“Cinta Ini Allah Karuniakan kepadaku...”
Jika
soal harta, Muhammad tak punya apa-apa. Karena harta bakal lenyap dan
pasti kembali ke Pemiliknya. Namun ia punya perasaan suka kepada
Khadijah, sebagaimana Khadijah juga memiliki perasaan yang sama
kepadanya.
Keberkahan menikah. Itulah manifestasi akhir ketika seseorang
merajut tali kasih dalam mahligai rumah tangga. Maka tidak ada satu pun
contoh yang paling berkesan, mengharu biru, dan menjadi keteladanan bagi
setiap muslim, selain kisah pernikahan Sayyidah Khadijah dan putrinya,
Sayyidah Fathimah. Pernikahan keduanya dengan pria idaman mereka
masing-masing telah melahirkan satu ikatan yang kuat yang berpuncak
pada keridhaan atas kehendak Allah SWT. Maka keridhaan itu berbalas
kasih sayang Allah yang luar biasa sepanjang pernikahan kedua tokoh
ini.
Sayyidah Khadijah dan Sayyidah Fathimah adalah sosok seorang istri
dan ibu yang patut diteladani pada berbagai sisi. Sayyidah Khadijah
adalah contoh bagi kaum wanita karier, sedangkan Sayyidah Fathimah
adalah contoh bagi anak perempuan yang berbakti kepada orangtua.
Dalam semaian ruhaniyah dan didikan mental Rasulullah SAW, keduanya
menjadi sosok utama dalam sejarah kaum muslimah. Keduanya juga menjadi
ibu ahlul bayt yang dibanggakan dan memegang peran yang sentral lagi
strategis bagi kaum wanita.
Bagaimanakah sesungguhnya kedua sayyidah nisa‘ al-’alamin (pemuka wanita di seluruh jagat) ini menjalani mahligai rumah tangganya? Itu dapat dilihat dari kisah pernikahannya.
Pernikahan Sayyidah Khadijah RA
Khadijah dijuluki Ath-Thahirah (Wanita yang Suci), di masa
Jahiliyyah maupun Islam, karena ia begitu menjaga kehormatannya sebagai
wanita. Dalam sirah karya At-Taimi, ia dijuluki Sayyidah Nisa‘ Quraisy (Pemuka Kaum Wanita Quraisy).
Khadijah, sebagaimana diriwayatkan Ibn Al-Atsir dan Ibn Hisyam,
adalah seorang wanita pengusaha yang memiliki kedudukan mulia di
masyarakatnya dan juga memiliki harta yang banyak. Dalam menjalankan
usahanya, ia mengupah banyak laki-laki, terutama untuk mengurus
perniagaannya ke berbagai wilayah.
Khadijah adalah seorang janda yang pernah menikah dua kali. Suami
pertamanya bernama ‘Atiq bin ‘Aidz At-Tamimi. Setelah wafatnya sang
suami, ia menikah dengan Abu Halah Hindun bin Zararah At-Tamimi. Dari
kedua pernikahannya ini, Khadijah beroleh anak, namun sayang
anak-anaknya tidak berumur panjang.
Tampaklah, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid RA adalah seorang wanita
yang telah banyak merasakan manis getirnya berumah tangga. Ia pernah
ditinggal mati anak dan suami, namun perjalanan hidup itu makin
membuatnya semakin kukuh dan memilih Muhammad SAW sebagai nakhoda di
bahtera kehidupan rumah tangga terakhirnya.
Awal perjumpaannya dengan pemuda Muhammad tidak terlepas dari peran beberapa orang yang menyambungkan kisah kasih keduanya.
Dalam buku berjudul Hayah Muhammad, karya pujangga Mesir
kenamaan, Muhammad Husain Haikal, dikisahkan, Abu Thalib adalah paman
yang sangat menyayangi Muhammad. Ia menjaga dan merawatnya penuh kasih
sayang, seperti kasihnya kepada putra-putrinya yang lain.
Akan tetapi kemiskinan dan banyak anak, sedikit banyaknya,
menyulitkan Abu Thalib dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga.
Untuk membantu menopang keadaan ekonomi, Abu Thalib menawarkan Muhammad
untuk bekerja kepada Khadijah Binti Khuwailid, yang memiliki usaha cukup
sukses dan maju. Apalagi ia tahu sekali, kemenakannya adalah seorang
pemuda yang cekatan, jujur, dan mau berusaha keras.
“Anakku, aku bukan orang yang berada. Keadaan makin menekan kita.
Aku dengar, Khadijah binti Khuwailid mengupah orang dengan dua ekor
anak unta untuk menjualkan barang dagangannya. Maukah kau kuajukan
kepadanya sebagai karyawannya. Tentunya, aku akan meminta lebih dari
itu, karena mereka pun tahu siapa engkau, putraku....”
“Terserah Paman, aku ikuti saja,” kata Muhammad.
Abu Thalib pun mendatangi Khadijah. Ia tawarkan kemenakannya untuk
diperbantukan di usaha Khadijah, namun ia meminta lebih sebagai
upahnya. Sebab Muhammad sudah cukup dikenal oleh Khadijah sebagai pemuda
yang rajin dan jujur.
