Kamis, 19 Januari 2012

Trend Perkembangan Buku, Majalah dan Surat Kabar

Untuk melihat trend perkembangan industri pers buku, majalah dan suratkabar, ada perkembangan lain yang perlu diperhatikan. Yaitu: teknologi dan ekonomi politik. Dari segi teknologi, trend perkembangan industri komunikasi meliputi (Alwi Dahlan, 1999):

1. Konvergensi Teknologi
Konvergensi dari komputer, telekomunikasi dan media masa membawa perubahan dengan hadirnya hadirnya kerajaan media, gaya hidup baru, tantangan berkarir, perubahan regulasi, isu-isu sosial dan kekuatan baru yang dinamis dalam masyarakat. Konvergensi teknologi itu juga membawa perubahan dalam pengertian proses komunikasi yang terkait dengan trend media saat ini.

Seperti, khalayak yang kian punya kekuatan sehingga pesan dibuat berdasarkan kemauan dari audiens dan tidak lagi sama untuk semua orang. Kemudian juga interaktivitas antara pengirim dan penerima komunikasi. Komunikasi kini dapat juga dilakukan secara simultan dimana khalayak menerima pesan pada saat yang sama atau asinkron dimana pesan tidak harus diterima pada saat yang ditentukan tetapi dapat diterima di lain waktu.

2. Digitalisasi
Perubahan semua bentuk informasi (teks, gambar, suara, data dan gerak) dari analog ke dalam format konversi yang dapat dibaca komputer. Digitalisasi memungkinkan kualitas pesan yang baik, pemakaian saluran yang sedikit sehingga dapat memuat banyak pesan serta pemakai dapat mengontrol pesan yang diinginkan.

3. Teknologi SeratOptik dan Laser
Perkembangan teknologi ini memungkinkan tersedianya lebar pita yang dapat membawa ratusan sinyal audio, video dan multimedia dengan kecepatan sangat tinggi.

4. Teknologi Jaringan
Teknologi jaringan dalam tingkatan lokal, lebar, metropolitan, nasional maupun global memungkinkan terbangunnya jaringan komunikasi yang menghubungkan setiap sudut bumi. Dengan hadirnya teknologi Laser dan serat optik, dimungkinkan pula komunikasi yang lebih cepat karena jarak tidak lagi menjadi hambatan dan juga kualitas yang makin baik.

Implikasi perkembangan teknologi ini bagi industri media massa depan, dapat dilihat bahwa teknologi membuat beberapa perubahan penting mengenai watak dan bentuk indutri media massa depan, yang antara lain:
a. Munculnya media konvergen. Media konvergen menggabungkan beberapa teknologi yang mampu menampilkan informasi dalam bermacam bentuk. Teknologi tidak lagi spesifik ntuk satu media tapi dapat bergabung untuk semua media.

b. Demassifikasi media. Peranan media komunikasi massa makin berkurang. Proses komunikasi tidak lagi diprakarsai oleh sumber atau media tapi oleh penerima komunikasi yang berinteraksi sesamanya dan dengan media. Saat ini sudah banyak bermunculan dan dimanfaatkan banyak orang jejaring sosial seperti Facebook, Twitter dll.

c. Divergensi media. Media menjadi pribadi, sesuai dengan kebutuhan informasi pribadi media melayani setiap pribadi dengan informasi yang bersifat spesialis.

d. Keterkaitan dan persaingan global. Sumber informasi dan media saling terkait dalam jaringan global, dengan interaksi tinggi. Persaingan antarmedia massa tradisional tidak hanya terbatas pada daerah atau negara tertentu, tapi bersifat global.

e. Kebutuhan informasi. Masyarakat pengguna multimedia membutuhkan keanekaragaman informasi yang sangat bervariasi dan kaya, yang hanya dapat dipenuhi oleh sumber atau penyedia yang juga beranekaragam dan sangat banyak jumlahnya.

