuk menjelaskan apakah hubungan kausal antara dua kejadian merupakan hubungan unik dan sekali waktu atau merupakan hubungan berulang yang bisa terulang baik secara tak terbatas atau hanya terjadi dalam beberapa putaran saja.

Event-structure analysis memiliki keterbatasan. Ia tidak bisa menghasilkan teori atau logika kausal; peneliti harus menyediakan teori dan logika kausal sendiri. Ia hanya menciptakan peta atau diagram (dengan program komputer) yang mempermudah peneliti mengetahui keterkaitannya. Sementara peneliti membuat keputusan tentang hubungan kemungkinan secara logis, ESA menjelaskan hubungan kejadian-kejadian dan menandai kejadian-kejadian yang mungkin berbeda. ESA tidak memiliki tempat untuk menahan struktur yang membingkai tindakan urutan kejadian: peneliti menambahkan analisis yang lebih tradisional.

Analisa kasus lynching (hukuman mati tanpa pengadilan) yang dilakukan Griffin (1993) menjelaskan ESA. Berdasarkan sejarah lisan, buku, laporan koran, dia merekonstruksi urutan kejadian seputar kasus hukuman mati tanpa pengadilan atas David Harris di Bolivar County, Mississippi pada bulan April 1930. Setelah menjawab pertanyaan ya/tidak tentang kemungkinan hubungan sepanjang rangkaian kejadian dan setelah menganalisa keterkaitannya, Griffin bisa menyimpulkan bahwa faktor utama penyebab kasus tersebut adalah tidak bertindaknya deputi kepolisian setempat yang sebenarnya bisa mencegah kasus pembunuhan tersebut. (Ringkasan diagram ESA bisa dilihat pada Gambar Contoh ESA dalam Hukuman Mati Tanpa Pengadilan atas David Harris di bawah).

Peneliti kualitatif menggunakan beragam teknik analisis lain. Berikut kami jelaskan empat teknik lainnya.

Analisis Jaringan (Network Analysis)

Gagasan jaringan sosial telah dibahas dalam teori jaringan dan dalam snowball sampling. Peneliti kualitatif seringkali ‘memetakan’ hubungan antara serangkaian orang, organisasi, kejadian, atau tempat. Dengan menggunakan sociogram dan teknik-teknik pemetaan sejenis lainnya, mereka bisa menemukan, menganalisa, dan menunjukkan rangkaian hubungan. Misalnya, dalam sebuah perusahaan, Harry memberi perintah kepada Sue, Sue dan Sam saling berkonsultasi dan saling bantu. Sam mendapatkan bahan dari Sandra. Sandra berhubungan dengan Mary. Para peneliti menemukan bahwa jaringan membantu mereka melihat dan memahami struktur hubungan sosial yang rumit.

Analisis Alokasi Waktu (Time Allocation Analysis)

Waktu adalah sumberdaya yang sangat penting. Peneliti mengkaji bagaimana orang atau organisasi menghabiskan waktu untuk mengungkap aturan implisit perilaku atau prioritas. Para peneliti mencatat lama waktu yang diperlukan untuk beberapa kegiatan. Biasanya orang tidak menyadari atau secara eksplisit tidak mengakui pentingnya kegiatan yang memakan waktu. Misalnya, seorang peneliti mengetahui bahwa sebagian orang harus menunggu sebelum menemui seseorang, sementara ada orang yang tidak perlu menunggu. Peneliti bisa menganalisa lama waktu, siapa yang menunggu, apa yang mereka lakukan saat menunggu, dan apakah mereka merasa kalau menunggu tersebut adil. Atau, peneliti mencatat komentar sebagian pihak bahwa ada perayaan-perayaan dalam perusahaan yang sebenarnya tidak penting. Namun, setiap orang hadir dan menghabiskan waktu sampai dua jam dalam perayaan tersebut. Pengalokasian kolektif waktu dua jam selama pekan sibuk untuk perayaan tersebut merupakan pertanda bahwa waktu sangat penting dalam kultur perusahaan itu.

Flowchart dan Urutan Waktu (Flowchart dan Time Sequence).

Disamping lama waktu yang digunakan untuk berbagai kegiatan, peneliti juga menganalisa urutan kejadian atau keputusan. Para peneliti sejarah biasanya memfokuskan perhatiannya pada pencatatan urutan waktu, tetapi peneliti komparatif dan peneliti lapangan disamping memperhatikan urutan kejadian juga memperhatikan alur atau urutan. Disamping mencari tahu kapan suatu kejadian terjadi, peneliti juga menggunakan gagasan pohon keputusan atau flowchart untuk menjelaskan urutan keputusan, memahami bagaimana keterkaitan satu kejadian atau keputusan dengan kejadian/keputusan lainnya. Misalnya, suatu kegiatan sederhana membuat kue bisa dijelaskan dalam Gambar Flowchart Pembuatan Roti di bawah. Gagasan memetakan langkah, keputusan, atau kejadian dan melihat keterkaitannya telah diterapkan di banyak latar. Misalnya, Brown dan Canter (1985) membuat flowchart detil untuk menjelaskan perilaku membeli-rumah. Kedua peneliti ini membagi kegiatan ini menjadi 50 langkah, dengan batas waktu dan pelaku lainnya (misalnya, pembeli, pegawai keuangan, juru survey, pengacara pembeli, perusahaan iklan, penjual, pengacara penjual).

Prosedur Penyortiran Ganda (Multiple Sorting Procedure)

Multiple sorting adalah teknik yang hampir sama dengan analisis domain yang bisa digunakan peneliti dalam penelitian atau sejarah lisan. Teknik ini digunakan untuk mengetahui bagaimana orang mengkategorikan pengalaman-pengalamannya atau bagaimana mereka mengklasifikasikan item-item ke dalam sistim yang sama atau berbeda. Multiple sorting procedure telah digunakan oleh para antropolog dan psikolog. Prosedur ini bisa digunakan untuk mengumpulkan, menguji, atau menganalisa data. Cara kerja prosedur ini sebagai berikut. Peneliti memberikan sebuah daftar istilah, foto, tempat, nama-nama orang, dan lain-lain kepada subjek yang diteliti dan meminta mereka untuk mengorganisasikan daftar-daftar tersebut ke dalam beberapa kategori atau tumpukan. Subjek atau anggota menggunakan kategori yang telah mereka buat. Setelah dipisahkan, peneliti menanyakan tentang kriteria yang digunakan subjek. Kemudian subjek diberi item-item lagi dan diminta untuk memisahkannya dengan cara lain. Teknik ini hampir mirip dengan teknik Thurstone scaling dalam hal pemisahan item, tetapi dalam teknik ini jumlah tumpukan dan jenis itemnya berbeda. Perbedaan lainnya, tujuan pemisahan pada teknik ini bukan untuk membuat skala seragam tetapi untuk mengungkap cara-cara yang digunakan orang untuk memahami dunianya. Misalnya, seorang penjudi memisahkan daftar delapan bentuk permainan sebanyak lima kali. Setiap pemisahan terdiri dari tiga sampai empat kategori. Salah satu pemisahan diorganisasikan berdasarkan “kelas kasino” (tinggi sampai rendah). Pemisahan lainnya didasarkan pada “fitur tambahan”, “besaran taruhan”, “dapat jackpot”, dan “pilihan pribadi”. Dengan mengamati pemisahan tersebut, peneliti melihat bagaimana orang lain mengorganisasikan dunianya.
Gambar Flowchart Pembuatan Roti
Ambil mangkuk
Tuang adonan ke panci

OK
Atur Timer
Atur Timer
Kumpulkan Bahan-bahan
Oven Pemanas
Tunggu 10 menit
Masukkan Roti dalam Oven
Cold
Hot
Aduk adonan

Diadaptasi dari Neuman (2000:435)

Gambar Event-Structure Analysis dalam Kasus Hukuman Mati

tanpa Pengadilan atas David Harris
Deputi kembali ke kantor dan tidak melakukan Konfirmasi lebih lanjut.
Masyarakat sekitar (kulit putih) meyakinkan deputi kepolisian bahwa sedang dilakukan pengajaran atas Harris.
Harris lari dari TKP dan lari bersembunyi.
Tim pemburu menyeret Harris ke tanggul sungai, mengikatnya di pohon dan membunuhnya.
Anak buah Harris membunuh pesaing bisnis tersebut.
Tim pemburu (seluruhnya kulit putih) dibentuk.
Seorang pesaing bisnis Harris (kulit hitam) memberitahukan tempat persembunyian Harris.
Tim pemburu menangkap Harris.
Deputi polisi mendatangi TKP.
Deputi bagian hukum (kulit putih) menerima laporan penembakan.
Orang-orang di sekitar TKP mengabarkan kejadian itu.
Terjadi perselisihan dan Funderberg mengancam David Harris
David Harris (kulit hitam) menembak Funderberg (kulit putih).

1994124
Funderberg dan teman-temannya pergi ke rumah David Harris untuk membeli moonshine (arak illegal).

Diadaptasi dari Neuman (2000:434).

Hal penting yang perlu dipahami oleh kalangan peneliti kualitatif bahwa hasil analisis data penelitian kualitatif kelihatannya hanya merupakan suatu paparan dari rangkaian pernyataan (kalimat) sehingga terkadang lebih sulit dipahami untuk sementara orang. Oleh karena itu untuk mempermudah pemahaman terhadap ringkasan (temuan penelitian) maka lebih efektif untuk menggunakan diagram. Sebagaimana diketengahkan oleh Neuman (2000:439) bahwa para peneliti kualitatif telah bergeser ke arah presentasi ringkasan analisis data mereka dalam bentuk diagram atau peta (charts). Mereka mempunyai banyak cara untuk mempresentasikan analisis data. Diagram dan peta membantu mereka untuk mengorganisir ide-ide dan menginvestigasi hubungan-hubungan dalam data itu, dan juga dalam mengkomunikasikan hasil penelitian pada para pembaca. Miles dan Huberman (1994) berargumentasi bahwa penunjukan (display) data merupakan bagian kritis dalam analisis kualitatif.
MEMBANGUN KETERPERCAYAAN

Ada beberapa kriteria yang digunakan untuk meyakinkan bahwa data yang diperoleh di lapangan betul-betul akurat dan/atau dipercaya. Beberapa kriteria keterpercayaan hasil penelitian (data) dijabarkan dalam uraian berikut (Lincoln & Guba, 1981:301):
Kredibilitas

Ada lima teknik utama untuk mengecek kredibilitas data, yaitu: (1) kegiatan-kegiatan yang lebih memungkin temuan atau interpretasi yang dapat dipercaya akan dihasilkan (memperpanjang keterlibatan, pengamatan yang terus-menerus, dan triangulasi); (2) pengecekan eksternal pada proses inkuiri (wawancara teman sejawat – peer debriefing); (3) suatu kegiatan yang mendekati perbaikan hipotesis kerja karena semakin banyak informasi yang tersedia (analisis kasus negatif); (4) suatu kegiatan yang memungkinkan untuk mengecek temuan dan interpretasi awal terhadap “data mentah” yang diarsipkan (kecukupan referensial); dan (5) suatu kegiatan yang memberikan pengujian temuan dan interpetasi langsung dengan sumber manusia sebagai asal dari temuan tersebut – pembuat realita ganda yang dikaji (pengecekan anggota).

1. Kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kemungkinan temuan yang dapat dipercaya akan dihasilkan.

Ada tiga kegiatan yang dapat dilakukan oleh peneliti kualitatif untuk meningkatkan temuan yang dapat dipercaya akan dihasilkan, yaitu: (a) memperpanjang keterlibatan, (b) pengamatan yang cermat, dan (c) triangulasi. Ketiga kegiatan tersebut akan dipaparkan dalam uraian berikut.

Pertama, memperpanjang keterlibatan, bahwa peneliti tinggal di latar dan berinteraksi dengan orang-orang lebih lama lagi dari jadual semula. Hal ini adalah investasi waktu yang cukup untuk memperoleh tujuan tertentu: mempelajari “budaya”, menguji informasi yang salah yang diperkenalkan oleh distorsi baik dari dirinya sendiri ataupun dari para responden, dan menciptakan kepercayaan. Kita mungkin menyarankan, tidak mungkin untuk memahami semua fenomena tanpa mengacu pada muatan di mana hal itu berakar di sana. Memang Schwartz dan Ogilvy (1979) membantah bahwa objek dan perilaku tidak hanya mengambil maknanya tetapi eksistensi yang sebenarnya dari konteksnya. Oleh karena itu, kewajiban naturalis adalah banyak menghabiskan waktu dalam berorientasi pada situasi, “terjun ke dalam budaya melalui liang reniknya”, untuk merasa yakin bahwa konteks diapresiasi dan dipahami secara sempurna. Namun berapa lamakah itu? Jawaban dari pertanyaan tersebut sudah barang tentu relatif – pada ruang lingkup konteks dan pengalaman, namun minimal seharusnya adalah “Cukup lama untuk dapat hidup terus tanpa tantangan selama ada di dalam budaya tersebut”.