“Bahkan kalau permintaanmu itu buat orang jauh dan tidak kusukai, aku
kabulkan. Apalagi ini orang dekat dan kusukai, lebih dari itu pun aku
bersedia mengupahnya,” jawab Khadijah kepada Abu Thalib, yang sudah
sangat mengenal reputasi Abu Thalib.
Gayung pun bersambut. Betapa suka citanya Abu Thalib dengan kabar
ini, sehingga ia segera pulang untuk mengabarkannya kepada
kemenakannya itu.
“Wahai Muhammad, ini adalah rizqi yang dilimpahkan Tuhan kepadamu,”
kata pamannya penuh kegirangan. Terbayang olehnya, beban ekonomi
keluarga akan sedikit ringan, berkat diterimanya Muhammad bekerja pada
Khadijah.
Muhammad juga menerima dengan senang hati.
Singkat cerita, Muhammad pun menjadi tenaga penjual ke Syam dan
sekeliling Makkah bagi usaha Khadijah, yang disukai pembeli dan
tentunya sang empunya dagangan, Khadijah.
Dengan kejujuran dan kemampuannya, ternyata Muhammad mampu
memperdagangkan barang-barang Khadijah dengan lebih banyak keuntungan
daripada yang dilakukan orang sebelumnya. Sifatnya yang bijak, tutur
kata yang manis, dan pembawaannya yang penuh kesan, segera menarik
sikap penghormatan dan kekaguman Maisarah, rekan dalam kafilah dagang.
Selain itu, sejumlah keajaiban spiritual yang disaksikan Maisarah
selama perjalanan ke Syam juga diceritakan kepada Khadijah. Di antara
keajaiban spiritual tersebut adalah pernyataan seorang rahib bernama
Buhaira‘, tentang tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad, yang sangat
cocok dan tepat dengan nubuwwat yang terdapat di Taurat dan Injil.
Keajaiban lainnya adalah perjalanan mereka berdua, Muhammad dan
Maisarah, yang jaraknya jauh tapi menjadi terasa dekat. Juga adanya
awan yang berjalan menaungi perjalanan mereka dari terik matahari.
Dalam waktu singkat saja kegembiraan Khadijah berubah menjadi rasa
cinta. Sehingga ia, yang sudah berkepala empat dan sebelum itu selalu
menolak lamaran pemuka-pemuka dan pembesar-pembesar Quraisy, jatuh
cinta kepada Muhammad.
Ketika Khadijah dirundung musibah, sang ayah tercinta meninggal
dunia, Waraqah bin Naufal, anak pamannya, datang melipur laranya.
Waraqah, seorang yang alim, menjelaskan bahwa dunia ini bukan akhir
segalanya, akan ada hari berbangkit ketika Allah memberikan pahala atau
hukuman, menurut amal masing-masing umat. Dan ayah Khadijah, menurut
Waraqah, termasuk orang yang beruntung, sebab ia orang baik-baik.
”Kenapa kau tidak sampaikan hal ini kepada orang-orang, agar mereka
tidak lagi menyembah berhala-berhala dan hanya berharap kepada Allah?”
kata Khadijah setelah merasa terhibur.
“Ini bukan tugasku. Seorang nabi akhir zaman sudah waktunya muncul,
sebagaimana yang ditunjukkan kitab-kitab suci yang kami baca. Dia-lah
yang kelak akan menyampaikan petunjuk ini,” kata Waraqah.
Sayyidah Khadijah lalu teringat pada cerita Maisarah tentang Muhammad SAW dan menceritakannya kembali kepada Waraqah.
“Jika ini memang benar, wahai Khadijah, Muhammad adalah nabi umat ini,” Waraqah meyakinkan.
Sayyidah Khadijah pun merasa tenang. Dalam hatinya muncul sebuah
harapan yang tidak bisa dibendung. Ya, cintanya kepada Muhammad, sosok
yang pintar, rajin, dan shalih.
Khadijah pun mencurahkan isi hatinya ini kepada seorang saudaranya,
menurut riwayat yang lain sahabatnya, yang bernama Nufaisah binti
Munyah.
Curahan hati itu pun disampaikan Nufaisah kepada Muhammad.
Nufaisah berkata, “Mengapa kau belum menikah?”
Muhammad menjawab, “Aku tidak punya apa-apa untuk bekal persiapan menikah.”
“Kalau itu disediakan, dan yang mau melamarmu seorang wanita yang
cantik, berharta, terhormat, dan memenuhi syarat, tidakkah kau terima?”
“Siapa dia?”
“Khadijah.”
“Dengan cara bagaimana?” Muhammad menghela napas.
Sebenarnya ia sendiri berkenan dengan Khadijah, sekalipun hati
kecilnya belum memikirkan pernikahan. Apalagi jika mengingat bahwa
lamaran para pembesar saja ditolak Khadijah, sedangkan ia hanya pemuda
sederhana.
“Serahkan itu semua kepadaku,” ujar Nufaisah menyemangatinya.
Maka Muhammad pun mengangguk, menyatakan persetujuannya.
Tak lama kemudian, Khadijah membicarakan niatnya itu kepada
paman-pamannya, karena ayahnya sudah tiada, termasuk menentukan waktu
bagi keluarga besarnya untuk dapat menghadiri pernikahan paling indah
ini.