f. Konglomerasi informasi. Pasar global yang luas dan terbuka, membukakan peluang bagi industri global yang juga berskala besar. Berkat modal besar dan teknologi yang tinggi, muncul konglomerasi industri global di bidang komunikasi, yang mengusai berbagai bidang, baik industri manufaktur (komputer, peralatan konsumen, sarana perkantoran, peralatan komunikasi) maupun industri pelayanan atau penyedia informasi. Konglomerasi ini dapat meliputi berbagai bidang yang luas antara lain industri penyedia isi, penyedia pelayanan (Dahlan, 1996)

Selain teknologi, yang mempengaruhi trend perkembangan industri media adalah ekonomi politik media. Hal-hal yang dilihat dalam ekonomi media adalah struktur industri, prilaku institusi media serta hubungan antara media dan khalayak. Beberapa hal yang menjadi perlu mendapat perhatian dalam melihat trend industri media di antaranya adalah produksi dan distribusi, monopoli media, hak atas kekayaan intelektual serta pasar yang berubah dari massa ke lebih segmentasi.

Hal lain yang tidak bisa diabaikan adalah segi politik. Dalam hal ini, yang lebih perlu mendapat perhatian adalah masalah kebebasan berpendapat dan penyensoran (sensorship).

Secara garis besar, trend perubahan teknologi, ekonomi dan politik, berimplikasi terhadap trend perkembangan industri majalah, buku dan suratkabar dalam hal produksi, distribusi, konsentrasi kepemilikan, pembajakan serta sensor.

Trend Perkembangan Buku
Ø Produksi: - komputerisasi
- meningkatnya jumlah buku yang diterbitkan
- hadirnya E-Books
- genre: beragam dan sulit dikarakteristikan
Ø Distribusi: toko buku, penerbit dan secara online.
Ø Ekonomi-politik: - adanya konsolidasi dan konsentrasi kepemilikan
- pembajakan buku
- kebebasan berbicara dan penyensoran.

Trend Perkembangan Majalah
Ø Produksi: - komputerisasi
- makin beragam namun segmented mengikuti usia, hobi
- hadirnya Web ‘zines’
- genre: investigasi, digest, majalah berita dan majalah bergambar
Ø Distribusi: eceran, langganan, online
Ø Ekonomi-politik: - adanya konsolidasi dan konsentrasi kepemilikan
- kebebasan berbicara dan sensor.

Trend Perkembangan Suratkabar
Ø Produksi: - komputerisasi
- cetak jarak jauh
- hadirnya edisi internet untuk suratkabar, lebih personal
Ø Distribusi: videoteks, online
Ø Ekonomi-Politik: - monopoli berita
- konsolidasi bersifat integrasi horisontal: menggabungkan surat kabar yang sudah ada dalam satu jaringan kepemilikan
- konsolidasi yang bersifat integrasi vertikal: menggabungkan suratkabar dengan media lain yang lebih besar dari grup utamanya, seperti menggabungkan kepemilikan jaringan suratkabar dengan radio, televisi dan lain-lain.
- Kebebasan berbicara dan penyensoran

Tinjauan di Indonesia:
Secara umum, trend perkembangan industri buku/majalah dan suratkabar global hampir sama dengan yang terjadi di Indonesia. Hanya saja, seperti dalam catatan Deddy N Hidayat (2000), perlu diperhatikan bahwa Indonesia di satu pihak merupakan bagian dari sistem kapitalisme global, namun di lain pihak struktur ekonomi politik Orde Baru yang berkuasa hingga 32 tahun mampu pula mengembangkan ciri-ciri yang spesifik.

Karakteristik yang menonjol itu adalah intervensi negara yang amat menonjol dalam ekonomi atau negara menjadi bagian integral dari perkembangan sistem kapitalis yang ada. Di sektor industri media cetak, sejumlah anggota keluarga mantan Presiden Soeharto serta pejabat menjadi patron atau pemilik saham di sejumlah media cetak.