Keterlibatan yang diperpanjang juga diperlukan untuk menditeksi dan memperhitungkan penyimpangan yang mungkin memasuki data tersebut. Yang pertama dan paling penting peneliti berkenaan dengan penyimpangan pribadi. Satu-satunya kenyataan untuk menjadi “seseorang yang asing di negara asing” menarik perhatian bagi peneliti, dengan reaksi yang terlalu berlebihan dari yang hadir. Agaknya ada kecenderungan bahwa kecuali peneliti mulai sebagai seorang anggota yang diterima dari kelompok atau agen yang dikaji, penyimpangan tidak akan pernah dapat diatasi.

Juga terdapat penyimpangan yang diperkenalkan oleh responden. Banyak dari penyimpangan ini tidak disengaja; misalnya, Bimes (1975) menggambarkan suatu rangkain sumber-sumber tentang “kesalahan informasi”, termasuk penyimpangan perseptual dan persepsi selektif; penyimpangan retrospektif dan selektifitas; salah susunan tentang pertanyaan peneliti; dan motif-motif yang disituasikan, misalnya ingin menyenangkan peneliti, mengatakan benda-benda yang tepat secara normatif, atau hanya termotivasi untuk ditujukan pada urusan peneliti sepenuhnya. Tetapi sebagian penyimpangan dimaksudkan untuk menipu atau membingungkan; Douglas (1976) khususnya menyebutkan tentang kebohongan, sikap dingin, dan penipuan yang mungkin dilakukan oleh para informan. Memang, dia membantah bahwa kerjasama yang merupakan ciri-ciri pada sebagian besar inkuiri adalah merupakan suatu kepercayaan yang salah arah; bahwa setiap orang mempunyai sesuatu yang disembunyikan; dan bahwa para peneliti disarankan dengan sebaik-baiknya untuk menggunakan suatu postur investigatif. Apakah keinginan menjadi seorang yang sinis seperti yang diingatkan oleh Douglas masih tetap merupakan sebuah pertanyaan, tetapi memang benar-benar ada waktu-waktu dan tempat-tempat di mana teknik-teknik yang disarankannya adalah bermanfaat. Selama periode perpanjangan keterlibatan peneliti harus memutuskan apakah dia harus berada di atas prakonsepsinya sendiri, apakah misinformasi telah ada dan apakah misinformasi tersebut disengaja atau tidak disengaja, dan postur apa yang diambil untuk mengantisipasi persoalan tersebut.

Akhirnya, periode perpanjangan keterlibatan dimaksudkan untuk memberikan suatu kesempatan kepada peneliti untuk membangun kepercayaan. Sekarang, membangun kepercayaan, seperti yang dinyatakan Johnson (1975), bukan merupakan masalah penggunaan teknik-teknik yang memberikan jaminan. Lebih-lebih, kepercayaan adalah bukan masalah karakteristik pribadi dari peneliti: seorang “teman yang baik” kepada siapa para responden akan percaya secara instinktif mengenai rahasia-rahasia hati mereka. Akan tetapi, ini merupakan suatu proses perkembangan yang terjadi setiap hari: untuk menunjukkan kepada para responden bahwa kepercayaan mereka tidak akan digunakan untuk menyerang mereka; bahwa jaminan keanoniman akan dihargai; bahwa agenda-agenda yang tersebunyi, baik dari para peneliti ataupun ataupun figur-figur daerah lainnya kepada siapa peneliti harus berterima kasih, tidak mendapatkan layanan; bahwa minat dari para responden akan dihargai seperti halnya minat yang ada pada peneliti; dan bahwa para responden akan mempunyai masukan dan sebenarnya juga mempunyai pengaruh terhadap proses inkuiri. Membangun kepercayaan merupakan proses yang memakan waktu; lebih-lebih, kepercayaan dapat dirusak pada waktu yang tepat dan kemudian bahkan memerlukan lebih banyak waktu untuk membangun kembali. Keterlibatan yang diperpanjang merupakan suatu keharusan jika kepercayaan yang cukup memadai harus muncul.

Perlu disarankan di sini tentang bahaya dari apa yang kadang-kadang oleh antropolog diartikan sebagai menjadi penduduk asli (going native). Lincoln dan Guba (1981:4) menggambarkan fenomena ini sebagai berikut: Ketika seorang antropolog telah semakin menyenangi kelompok yang sedang dikajinya dia berhenti untuk mempertimbangkan dirinya sendiri sebagai bagian dari profesi – atau berhenti untuk mempertimbangkan apakah sub kelompok budaya ataupun sub kelompok profesionalnya sebagai kelompok referensinya yang dominan – dia berkontribusi terhadap penelitian tersebut dan memulai suatu peran “yang memahami-kinerja” di dalam kelompok yang dikaji (Kolaja, 1956:161).

Gold (1969:36) mengemukakan bahwa menjadi penduduk asli hampir selalu merupakan hasil yang naif, dan terjadi sebagai suatu peristiwa yang tidak menguntungkan. Dalam proses berusaha untuk memperoleh Verstehen, dia menyatakan, “ … di lapangan pekerja bisa mengidentifikasi secara berlabihan dengan informan dan mulai kehilangan perspektif penelitiannya dengan going native. Lebih lanjut Gold (1969:63-64) “partisipasi langsung yang diperpanjang membawa serta resiko bahwa peneliti akan kehilangan rasa kekagumannya yang dipersiapkan dan gagal untuk memperoleh fenomena tertentu bahwa peneliti yang relatif tidak berpartisipasi akan menemukannya.”

Biasanya resiko yang dihadapi bahwa setiap kecenderungan untuk menjadi penduduk asli akan mendapat hasutan oleh keterlibatan yang diperpanjang. Semakin lama peneliti di lapangan, semakin diterima dia jadinya, semakin apresiatif budaya daerah, semakin besar kecenderungan bahwa keputusan profesional akan terpengaruh. Bagaimanapun juga, tidak ada teknik-teknik yang akan memberikan suatu jaminan terhadap pengaruh seperti itu baik secara disadari ataupun tidak disadari, namun kesadaranlah menjadi suatu langkah besar untuk preventif.

Teknik pengamatan terus-menerus (persistent observation) menambah dimensi-dimensi yang menonjol pada yang kelihatan sedikit lebih dari suatu penyelaman yang tidak bersemangat. Jika tujuan keterlibatan yang diperpanjang ialah untuk memberikan keterbukaan kepada peneliti pada pengaruh ganda – pembentuk-pembentuk timbal balik dan faktor-faktor kontekstual – yang berkenaan dengan fenomena yang dikaji, tujuan pengamatan terus-menerus ialah untuk mengidentifikasi karakteristik tersebut dan unsur-unsur di dalam situasi yang paling relevan dengan persoalan atau isu tersebut dan memfokuskan pada hal-hal tersebut secara terinci. Jika keterlibatan yang diperpanjang memberikan ruang lingkup, pengamatan yang terus-menerus akan memberikan kedalaman.

Peneliti cepat atau lambat harus sampai pada istilah yang oleh Eisnmer (1975) diistilahkan dengan keterlibatan “kualitas yang dapat menyerap” (pervasive qualities) – hal itu yang sebenarnya diperhitungkan. Bahwa pemfokusan juga menunjukkan menghilangkan ketidaksesuaian – hal yang tidak diperhitungkan. Akan tetapi bukan mengambil pendapat bahwa tidak khas secara de facto juga “tidak menarik secara intrinsik”, naturalis harus dapat mengetahui ketika yang tidak khas mungkin mempunyai hal yang penting. Tujuan ini memerlukan keterlibatan naturalis secara kontinyu dalam melabel secara coba-coba tentang apa yang diambil sebagai faktor-faktor yang menonjol dan selanjutnya menyelidikinya secara terinci, pada poin di mana pengukuran awal terlihat salah, atau faktor-faktor dipahami dengan cara tidak dibuat-buat. Untuk memenuhi kriteria tentang keterpercayaan ini, naturalis harus dapat menggambarkan secara rinci tentang bagaimana proses identifikasi coba-coba dan penyelidikan terinci ini dilaksanakan.

Pengamatan yang terus-menerus juga mempunyai celah-celah (perangkap), sejajar dengan menjadi penduduk asli berkenaan dengan perpanjangan keterlibatan. Dalam hal ini bahayanya ialah tentang pendekatan secara prematur. Karena tekanan dari tuntutan klien atau para penyandang dana, dan mungkin tergantung pada ketidaktoleransian dari kekaburan karakteristik dari spesies-spesies manusia, peneliti naturalistik bisa sampai pada suatu fokus terlalu cepat.

Teknik triangulasi merupakan model ketiga untuk memperbaiki kemungkinan temuan dan interpretasi akan dapat dipercaya. Denzin (1978) menyatakan bahwa ada empat model yang berbeda dari triangulasi adalah: (1) triangulasi data – penggunaan sumber data yang beragam dalam studi, (2) triangulasi investigator/peneliti – penggunaan beberapa peneliti atau evaluator yang berbeda, (3) triangulasi teori – penggunaan perspektif-perspektif ganda untuk menginterpretasi seperangkat data tunggal; dan (4) triangulasi metodologis – penggunaan metode-metode ganda untuk menstudi masalah atau program tunggal. Selanjutnya Denzin dan Lincoln (1998:47) menambah tipe triangulasi yang kelima, yakni apa yang disebut dengan triangulasi inter-disiplin (interdisciplinary triangulation). Dengan menggunakan disiplin-disiplin yang lain, seperti seni, sosiologi, sejarah, dansa, arsitektur, dan anthropologi untuk menginformasikan proses penelitian kita, kita bisa memperluas pemahaman kita terhadap metode dan substansi (Denzin & Lincoln, 1998:47).

Yang pertama, sumber, ialah apa yang sering dimaksud ketika orang membicarakan triangulasi. Kita seringkali menghadapi ungkapan-ungkapan seperti: “Tidak ada laporan dipercaya kecuali jika itu dapat diverifikasikan oleh orang lain”, atau “Informasi yang akan datang pada wawancara tidak diabaikan kecuali jika dapat dicek pada dokumen yang yang tersedia”. Ekspresi-ekspresi ini menggambarkan bahwa “sumber ganda” tersebut bisa menunjukkan ‘salinan’ ganda dari satu jenis sumber (misalnya mewawancarai para responden) atau sumber yang berbeda dari informasi yang sama (sebagai contoh, memverifikasikan ingatan (recollection) wawancara seorang responden tentang apa yang telah terjadi pada suatu pertemuan dewan dengan mengkonsultasikan waktu-waktu resmi tentang pertemuan tersebut [tetapi perlu dicatat bahwa jika menit-menit konsultasi tersebut tidak mendukung ingatan, semua orang dapat membuat kesimpulan bahwa salah satu sumber mungkin dalam keadaan salah]). Diesing (1972:147-148) tidak memberikan makna yang lain yang memungkinkan dengan memperhatikan pada sumber-sumber dalam pembahasan tentang validasi kontekstual ini:

Validasi kontekstual mempunyai dua bentuk utama.

Pertama, validitas dari sepenggal bukti dapat diukur dengan membandingkannya dengan jenis-jenis bukti lainnya pada poin yang sama. Masing-masing jenis ….mempunyai ambiguitas karakteristiknya dan kekurangannya sendiri, yang tidak cenderung sesuai dengan jenis yang lainnya ….

Kedua, validasi kontekstual ialah mengevaluasi suatu sumber bukti dengan mengumpulkan jenis-jenis bukti lainnya tentang sumber tersebut … untuk menempatkan pola penyimpangan di dalam sebuah sumber.

Jenis validasi kontekstual pertama agaknya hampir sama dengan yang digunakan Denzin, yang kedua agaknya merupakan bentuk yang baru di mana sumber itu sendiri yang masih menjadi pertanyaan. Anggapannya adalah jika seseorang dapat membuat suatu pola penyimpangan khusus (rumusan yang salah atau bias/menyimpang, misalnya), maka dia berada pada suatu posisi untuk membetulkan informasi yang akan datang dari sumber tersebut, termasuk yang dapat diverifikasi di mana-mana.