Di sisi lain, Muhammad pun mengutarakan berita ini kepada sanak keluarganya, terutama paman-pamannya, dan mendapat dukungan.
“Tak akan Lari Hidungnya”
Tatkala pernikahan ini akan dilangsungkan, Muhammad diiringi
pamannya, Hamzah bin Abdul Muththallib, yang meminangkan Khadijah bagi
Muhammad. Sedangkan pamannya yang lain, Abu Thalib, menyampaikan khutbah
pinangan.
Dalam khutbahnya Abu Thalib berkata, “Sesungguhnya Muhammad putraku
ini tidak bisa ditimbang-timbang dengan seorang pemuda Quraisy mana
pun. Namun yang nyata pada dirinya adalah bahwa ia seorang pemuda yang
mulia, utama, dan cerdas. Jika tentang harta, ia tak punya apa-apa.
Karena harta adalah payung bagi orang yang cepat lenyap (maksudnya bakal
mati) dan aib yang bakal kembali (ke sisi Tuhan). Namun ia punya rasa
suka kepada Khadijah, sebagaimana Khadijah juga memiliki perasaan yang
sama kepadanya....”
‘Amr bin Asad, wali dari Khadijah, menjawab dengan syair yang
singkat, “Hewan jantan tak akan lari hidungnya....” Maksud syairnya ini,
orang yang memiliki kemuliaan, seperti dia dan keluarga besar Khadijah,
tak akan lari dari pinangan keluarga Muhammad.
Acara ramah tamah yang serba singkat dan sederhana itu pun kemudian dilanjutkan dengan akad nikah.
Pernikahan Khadijah dengan Muhammad dihadiri paman Khadijah, ‘Amr
bin Asad, selaku wakil keluarga, yang menjadi wali dalam pernikahan itu,
dan keluarga Muhammad, di antaranya paman-pamannya, seperti Hamzah,
Abi Thalib, dan lain-lain.
Dengan 20 ekor unta muda sebagai mas kawin, Muhammad melangsungkan pernikahannya dengan Khadijah.
Acara walimah pun digelar, makanan dihidangkan, pintu rumah Sayyidah
Khadijah dibuka lebar-lebar untuk menjamu kerabat, sahabat, dan fakir
miskin. Pembesar-pembesar suku turut hadir mengucapkan selamat.
Pernikahan ini dilangsungkan setelah dua bulan 15 hari dari pulangnya
Muhammad dari Syam. Sayyidah Khadijah pada saat itu berusia 40 tahun,
sedangkan Muhammad berusia 25 tahun.
Setelah pernikahan itu, Muhammad pun turut serta menempati kediaman
Khadijah, sebagai pasangan yang memulai babak baru kehidupan sebagai
sepasang suami-istri.
Muhammad bukanlah seperti anak muda kebanyakan. Ia tidak mengenal
nafsu muda yang tak terkendalikan, juga tidak mengenal cinta buta
seperti nyala api yang bergelora untuk kemudian padam.
Dari perpaduan pasangan yang serasi ini, lahirlah putra dan putri
sebanyak enam orang anak. Dua di antaranya laki-laki, yakni Al-Qasim dan
anak paling bungsu, Abdullah Ath-Thahir Ath-Thayyib, yang wafat saat
berusia belia. Sedangkan empat anak lainnya, yaitu Zainab, Ruqayyah,
Ummu Kultsum, dan putri paling bungsu, Fathimah, berumur panjang
hingga berumah tangga.
Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, dalam kitabnya Fiqh as-Sirah, mengutarakan, kisah pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Sayyidah Khadijah RA adalah sebuah kisah cinta yang sempurna.
Umumnya seorang lelaki muda yang baru berumah tangga punya hasrat
kepada kepuasan seksual, kenikmatan ragawi, bersenang-senang dengan si
istri. Namun Muhammad bukan tipe semacam itu.
Kesenangannya kepada sosok Khadijah lebih dari itu. Kecintaannya
melebihi hasrat jasmani yang bergelora sebagai lelaki muda. Maka
cukuplah tersingkap bagi kita, umatnya yang menaruh perhatian pada
kisah kasih beliau, bahwa kesenangan yang didapatinya dari Khadijah
lantaran kelembutannya, kemuliaannya, dan keagungannya di kalangan
masyarakat, yang membuat Khadijah dijuluki masyarakatnya sebagai
“Wanita yang Matang yang Memiliki Kehormatan Diri dan Kesucian”.
Hubungan suami-istri ini berlangsung penuh kehangatan hingga Khadijah wafat pada usia 65 tahun.
Saking sedihnya Nabi SAW dengan wafatnya sang istri yang begitu
dicintainya, tak terlintas di benak beliau untuk menikah lagi, mencari
wanita yang mampu menggantikan posisi Khadijah dalam hatinya. Dan
memang kenyataannya tak ada. Padahal, umumnya lelaki muda seumur
beliau, masih bergejolak nafsunya dengan keinginan menikah lagi, bahkan
menambah istri. Tapi hal itu tidak ada pada diri Muhammad SAW!
Inilah kenyataan sejarah pernikahan Rasulullah SAW, yang dapat menyumpal mulut-mulut mereka yang dengki kepada Islam.