Selain itu, seperti dijelaskan Jacob Utama (2001), pers dalam suatu negara akan selalu dipengaruhi oleh pikiran dasar dan orientasi pokok yang sedang berlaku dalam masyarakatnya. Pers Indonesia juga terbawa oleh orientasi pembangunan. Pers tidak hanya melaporkan pembangunan, namun juga diharapkan pendapat dan sumbangan pemikirannya tentang model pembangunan.

Sementara itu, Alwi Dahlan (1996) melihat bahwa industrialisasi komunikasi di Indonesia sebenarnya sudah terlambat datang. Tatkala media massa kita sedang mengalami proses industrialiasasi, media di negara industri justru mulai meninggalkan bentuknya yang sekarang dan menjalani peralihan ke arah dunia pasca industri di bidang informasi. Ketertinggalan satu tahap di belakang negara maju, jika di zaman yang lalu tidak menjadi masalah, tidak begitu dengan sekarang.

Kebutuhan yang didorong oleh arus globalisasi di bidang informasi menipiskan batas-batas sistem pers di masing-masing negara. Di bidang pers, revolusi komunikasi menghadirkan sistem cetak jarak jauh dan media massa internet. Akibat yang ditimbulkan fenomena komunikasi tersebut, antara lain adalah meningkatnya kecepatan arus dan volume pemberitaan di dalam masyarakat.

Media internet dapat menggabungkan kelebihan media cetak (ketahanan onformasi) dan elektronik (kecepatan menyampaikan isi berita dan penyajian yang terinci) sekaligus walau dalam skala yang sangat kecil dibanding media aslinya. Mengikuti tantangan zaman itulah, kemudian hadir pula versi online beberapa suratkabar seperti Media Indonesia, Kompas, Republika, Bisnis Indonesia, Sinar Harapan dan sebagainya; majalah Tempo, Gatra, Gamma, Femina, Kosmopolitan dan lain-lain untuk majalah online.

Beberapa catatan penting trend perkembangan industri buku, majalah dan suratkabar di Indonesia:

Trend Perkembangan Buku
ü Jumlah dan judul buku yang diterbitkan makin banyak karena kemudahan pengumpulan data, kebebasan berbicara, dan pasar yang beragam
ü Komputerisasi produksi, akan terkait dengan mutu cetakan, desain kulit muka dan sebagainya
ü Meski belum begitu banyak, fenomena E-Books juga terjadi
ü Tantangan ekonomis: pembajakan buku
ü Distribusi selain melalui toko buku, penerbit, juga online

Trend Perkembangan Majalah
Ø Ragam majalah makin banyak mengikuti usia, hobi, ketertarikan. Selain itu juga, hadir majalah asing versi Indonesia seperti Mens Health, Cosmopolitan.
Ø Pengumpulan dan penyebaran berita menjadi kian cepat dan akurat.
Ø Hadirnya Web ‘zines’, seperti Gatra.com, Gamma.com, Angkasa, Popular Online, juga termasuk Astaga.com, Indonews dan sebagainya.
Ø Pencabutan lembaga SIUPP membuat pers majalah tidak dihantui ketakutan pembreidelan

Trend Perkembangan Suratkabar
Ø Era reformasi dan meningkatnya kriminalitas, membuat hadirnya suratkabar-suratkabar baru berbau politik dan kriminal
Ø Sistem cetak jarak jauh juga sudah digunakan
Ø Hadirnya edisi internet untuk suratkabar, membuat kita bisa memilih berita sesuai dengan keinginan, lebih personal
Ø Pencabutan lembaga SIUPP membuat pers suratkabar tidak dihantui ketakutan pembreidelan
Ø Secara ekonomis, hadir konglomerat media, seperti Kompas Grup, Jawa Pos Grup, Pos Kota Grup.
Ø Tumbuhnya suratkabar komunitas (community newspaper) menyusul diberlakukannya otonomi daerah. Sebut saja Purwokerto yang memiliki Sudirman Pos, Bogor yang mempunyai Bogor Pos dan Radar Bogor, Brebes dengan Brebes Pos dan sebagainya. Ada pula koran yang berisfta iklan, seperti Bandung Advertiser dll.

