Senin, 06 Februari 2012

Membumikan Dzikir

Suatu sore, dalam perbincangan ringan bersama Pak Slamet Soleh. Beliau sempat berbagi pengalamannya selama berada di tanah air tempo hari. “Kala itu saya dalam perjalanan dengan kereta api menuju Malang”. Beliau menuturkan bahwa dirinya sempat membeli beberapa bungkus wingko untuk cemilan di tengah perjalanan.

Wingko terbungkus rapi. Dengan dus manis yang tersegel balutan plastik. Karena maksudnya memang untuk cemilan, maka beliau pun langsung membukanya. Deretan wingko nampak manis berjejer begitu tutup kemasan terbuka. Namun tak disangka ternyata seperempat bagian bawah dari tumpukan wingko dalam dus tersebut adalah tumpukan kertas belaka. Jumlah wingko tidak seperti yang tertulis dalam kemasannya.

Beralih ke ceritanya yang lain. Suatu hari, beliau diajak seorang kawannya bermain golf di kawasan Kedaton. Tempat golf ini memang menjadi langganannya ketika berada di Jakarta. Dalam kesekian kali kunjungannya ke tempat ini, beliau menyaksikan suatu perubahan. Dulu, bila bermain golf di tempat ini, kita akan disambut dan didampingi dengan baik oleh petugas-petugas lapangan yang rata-rata adalah pria. Ketika terakhir kali beliau mengunjungi tempat ini kembali, petugas-petugas lapangan tersebut berganti dengan perempuan. Setelah ditelusuri mengapa jadi seperti ini, pemilik lapangan golf berkata “ini untuk mempertahankan dan meningkatkan daya tarik kepada pengunjung”.

Kisah wingko memberikan petunjuk pada kita tentang dekadensi moral dan patologi sosial masyarakat kita. Kisah ini memaksa mata hati kita untuk terbuka dan melihat bahwa ternyata bohong dan tipu menipu sudah menjadi bagian yang biasa dalam kehidupan masyarakat kita. Tak tanggung-tanggung, fenomena ini terjadi di level pusat hingga daerah. Sehingga terbuktilah syair Iwan Fals yang berbunyi “maling teriak maling”, rakyat di grassroot terus menggugat para maling di pemerintahan sembari saling tipu-menipu terhadap sesamanya.

Adapun kisah Kedaton mengindikasikan bencana moral. Dunia usaha seperti industri pabrik, supermarket, dan tempat lainnya lebih memilih kaum hawa sebagai tenaga pekerjanya. Sementara masyarakat selalu menuntut pria menjadi mahluk bertanggung jawab. Tak heran, munculah berbagai tindak kriminal dari keadaan seperti ini. Moral telah tergugus material.

Mari beralih ke pembicaraan lain. Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, republik kita memiliki gelar baru; “Republik Bencana”. Gelombang tsunami yang menelan ratusan ribu jiwa manusia, menjadi salam pembuka dari runtuyan bencana alam selanjutnya. Beberapa gempa bumi besar dan ratusan kali gempa kecil, banjir, longsor, banjir lumpur, kecelakaan pesawat, terbakarnya kapal laut, dan bencana-bencana lainnya datang silih berganti.

Sebuah anekdot sarat hikmah dilontarkan Anis Matta. “Orang Indonesia terus – menerus dikejar bencana, bahkan hingga beranda surga sekalipun”. Ungkapan ini dilontarkannya sebagai refleksi atas insiden yang menimpa jemaah haji Indonesia di Arafah-Mina tempo hari.

Saya sempat bertanya-tanya, “masihkah bencana-bencana alam ini menjadi ujian ataukah sudah terkatagori sebagai adzab untuk kita?” Pertanyaan spontanitas ini muncul ketika melihat fenomena masyarakat yang seakan tak menghiraukan bencana-bencana tersebut. Bencana yang terjadi seakan hanya menjadi angin lalu. Tidak disambut dengan sikap introspeksi diri. Penghayatan atas bencana alam hanya berujung dengan isthighasah-isthigasah massif, istigfar masal dan sejenisnya. Selepas itu, masyarakat kembali kepada kesehariannya yang kadang terkontaminasi dengan kemaksiatan kecil yang telah dianggap biasa.

Contoh kecil, tentu kita masih ingat dengan Yahya Zaini. Seorang “da’i” di kalangan parlemen yang telah mencoreng muka keagungan Islam. Bayangkan, masyarakat kita belum bisa mencibir perbuatan bejatnya sebelum menyaksikan langsung rekaman kejadiannya. Malah ada ungkapan apologetik yang menggelitik, “ya,, kita harus melihat dulu bagaimana kejadiannya, baru bisa memvonisnya”. Dan rekaman pun disebar. Tanpa maksud mengeneralisir, fenomena yang kini terjadi adalah masyarakat kita menyikapi kemaksiatan kecil sebagai hal yang biasa.

Bencana tak henti-hentinya menimpa kita. Mulai dari bencana alam hingga bencana moral. Diantara keduanya memiliki keterkaitan satu sama lain. Bahkan saya yakin hubungan diantara keduanya adalah sebuah simbiosa kausalita. Di mana salah satunya menjadi pendorong kemunculan satu yang lainnya.

Setidaknya ada dua hal yang bisa dilakukan untuk menyikapi kenyataan di atas. Pertama, mengembalikan (menyadari sepenuhnya) bencana yang terjadi kepada Allah Swt. sebagai pemilik segala kejadian di bumi (Al-hadid [57]: 22). Kedua, mengembalikan semua bencana yang terjadi kepada diri kita sendiri selaku manusia sebagai penanggung jawab atas segala kejadian di muka bumi (Al-Rum [30]: 41).

Dua langkah di atas tak cukup hanya menjadi lips servise belaka. Tidak cukup hanya dengan permohonan ampun kepada-Nya (istigfar). Namun kita pun dituntut untuk mencari tahu secara cermat tentang sabab-musabab bencana yang selama ini terjadi (i’tibar).

Sudah saatnya kita menerjemahkan lantunan dzikir dengan gerak tangan, dengan langkah kaki, dengan ucapan lisan, dengan itikad hati, dengan tingkah laku keseharian yang mencerminkan lafadz Subhânallah, Alhamdulillâh, Allâhuakbar, Lâ ilâha illallâh. Sudah saatnya kita menjalankan fungsi nurani agar bisa peduli, peka dan sensitif atas hal-hal kecil. Bukan saatnya lagi kita menuding keburukan orang-orang besar bangsa kita sebagai biang kerok bencana yang terjadi. Kini adalah saatnya menambali bolong-bolong, mematri bopeng-bopeng yang ada di muka kita sendiri. Karena sangat mungkin bencana-bencana itu timbul sebagai akumulasi dosa-dosa di balik Wingko. Sangat mungkin bencana-bencana itu timbul sebagai akumulasi dosa-dosa yang tidak terasa. Wallahu’allam bishawab.

Oleh: Rashid Satari: Anggota Persis Mesir  (sumber)

0 comments:

Posting Komentar