Keutamaan dan Kedudukan Khadijah
Khadijah memiliki kedudukan yang luhur di sisi Rasulullah SAW
sepanjang kehidupan beliau, bahkan sepanjang sejarah. Telah disebut
dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim bahwasanya Khadijah adalah salah satu dari empat sebaik-baik wanita sepanjang zaman.
Rasulullah SAW menyatakan dalam sebuah haditsnya, “Sebaik-baik wanita
di atas langit adalah Maryam binti Imran dan sebaik-baik wanita di
dataran bumi adalah Khadijah binti Khuwailid.” (Muttafaq ‘alaih).
Kecintaan Rasulullah SAW yang mendalam kepada Sayyidah Khadijah juga
diutarakan beliau di hadapan istrinya yang lain, Sayyidah ‘Aisyah RA.
Pernah suatu ketika Sayyidah ‘Aisyah berkata, “Aku tidak pernah
cemburu kepada istri-istri Nabi SAW seperti kecemburuanku terhadap
Khadijah. Padahal aku tak pernah bertemu dengannya.
Jika Rasulullah menyembelih kambing, ia senantiasa berkata,
‘Kirimkanlah (bagikanlah) daging-daging ini kepada teman-teman
Khadijah...’, sehingga aku merasa cemburu dan berkata, ‘Kenapa mesti
Khadijah?!’.
Beliau lalu menjawab, ‘Inni qad ruziqtu hubbaha (Sesungguhnya aku telah dikaruniai Allah dengan cinta kepadanya)’.” (Muttafaq ‘alaih).
Dalam kesempatan lain, sebagaimana diriwayatkan Ahmad dan
Ath-Thabarani, ‘Aisyah berkata, “Rasulullah SAW, jika keluar rumah,
hampir-hampir tidak pernah lepas menyebut nama Khadijah dan memujinya.
Suatu ketika beliau keluar rumah dan melakukan hal itu.
Lalu aku berpikir untuk mencoba mengorek pelajaran dari beliau,
dengan berkata, ‘Apakah hanya seorang perempuan tua, padahal Allah
telah menggantikannya buatmu yang lebih baik darinya?’
Kemudian beliau agak kesal seraya berkata, ‘Tidak, demi Allah. Tiada
yang dapat menggantikan posisi Khadijah di sisiku.... Ia beriman saat
orang-orang kufur, ia yang membenarkan perkataanku di saat orang-orang
mendustaiku, ia yang mendukungku dengan hartanya saat orang-orang
mencegahku dan enggan membantuku, dan Allah memberikan karunia buatku
berupa anak darinya yang tidak ada pada istri-istri yang lain’.”
Ibrah di Balik Pernikahan Itu
Ketika banyak orang, baik di kalangan intelek maupun awam, mendengar
bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai banyak istri semasa hidupnya,
timbullah suara-suara yang sumbang ke arah beliau.
Padahal, kalau mereka mau menelaah lebih dalam untuk mengetahui apa
rahasia di balik perkawinan Nabi Muhammad SAW, niscaya mereka akan
mengerti dan memaklumi, bahkan akan memuji strategi beliau. Yaitu
motivasi agama, politik, dan sosial.
Perkawinan pertamanya dengan Khadijah dilakukan ketika beliau
berumur 25 tahun dan Khadijah berumur 40 tahun. Selama hampir 25 tahuh,
Nabi SAW hanya beristrikan Khadijah, sampai Khadijah meninggal dunia
di umur 65 tahun. Beberapa tahun setelah wafatnya Khadijah, barulah
beliau menikah lagi.
Dengan demikian jelaslah bahwa, jika memang Nabi SAW hanya mencari
kesenangan, tentulah tidak perlu menunggu sampai berusia lebih dari 50
tahun baru menikah lagi. Beliau tetap mencintai Khadijah sepanjang
hidupnya.
Perkawinannya selanjutnya mempunyai banyak motif. Beberapa
perkawinan dengan tujuan membantu wanita yang suaminya baru saja
terbunuh dalam membela Islam. Yang lain adalah demi menambah dan
mempererat hubungan dengan salah satu pendukung Islam, Sayyidina Abu
Bakar Ash-Shiddiq RA.
Ada juga dalam upaya membangun hubungan yang baik dengan suku-suku
lain yang semula berniat memerangi Islam. Sehingga ketika Nabi SAW
mengawininya, perang pun terhindarkan dan darah pun tak jadi tumpah.
Beberapa intelektual non-muslim yang berkesempatan mempelajari secara
langsung sejarah dan kehidupan Nabi Muhammad SAW bersikap ilmiah dan
obyektif serta berkesimpulan yang berbeda dengan kesimpulan kaum
penghujat.
Prof. John L. Esposito, dalam karyanya Islam The Straight Path, misalnya, mengatakan, hampir keseluruhan perkawinan Nabi Muhammad SAW mempunyai misi sosial dan politik.
Begitu juga dengan Caesar E. Farah, yang berkesimpulan bahwa
perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan istri-istri setelah Khadijah lebih
karena alasan politis dan alasan menyelamatkan para janda yang
suaminya meninggal dalam perang membela Islam.