DAFTAR PUSTAKA
Dahlan, M. Alwi. (1996). “Trend Industrialisasi Media Massa dan Multimedia”. Makalah diskusi panel Industri Media Massa dan Multimedia, ISKI.
Hidayat, Dedd N. (2000) “Pers dalam Kontradiksi Kapitalisme Orde Baru”, dalam “Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah hegemoni”. Deddy N. Hidayat dkk., Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Muis, A. (1996). “Kontroversi Sekitar Kebebasan Pers: Bunga Rampai Masalah Komunikasi, Jurnalistik, Etika dan Hukum Pers”. Jakarta: Mario Grafika.
Nihayah, Khotimatun dkk. (1993). “Dunia Buku Indonesia”. Politeknik Universitas Indonesia Jurusan Teknik Grafika dan Penerbitan.
Soedarmanto, JB., Subagya, PD. (2002). “Pemasaran Buku di Indonesia”. Jakarta: Ikapi.
Straubhaar Joseph dan LaRose, Robert (2002). “Media Now: Communication Media in the Information Age”. Wadsworth.
Tanuwijaya, Hikmat S (2001). “Situs Berita, Media Informasi Nan Cepat”. PC Media, 27 Mei 2001.
Widyawati, Nina dkk. (2000). “Pers Daerah Menyongsong Otonomi dan Desentralisasi”. Jakarta: Puslibatang Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI.
Winters Jeffry, A. (2000) “Dampak Politis dari Sumber dan Teknologi Informasi Baru di Indonesia”, dalam “Pers dalam Revolusi Mei: Runtuhnya Sebuah hegemoni”. Deddy N. Hidayat dkk., Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Utama, Jacob. (2001) “Pers Indonesia Berkomunikasi dalam Masyarakat yang Tidak Tulus”. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Penulis: Heru Sutadi 1 komentar
03 Maret 2009
Sejarah Kelahiran Suratkabar dan Perkembangannya di Indonesia
Sejarah Kelahiran Suratkabar

Sebelum ada suratkabar, hadir lebih dulu newsletters. Koran pertama dikembangkan secara tidak teratur di Belanda, Inggris dan Prancis (1618-1648). Lembaran berita ini disebut corantos, yang secara bertahap digantikan laporan harian atau diurnos. Pada saat itu, tidak ada yang namanya kebebasan pers. Pencetakan koran dan material lainnya harus menggunakan ijin dan yang mengeluarkannya dapat mengontrol isi.

Kebebasan berbicara dan mengkritisi sensor mulai ada sekitar tahun 1644, ketika John Milton menulis Aeropagitica, yang menyatakan kebebasan berbicara dalam beragama. Dalam terminologi politik, John Stuart Mill, Edumund Burke dan lainnya, mempromosikan pers bebas. Politisasi pers yang muncul menjadi penting dalam membangun dukungan terhadap revolusi Amerika dan mendefinisikan pers bebas di sana.

Kebebasan pers secara formal di AS sejak 1787. Keinginan untuk memproteksi kebebasan berbicara dan pers, hal itu kemudian dimasukan dalam Amandemen Pertama konstitusi di sana. Hasilnya, kemudian muncul keberagaman pers. Koran yang dipakai sebagai alat politik, kemudian hadir mewakili keberagaman pandangan politik.

Untuk menjalankan fungsi politik, pandangan-pandangan mengenai hal itu harus tersirkulasikan sebaik keberagaman media ini. Caranya, dengan menjual suratkabar yang murah agar bisa menjangkau audiens yang luas. Koran murah pertama kali diluncurkan Benjamin Day, 1833. Koran yang bernama “New York Sun”, hanya dijual satu penny, yang kemudian dikenal dengan “Koran Penny”. Untuk bisa dijual pada harga itu, Day tidak hanya bergantung pada iklan semata, namun juga dengan meningkatkan oplah penjualan.