Penggunaan metode yang berbeda untuk triangulasi juga mempunyai sejarah yang berbeda. Webb et al. (1966:3) menyimpulkan bahwa sementara triangulasi dengan metode mungkin sulit, itu suatu pekerjaan yang sangat bagus, karena membuat data dapat dipercaya: Setelah suatu pernyataan telah dikonfirmasikan dengan dua proses pengukuran atau lebih, ketidakpastian dari interpretasinya dapat turun drastis. Bukti yang paling persuasif timbul melalui suatu triangulasi dari proses pengukuran. Jika suatu pernyataan dapat menyebabkan terus berlangsungnya serangan hebat dari serangkaian pengukuran yang tidak sempurna, dengan semua kesalahannya yang tidak relevan, kepercayaan harus ditujukan pada hal tersebut.

Tentang triangulasi sumber dan metode di atas dapat dijelaskan lebih sederhana sebagai berikut. Triangulasi sumber, bahwa data yang diperoleh dicek kembali pada sumber yang sama dalam waktu yang berbeda, atau dicek dengan menggunakan sumber yang berbeda. Pada yang pertama, misalnya, apabila peneliti mengumpulkan data dengan melakukan wawancara dengan A, maka data tersebut nantinya dicek (ditanyakan kembali) pada A di saat yang berbeda, misalnya, seminggu atau dua minggu lagi. Pada yang kedua, bahwa data yang diperoleh dari A nantinya dicek dengan melakukan wawancara dengan B atau C atau atau yang lainnya.

Triangulasi metode, bahwa data yang dikumpulkan dengan menggunakan metode tertentu nantinya dicek dengan menggunakan metode yang lain. Misalnya, data yang dikumpulkan dengan menggunakan metode (atau teknik) wawancara nantinya dicek dengan menggunakan metode observasi atau analisis dokumen. Jika peneliti, misalnya, akan mengetahui tentang partisipasi siswa dalam interaksi pembelajaran di kelas, maka peneliti pertama kali dapat melakukan wawancara dengan guru kelas atau beberapa siswa. Kemudian data yang diperoleh dari guru kelas atau beberapa siswa tersebut dicek dengan melakukan observasi ke dalam kelas, di mana peneliti berada bersama dengan para siswa di dalam kelas dan mengamati bagaimana partisipasi siswa dalam interaksi pembelajaran. Adapun jika peneliti akan mengetahui keaktipan kehadiran siswa dalam mengikuti pelajaran tertentu, maka peneliti dapat mewawancarai guru kelas, kemudian jawaban guru tersebut dicek dengan melihat dokumen yang ada, yakni daftar hadir siswa.

Untuk mempermudah pemahaman tentang triangulasi tersebut di atas, berikut akan diketengahkan contoh.

Peneliti akan melakukan penelitian tentang Kelompok Belajar Usaha (KBU) yang warga belajarnya adalah umumnya orang dewasa dan miskin secara ekonomi. Peneliti ingin mengidentifikasi persepsi warga belajar tentang manfaat mengikuti pembelajaran pada kelompok belajar tersebut. Salah seorang warga belajar yang diwawancarai katakanlah bernama Johan.

Peneliti: Pak Johan! Bapak sudah berapa lama menjadi warga belajar pada Kelompok Belajar Usaha ini?

Johan : Sudah cukup lama, Pak. Sekitar satu tahunan.

Peneliti: Menurut Bapak, manfaat apa yang Bapak peroleh dengan mengikutikegiatan pembelajaran di kelompok belajar ini?

Johan: Waduh, ya banyak sekali Pak! Yang sangat saya terasa adalah saya memperoleh ilmu dan sekaligus saya bisa belajar menerapkan ilmu langsung untuk memperoleh uang. Ini tidak saya bayangkan sebelumnya.

Beberapa hari kemudian data (pernyataan Johan) tersebut ditanyakan kembali (dicek) pada Johan. Misalnya, dengan pertanyaan sebagai berikut:

Peneliti: Pak Johan! Waktu saya wawancara dengan Bapak seminggu yang lalu, Bapak mengatakan bahwa manfaat yang Bapak peroleh dengan mengikuti kegiatan belajar di Kelompok Belajar Usaha adalah Bapak memperoleh ilmu dan sekaligus dapat menerapkan ilmu secara langsung untuk memperoleh uang. Apakah Bapak memang merasakan demikian sampai sekarang ini.

Johan : Benar sekali, Pak! Saya sekarang sudah memiliki ketrampilan cara membuat sabun cuci. Dulu saya tidak tahu apa-apa. Sabun itu bisa saya jual dan sebagian bisa dipakai sekeluarga. Jadi saya memperoleh kedua manfaat itu secara bersamaan.

Pernyataan Johan tersebut menunjukkan bahwa data yang diperoleh adalah akurat. Dari pernyataan Johan tadi, pembaca dapat memahami bahwa materi pembelajaran di KBU adalah tentang cara membuat sabun cusi. Jawaban ini secara langsung menjawab pertanyaan tentang materi pelajaran, walaupun mungkin pertanyaan tentang materi pembelajaran belum diajukan. Begitulah situasi lapangan yang kadang-kadang mungkin dialami oleh peneliti kualitatif. Apabila peneliti ingin memperoleh keyakinan lebih tentang akurasi data, peneliti bisa bertanya (mengecek) pada warga belajar lain yang satu kelompok belajar dengan Johan, dengan pertanyaan yang sama sebagaimana ditanyakan pada Johan. Begitulah seterusnya hingga data yang diperoleh sampai pada titik jenuh ( yang menunjukkan bahwa penelitian bisa diakhiri).

Penggunaan peneliti yang berbeda, suatu konsep yang sangat layak bagi konvensionalis, masuk ke dalam masalah-masalah yang ada di dalam konteks naturalis. Jika desain adalah muncul, dan pada akhirnya bentuknya tergantung pada pada interaksi khusus yang dimiliki peneliti dengan fenomena, maka kita tidak dapat berharap memperkuat satu peneliti dengan peneliti lainnya. Persoalan ini serupa dengan mengharapkan kelipatan untuk kepentingan membentuk reliabilitas. Namun demikian, naturalis melihatnya sebagai sangat memungkinkan untuk menggunakan peneliti ganda sebagai bagian dari sebuah tim, dengan pernyataan-pernyataan dibuat untuk komunikasi tim dalam (intrateam) yang cukup memadai agar semua anggotanya dapat bekerja bersama-sama. Kenyataan bahwa semua anggota tim kurang lebih tetap mempertahankan “kejujuran” dengan anggota lain dari tim tersebut menambah kemungkinan temuan tersebut akan tetap dapat dipercaya.

Terakhir, penggunaan teori ganda untuk kepentingan triangulasi merupakan suatu rumusan yang tidak dapat diterima oleh naturalis. Kita telah berulangkali mencatat kecenderungan bahwa fakta adalah ditentukan oleh teori; fakta tersebut tidak mempunyai eksistensi independen teori yang ada di dalam kerangka yang telah memperoleh keterkaitan. Jika suatu fakta yang ada “dapat diperkuat” di dalam dua teori, bahwa temuan mungkin lebih dari merupakan suatu fungsi tentang kesamaan dari teori-teori dibandingkan dengan kebermaknaan empiris dari fakta tersebut. Penggunaan teori-teori ganda sebagai suatu teknik triangulasi bagi kita rupa-rupanya secara epistemologis tidak baik dan secara empiris akan kosong.

Secara ringkas bahwa kemungkinan temuan (dan interpretasi yang berdasarkan kepadanya) akan terasa lebih dapat dipercaya jika peneliti dapat menunjukkan periode yang diperpanjang dalam keterlibatan tersebut (untuk mempelajari konteks, untuk meminimalkan penyimpangan, dan untuk membangun kepercayaan), untuk memberikan bukti, dengan menggunakan sumber-sumber yang berbeda tentang pengamatan yang terus-menerus (untuk kepentingan pengidentifikasian dan pengukuran faktor-faktor dan peristiwa-peristiwa tidak khas yang krusial), dan untuk membuat triangulasi, dengan menggunakan sumber dan metode yang berbeda, serta beberapa peneliti ganda, dalam pengumpulan data. Pada saat yang sama naturalis harus menjaga hubungan yang terlalu erat (masuk ke dalam native) dan mengakhiri terlalu dini, dan untuk menjaga bahwa model-model triangulasi yang tidak konsisten dengan aksioma-aksioma naturalis tidak dilaksanakan.

2. Wanwancara Teman Sejawat (Peer debriefing)

Ini merupakan teknik kedua yang bermanfaat di dalam membentuk kepercayaan. Ini merupakan suatu proses menunjukkan diri sendiri kepada teman-teman yang tidak mempunyai rasa tertarik dalam suatu cara membuat paralel suatu pembahasan analitis dan untuk tujuan menyelidiki aspek-aspek dari inkuiri yang jika tidak demikian akan tetap implisit pada pikiran peneliti.

Tujuan pelaksanaan debriefing adalah: (1) proses tersebut membantu menjaga peneliti untuk tetap “jujur”, (2) memberikan suatu permulaan dan mengusahakankesempatan untuk menguji hipotesis yang sedang berjalan yang mungkin muncul dalam pikiran peneliti yang agak masuk akal secara sempurna, (3) memberikan kesempatan untuk mengembangkan langkah-langkah selanjutnya dalam desain metodologis yang muncul, dan (4) memberikan kesempatan pada peneliti untuk merasakan secara mendalam, oleh karenanya menjernihkan pikiran atau emosi dan perasaan yang mungkin sedang mengaburkan pertimbangan yang baik atau mencegah langkah-langkah berikutnya yang dapat menimbulkan perasaan.

Orang yang memberikan debriefing harus seseorang yang dalam beberapa hal adalah teman peneliti, seseorang yang banyak mengetahui tentang bidang substantif dari inkuri dan hal metodologis. Debriefer (orang yang memberikan debriefing) harus bukan orang yunior – jangan sampai masukan daripadanya perlu diabaikan – juga bukan orang senior – jangan sampai sedikit masukannya dianggap sebagai kewenangan, atau jangan sampai peneliti “menarik kembali” untuk takut dinilai sebagai tidak kompeten. Debriefer seharusnya bukan orang yang ada dalam hubungan kewenangan atau otoritas bagi peneliti. Debriefer haruslah seseorang yang yang dipersiapkan untuk mengambil peranan secara serius. Baik peneliti ataupun debriefer harus mempertahankan rekaman atau catatan masing-masing sebagian untuk kepentingan jejak pemeriksaan, dan sebagian untuk referensi oleh peneliti ketika dia kemudian berusaha untuk menyusun mengapa inkuiri muncul seperti yang terjadi.

3. Analisis Kasus Negatif (Negative case analysis)

Sebuah pembahasan yang paling bermanfaat dari teknik ini telah diberikan baru-baru ini oleh Kidder (1981), yang melihatnya sebagai analogus, untuk data kualitatif, untuk pengujian-pengujian statistik bagi data kuantitatif. Kidder mengambil sebuah postur konvensional yang diakuinya sendiri; bahwa kita bisa menganggap karyanya sebagai salah satu dari usaha-usaha tersebut pada suatu kompromi antara “paradigma kualitatif dan kuantitatif”. Namun demikian perlakuannya tidak instruktif.

Analisis kasus negatif dapat dianggap sebagai suatu “proses merevisi hipotesis dengan pandangan ke belakang”. Objek dari permainan secara kontinyu ialah memperbaiki suatu hipotesis hingga ini menjawab semua kasus yang diketahui tanpa perkecualian. Hipotesis mengambil bentuk: “Semua anggota dari Kelas X mempunyai karakteristik A,B, dan C”. Jadi, misalnya, hipotesis mungkin bisa: “Semua anak yang tidak bisa belajar akan menunjukkan kinerja yang buruk di sekolah, suatu ‘profil merusak’ kompetensi intelektual (katakanlah, tinggi dalam membaca dan ilmu pengetahuan sosial, tetapi rendah dalam matematika dan sains), dan pertimbangan pribadi/sosial yang buruk”. Atau “Semua organisasi birokratis menunjukkan persetujuan subunit pada suatu tujuan keseluruhan secara umum, menunjukkan fungsi subunit (keluaran dari yang satu menjadi masukan dari berikutnya, dan seterusnya; biasanya disebut “pasangan yang erat”), dan sistem-sistem imbalan yang terbagi sama”.