=======================
Pernikahan Fathimah Az-Zahra
Sebagaimana kisah ibundanya, kisah pernikahan Fathimah Az-Zahra juga
bukan sebuah kisah roman picisan, yang hanya ada tangis cengeng dan
gelak tawa yang memurahkan harga diri. Ini adalah sebuah kisah penuh
ibrah, yang menjadi penghantar istimewa bagi pemudi muslimah yang
ingin menunjukkan ittiba’-nya (mengikutinya dengan setia) kepada Sayyidah Fathimah dan penghormatannya kepada kedua orangtuanya.
Di dalam kitab Usd al-Ghabah diceritakan bahwa, ketika
Rasulullah SAW didatangi Abu Bakar dan Umar untuk melamar Fathimah,
beliau menolaknya sambil berkata kepada masing-masing, “Aku sedang
menunggu ketentuan Allah dalam masalah ini.”
Abu Bakar adalah orang pertama yang melamar Fathimah, namun ditolak
secara halus. Nabi berkata, “Wahai Abu Bakar, ketentuan dalam masalah
ini belum turun.”
Hal ini didengar oleh Umar bin Al-Khaththab. Kemudian ia datang untuk
melamar Fathimah, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar. Namun ia pun
mendapat jawaban yang sama dari Rasulullah SAW.
Abu Bakar dan Umar kemudian menemui Abdurrahman bin Auf. Keduanya
meminta Abdurrahman agar melamar Fathimah. Mereka berkata, “Engkau
adalah seorang bangsawan Quraisy yang kaya. Seandainya engkau menemui
Rasulullah SAW untuk melamar putrinya, tentu Allah akan menambah harta
dan kemuliaanmu.”
Abdurrahman pun pergi menemui Rasulullah SAW. Ia berkata, “Wahai
Rasulullah, nikahkanlah aku dengan Fathimah.” Tetapi Rasulullah
berpaling darinya.
Maka Abdurrahman pun menemui Abu Bakar dan Umar. Kepada mereka
Abdurrahman berkata, “Aku pun mengalami apa yang kalian berdua alami.”
Inilah yang dipikirkan oleh Abu Bakar dan Umar. Keduanya sangat ingin
tahu, siapakah gerangan pribadi yang agung, yang dekat kepada Allah SWT
dan paling dicintai Rasulullah SAW. Akhirnya, mereka menemui Ali bin
Abi Thalib, karena mereka tahu kedudukannya yang tinggi di sisi Allah
dan Rasul-Nya. Mereka berkata kepadanya, “Wahai Ali, kami tahu
kekerabatanmu dengan Rasulullah. Engkau juga orang pertama yang
memeluk Islam. Seandainya engkau datang kepada Rasulullah untuk melamar
Fathimah, tentu Allah akan menambah keutamaan dan kemuliaanmu.”
Para sahabat yang lain, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin
Malik, juga berkata kepada Ali, “Seandainya engkau melamar Fathimah,
niscaya engkau akan dinikahkan dengannya oleh Nabi SAW.”
Pada suatu hari Abu Bakar, Umar, dan Sa‘ad bin Mu‘adz berada di
masjid Nabi. Mereka membicarakan masalah Fathimah. Abu Bakar berkata,
“Orang-orang mulia dan terhormat telah mencoba melamar Fathimah, namun
mereka ditolak Rasulullah SAW dengan mengatakan, ‘Aku sedang menunggu
ketentuan Allah dalam masalah ini’.”
Ruh iman yang berkibar tampak nyata pada sikap Abu Bakar dan Umar
ketika mereka pergi menjumpai Ali dan berkata kepadanya, “Pergilah,
lamarlah Fathimah.” Itulah akhlaq kaum muslimin yang bersandar kepada
hadits Rasulullah SAW, “Cintailah untuk saudaramu apa yang kau cintai
untuk dirimu.” Kemudian keduanya menyebut-nyebut kedudukannya di dalam
Islam dan di sisi Nabi SAW serta menganjurkannya untuk segera
memberanikan diri melamar Fathimah.
Ali memang berharap untuk menikahi Fathimah, tetapi ia tak berani
menyatakannya, karena tak memiliki apa-apa sebagai mahar untuk
Fathimah. Setelah ragu beberapa lama, akhirnya Ali memberanikan diri
dan mendatangi kediaman Rasulullah SAW.
Ketika telah bertemu Rasulullah, ia mengucapkan salam, kemudian duduk
di dekat beliau dengan perasaan malu, tidak berani menyebutkan maksud
kedatangannya. Ia tidak dapat berkata-kata, karena hormat dan segan
kepada beliau.
Nabi SAW memahami apa yang ada dalam pikiran putra pamannya,
saudaranya, dan sahabatnya ini. Maka beliau mengawalinya dan bertanya
kepadanya dengan halus dan lembut, “Ada keperluan apa, wahai putra Abu
Thalib?”
Ali menjawab dengan suara yang rendah sambil memejamkan mata, “Aku ingat Fathimah, putri Rasulullah.”
Dengan tetap berseri-seri dan lemah lembut, beliau menjawab, “Marhaban wa ahlan.” Dalam riwayat lain, beliau menjawab, “Dia untukmu, wahai Ali.”
Kemudian Nabi SAW diam, tidak menambahkan jawabannya.
Maka Ali pun terdiam lama. Ali dalam keadaan sangat malu dan juga
sangat miskin. Ia tidak memiliki apa-apa untuk menikah kecuali iman yang
mendalam kepada Allah dan kecintaannya kepada Rasulullah.