Pembaca koran meningkat ketika terjadi Perang Sipil (1861-1865) karena orang-orang ingin mengetahui perkembangan terakhir mengenai konflik yang terjadi. Setelah masa perang, hadirlah era baru dunia jurnalistik, jurnalisme investigasi. Era baru ini menjadikan suratkabar lebih hidup, lancang, sadar diri, tidak sabar dan penuh sensasi.

Babak selanjutnya dalam sejarah koran di AS ditandai dengan adanya yellow journalism dan responsible journalism, yang bahkan dikatakan terjadi perang yang dramatis. Hearst’s Morning Herald Journal, dengan yellow journalisme-nya, menampilkan foto-foto yang penuh sensasi, topik utama yang besar-besar dan mengabaikan kepribadian, cerita tentang kemanusiaan dan terkadang melakukan wawancara palsu.

Sementara ‘lawan’ Hearst, Pulitzer, menciptakan jurnalisme baru yang mengetengahkan tanggung jawab sosial dalam tulisan di suratkabar. Jurnalisme yang bertanggung jawab ini berlanjut pada tahun 1896 ketika Adolph Ochs membeli The New York Times. Ochs tegas-tegas melarang sensasionalitas dalam foto-foto, cerita-cerita bohong dan tipuan. Dampaknya, pembaca dari kalangan kelas menengah meningkat. Ini pula yang kemudian menyebabkan suratkabar sebagai media massa mencapai puncaknya (1890-1920).

Setelah melewati rentang waktu yang panjang, akibat teknologi baru, persaingan dalam makin tajam. Apalagi dengan kehadiran internet, koran lokal kini bisa dibaca di seluruh dunia. Karenanya kebutuhan untuk meng-online-kan suratkabar menjadi kebutuhan serius meski edisi internet tersebut belum bisa dikatakan menghasilkan uang. Namun begitu, internet dapat juga dianggap sebagai ancaman terhadap ekonomi suratkabar dan standar jurnalistik.

Perkembangan Suratkabar di Indonesia

Sejak pertama kali suratkabar terbit di Batavia 1744, pers Indonesia tidak pernah lepas dari pengekangan. Karena itulah kemudian muncul istilah “pers perjuangan” sebagai media untuk melawan penjajahan. Mengetahui hal itu, pemerintah kolonial Belanda mengharuskan adanya surat izin atau sensor atas penerbitan pers di Batavia, Semarang dan Surabaya. Sejak itu pula, pendapat tentang kebebasan pers terbelah. Satu pihak menolak adanya surat ijin terbit, sensor dan pembredelan, namun di pihak lain mengatakan bahwa kontrol terhadap pers perlu dilakukan.

Pemerintah kolonial kemudian meninggalkan sejumlah aturan yang dibawa ke alam kemerdekaan. Aturan tersebut seperti Druckpers Reglement (UU Pers) yang dikeluarkan pada 1854, Haatzaai Delicten (UU Hukum Pidana Komunikasi Massa) tahun 1856 ataupun Persbreidel Ordonnatie yang dikeluarkan tahun 1931. Isinya jelas, kontrol terhadap pers.

Meski telah dihapus dengan UU No 23/1954, pers Indonesia tidak berarti terbebas dari pemasungan. Seperti dikatakan Presiden saat itu, Soekarno, saat melantik Dewan Pengawas dan Dewan Pimpinan Kantor Berita Antara 15 Oktober 1952. “Saya tidak menginginkan siaran berita yang obyektif, tetapi jelas memihak pada revolusi kita dan menghantam musuh-musuh revolusi.” Karena itu, pers yang bermusuhan dengan revolusi harus dilenyapkan. Sehingga tidak heran, tindakan, tuduhan dan pembredelan pers terjadi berkali-kali.