Kidder mengutip sebagai sebuah contoh kajian yang dilaporkan oleh Cressey (1953) tentang penggelapan. Lima versi yang berbeda dari sebuah hipotesis tentang karakteristik penggelapan dirumuskan pada berbagai tahap kajian, dengan setiap revisi dilakukan setetah temuan tertentu yang tidak konsisten dengan versi-versi sebelumnya diperoleh. Kidder (198:241) mengamati:

Cressey merumuskan dan merevisi hipotesisnya lima kali sebelum dia sampai pada kesimpulannya tentang kasus-kasus penggelapan. Setiap waktu dia merumuskan sebuah hipotesis baru, dia mengeceknya tidak hanya terhadap wawancara baru tetapi juga wawancara dan pengamatannya yang direkam sebelumnya. Prosedur ex post facto adalah suatu praktek yang perlu … membentuk dasar untuk analisis induksi dan analisis kasus negatif. Analisis kasus negatif mengharuskan bahwa peneliti mencari data yang tidak memperkuat dalam pengamatan-pengamatan masa lalu dan masa mendatang. Suatu kasus negatif tunggal cukup untuk mengharuskan peneliti untuk merevisi suatu hipotesis dan mengatakan dengan percaya diri: “Ini menyebabkan itu”.

Dengan demikian analisis kasus negatif menghapus semua “lapisan luar” dan semua perkecualian dengan revisi secara kontinyu hipotesis yang disampaikan hingga “pas” telah sempurna.

Kidder (1981:244) mengatakan bahwa analisis kasus negatif untuk penelitian kualitatif, sedangkan analisis statistik ialah untuk kuantitatif. Keduanya dimaksudkan untuk menangani varian kesalahan (error variance). Penelitian kualitatif menggunakan ‘errors’ untuk merevisi hipotesis; analisis kuantitatif menggunakan varian error untuk menguji hipotesis, menunjukkan seberapa besar efek perlakuan dibandingkan dengan varian error.

4. Ketercukupan Referensial (Referential adequacy)

Konsep ketercukupan referensial pertamakali diajukan oleh Eisner (1975), yang yang dimaksudkan untuk membentuk ketercukupan dari para kritikus tertulis untuk tujuan evaluasi dengan model keahlian khususnya dalam meneliti karya-karya seni (connoisseurship). Rekaman dengan videotape dan pembuatan pilem (cinematography), memberikan arti untuk “menangkap dan menangani peristiwa tentang kehidupan di dalam kelas” yang selanjutnya dapat diuji pada waktu luang dan dibandingkan dengan tinjauan-tinjauan yang telah dikembangkan dari semua data yang dikumpulkan. Bahan-bahan yang direkam memberikan satu jenis benchmark di mana analisis data selanjutnya dan interpetasi (tinjauan) dapat diuji untuk ketercukupannya.

Akan tetapi tidak ada perlunya untuk membatasi pengujian referensial hanya pada segmen data rekaman elektronik. Memang, agaknya da kecenderungan bahwa banyak peneliti akan kekurangan sumber jika para ahli tidak menggunakan parangkat teknologi tinggi seperti itu seperti video recorder atau kamera filem. Lebih lanjut, koleksi atau kumpulan informasi dengan cara itu adalah sangat menonjolkan diri. Tetapi konsep tersebut masih dapat digunakan jika peneliti akan memberikan tanda sebagian dari data yang diarsipkan – tidak memasukkan ke dalam analisis data apapun yang mungkin direncanakan – dan selanjutnya diingat bila temuan coba-coba telah diperoleh. Terlepas dari nilai yang jelas dari bahan seperti itu untuk menunjukkan bahwa analisis yang berbeda dapat memperoleh kesimpulan yang serupa yang ada apapun kategori data yang telah muncul – sebuah soal tentang reliabilitas – ini juga dapat digunakan untuk menguji validitas dari kesimpulan tersebut. Skeptik tidak dihubungkan dengan inkuiri dapat menggunakan bahan-bahan seperti itu untuk memuaskan diri sendiri bahwa temuan dan interpretasi adalah bermanfaat dengan mengujinya secara langsung dan secara pribadi terhadap arsip dan data yang masih “mentah”. Demonstrasi yang lebih memaksakan sulit untuk dapat dibayangkan.

Sudah barang tentu, ada hal yang kurang baik pada pendekatan ketercukupan referensial. Yang pertama dan terpenting, peneliti mengalahkan beberapa data mentah yang sulit diatasinya pada arsip, setuju untuk tidak menggunakan bahan tersebut untuk tujuan lebih jauh dari inkuiri itu saja tetapi menyimpannya secara ekslusif untuk pengujian ketercukupan ini. Peneliti mungkin enggan untuk menghentikan bagian dari data yang dapat dilihat yang bagi mereka mungkin dianggap merupakan suatu tujuan yang menyimpang. Lebih lanjut, agaknya ada kecenderungan bahwa para kritikus konvensional tidak akan menerima materi ini kecuali bahan tersebut dapat ditunjukkan sebagai bahan yang representatif dalam arti istilah adalah klasik. Karena para naturalis membuat sampel dengan representatif dalam pikiran, mungkin dianggap sulit untuk memenuhi kriteria seperti itu, dan mungkin merasa (secara benar) bahwa itu bukan merupakan persyaratan yang tepat untuk digunakan. Para naturalis yang menggambarkan materi referensial cenderung untuk ingin “mengupas” pada lapisan yang berbeda, menunjukkan kurang adanya minat kepada temuan para analis asli dibandingkan dengan mengembangkan miliknya sendiri. Dengan semua alasan tersebut pendekatan ketercukupan referensial tidak memberikan rekomendasi sendiri pada pikiran yang lebih praktis atau kurangnya sumber. Namun demikian, jika sumber dan kecenderungan memungkinkan penyempurnaan, beberapa bagian data mentah di dalam arsip untuk penggunaan di waktu mendatang dan untuk perbandingan memberikan suatu kesempatan yang langka untuk menunjukkan kredibilitas data naturalistik.

5. Pengecekan Anggota (Member cheks)

Pengecekan anggota di mana data, kategori analisis, interpretasi, dan kesimpulan diuji dengan para anggota dari mereka pemegang saham dari mana data asli dikumpulkan, merupakan teknik yang krusial untuk menciptakan kredibilitas. Jika peneliti dapat mengartikan hal tersebut penyusunannya dapat diketahui oleh para anggota ‘audience’ sebagai penggambaran yang cukup memadai dari realita mereka sendiri, suatu hal yang penting ialah bahwa mereka diberikan kesempatan untuk mereaksinya

Pengecekan anggota adalah informal dan formal, dan ini terjadi secara kontinyu. Banyak kesempatan bagi pengecekan anggota muncul secara harian dalam proses investigasi. Rangkuman dari wawancara dapat “dimainkan kembali” pada orang-orang yang menyediakannya untuk memberikan reaksi; keluaran dari suatu wawancara dapat “dimainkan” untuk responden lainnya yang dapat diminta untuk memberikan komentar; wawasan yang dikumpulkan dari suatu kelompok dapat diuji dengan yang lainnya. Pengecekan langsung dan informal mempunyai sejumlah tujuan:

Memberikan kesempatan untuk mengukur dengan cermat – apa yang dikehendaki responden dengan berbuat dengan cara tertentu atau memberikan informasi tertentu.
Memberikan kepada responden kesempatan segera untuk membetulkan kesalahan mengenai fakta dan tantangan yang dianggap sebagai interpretasi yang salah.
Menempatkan responden pada rekaman/catatan untuk menyatakan hal-hal tertentu dan telah menyetujui tentang kebenaran rekaman peneliti tentang mereka, denagn demikian membuatnya lebih sulit bagi responden untuk menyatakan kesalahpahaman atau kesalahan peneliti.
Memberikan kesempatan untuk merangkum – langkah pertama selama analisis data.
Memberikan kesempatan kepada responden untuk memberikan pengukuran tentang ketercukupan keseluruhan sebagai tambahan untuk memperkuat poin-poin data individual.

Bagaimanapun juga, pengecekan yang lebih formal diperlukan jika suatu pernyataan pada kredibilitas harus memuaskan. Untuk tujuan ini peneliti mungkin ingin menyusun suatu pembahasan, bisa berakhir satu hari penuh atau bahkan beberapa hari, di mana diundang orang-orang yang dari masing-masing beberapa kelompok sumber yang merasa tertarik, sedangkan di dalam pembahasan itu sendiri, representatif dari kelompok-kelompok yang berbeda mungkin ingin mengutarakan ketidaksetujuan mereka dengan peneliti, atau antara satu sama lain. Jelas peneliti tidak akan memperhatikan semua kritikan yang diajukan, tetapi dia pasti mendengarkannya dan menimbang manfaatnya.

Sudah barang tentu masalah muncul dengan sejumlah proses pemeriksaan atau pengecekan. Secara jelas, kelompok-kelompok diajak bersama-sama meninjau atau memeriksa kembali mungkin di dalam suatu posisi yang berlawanan. Isu tersebut berubah menjadi kurang dari satu ketercukupan dari rekonstruksi dibandingkan dengan kejujurannya. Pemeriksa mungkin bisa menyetujui bahwa rekonstruksi adalah jujur bahkan jika mereka tidak ada persetujuan secara keseluruhan dengan mereka. Kecermatan harus dilakukan bahwa di dalam suatu usaha untuk jujur peneliti tidak hanya merekonstruksi suatu posisi “rata-rata” atau posisi “tipikal”, yang tidak hanya bertentangan dengan posisi para naturalis tentang kemampuan menggeneralisasi tetapi yang ada pada lapisan bawah menggambarkan tidak ada realita seseorang..

Lebih lanjut, pengecekan anggota dapat salah arah jika semua anggota sama-sama menggunakan mitos atau penipuan, atau berkonspirasi untuk menyalaharahkan atau menutup-nutupinya. Kita telah mencatat bahwa peneliti penduduk asli diambil melalui persetujuan konspiratorial tentang apa yang harus dan tidak harus “ditutupi”. Haruskan dia dimasukkan, ini merupakan langkah selanjutnya yang mudah tentang apa yang telah “diperoleh”. Namun demikian, kecuali jika kita mempunyai alasan merasa ragu-ragu tentang integritas para informan, pengecekan anggota dilakukan dengan suatu cara yang cukup valid untuk menciptakan kemanfaatan dari temuan dan interpretasi. Peneliti yang telah menerima persetujuan dari kelompok responden tentang kredibilitas dari pekerjaannya telah menciptakan suatu garis batas terhadap penanaman kepercayaan diri kepada para pembaca dan kritikus tentang keotentikan karya tersebut.

Pembaca seyogyanya harus hati-hati agar tidak bingung tentang konsep pengecekan anggota dengan apa maksud triangulasi. Secara dibuat-buat kedua teknik ini muncul secara indentik, tetapi ada suatu perbedaan yang krusial. Triangulasi adalah suatu proses yang dilaksanakan dengan memperhatikan data – suatu data atau item informasi yang berasal dari satu sumber (atau dengan satu metode atau satu orang peneliti) harus diperiksa terhadap sumber-sumber lainnya (atau dengan metode atau peneliti lainnya). Pengecekan anggota adalah suatu proses yang dilaksanakan dengan memperhatikan konstruksi-konstruksi (constructions). Sudah barang tentu, konstruksi-konstruksi bisa dirasakan tidak kredibel karena didasarkan pada data yang salah, tetapi peneliti yang hati-hati akan mendahulukan bahwa kemungkinan didasarkan dari triangulasi sebelumnya yang tekun. Pengecekan anggota diarahkan pada pertimbangan kredibilitas keseluruhan, sedangkan triangulasi diarahkan pada pertimbangan keakuratan item-item pada data khusus.

Keteralihan (Transferability)

Penciptaan keteralihan atau transferabilitas oleh para naturalis sangat berbeda dengan penciptaan validitas eksternal oleh orang konvensionalis. Memang, yang terdahulu adalah, dalam arti sempit, tidak mungkin. Karena sementara aspek-aspek konvensionalis (dan diharapkan) untuk membuat pernyataan-pernyataan yang relatif tepat tentang validitas eksternal (misalnya, dinyatakan dalam bentuk batas-batas kepercayaan statistik), naturalis hanya dapat menentukan hipotesis yang sedang berjalan bersama-sama dengan deskripsi tentang waktu dan konteks yang ditemukan untuk dipakai sebagai pegangan. Apakah mereka menggunakan beberapa konteks lain, atau bahkan dalam konteks yang sama pada waktu yang lain. Apakah isu empiris, di mana resolusi tergantung pada tingkat kesamaan antara pengiriman dan penerimaan konteks (ataukah sebelumnya atau sesudahnya). Dengan demikian naturalis tidak dapat menspesifikasikan validitas eksternal dari suatu inkuiri; dia dapat hanya memberikan deskripsi tipis yang perlu untuk membuat seseorang merasa tertarik dalam membuat transfer dalam rangka mengajarkan kesimpulan tentang apakah transfer dapat direnungkan kemungkinannya.