Rasulullah ingin agar ia mau berbicara lebih jauh untuk menuntaskan
urusannya bersama beliau. Rasulullah ingin menghilangkan kegelisahan
yang ada pada dirinya.
Keduanya terdiam dalam waktu yang lama.
Kemudian Ali pergi dalam keadaan gelisah. Ia tidak tahu harus
menjawab apa kepada keluarganya dan para sahabatnya yang sedang
menunggunya. Mereka menanti-nanti kedatangannya akan membawa jawaban
dari ayah Fathimah.
Ketika mereka mendesaknya, Ali menjawab, “Demi Allah, aku tidak tahu
apa-apa. Aku telah berbicara kepada Rasulullah tentang masalah itu,
tetapi beliau hanya menjawab, ‘Marhaban wa ahlan’.”
Mereka semua berteriak, “Cukup bagimu jawaban Rasulullah itu walaupun salah satu saja (marhaban saja atau ahlan saja).” Kemudian mereka meninggalkannya. Mereka telah membuatnya tenang.
Apa yang dikatakan oleh keluarganya dan para pecintanya membuatnya
tak sabar menantikan munculnya waktu pagi. Lalu ia pergi menjumpai
Rasulullah SAW.
Setelah sepenuh hatinya siap, ia mengatakan, “Ayah dan ibuku menjadi
tebusanmu, wahai Rasulullah. Engkau tahu bahwa engkau mengambilku
dari pamanmu, Abu Thalib, dan dari Fathimah binti Asad, ketika aku
masih anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Kemudian engkau membimbingku
dan
mendidikku. Engkau lebih utama daripada Abu Thalib dan Fathimah
dalam memberikan kasih sayang kepadaku. Allah telah memberi petunjuk
kepadaku melalui perantaraanmu. Engkau, wahai Rasulullah, adalah
modalku dan perantaraanku di dunia dan di akhirat kelak. Aku memohon
kepada Allah melalui engkau, mudah-mudahan aku dapat memperoleh
tempat tinggal dan seorang istri tempat aku mendapatkan ketenangan. Aku
sengaja datang ke sini untuk melamar putrimu, Fathimah. Apakah engkau
bersedia menikahkanku, wahai Rasulullah?”
Wajah Rasulullah SAW menampakkan kegembiraan luar biasa. Kemudian
beliau tersenyum kepada Ali sambil berkata, “Wahai Ali, apakah engkau
punya sesuatu yang dapat dijadikan mahar?”
Ali menjawab, “Demi Allah, wahai Rasulullah, engkau tahu keadaanku.
Aku tidak memiliki apa pun kecuali pedang dan ceret tempat air.”
“Di mana baju besimu yang pernah aku berikan kepadamu dulu?” tanya Rasulullah.
“Ada padaku, wahai Rasulullah.”
“Berikanlah baju besi itu kepadanya,” kata beliau.
Kemudian Ali pun segera pergi dan datang lagi dengan membawa baju besi.
Lalu Rasulullah SAW menyuruhnya untuk menjualnya untuk persiapan pengantin.
Utsman bin Affan membeli baju besi itu dengan harga 470 dirham.
Ali lalu membawa uang hasil penjualan itu dan meletakkannya di hadapan Rasulullah.
Beliau mengambilnya kemudian menyerahkannya kepada Bilal untuk dibelikan wangi-wangian.
Dalam riwayat lain, ketika ditanya “Apakah engkau memiliki sesuatu?”,
Ali menjawab, “Aku tidak memiliki apa-apa kecuali baju besi, pedang,
dan ceret tempat air.”
Maka Rasulullah SAW berkata kepadanya, “Wahai Ali, pedang sangat
engkau butuhkan untuk berjihad di jalan Allah, ceret tempat air sangat
berguna bagi keluargamu dan saat kau bepergian. Aku akan menikahkanmu
dengan mahar baju besimu itu.”
Inilah proses lamaran Fathimah, putri Rasulullah SAW, dan inilah
maharnya: baju besi! Itulah teladan yang tak ada bandingnya yang
dicontohkan oleh Rasulullah SAW kepada kita untuk menjadi teladan di
masa-masa berikutnya. Suatu teladan yang beliau berikan dengan anak
gadisnya yang paling mulia dan paling beliau cintai, Fathimah Az-Zahra,
pemimpin wanita di seluruh alam.
Sang ayah, Rasulullah SAW, memberikan kemudahan kepada pemuda ini
dalam kondisinya yang sulit. Ayah ini memilih untuk anak gadisnya orang
yang setara dengan anak gadisnya itu, dan menolak Abu Bakar dan Umar
dengan penolakan yang baik dan halus. Abu Bakar tidak marah, dan Umar
pun tidak marah. Bahkan, mereka pergi ke tempat Ali dan meyakinkannya
untuk melamar Fathimah. Dan Fathimah, yang sedemikian tinggi
kedudukannya dan sedemikian tinggi pula didikannya, mau menerima baju
besi sebagai maharnya!
Riwayat-riwayat yang ada berbeda-beda mengenai kapan saat terjadinya
lamaran itu, meskipun sebagian besar sumber sepakat bahwa Fathimah
menikah pada usia 18 tahun, sehingga pernikahannya terjadi pada tahun
kedua hijrah, karena ia dilahirkan pada tahun dibangunnya kembali
Ka‘bah, yaitu lima tahun sebelum Rasulullah diangkat sebagai nabi.
