Senin, 06 Februari 2012

Tanda-Tanda Kiamat dalam Hadis Ahad

Seiring dengan banyak bencana yang menimpa Indonesia, lalu para ulama Indonesia banyak yang menghubungkannya dengan kedatangan hari kiamat. Kajian-kajian yang menyangkut tanda-tanda hari kiamat-pun banyak dikaji, seperti kedatangan nabi Isa As., Armagedon, Imam mahdi dan Dajal. Dalil-dalil yang menerangkan hal tersebut kebanyakan adalah hadits Ahad, sehingga banyak pula diantara para ulama Indonesia yang tidak mempercayai tentang tanda-tanda hari kiamat tersebut.

Titik masalah yang menjadikan Hadits Ahad diperselisihkan, adalah dikarenakan hadits tersebut hanya diriwayatkan oleh satu dua jalur periwayatan. Mereka yang membantah hadits Ahad untuk dijadikan dalil—terutama dalam masalah akidah—berdasarkan dalil Umar bin Khatab RA. yang menolak khabar dari Abu Musa al-Ash`ary RA. tentang batasan ucapan salam ketika bertamu, dimana jika sudah tiga kali salam kemudian tidak ada yang menjawab maka diperintah untuk pulang. Kemudian karena Umar tidak menerima kabar tersebut, maka diperkuatlah oleh Abu Sa`id al-Khudry RA. (HR Ahmad). Hadits ini bukanlah penentangan Umar terhadap khabar Abu Musa, namun hanya untuk kehati-hatian saja. sebagaimana ucapannya: “Aku tidak meragukanmu namun ini adalah Hadits dari Rasulullah” (harus hati-hati dalam menerimanya). Begitupun dengan Ali RA., beliau suka meminta seseorang bersumpah jika beliau menerima hadits dari orang tersebut. Hal ini menunjukan bukan penentangan mereka terhadap hadits Ahad, namun hanya untuk kehati-hatian.

Dalil-dalil yang menguatkan hadits Ahad sangatlah banyak diantaranya, Pertama, dalil Al-Qura`an, Nabi Musa AS. telah menerima khabar yang datang dari seorang laki-laki shaleh yang datang dari negeri yang jauh, ia mengatakan kepada Musa: “Sesungguhnya pembesar negeri sedang berunding tentang kamu untuk membunuhmu, ” (QS. Al-Qashash: 20). Kemudian iapun memberikan nasehat kepada Musa AS untuk keluar dari negeri Mesir, dan Musa pun membenarkan dan mengamalkan nasehat orang shaleh tersebut. Begitu juga dengan Firman Allah SWT. “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu”. (QS. Al-Hujurat: 6). Imam al-Qurthubi dalam kitabnya al-Jami li Ahkam Al-Qur’an menyebutkan : “ayat tersebut merupakan dalil bagi diterimanya khabar ahad apabila diriwayatkan oleh perawi yang adil. Hal ini karena Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan untuk selalu menguji validitas riwayat orang fasik”.

Kedua, Dalail As-Sunnah, Nabi SAW mengutus Abu Bakar sebagai Amirul Hajj (pemimpin dalam melaksanakan manasik haji) pada tahun 9 Hijriyyah. Pada tahun yang sama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengutus Ali bin Abi Thalib untuk membacakan kepada para sahabat beberapa ayat dari surat Baraah pada hari raya Idul Adhha, sebagaimana beliau mengutus Ali bin Abi Thalib sebagai qadhi di Yaman. Beliau juga telah mengutus Mu’adz bin Jabal sebagai qadhi dan pemungut zakat di Yaman, mengankat ‘Attab bin Usaid sebagai Amir (pemuka, pemimpin) di Makkah, Utsman bin Abi al-‘Ash sebagai pemimpin golongan Thaif, al-‘Alla’ bin al-Hadhrami sebagai pemimpin di Bahrain, ‘Amr bin al-‘Ash sebagai pemimpin di Omman, Abu Sufyan bin Harb sebagai pemimpin Najran, Mus’ab bin ‘Umair sebagai pemimpin di Madinah dan lain sebagainya seperti banyak diriwayatkan. (Imam Syafi`I, ar-Risalah). Pengutusan tersebut dimaksudkan menyebarkan Ajaran Islam yang sudah tentu didalamnya termasuk masalah Akidah dan Ibadah. Begitupun Imam Bukhari membuat bab dalam kitab shahihnya dengan judul: Bab yang berkaitan dengan kebijakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengirimkan para pemimpin dan utusan secara satu per satu.

Dalil-dalil diatas cukup kiranya menjadi hujjah, bahwa hadits Ahad dapat dijadikan dalil baik itu dalam Akidah ataupun masalah Ibadah. Imam Syafi`I dan Imam Ahmad tidak mensyaratkan apapun dalam hadits Ahad, terkecuali Syarat-syarat hadits Shahih seperti, rowinya adil, berakal, dhabit dan tidak bertentangan dengan Al-Qur`an dan hadits yang lebih kuat. Wallahu a`lam bi ash-Shawab. (sumber)


Oleh: Rifqi Fauzi: Penulis adalah Direktur Association for Research and Islamic Studies Pwk. Persis Mesir.

0 comments:

Posting Komentar