Pertanyan tentang apa yang merupakan deskripsi tebal yang “patut” (proper) adalah, pada tahap ini dalam perkembangan teori naturalis, masih belum terselesaikan secara lengkap. Jelas, bukan hanya data deskriptif yang berjalan, tetapi kriteria yang memisahkan antara deskripsi yang relevan dan tidak relevan sebagian besar belum ditentukan.

Pembaca bisa menganggap bahwa pernyataan satu spesifikasi dari unsur-unsur minimal diperlukan. Inkuiri natural juga bertanggungjawab terhadap penyediaan kemungkinan yang paling luas tentang kisaran informasi untuk dimasukkan ke dalam deskipsi tipis ini; untuk alasan tersebut (antara lain) dia akan menginginkan terjun ke dalam purposive sampling.

Jadi, bukan merupakan tugas naturalis untuk memberikan sebuah indeks tentang transferabilitas; yang merupakan tanggung jawabnya adalah memberikan pangkalan datanya yang membuat pertimbangan transferabilitas yang memungkinkan bagi pihak pelaksana yang berpotensi.

Kebergantungan (Dependability)

Guba (1981a) membuat sejumlah argumentasi yang bermanfaat dalam menunjang pernyataan-pernyataan tentang kebergantungan (dependability) sebagai berikut:

Karena mungkin tidak ada validitas tanpa adanya reliabilitas (dan dengan demikian tidak ada kredibilitas), suatu demonstrasi dari yang terdahulu adalah cukup untuk membuat yang berikutnya. Jika memungkinkan untuk menggunakan teknik-teknik yang telah dibuat garis besarnya berkenaan dengan kredibilitas untuk menunjukkan bahwa suatu kajian yang mempunyai kualitas tersebut, maka tidak harus menunjukkan dependability secara terpisah. Akan tetapi, selama argumentasi ini mempunyai keuntungan, ini juga sangat lemah. Ini bisa berperan untuk mengakibatkan kebergantungan dalam prakteknya, tetapi tidak berkenaan dengan hal tersebut secara prinsip. Sebuah solusi yang kuat harus berkenaan dengan kebergantungan secara langsung.
Suatu teknik yang lebih langsung bisa dikarakteristikkan sebagai “metode tumpang tindih”. Akibatnya, metode tumpang tindih menggambarkan jenis triangulasi yang didesak oleh Webb et al. (1966) dan diperiksa kembali dalam kaitannya dengan kredibilitas. Akan tetapi seperti yang dicatat oleh Guba, triangulasi secara tipikal dilakukan untuk menciptakan validitas, bukan reliabilitas, meskipun, dengan Argumentasi 1 di atas, demonstrasi yang terdahulu adalah sama dengan demonstrasi yang berikutnya. “Metode tumpang tindih” hanya satu cara untuk melaksanakan Argumentasi 1 dan bukan merupakan satu pendekatan yang terpisah.
Teknik ketiga yang disarankan oleh Guba ialah metode “replikasi yang bijak”, suatu proses yang terbentuk pada paham klasik tentang replikasi dalam literatur konvensional sebagai alat untuk membuat reliabilitas. Pendekatan tersebut agak analog dengan model menentukan reliabilitas pengujian “split-half”, memerlukan tim inkuiri yang sekurang-kurangnya terdiri dari dua orang. Dan lebih baik lebih banyak lagi orangnya, yang dapat dibagi ke dalam dua tim inkuiri. Tim ini berkenaan dengan sumber-sumber data secara terpisah, dan akibatnya, melaksanakan inkuri mereka secara independen. Tetapi terdapat pergeseran. Pendekatan seperti itu sangat memungkinkan di dalam paradigma konvensional, di mana sebuah desain penelitian secara mendetil yang harus diikuti oleh kedua tim tersebut secara independen tanpa adanya kesulitan yang telah dibahas di bagian sebelumnya. Tetapi desain naturalis muncul; tepatnya ini karena kedua tim tersebut, dapat, dengan alasan independen tentang ketidakstabilan masalah, terpencar menjadi dua garis yang sama sekali berbeda bahwa replikasi langkah yang baik adalah merupakan prosedur yang meragukan. Guba mengetahui masalah ini dan mengajukan proposal untuk menanganinya dengan membuat rumusan yang luar biasa untuk komunikasi; dengan dasar sehari-hari, pada titik dasar, dan manakala baik dari tim-tim mengetahui kebutuhan untuk menyimpangkan dari suatu bagian yang dipilih dari aslinya (yaitu, suatu kebutuhan untuk mengubah desain). Sementara pendekatan seperti itu mungkin patut (feasible) (meskipun tidak diragukan banyak para konvensionalis akan membantah bahwa pengaturan seperti itu merusak kondisi inkuiri independen), ini akan menyulitkan. Karena model-model lainnya ada untuk menciptakan dependability, agaknya sedikit pandangan dalam mengejar atau mengusahakan alternatif yang persoalanatis seperti itu. Oleh karena itu tidak disarankan oleh kita pada saat ini.
Teknik keempat yang diusulkan oleh Guba ialah bahwa tentang inquiry audit, secara metaforistik pada audit fiskal. Pada dasarnya, seorang auditor dimasukkan untuk membuktikan keaslian akuntansi suatu bisnis atau usaha atau industri diharapkan melaksanakan dua tugas. Yang pertama, dia menguji proses di mana perhitungan disimpan, untuk memenuhi permintaan para pemegang saham yang tidak menghendaki dia menjadi korban-korban dari apa yang kadang-kadang disebut “akuntansi kreatif”. Urusannya di sini ialah bukan dengan kemungkinan dari kesalahan, tetapi dengan keterbukaan dari penggambaran (representasi) dari posisi keuangan perusahaan. Model-model akuntasi yang akan membuat perusahaan kelihatan lebih berhasil daripada yang sebenarnya, mialnya, mungkin dengan harapan untuk menarik investor tambahan, adalah cara yang terbuka atau jujur atau sah-sah saja bagi auditor, yang mengharapkan “bunyi peluit” apakah praktek semacam itu harus dideteksi.

Tugas kedua bagi auditor ialah menguji hasil – rekaman-rekaman – dari sudut pandangan keakuratan mereka. Dua langkah dilakukan di sini. Yang pertama, auditor perlu memenuhi sendiri bahwa setiap cantuman (entry) dalam buku akuntansi (account leggers) dapat dinilai. Jadi, misalnya, auditor bisa mengirim surat ke berbagai pihak yang terkait meminta mereka untuk mengakui bahwa status dari akuntansi mereka demikian dan demikian, atau bahwa mereka membayar perusahaan begitu banyak jumlah dollar untuk layanan-layanan tertentu pada tanggal sekian. Sebagai tambahan, auditor bisa membuat sampel cantuman-cantuman dalam jurnal untuk memperkuat apakah mereka didukung dengan dokumen-dokumen penguat.

Kedua tugas auditor inkuiri bisa diambil secara metaforis sangat serupa seperti tugas-tugas dari seorang auditor fiskal. Yang pertama diharapkan menguji proses inkuiri, dan dalam menentukan akseptabilitasnya auditor menyatakan dependability dari inkuiri. Auditor inkuiri juga menguji hasil – data, temuan, interpretasi, dan rekomendasi – dan membuat pernyataan bahwa itu didukung dengan data dan secara internal melekat sehingga “garis bawah” atau ambang batas dapat diterima. Proses berikutnya membentuk conformability dari inkuiri. Dengan demikian satu audit, dikelola dengan baik, dapat digunakan untuk menentukan dependability dan confirmability secara bersamaan.

Ketegasan (Confirmability)

Teknik utama untuk menciptakan ketegasan/kepastian atau konfirmabilitas ialah, seperti yang telah ditunjukkan di atas, pemeriksaan ketegasan (temuan). Dua teknik lainnya (triangulasi dan menjaga suatu jurnal refleksif) disarankan oleh Guba (1981) untuk confirmity akan terlihat berkaitan dengan proses pemeriksaan dan oleh karena itu tidak lagi dibahas secara panjang lebar secara independen.

Kepercayaan utama untuk operasionalisasi konsep pemeriksaan harus melihat pada Edward S. Halpen, yang pada tahun 1983 menyelesaikan disertasinya di Indiana University. Residu-residu (residues) yang bermanfaat terutama dari kajian tersebut ada dua hal: (1) suatu spesifikasi tentang item-item yang harus dimasukkan ke dalam jejak pemeriksaan – jejak tentang materi yang disusun untuk kegunaan auditor, secara metafora analog dengan keakuntanan fiscal; dan (2) suatu algoritma (algorithm) untuk proses pemeriksaan itu sendiri. Kedua hal tersebut akan diuraikan di sini secara ringkas.

1. Jejak Pemeriksaan

Pemeriksaan suatu inkuiri tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya suatu residu tentang rekaman-rekaman yang berpokok pada inkuiri. Seperti halnya fiscal audit tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya suatu residu rekaman dari transaksi bisnis yang terkait. Halpern menggambarkan enam kelas dari rekaman-rekaman mentah seperti itu. Bisa dicatat dalam mengajukan hal itu peneliti yang menyimpan rekaman-rekaman seperti itu, dikode secara bagus sekali menurut sistem notasi Halpern, akan sangat mempermudah persoalan pelaporannya sendiri. Para peneliti yang melibatkan Halpern untuk memeriksa tugas-tugas mereka mempunyai keseragaman dalam melaporkan bahwa disiplin yang ditekankan kepada mereka oleh kebutuhan untuk memberikan suatu perlakuan pemeriksaan mempunyai banyak sekali hasil dalam membantu prioritas-prioritas yang sistematis, berkaitan dan referensi silang, dan menggabungkan prioritas-prioritas pada data yang mungkin masih belum dibedakan hingga tugas penulisan dilaksanakan. Dengan demikian ada pemanfaatan dalam mengumpulkan informasi sesuai dengan mengabaikan persyaratan pemeriksaan tentang apakah suatu audit dimaksud dan diabaikan di mana paradigma inkuiri diikuti.

Enam kategori jejak pemeriksaan Halpern adalah sebagai berikut:

a. Data mentah, termasuk materi rekaman secara elektronik seperti rekaman videotape dan stenomask; catatan lapangan tertulis, pengukuran yang tidak mencolok seperti dokumen dan catatan serta lacakan fisik; dan hasil survei.
b. Pengurangan data dan hasil analisis, termasuk penulian catatan lapangan, rangkuman seperti catatan yang dimampatkan, informasi yang dipadukan (seperti pada kartu-kartu 3 x 5), dan rangkuman kuantitatif, dan catatan teoritis, termasuk hipotesis, konsep, dan penyimpangan yang berlaku.
c. Penyusunan kembali data dan hasil sintesis, termasuk struktur tentang kategori (thema, definisi, dan hubungan); temuan dan kesimpulan (interpretsi dan kesimpulan); dan laporan akhir, dengan kaitannya dengan literatur yang ada dan perpaduan konsep, hubungan, dan interpretasi.
d. Catatan proses, termasuk catatan metodologis (prosedur, desain, strategi, rasional); catatan keterpercayaan (berkenaan dengan kredibilitas, dependabilitas, dan konfirmabilitas); dan catatan jejak pemeriksaan.
e. Materi berkenaan dengan tujuan dan disposisi, termasuk proposal inkuiri; catatan pribadi (catatan reflektif dan motivasi); dan harapan (prediksi dan tujuan).
f. Informasi pengembangan instrumen, termasuk bentuk pilot dan jadwal permulaan; format pengamatan; dan survei

Masing-masing kategori tersebut dibagi menjadi beberapa sub-devisi lebih lanjut dengan Halpern untuk memberikan ilustrasi atau gambaran jenis-jenis bukti yang mungkin bermanfaat untuk masing-masing kategori. Tabel Halpern ditujukan memasukkan semua bentuk inkuri dan kisaran (range) infomasi sepenuhnya yang tersedia. Dengan demikian tidak semua informasi akan ditempatkan sebelum auditor dalam satu situasi tertentu. Rupa-rupanya tidak ada kecenderungan, misalnya, bahwa kajian naturalistik akan menghasilkan banyak materi jejak pemeriksaan dalam Kategori 8 (informasi pengembangan instrumen). Mungkin tidak ada kajian akan menghasilkan arsip ekstensif tentang data dan catatan lapangan yang direkam secara elektronik; peneliti bertumpu pada catatan lapangan juga tidak ada kecenderungan pada audio atau video-record. Jadi tugas utama yang dihadapi auditor mungkin jauh lebih dapat ditangani dalam prakteknya dibandingkan dengan suatu inspeksi atau pemeriksaan yang disarankan.