Maka kemudian berlangsunglah pernikahan yang diberkahi itu. Lalu
Az-Zahra pun dibawa ke tempat sang pahlawan pemberani, Ali bin Abi
Thalib.
Allah mengeluarkan darinya keturunan yang shalih, anak-cucu yang diberkahi, dan Allah memuliakan mereka.
Mengenai mereka (keturunan keduanya), Allah berfirman yang artinya,
”Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kalian,
hai ahlul bayt, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (QS
Al-Ahzab: 33).
Nasabnya terus bersambung dan tidak terputus. Dan Rasulullah berpesan
tentang mereka. Sungguh beruntunglah mereka yang memuliakan ahlul bayt
yang mulia. Merekalah keturunan yang suci, yang tentang mereka
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian dua
perkara: Kitabullah dan keturunanku, ahli baytku, dan keduanya tidak
akan berpisah sampai keduanya datang kepadaku di telagaku.”
Perlengkapan Pengantin
Ali menyerahkan 470 dirham menurut pendapat yang paling kuat, yang
kemudian Nabi SAW ambil lalu beliau serahkan sebagiannya kepada Bilal
untuk dibelikan wangi-wangian, dan sisanya beliau serahkan kepada Ummu
Salamah untuk dibelikan perlengkapan pengantin.
Saat itu Rasulullah SAW belum menikah dengan Ummu Salamah, karena
Fathimah menikah dengan Ali pada akhir tahun kedua Hijriyyah sedangkan
pernikahan Nabi SAW dengan Ummu Salamah berlangsung pada tahun keempat
Hijriyyah menurut pendapat yang terkuat.
Ali mengambil sebuah rumah yang sederhana untuk memulai perjalanan rumah tangga yang penuh kesucian, afaf (sifat
menjaga diri), dan cahaya, bersama dengan putri Rasulullah SAW. Ia
menyiapkan rumahnya yang akan menjadi tempat untuk menyambut putri
makhluk terbaik. Di situ terdapat sebuah kamar tidur dengan lantai yang
dilapisi pasir halus, kasur dari sabut, bantal dari sabut juga, kulit
kambing untuk tempat duduk, tempat gilingan, handuk, gelas, tempat air
kecil dari kulit untuk mendinginkan air, dan keset.
Inilah perlengkapan pemimpin wanita penghuni surga, ath-Thahirah, az-Zahra, Ummu Abiha, putri Rasulullah SAW. Di dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim
disebutkan, Fathimah masuk ke rumah suaminya dengan beludru yang bagus,
bantal kulit berisi sabut, dua buah batu gilingan gandum, dua buah
wadah air, dua buah guci, dan sedikit wangi-wangian.
Malam Pernikahan
Datanglah saat yang disepakati untuk malam pernikahan, malam
pengantin. Bani Abdul Muththalib merayakan pernikahan ini. Hamzah,
paman Nabi SAW dan juga paman Ali, datang membawa dua unta besar. Ia
menyembelihnya dan memberikan makan kepada orang-orang.
Setelah orang-orang selesai makan, Nabi SAW datang membawa baghalnya
yang berwarna abu-abu, kemudian beliau berkata kepada Fathimah,
“Naiklah.”
Rasulullah SAW memerintahkan Salman untuk berjalan di depan,
sedangkan beliau sendiri berjalan di belakang Fathimah. Saat itu,
beliau didampingi Hamzah dan sejumlah orang dari Bani Hasyim dengan
pedang terhunus. Beliau memerintahkan kaum wanita Abdul Muththalib dan
kaum wanita Muhajirin dan Anshar untuk berjalan mendampingi Fathimah
dan memerintahkan mereka untuk bergembira ria, bertakbir, dan
bertahmid, tidak mengucapkan sesuatu kecuali yang diridhai Allah.
Kemudian Nabi SAW memasukkannya ke rumah Ali, lalu beliau
mengatakan, “Wahai Ali, janganlah engkau mengatakan sesuatu (jangan
berbicara apa-apa) kepada istrimu sebelum aku datang kepadamu.”
Kemudian Bilal mengumandangkan adzan untuk shalat Isya. Maka Nabi pun melakukan shalat bersama kaum muslimin di masjid.
Lalu semuanya pulang. Ali mendahului beliau menuju rumahnya untuk menyambutnya.
Ketika Rasulullah SAW masuk ke rumah Ali, beliau melihat beberapa
orang perempuan, lalu mereka pun pergi, kecuali Asma’ binti ‘Umais.
“Siapa engkau?” tanya Nabi SAW.
“Akulah yang menjaga putrimu. Seorang gadis di malam pernikahannya
mesti didampingi perempuan yang dekat dengannya. Jika ia mempunyai
kebutuhan atau menginginkan sesuatu, akulah yang memenuhinya.”
Tidak mengherankan jika saat itu Nabi teringat kepada ibunda Fathimah
yang penyayang, Khadijah, wanita mukminah yang pertama. Dialah istri
sekaligus ibu yang terbaik, sebaik-baik penolong, pendukung, pemberi
selimut. Demikian pula dengan Fathimah, yang duduk di dekat salah satu
tiang rumah dengan sikap wanita yang afifah (yang suka menjaga
diri) dan merasa malu. Ia teringat kepada ibunya. Maka, setelah
mendengar perkataan Asma’ binti Umais, Fathimah pun menangis.