Seperti pada tahun 1952, telah diambil tindakan bredel terhadap dua suratkabar, Merdeka dan Berita Indonesia, dan 12 tuduhan lainnya terhadap pers. Tuduhan pelanggaran dengan jumlah yang sama juga terjadi di tahun 1953. Pada tahun 1954 hanya terjadi 8 tindakan kemudian meningkat lagi pada tahun 1955 dengan 13 tindakan dan 32 tindakan pada tahun 1956.

Terparah, ketika pada tanggal 14 Maret 1957 saat Indonesia dinyatakan dalam keadaan darurat perang (SOB-Staat van Orlog en Beleg). Pada masa itu, terjadi 125 tindakan terhadap pers, termasuk di dalamnya penutupan tiga kantor berita, pembredelan 10 suratkabar dan penahanan tujuh wartawan.

Pers otoriter juga dikembangkan pemerintahan Orde Baru. Pembredelan, sensor dan perlunya surat izin terbit yang secara resmi dilarang UU Pokok Pers (pasal 4 dan 8 ayat 2), dengan Permenpen 01/1984 pasal 33h yang menghadirkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), melestarikan kekangan terhadap pers. Sebab dengan definisi “pers yang bebas dan bertanggung jawab”, SIUPP merupakan lembaga yang menerbitkan pers dan pembredelan.

Terjadinya pembredelan Tempo, Detik, Editor pada 21 Juni 1994, mengisyaratkan ketidakmampuan sistem hukum pers mengembangkan konsep pers yang bebas dan bertanggung jawab secara hukum. Sejarah ketiga media tersebut mengikuti sejarah Fokus, Sinar Harapan, Prioritas dan Monitor, yang semuanya dibredel tanpa proses pengadilan.

Perubahan kekuasaan pada tahun 1998, dari Orde Baru ke Orde Reformasi, membuat pers menemukan kemerdekaanya. Yaitu, ketika Menteri Penerangan saat itu, Yunus Yosfiah, mencabut pemberlakuan SIUPP. Menurut Yunus, kebebasan pers adalah satu pengejawantahan dari keikutsertaan warga negara dalam melaksanakan kekuasaan negara. Ini berarti bahwa kebebasan pers merupakan bagian dari konsep demokrasi bahkan merupakan salah satu unsur fundamental.

Sejak titik balik itulah, pers Indonesia dapat mengabarkan berita secara transparan tanpa kekhawatiran SIUPP yang akan dicabut. Tidak perlu takut lagi untuk menampilkan tokoh-tokoh kontroversial yang menggugat maupun berseberangan dengan pemerintah. Begitu juga, tidak perlu ragu lagi untuk menyajikan berita atau laporan-laporan yang sebelumnya dinilai beresiko.

Dengan dihapuskannya lembaga SIUPP, beberapa media yang sempat ‘mati’, kini pun hidup kembali. Seperti Majalah Berita Mingguan Tempo dan suratkabar Sinar Harapan. Kalaupun tidak menghidupkan yang ‘mati’, dengan segala kemudahan implikasinya kini mudah ditemui suratkabat, majalah, berita radio dan televisi maupun situs berita online baru.

Selain menghapuskan SIUPP, pada tahun 1999 Presiden Abdurrahman wahid kemudian juga menghapuskan Departemen Penerangan. Meski para wartawan masih tetap mendapat ancaman intimidasi, kekerasan, bahkan pembunuhan, dengan dihapuskannya Deppen paling tidak pers punya hak untuk menyebarkan informasi yang bebas dari sensor melalui bentuk media apapun.

Mengikuti trend pengantaran media saat ini, Indonesia tidak ketinggalan dalam hal itu. Sebut saja dalam hal cetak jarak jauh, maupun penggunaan internet. Beberapa suratkabar seperti Kompas, Media Indonesia, Republika, Koran Tempo, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Bisnis Indonesia dan banyak lagi lainnya, telah dapat dibaca lewat layar monitor komputer. Tidak hanya yang berbasis koran atau majalah, media yang yang langsung menghuni jaringan maya ini pun ada, sebut saja seperti Detik.com, Kompas.com, Okezone.com, vivanews.com dan lain-lain.