2. Proses Pemeriksaan

Petunjuk Halpern dibagi ke dalam lima tahapan: pra-entri; penentuan auditabilitas; persetujuan formal; penentuan keterpercayaan (dependabilitas dan konfirmabilitas, dan pengecekan sekunder kredibilitas); dan penutup. Pembaca harus mencatat sebuah daftar tugas yang harus dilaksanakan oleh petugas yang diaudit dan auditor, mengarahkan pertanyaan untuk membantu auditor memperoleh kesimpulan, dan referensi silang untuk kategori-kategori jejak pemeriksaan harus dikonsultasikan pada setiap poin.

Dua pertimbangan harus ada pada pikiran dalam membaca deskripsi proses pemeriksaan berikut. Pertama, petunjuk (algorithm) harus dipahami sebagai suatu logika yang disusun kembali (direkonstruksi), bukan suatu logika yang sedang digunakan (Kaplan, 1964). Sementara tahap-tahap dan sub-sub tahap digambarkan dalam suatu tatanan rasional, ini bukan merupakan sesuatu yang urutannya tidak dapat dilanggar; di dalam suatu situasi aktual beberapa langkah bisa saling dipertukarkan dan yang lainnya dapat dihilangkan seluruhnya. Lebih lanjut, mungkin ada pengulangan jika keadaan memungkinkan. Jadi yang penting bukan tatanannya akan tetapi ruang lingkup dari cakupan. Kedua, pembaca harus mencatat bahwa petunjuk didasarkan pada asumsi bahwa auditor didatangkan pada permulaan dari kajian dan dengan demikian dapat memberikan saran terhadap jejak pemeriksaan serta detil-detil lain yang sangat membantu. Akan tetapi karena para evaluator (peneliti) seringkali tidak dipanggil hingga program yang harus mereka evaluasi (teliti) selaras dengan dalam perkembangan dan implementasinya (komplain yang paling sering terjadi dari evaluator adalah, “Jika saja mereka segera mendatangkan saya …”), jadi auditor tidak akan diajak konsultasi hingga kajian tersebut benar-benar lengkap. Benar, mungkin terdapat beberapa manfaat dalam menunggu hingga akhir waktu untuk menghindarkan kemungkinan bahwa auditor mungkin dapat dipilih. Dengan demikian pembaca akan memahami bahwa (kemungkinan utama) pertimbangan tersebut akan perlu dibuat dalam penjelasan tergantung pada kapan auditor pertama kali dihubungi. Jika auditor tidak didatangkan hingga setelah kajian dikerjakan, ini berarti bahwa banyak langkah harus dilaksanakan secara memandang ke belakang. Bahaya dari pemeriksaan secara retrospektif adalah bahwa kekurangan-kekurangan tidak dapat dipasangkan kembali; jika misalnya, orang yang diaudit telah mempertahankan suatu jejak pemeriksaan yang kurang cukup, tidak akan mungkin untuk melaksanakan suatu pemeriksaan sama sekali. Namun demikian, persoalan semacam itu harus jarang terjadi, khususnya ketika orang yang diaudit merasa lebih berpengalaman tentang persyaratan pemeriksaan.

Sekarang kita beralih pada suatu deskripsi dari lima tahap Halpern (dalam Lincoln, 1985::321-324) sebagaimana dijabarkan dalam uraian berikut.

a. Preentry

Tahap ini ditandai dengan satu rangkaian interaksi antra auditor dan auditee yang dihasilkan di dalam suatu keputusan untuk melanjutkan, melanjutkan secara kondisional, atau menghentikan pemeriksaan yang diajukan. Setelah menentukan bahwa pemeriksaan bisa digambarkan dan bermanfaat, auditee memilih seoerang auditor yang potensial (sifat dari orang-orang yang cocok untuk menjadi auditor dibahas di bagian bawah). Suatu persetujuan dicapai untuk mengadakan percakapan lebih lanjut, dalam persiapan di mana auditee mempersiapkan sebuah outline yang menunjukkan materi-materi tentang jenis-jenis jejak pemeriksaan yang akan dapat dia kumpulkan dan format di mana mereka akan dapat mencukupinya. Dalam percakapan awal mereka, auditee menjelaskan sistem penyimpanan rekaman kepada auditor yang dituju; dan menggambarkan sifat dari kajian yang menonjol (serta dapat dilakukan dalam pospek). Akhirnya, auditor dan auditee mendiskusikan ketiga alternatif tersebut dan memutuskan untuk melanjutkan, melanjutkan secara kondisional, atau menghentikan hubungan mereka. Jika keputusannya harus melanjutkan secara kondisional, kondisi-kondisi tersebut diatasi atau dipecahkan untuk rekaman atau dokumen, dan jejak pemeriksaan yang diajukan direvisi manakala perlu.

b. Ketentuan Keterperiksaan/Auditabilitas (Determination of audtaibility)

Tahap ini dimulai pada poin apa yang disetujui oleh auditor dan auditee yang sebelumnya telah disetujui harus ada pada poin cantuman; ini mungkin setelah beberapa periode waktu khusus atau pada satu peristiwa ukuran (jika auditor harus melibatkan diri selama proses kajian), atau pada akhir inkuiri (jika auditor harus melaksanakan ex post facto). Tugas pertama dari auditor adalah harus sangat mengenal atau memahami kajian tersebut: persoalan (atau kebijakan atau pilihan yang dievaluasi) yang diinvestigasi (dan bagaimana itu bisa berubah dengan waktu), pendekatan paradigmatis dan metodologis yang diambil, hakekat teori sunstantif yang mengarahkan (dan apakah itu ‘grounded’ diberikan a priori), dan temuan serta kesimpulan-kesimpulan. Tugas dari auditee ialah mengatur materi-materi yang relevan dalam beberapa bentuk yang bagus dan sangat mudah diakses, dan masih tersedia untuk konsultasi jika diperlukan.

Selanjutnya, auditor harus sangat mengetahui sendiri jejak pemeriksaan ketika itu benar-benar dimaterialisasikan. Kemungkinan penjejakan akan mengikuti struktur dan format yang sebelumnya telah disetujui. Auditor secara khusus harus mengetahui dengan baik sistem penghubung yang mengikat materi-materi jejak pemeriksaan pada peristiwa-peristiwa dan hasil-hasil yang sebenarnya. Jadi, misalnya, jika sebuah data dilaporkan di dalam sebuah studi kasus, auditor harus mengetahui bagaimana melacak bahwa data kembali pada sumber-sumber aslinya di dalam wawancara dan rekaman-rekaman pengamatan, dokumen-dokumen, videotape, atau apapun.

Akhirnya, auditor harus membuat suatu ketentuan tentang auditabilitas kajian; pada hakekatnya, ketentuan ini memberikan tanda-tanda kelanjutan kontinuasi atau penghentian dari proses tersebut. Auditor harus merasa puas jika jejak pemeriksaannya lengkap; bahwa jejak atau lacakan dapat dipahami (yaitu, bahwa jejak dapat dipahami dan diikuti); bahwa itu bermanfaat (yaitu, diatur dengan cara-cara di mana bisa membuat referensi-silang, pengindeksan, organisasi, dan bukti yang sama); dan bahwa jejak dapat dihubungkan (yaitu, bahwa jejak pemeriksaan secara sistematis dihubungkan dengan pendekatan metodologis, baik pada awalnya ataupun pada bentuknya yang terbuka). Dengan mengikuti ketentuan ini auditor dan auditee terlibat ke dalam negosiasi lebih lanjut, yang akan menghasilkan, seperti pada tahap pra-entri, ke dalam suatu keputusan untuk melanjutkan, berlanjut secara kondisional, atau tidak melanjutkan proses. Sudah barang tentu, keputusan untuk melanjutkan secara kondisional menyatakan secara tidak langsung kemampuan auditee untuk memenuhi kondisi-kondisi. Suatu keputusan untuk melanjutkan jika revisi dibuat dalam jejak pemeriksaan tidak layak, misalnya, jika auditor belum berkonsultasi setelah penyelesaian kajian, di mana waktu mungkin sudah tidak memungkinan untuk menyusun kembali item-item yang hilang/terlewatkan (perlu dicatat bahwa mungkin penyusunan kembali memungkinkan, penyusunan kembali tidak dapat sama bobotnya seperti komunikasi yang dibuat pada waktu dan tempatnya yang asli.

c. Persetujuan Formal (Formal agreement)

Dengan berasumsi bahwa sebuah keputusan telah dibut dalam Tahap b di atas untuk melanjutkan dalam bentuk tertentu, maka sekarang tepatlah untuk memperoleh persetujuan formal tertulis tentang apa saja yang harus diselesaikan oleh pemeriksaan. Persetujuan tersebut “mengunci” auditor; di luar hal ini tidak dapat ditarik kembali (secara etika ataupun hukum). Kontrak yang telah dicapai harus melakukan hal berikut ini: membuat batasan waktu untuk pemeriksaan; menentukan tujuan pemeriksaan (dependentability, atau conformability atau keduanya), dengan kemungkinan suatu pemeriksaan sekunder tentang kredibilitas, menspesifikasikan peran-peran yang dimainkan oleh auditor dan auditee (selaras dengan tugas-tugas yang telah dispesifikasikan dalam petunjuk); mengatur logistik dari pemeriksaan (waktu, tempat, fasilitas-fasilitas pendukung, dan sebagainya); menentukan format (suatu format yang memungkinkan untuk suatu laporan seorang auditor dibahas di bawah ini); dan mengidentifikasi kriteria negosiasi ulang (apa yang dilakukan di dalam peristiwa yang ditemukan auditee tentang kesalahan yang dilaporkan oleh auditor, atau jika salah satu pihak dipaksa untuk mengubah hal-hal tentang persetujuan formal dengan cara tertentu).

d. Penentuan Keterpercayaan (Determination of truthworthiness)

Tahap ini berkenaan dengan memperoleh pengukuran tentang konformabilitas, dipendabilitas dan sebagai suatu gambaran opsional, memberikan suatu pemeriksaan eksternal tentang langkah-langkah yamg diambil berkenaan dengan kredibilitas. Pembaca akan mencatat bahwa petunjuk memerlukan pemeriksaan konfirmabilitas untuk melakukan pemeriksaan dependabilitas, suatu tatanan membalik yang telah memberikan karakter pembahasan sejauh ini. Namun demikian, tatanan ini tidak kritis.

Pengukuran tentang konfirmabilitas itu sendiri mencakup beberapa sub langkah. Urusan pertama auditor akan menentukan apakah temuan mendasar di dalam data, suatu hal dengan mudah ditentukan jika hubungan-hubungan jejak pemeriksaan yang tepat telah dibuat. Sampling dari temuan (disarankan bahwa temuan yang muncul pada permukaan, menjadi paling ganjil atau luar biasa di antara yang disamplingkan) dilacak kembali, melalui jejak pemeriksaan, pada data mentah – catatan wawancara, cantuman dokumen, dan sejenisnya – di mana hal itu didasarkan. Selanjutnya, auditor akan menginginkan untuk mendapatkan suatu keputusan tentang apakah kesimpulan didasarkan pada data adalah logis, melihat secara hati-hati pada teknik-teknik analitis yang digunakan, ketepatan label-label kategori, kualitas tentang berbagai interpretasi, dan kemungkinan tentang alternatif-alternatif daya tarik yang sama. Auditor selanjutnya harus mengalihkan perhatiannya pada pemanfaatan tentang stuktur kategori: kejelasannya, kekuatan penjelasnya, dan cocok dengan data. Auditor akan ingin membuat suatu pengukuran tentang tingkatan dan pengaruh dari penyimpangan (bias) peneliti (suatu keputusan yang jelas), memperhitungkan pengaruh yang lebih besar dari terminologi peneliti, terlalu mewajibkan konsep teoritis a priori (percaya adalah melihat), dan kehadiran atau tidak danya introspeksi-introspeksi. Akhirnya, auditor akan mengukur “strategi akomodasi” auditee: usaha-usaha yang dibuat oleh auditee selama inkuiri untuk meyakinkan konfirmabilitas (misalnya, triangulasi), ukuran di mana bukti negatif diperhitungkan, dan akomodasi tentang contoh-contoh negatif (yang seharusnya sebagian besar dieliminasi melalui analisis kasus negatif. Terhadap penyelesaian yang sukses dari langkah-langkah ini auditor akan dapat memperoleh suatu keputusan keseluruhan tentang konfirmabilitas kajian – ukuran di mana data dan interpretasi dari kajian didasarkan dalam peristiwa-peristiwa bukan konstruksi-konstruksi pribadi peneliti.