Rasulullah SAW mendoakan Asma’ binti Umais karena kasih sayangnya
terhadap putrinya. Beliau mengatakan, “Aku memohon kepada Tuhanku agar
Dia menjagamu dari arah depanmu, belakangmu, kananmu, dan kirimu, dari
godaan setan yang terkutuk.”
Setelah itu beliau keluar bersama Fathimah dari kamarnya. Kemudian
beliau berkata kepada Asma, “Bawakan untukku wadah dan isikanlah.”
Maka Asma’ pun membawakannya.
Beliau meludah sedikit di dalamnya (untuk memberkahi), kemudian
memanggil Fathimah, lalu mengambil sedikit air dan memercikkannya di
kepalanya dan di antara kedua kakinya.
Setelah itu beliau memegangnya lalu berdoa, ”Ya Allah, sesungguhnya
ia bagian dariku dan sesungguhnya aku bagian darinya. Ya Allah,
sebagaimana Engkau telah menghilangkan kotoran dariku dan Engkau telah
menyucikanku, sucikanlah dia.”
Kemudian beliau meminta wadah yang lain, lalu beliau lakukan terhadap
Ali sebagaimana yang beliau lakukan terhadap Fathimah. Setelah itu
beliau mengatakan, “Bangunlah kalian berdua.” Lalu beliau mendoakan,
”Semoga Allah menghimpunkan kalian dan membaguskan keadaan kalian.”
Setelah itu beliau bangun lalu menutup pintu meninggalkan mereka berdua.
Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa‘ad disebutkan, setelah shalat
Isya Nabi SAW berjalan ke rumah Ali, lalu beliau minta dibawakan wadah,
kemudian beliau berwudhu, lalu menuangkan air yang ada di dalam wadah
itu kepada tubuh Ali, setelah itu beliau berdoa, ”Ya Allah, berilah
keberkahan pada keduanya, berilah keberkahan atas keduanya, dan
berilah keberkahan bagi mereka pada keturunan mereka.”
Lalu beliau meminta dibawakan air di dalam bejana, kemudian membasuh
kedua tangannya, lalu menyiramkannya dari air itu. Setelah itu beliau
minta dibawakan air lagi, lalu beliau berkumur kemudian
mengembalikannya di bejana itu. Kemudian beliau membasahi dada Fathimah
dan Ali dengannya.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW berdoa, ”Ya Allah,
sesungguhnya mereka (Ali dan Fathimah) adalah orang yang sangat aku
cintai. Maka cintailah mereka dan berilah keberkahan pada keturunan
mereka. Dan jadikanlah penjaga dari-Mu untuk mereka. Sesungguhnya aku
menyerahkan perlindungan mereka kepada-Mu, demikian pula keturunan
mereka, dari godaan setan yang terkutuk.”
Kemudian beliau mendoakan Fathimah, ”Semoga Allah menghilangkan keburukan darimu dan membersihkanmu sebersih-bersihnya.”
Kemudian beliau berkata kepada Ali, “Wahai Ali, bawalah istrimu
masuk. Semoga Allah memberkahimu. Semoga rahmat Allah dan
keberkahan-Nya senantiasa tercurah kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha
Terpuji lagi Mahamulia.”
Beliau meninggalkan mereka berdua, lalu memegang tiang pintu sambil
berdoa, ”Semoga Allah menyucikan kalian dan menyucikan keturunan kalian
berdua. Aku akan berdamai dengan orang yang berdamai dengan kalian dan
akan memusuhi orang yang memusuhi kalian. Aku menitipkan kalian kepada
Allah dan menyerahkan pengurusan kalian kepada-Nya.”
Setelah itu, beliau menutup pintu rumah itu dengan tangannya yang mulia.
Di dalam kitab ath-Thabaqat disebutkan bahwa Nabi berkata
kepada putrinya, “Wahai Fathimah, demi Allah, tidakkah engkau bangga
aku menikahkanmu dengan keluargaku yang terbaik.”
Sebagai seorang gadis yang akan segera berpisah dengan ayahnya dan
tak lagi memiliki ibu, Fathimah tidak dapat menahan air matanya. Sang
ayah, yang sangat sayang kepadanya, menenangkannya dan menjelaskan
bahwa beliau menitipkannya pada orang yang paling kuat imannya, paling
banyak ilmunya, paling baik akhlaqnya, dan paling tinggi jiwanya. Di
dalam riwayat lain disebutkan bahwa Nabi SAW mengatakan, “Mengapa
engkau menangis, wahai Fathimah? Demi Allah, aku telah menikahkanmu
dengan orang yang paling banyak ilmunya, paling santun, dan paling
terdahulu masuk Islam.”
Nabi SAW kemudian pergi dari tempat Fathimah. Allah SWT mengabulkan
doa Nabi-Nya di dalam pernikahan yang membahagiakan itu. Itulah
pernikahan yang diberkahi. Allah menghendaki keturunan Nabi SAW hanya
berasal dari buah pernikahan itu. (
sumber)