Peran internet sebagai media alternatif ketika media dalam negeri dihantui ketakutan pasca pembredelan Tempo, Detik dan Editor, cukup signifikan. Lewat situs Apakabar, Pijar Online, IndoKini ataupun Indonews, pendapat maupun cerita-cerita unik yang tak mungkin dipublikasikan media umum di Indonesia, bisa dibaca. Situs-situs tersebut, termasuk hadirnya Tempo Interaktif, membalikan pendapat bahwa kebebasan pers bisa dipasung hanya karena sebuah SIUPP.
Penulis: Heru Sutadi 0 komentar
Sejarah Kelahiran Buku dan Perkembangannya di Indonesia
Sejarah kelahiran Buku

Buku pada awalnya hanya berupa tanah liat yang dibakar, mirip dengan proses pembuatan batu bata di masa kini. Buku tersebut digunakan oleh penduduk yang mendiami pinggir Sungai Euphrates di Asia Kecil sekitar tahun 2000 SM.

Penduduk sungai Nil, memanfaatkan batang papirus yang banyak tumbuh di pesisir Laut Tengah dan di sisi sungai Nil untuk membuat buku.Gulungan batang papirus inilah yang melatarbelakangi adanya gagasan kertas gulungan seperti yang kita kenal sekarang ini. Orang Romawi juga menggunakan model gulungan dengan kulit domba. Model dengan kulit domba ini disebut parchment(perkamen).
Bentuk buku berupa gulungan ini masih dipakai hingga sekitar tahun 300 Masehi. Kemudian bentuk buku berubah menjadi lenbar-lembar yang disatukan dengan sistem jahit. Model ini disebut codex, yang merupakan cikal bakal lahirnya buku modern seperti sekarang ini.

Pada tahun 105 Masehi, Ts’ai Lun, seorang Cina di Tiongkok telah menciptakan kertas dari bahan serat yang disebut hennep. Serat ini ditumbuk, kemudian dicampur dan diaduk dengan air hingga menjadi bubur. Setelah dimasukkan ke dalam cetakan, buku di jemur hingga mengering. Setelah mengering, bubur berubah menjadi kertas.

Pada tahun 751, pembuatan kertas telah menyebar hingga ke Samarkand, Asia tenganh, dimana beberapa pembuat kertas bangsa Cina diambil sebagai tawanan oleh bangsa Arab. Bangsa Arab, setelah kembali ke negrinya, memperkenalkan kerajinan pembuatan kertas ini kepada bangsa Morris di Spanyol. Tahun 1150, dari Spanyol, kerajinan ini menyebar ke Eropa. Pabrik kertas pertama di Eropa dibangun di Perancis, tahun 1189, lalu di Fabriano, Italia tahun 1276 dan di Jerman tahun 1391. Berkat ditemukannya pembuatan kertas inilah maka pembuatan buku di beberapa belahan dunia semakin berkembang.

Sejarah Penerbitan Buku di Indonesia

Di Indonesia, awalnya bentuk buku masih berupa gulungan daun lontar. Menurut
Ajib Rosidi (sastrawan dan mantan ketua IKAPI), secara garis besar, usaha penerbitan buku di Indonesia dibagi dalam tiga jalur, yaitu usaha penerbitan buku pelajaran, usaha penerbitan buku bacaan umum (termasuk sastra dan hiburan), dan usaha penerbitan buku agama.


Pada masa penjajahan Belanda, penulisan dan penerbitan buku sekolah dikuasai orang Belanda. Kalaupun ada orang pribumi yang menulis buku pelajaran, umumnya mereka hanya sebagai pembantu atau ditunjuk oleh orang Belanda.