Pengukuran dependabilitas juga meliputi sejumlah langkah. Yang pertama, auditor berkenaan dengan ketepatan keputusan inkuiri dan perubahan metodologis: Apakah ini diidentifikasi, diperjelas, dan didukung? Penyimpangan peneliti diperiksa kembali lagi untuk menentukan ukuran di mana peneliti menolak penutupan awal (penutupan awal menunjukkan terlalu banyak kebergantungan pada penyusunan a priori yang dimiliki peneliti), ukuran di mana semua data telah dijelaskan dan semua bidang yang masuk akal telah diselidiki, ukuran di mana keputusan tentang pelaksanaan inkuiri telah dipengaruhi oleh masalah praktis seperti deadline sponsor yang telah ditentukan atau minat klien, dan ukuran di mana peneliti berusaha untuk mendapatkan data negatif ataupun positif. Keputusan sampling dan proses triangulasi diperiksa kembali secara ringkas. Akhirnya, desain keseluruhan (ketika muncul), dievaluasi, dan gangguan ketidakstabilan yang mungkin terjadi dicatat. Beberapa langkah ini mengarahkan auditor pada suatu pengukuran dependabilitas akhir secara keseluruhan.

Belum dipertimbangkannya dalam rumusan sebelumnya tentang proses pemeriksaan, Halpen merasakan bahwa auditor harus mempunyai banyak pengaruh (leverage) pada pertanyaan tentang kredibilitas yang telah ditangani secara tepat di dalam sebuah kajian. Dengan demikian petunjuknya berisi suatu bagian opsional di mana auditor dapat mengikuti pertanyaan tersebut. Secara esensial, langkah ini mengharuskan auditor untuk memeriksa kembali kajian tersebut dari sudut pandang teknik-teknik untuk kredibilitasnya yang telah dibahas terdahulu – seperti triangulasi, wawancara teman sejawat, dan pemeriksaan anggota. Pada daftar Halpen kita juga akan menambah kumpulan bahan-bahan kecukupan referensial dan penerapan analisis kasus negatif.

e. Penutupan (Closure)

Ketika auditor telah menyelesaikan semua tugas yang di-outline-kan dalam petunjuk Halpern. Masih ada dua langkah: feedback dan negosiasi ulang, dan penulisan laporan akhir, yang lebih tepatnya disebut sebuah “surat pernyataan”. Berkenaan dengan yang disebut lebih terdahulu, auditor diwajibkan untuk membuat pemeriksaan ulang temuannya dengan auditee, untuk beberapa tujuan. Auditee mempunyai hak untuk mengetahui bahwa semua langkah telah disimpulkan sesuai dengan persetujuan yang telah dinegosiasikan. Jika terdapat beberapa kesalahan tentang penghapusan itu dapat menimbulkan perhatian dari pihak auditor, yang harus bergerak untuk melaksanakannya. Lebih lanjut, auditee mempunyai hak untuk mendengarkan temuan dan mencatat persetujuan atau perkecualian-perkecualian. Jika perkecualian-perkecualian dicatat, mungkin akan ada negosiasi-negosiasi lanjut antara auditor dan auditee untuk memecahkan masalah tersebut, sebagai contoh, dengan melakukan pemeriksaan tambahan, meninjau kembali langkah-langkah proses kerja, dan sejenisnya. Pada analisis akhir, jika auditor dan auditee ada ketidaksetujuan, auditor mempunyai hak untuk menyajikan temuan ketika dia mengetahuinya, dan auditee mempunyai hak untuk menambahkan suatu laporan perkecualian untuk rekaman.

Teknik-teknik untuk membangun keterpercayaan sebagaimana diuraikan di atas dapat dirumuskan dalam tabel berikut:

=============================================== ===========

Kawasan Kriteria Teknik

—————————————————————————————————

Kredibilitas (1) kegiatan-kegiatan yang meningkatkan probabilitas kredibilitas yang tinggi:

(a) keterlibatan yang diperpanjang.

(b) observasi yang terus-menerus.

(c) triangulasi (sumber, metode, dan peneliti.

(2) wawancara teman sejawat.

(3) analisa kasus negatif.

(4) kecukupan referensial.

(5) pengecekan anggota (dalam proses dan akhir)

Transferabilitas (6) deskripsi yang tebal

Dependapabilitas (7a) pemeriksaan dependabilitas, termasuk jejak pemeriksaan

Konfirmabilitas (7b) pemeriksaan konfirmabilitas, termasuk jejak pemeriksaan.

Semuanya di atas (8) jurnal reflektif

—————————————————————– ———————————

Diadaptasi dari Lincoln & Guba, 1981:328

Semua kriteria di atas menjadi pedoman bagi peneliti kualitatif yang digunakan untuk mengecek keterpercayaan data atau hasil penelitian. Semakin terpenuhi kriteria tersebut menunjukkan semakin tingginya akurasi data yang diperoleh, sehingga teori yang dibangun berdasarkan data yang akurat (terpercaya) tersebut dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

PROPOSAL DAN LAPORAN PENELITIAN

PROPOSAL PENELITIAN

Sebelum melakukan penelitian, peneliti seringkali diminta untuk membuat uraian resmi tentang yang akan mereka teliti, apa yang sebenarnya akan mereka lakukan, dan jastifikasi tentang manfaat penelitiannya. Ini yang disebut sebagai proposal (atau desain) penelitian. Bagi para peneliti, khususnya peneliti pemula yang memilih rancangan penelitian kualitatif kadang-kadang mempunyai kesulitan untuk mendeskripsikan apa yang akan mereka lakukan sebelum melakukan penelitian mereka (Locke et al., 1987; Dobbert, 1982; Krathwohl, 1988:135). Hal ini seringkali membuat masalah, khususnya bagi mereka yang ingin melihat proposal penelitiannya tidak kenal baik dengan sifat rancangan kualitatif yang selalu berkembang (Burgess, 1984:34-35).

Untuk mengatasi masalah tersebut, peneliti disarankan agar pergi sebentar ke latar penelitian. Di sana dia membuka dokumen yang ada, mengamati situasi dan kondisi serta perilaku orang-orang di latar, serta melakukan wawancara sambil lalu. Dengan cara demikian peneliti memiliki gambaran awal dan sangat memberikan manfaat bagi peneliti untuk memulai menyusun rancangan penelitiannya. Sudah barang tentu peneliti tidak merasa pasti mengenai apa hasilnya nanti pada waktu peneliti masih melakukan pengamatan pendahuluan itu, demikian juga peneliti tidak tahu pasti bagaimana selanjutnya secara persis kelanjutan penelitian itu, tetapi posisi peneliti sekarang lebih baik untuk membuat dugaan yang ahli. Di samping itu pembahasan menjadi lebih konkret dan karena itu lebih besar kemungkinannya akan dapat memuaskan pembaca yang memeriksa usul penelitian itu (Boen, 1998:68). Tanpa pengamatan pendahuluan tidak mungkin bisa membuat proposal. Mungkin dia membaca hasil-hasil penelitian terdahulu yang mungkin pokok persoalannya berdekatan, tapi perubahan waktu dan perubahan faktor-faktor lain di latar akan membuat peneliti tidak bisa berbuat apa-apa dengan proposalnya, walaupun diakui laporan riset terdahulu tersebut tetap ada manfaatnya bagi pembuatan proposal penelitian. Anselm Strauss (1987:286) mengatakan bahwa tidak ada proposal yang mesti ditulis tanpa pengumpulan dan analisis data pendahuluan.

Rancangan penelitian kualitatif bukanlah harga mati, yakni suatu rencana penelitian dipersiapkan secara resmi dan lengkap kemudian harus dilakukan tanpa ada perubahan dan perbaikan sesuai dengan rancangan awal. Hal yang demikian berlaku dalam penelitian konvensional (kuantitatif), yang rancangan dan proses pelaksanaannya berjalan secara kaku.

Dalam penelitian kualitatif, peneliti menyerupai orang-orang yang bepergian dengan jadwal yang lebih longgar daripada orang-orang lain. Siasat yang dipergunakn peneliti kualitatif dalam pelaksanaan studi adalah berjalan seolah-olah ia hanya tahu sedikit saja mengenai orang dan tempat yang akan dikunjunginya. Ia berusaha secara mental untuk membersihkan prakonsepsinya. Rencana itu berkembang pada waktu orang memperoleh pengertian tentang latarnya, subjeknya, dan sumber-sumber data lain melalui pemeriksanaan secara langsung. Peneliti bisa saja mulai meneliti dengan pikiran tentang apa yang akan dilakukannya, tetapi prosedur rinci apa yang akan ditempuh tidak bisa ditetapkannya sebelum ia mengumpulkan data (Bogdan dan Biklen, 1998:49). Oleh karena itu disebut sebagai rancangan darurat (emergent design). Artinya bisa saja apa yang sejak awal anda maksudkan untuk diteliti nanti di tengah jalan ada perusabahan-perubahan. Bukannya rancangan penelitian kualitatif itu tidak ada; ada, tetapi sifatnya lentur. Peneliti kualitatif berangkat meneliti dengan mambawa alat mental untuk bekerja, dengan rencana yang rumusannya disertai perasaan, yang akan diubah-ubah dan dibentuk kembali sementara kerja penelitian berlangsung.
Karakteristik Desain Kualitatif

Ada beberapa karakteristik desain penelitian kualitatif yang perlu dipertimbangkan dalam melakukan penelitian kualitatif. Morse (dalam Denzin & Lincoln, 1998:41-42) mengetengahkan beberapa karakteristik desain kualitatif sebagai berikut:

Desain kualitatif bersifat holistik. Ini tampak gambar yang lebih besar, keseluruhan gambar, dan mulai dengan pencarian pemahaman keseluruhan itu.
Desain kualitatif tampak pada hubungan dalam suatu sistem atau kultur.
Desainkualitatif mengarah pada pesonal, tatap muka, dan segera.
Desain kualitatif difokuskan pada pemahaman suatu latar sosial tertentu, tidak perlu membuat prediksi-prediksi tentang situs itu.
Desain kualitatif meminta bahwa peneliti tinggal dalam situs dalam waktu lama.
Desain kualitatif meminta waktu dalam analisis sama dengan dalam lapangan.
Desain kualitatif meminta peneliti untuk mengembangkan suatu model apa yang terjadi dalam suatu situs sosial.
Desain kualitatif meminta peneliti untuk menjadi alat penelitian. Ini berarti bahwa peneliti harus mempunyai kemampuan untuk mengobservasi perilaku dan harus mempertajam ketrampilan yang diperlukan untuk observasi dan wawancara tatapmuka.
Desain kualitatif memasukkan ketentuan-ketentuan ijin yang diinformasikan dan responsif terhadap perhatian etika.

10. Desain kualitatif memasukkan ruang deskripsi tentang peran peneliti juga deskripsi bias-bias peneliti sendiri dan preferensi ideologi.

11. Desain kualitatif memerlukan analisis data secara terus-menerus.
Isi Proposal/Desain

Unsur-unsur dalam desain penelitian kualitatif menurut Lincoln dan Guba, 1985: 226) adalah sebagai berikut:

************* ****************************************************

Menentukan fokus penelitian.
Menentukan kesesuaian paradigma pada fokus.
Menentukan kesesuaian paradigma penelitian pada teori substantif yang dipilih untuk membimbing penelitian.
Menentukan dari mana dan dari siapa data itu akan dikumpulkan.
Menentukan tahapan-tahapan penelitian.
Menentukan instrumen penelitian.
Merencanakan model-model pengumpulan dan perekaman data.
Merencanakan prosedur analisa data.
Merencanakan logistik.
Merencanakan keterpercayaan.

********* ********************************************************

Unsur-unsur dalam desain penelitian sebagaimana dikemukakan oleh Lincoln dan Guba di atas sangatlah detil. Ahli lain, May (1994:63) mengemukakan unsur-unsur dalam proposal (tidak menggunakan istilah desain) penelitian yang tampaknya lebih sederhana, namun dalam proposal itu terdapat desain penelitian. Maykut mengetengahkan unsur-unsur dalam proposal penelitian kualitatif sebagai berikut:

********** *******************************************************

Pernyataan Masalah (Latar Belakang Masalah).

Nyatakan alasan anda mengambil topik ini.
Tuangkan beberapa ilmu pengetahuan di sini dengan tinjauan ringkas dari literatur yang relevan.
Masukkan deskripsi singkat tentang pendekatan-pendekatan yang digunakan.
Jelaskan mungkin topik penelitian anda belum ada penelitian kualitatif yang telah dilakukan.
Mungkin bisa anda ajukan rencana penelitian anda diharapkan berkontribusi pada pertumbuhan badan penelitian kualitatif tentang topik-topik yang diminati.
Sajikan pernyataan fokus penelitian dalam bentuk pertanyaan atau pernyataan.
Jelaskan apa yang dimaksud dengan desain kualitatif yang anda ajukan; termasuk jenis desain yang dipilih apakah studi kasus (case studies) atau studi multi situs (multi-site studies).
Spesifikkan apakah desain penelitian anda emergent atau nonemergent. Yang nonemergent kurang diinginkan daripada yang emergent.
Masukkan syarat-syarat dan/atau langkah-langkah untuk meningkatkan keterpercayaan temuan.
Sampel (purposive sampling dengan strategi sampling variasi maksimum).
Metode pengumpulan data (wawancara mendalam, observasi partisipan, dan analisa dokumen).
Prosedur analisa data.
· Kemukakan daftar lengkap dari referensi yang dikutip dalam proposal.
· Masukkan beberapa materi yang paling sesuai, seperti skedul wawancara.
· Salinan resume peneliti bisa disertakan.

Fokus Penelitian.

Desain Penelitian.

Metode-metode:

Laporan Hasil.
Referensi

Apendix

*********** ******************************************************

Ahli lain, Morse (dalam n, 8:71) mengetengahkan komponen-komponen proposal penelitian kualitatif sebagai berikut:

*********** ******************************************************

Halaman judul/tanda tangan

Judul lengkap proposal dan kepala bagian berturut-turut.

Daftar peneliti (dengan garis tanda tangan), afiliasi, nomor telpon dan fax.

Anggaran total dan tanggal mulai dan penyelesaian proyek.

Nama, garis tanda tangan, dan alamat personel administrasi penelitian institusional.

Halaman abstrak

Badan proposal

Pengantar

Pernyataan tujuan

Tinjauan literatur

Pentingnya proyek

Pertanyaan penelitian

Metode-metode

Deskripsi situs dan partisipan

Pengumpulan data

Prosedur pengumpulan data

Analisis data

Perlindungan subjek manusia

Garis waktu (jadual rencana kerja)

Referensi

Apendiks

Kurikulum vitae peneliti

Ringkasan kurikulum vitae ketua peneliti dan personil kunci (terbatas dua halaman per orang)

Format ijin

Jadual wawancara

Publikasi

Publikasi sebelumnya oleh peneliti yang berhubungan proyek ini.

************* ****************************************************

LAPORAN PENELITIAN

Ada banyak model dalam membuat laporan penelitian baik penelitian kuantitatif maupun kualitatif, tetapi dalam berbagai macam model itu tetap akan terdapat titik temu, yakni pada segi isi yang harus dimuat dalam proposal. Model penulisan laporan yang akan diketengahkan dalam buku ini mengambil dari beberapa pedoman penelitian baik yang dijadikan pegangan dalam penulisan karya ilmiah pada suatu perguruan tinggi (universitas) tertentu, maupun yang dimuat dalam buku-buku literatur yang diterbitkan oleh penerbit resmi.

Maykut (1994:152) menyarankan model laporan (mengkomunikasikan) hasil penelitian kualitatif sebagai berikut:

*********************** ******************************************

· Abstrak
· Pengantar
· Desain Penelitian

** Ketentuan keterpercayaan

· Metode-metode

** Sampel

** Metode pengumpulan data

** Prosedur analisis data

· Hasil
· Implikasi
· Referensi
· Apendiks

************* ****************************************************

Abstrak

Dalam abstrak ini dideskripsikan tentang fokus penelitian, desain penelitian, metode dan hasil penelitian. Terlepas apakah peneliti merencanakan untuk menyajikan pekerjaannya secara lisan ataupun tulisan, abstrak itu sangat membantu baik untuk pembaca dan seringkali diperlukan. Penulisan abstrak itu hendaknya informatif dan ringkas.

Pendahuluan

Dalam bagian ini disajikan tentang tujuan proyek penelitian, menyajikan konteks untuk memahami relevansinya dengan proyek. Penelitian terkait, khususnya penelitian kualitatif yang lain, adalah penting untuk didiskusikan di sini. Termasuk pernyataan fokus penelitian, yang disajikan baik dalam bentuk pernyataan atau pertanyaan.

Desain Penelitian

Dalam bagian ini disajikan tentang paradigma dan pendekatan penelitian kualitatif. Termasuk deskripsi singkat tentang pendekatan ini mengapa peneliti memilih menggunakan pendekatan tersebut. Deskripsikan dalam istilah-istilah yang lebih spesifik penggunaan desain darurat pendekatan studi kasus atau desain tidak darurat (nonemergent) pendekatan studi kasus. Perlu diingat bahwa banyak laporan penelitian kualitatif tidak memasukkan pernyataan yang tepat tentang desain penelitian dan membiarkannya hingga pembaca memutuskan sendiri apa yang telah dilakukan.

Disarankan juga bahwa para peneliti memasukkan dalam bagian pada desain penelitian diskusi tentang ketentuan keterpercayaan (provisions of trustworthiness), yang telah didiskusikan di bagian sebelumnya. Informasikan kepada pembaca tentang cara-cara peneliti merencanakan untuk eksplorasi yang sangat kredibel untuk fokus penelitian.

Metode

Sajikan bagaimana peneliti sampai pada temuan-temuannya. Jelaskan metode-metode secara eksplisit dan istilah-istilah yang dapat dipahami. Kredibilitas kerja seseorang sebagian besar tergantung pada diskusi yang menyeluruh tentang metodologi penelitiannya. Peneliti membantu para pembaca untuk mengikuti jejak pemeriksaan (audit trail) yang telah dibangun pekerjaan yang hati-hati, arahkan mereka pada hasil yang telah peneliti peroleh dengan kesan bahwa,” Tentu, saya dapat melihat bagaimana peneliti ini sampai pada temuan-temuan ini.”

Sampel

Istilah sampel di sini tidak berarti menunjuk pada suatu populasi melainkan pada orang-orang yang merupakan unit analisis. Tapi istilah ini yang dipakai oleh Pamela Maykut & Richard Morehouse (1994). Dalam penelitian kualitatif biasanya menggunakan istilah informan, sehingga ada sebutan informan kunci (key informan). Dalam sampel ini deskripsikan kasus-kasus – orang atau latar – dalam uraian yang panjang. Deskripsi tentang sampel mencakup informasi yang detil tentang bagaimana peneliti membangun sampel: (1) kriteria pemilihan awal orang atau latar dan perubahan-perubahan berikutnya dalam kriteria ini jika sampel merupakan bagian dari desain penelitian darurat (misalnya, bagaimana partisipan atau latar sama atau homogen?); (2) prosedur untuk mencapai variasi maksimum dalam sampel (misalnya, bagaimana orang atau latar berbeda atau heterogen?); dan (3) bagaimana peneliti memperoleh akses pada orang atau latar ini, termasuk masalah-masalah yang mungkin peneliti hadapi dalam membangun sampel. Sajikan juga dalam bagian ini tentang orang dan latar yang berpartisipasi dalam penelitian.

Nama-nama palsu (pseudonyms) digunakan untuk orang-orang dan tempat-tempat, dan informasi lain yang dikenali diubah untuk meyakinkan kepercayaan partisipan penelitian. Informasi tentang orang dan latar itu adalah yang relevan dengan fokus penelitian. Dalam bagian ini diketengahkan alasan pemilihan prosedur pengumpulan data khusus jika peneliti menggunakan desain penelitian darurat; dan bagaimana peneliti melakukan pekerjaan (penelitian). Laporan yang dideskripsikan dengan baik tentang perjalanan peneliti melibatkan para pembaca dan mengundang mereka yang melakukan perjalanan dengan peneliti pada diskusi hasil penelitian.

Prosedur Analisis Data

Di sini terdapat ragam pendekatan untuk menganalisa data kualitatif. Glaser dan Strauss (1967) yang pada mulanya mendeskripsikan sebuah prosedur yang disebut metode komparatif konstan (constant comparative method), dan kemudian dikembangkan oleh oleh Lincoln dan Guba (1985). Peneliti harus menyajikan secara eksplisit dan tepat tentang prosedur yang digunakan. Peneliti harus jelas dalam mendiskusikan metode-metode, menyampaikan detil penting apa yang mereka lakukan dan mengapa, dalam rangka meningkatkan keterpercayaan kerja mereka dan pengetahuan orang-orang tentang penelitian kualitatif.

Hasil

Dalam bagian ini didiskusikan secara detil bagaimana peneliti menyajikan hasil penelitiannya. Termasuk dalam bagian ini sejak bagian terpisah dari laporan, yang mengkombinasikan apa yang secara tradisional disebut dengan hasil dan bagian diskusi. Memberikan nama kembali pada bagian laporan ini dapat membantu menyiagakan pembaca pada tipe diskusi yang berbeda, yang menyertakan tema-tema dan pola-pola daripada hasil statistik. Penelitian terkait seringkali diintegrasikan ke dalam diskusi ini.

Implikasi

Peneliti kualitatif memberikan kontribusi pada pengetahuan melalui akumulasi laporan penelitian studi kasus yang memperluas atau menantang pekerjaan sebelumnya. Ini merupakan tanggung jawab peneliti untuk berpartisipasi dalam diskusi ini dengan menghubungkan pekerjaannya pada penelitian sebelumnya, menyarankan arah-arah khusus untuk usaha penelitian di masa mendatang dan mendiskusikan implikasi-implikasi hasil untuk praktik, jika cocok.

Contoh lain diambil dari buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah Universitas Negeri Malang (2000). Dalam buku pedoman ini ada dua model penyusunan laporan penelitian kualitatif, yaitu sebagai berikut:

******** *********************************************************
Model 1

BAB I PENDAHULUAN

Konteks Penelitian atau Latar Belakang
asalah.
Tujuan Penelitian
Landasan Teori
Kegunaan Penelitian

BAB II METODE PENELITIAN

Pendekatan dan Jenis Penelitian
Kehadiran Peneliti
Lokasi Penelitian
Sumber Data
a
Analisis Data
Pengecekan Keabsahan Data
Tahap-tahap Penelitian

BAB III PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

BAB IV PEMBAHASAN

BAB V PENUTUP

Kesimpulan
Saran-saran

DAFTAR KEPUSTAKAAN

********* ********************************************************
Model 2

BAB I PENDAHULUAN

Konteks Penelitian atau Latar Belakang
Fokus Penelitian atau Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB III METODE PENELITIAN

PJenis Penelitian
Kiti
Sumber Data
Prosedur Pengumpulan Data
Analisis Data
Pengecekan Keabsahan Data
Tahap-tahap Penelitian

BAB IV PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN

BAB V PEMBAHASAN

BAB VI PENUTUP

Kesimpulan
Saran-saran

DAFTAR KEPUSTAKAAN

******** *********************************************************

Dari beberapa model pembuatan proposal dan laporan hasil penelitian kualitatif sebagaimana dijelaskan di atas, pembaca bebas memilih format mana yang menjadi pilihannya untuk kepentingan penelitian mereka. Tentu masih ada model-model yang lainnya lagi yang dapat pembaca telusuri lebih jauh.

Model pembuatan proposal dan laporan penelitian kualitatif cukup beragam. Sekarang peneliti bisa memilih sendiri model atau format mana yang mau dipilih untuk digunakan dalam rencana penelitiannya. Bagi mahasiswa yang sedang menulis skripsi, tesis, atau disertasi, pemilihan model biasanya ditentukan oleh universitasnya masing-masing atau oleh dosen pembimbingnya masing-masing. Namun, jika rencana penelitiannya ada kaitannya dengan lembaga-lembaga sumber dana, maka pemilihan model itu biasanya dikonsultasikan pada pimpinan lembaga penyandang dana tersebut.  

0 comments:

Posting Komentar