Usaha penerbitan buku agama dimulai dengan penerbitan buku-buku agama Islam yang dilakukan orang Arab, sedangkan penerbitan buku –buku agama Kristen umumnya dilakukan oleh orang-orang Belanda.

Penerbitan buku bacaan umum berbahasa Melayu pada masa itu dikuasai oleh orang-orang Cina. Orang pribumi hanya bergerak dalam usaha penerbitan buku berbahasa daerah. Usaha penerbitan buku bacaaan yang murni dilakukan oleh pribumi, yaitu mulai dari penulisan hingga penerbitannya, hanya dilakukan oleh orang-orang Sumatera Barat dan Medan. Karena khawatir dengan perkembangan usaha penerbitan tersebut, pemerintah Belanda lalu mendirikan penerbit Buku Bacaan Rakyat. Tujuannya untuk mengimbangi usaha penerbitan yang dilakukan kaum pribumi. Pada tahun 1908, penerbit ini diubah namanya menjadi Balai Pustaka. Hingga jepang masuk ke Indonesia, Balai Pustaka belum pernah menerbitkan buku pelajaran karena bidang ini dikuasai penerbit swasta belanda.

Sekitar tahun 1950-an, penerbit swasta nasional mulai bermunculan. Sebagian besar berada di pulau Jawa dan selebihnya di Sumatera. Pada awalnya, mereka bermotif politis dan idealis. Mereka ingin mengambil alih dominasi para penerbit Belanda yang setelah penyerahan kedaulatan di tahun 1950 masih diijinkan berusaha di Indonesia.

Pada tahun 1955, pemerintah Republik Indonesia mengambil alih dan menasionalisasi semua perusahaan Belanda di Indonesia. Kemudian pemerintah berusaha mendorong pertumbuhan dan perkembangan usaha penerbitan buku nasional dengan jalan memberi subsidi dan bahan baku kertas bagi para penerbit buku nasional sehingga penerbit diwajibkan menjual buku-bukunya denga harga murah.

Pemerintah kemudian mendirikan Yayasan Lektur yang bertugas mengatur bantuan pemerintah kepada penerbit dan mengendalikan harga buku. Dengan adanya yayasan ini, pertumbuhan dan perkembangan penerbitan nasional dapat meningkat denganc epat. Menurut Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) yang didirikan 1950, penerbit yang menjadi anggota IKAPI yang semula berjumlah 13 pada tahun 1965 naik menjadi 600-an lebih.

Pada tahun 1965 terjadi perubahan situasi politik di tanah air. Salah satu akibat dari perubahan itu adalah keluarnya kebijakan baru pemerintah dalam bidang politik, ekonomi dan moneter. Sejak akhir tahun 1965, subsidi bagi penerbit dihapus. Akibatnya, karena hanya 25% penerbit yang bertahan, situasi perbukuan mengalami kemunduran.

Sementara itu, pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mashuri, kemudian menetapkan bahwa semua buku pelajaran di sediakan kan oleh pemerintah. Keadaan tidak bisa terus-menerus dipertahankan karena buku pelajaran yang meningkat dari tahun ke tahun. Karena itu, diberikan hak pada Balai Pustaka untuk mencetak buku-buku yang dibutuhkan dipasaran bebas. Para penerbit swasta diberikan kesempatan menerbitkan buku-buku pelengkap dengan persetujuan tim penilai.

Hal lain yang menonjol dalam masalah perbukuan selama Orde Baru adalah penerbitan buku yang harus melalui sensor dan persetujuan kejaksaan agung. Tercatat buku-buku karya Pramudya Ananta Toer, Utuj Tatang Sontani dan beberapa pengarang lainnya, tidak dapat dipasarkan karena mereka dinyatakan terlibat G30S/PKI. Sementara buku-buku “Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai”, kemudian “Era Baru, Pemimpin Baru” tidak bisa dipasarkan karena dianggap menyesatkan, terutama mengenai cerita-cerita seputar pergantian kekuasaan pada tahun 1966. sumber

0 comments:

Posting Komentar