Kamis, 19 Januari 2012

Televisi dan Media Masa

TELEVISI

Televisi adalah bentuk budayan pop paling akhir abad 20. Tidak diragukan lagi televise merupakan aktivitas waktu luang paling popular di dunia. Di seluruh dunia ini aka nada 3,5 milyar jam dihabiskan untuk menonton televisi (Kubeyn dan Csikzentmihalyi 1990:1).

Encoding dan Decoding Wacana Televisi

Dalam model televisual dari Hall, sirkulasi makna dalam wacana televisual melewati tiga momenyang berbeda, masing-masing memiliki kondisi eksistensi dan modalitasnya yang spesifik. Pertama, para professional media memaknai wacana televisual dengan suatu laporan khusus merekatentang, misalnya sebuah peristiwa sosial yang mentah. Pada momen dalam sirkuit ini serangkaian cara melihat dunia(ideologi-ideologi) berada dalam kekuasaan.

Pada moment kedua, segara sesudah makna dan pesan berada pada wacana yang bermakna, yakni segera sesudah makna dan pesan itu mengambil bentuk wacana televisual, aturan formal bahasa dan wacana bebas dikendalikan, suatu pesan kini terbuka, misalnya bagi permainan polisemi.

Pada momen yang kitiga, momen decoding yang dilakukan oleh khalayak, serangkaian cara lain untuk melihat dunia (ideologi) bisa dengan bebas dilakukan. Seorang khalayak tidak dihadapkan pada peristiwa sosial mentah melainkan dengan terjemahan diskursif dari suatu peristiwa. Jika peristiwa itu bermakna bagi khalayak pastilah peristiwa itu menyertakan interpretasi dan pemahaman terhadap wacana. Jika tidak ada makna yang diambil maka boleh jadi tidak ada konsumsi.

Dengan kata lain, makna dan pesan tidak sewkedar ditrasmisikan, keduanya senantiasa diproduksi. Pertama oleh sang pelaku encoding bahan mentah kehidupan sehari-hari oleh khalayak dalam kaitannya dengan lokasinya pada wacana-wacana lainnya. Setiap moment itu pasti beroperasi dalam kondisi produksinya sendiri. Selain itu sebagaimana dijabarkan hall, momenencoding dan decoding mungkin tidak benar-benar simetris. Tidak ada yang senatiasa berkenaan dengan hasil dari proses apa yang dimaksudkan dan apa yang diterima boleh jadi tidak klop. Para professional median mungkin menginginkan decoding sama dengan encoding, namu mereka tidakbisa menjamin atau memastikan hal ini. Encoding dan decoding terbuka bagi resiprositas yang berubah-ubah, ditentukan oleh eksisitensi berbeda. Senantiasa ada kemungkinan dan kesalahpahaman.

Kesalahpahaman kedua inilah yang menarik hall, menyitir karya sosiolog Frank Parkin (1971), ia menyarankan tiga posisi hipotesis yang dari situ decoding terhadap wacana televisual bisa dibangun. Posisi pertama ia sebut dengan posisi dominan-hegemonik. Posisi ini terjadi tatkala pemirsa memetik makna yang dikonotasikan dari katakanlah siaran televisi atau program peristiwa aktual secara penuh dan apa adanya, dan mendecoding pesan berdasarkan kode acuan dimana ia di enciding, kita bisa mangatakan bahwa penirsa beroperasi di dalam kode dominan. Mendecoding wacana televisi dengan cara ini berarti berada dalam harmoni dengan kode profesional broadcaster.

Posisi decoding kedua adalah kode atau posisi yang dinegosiasikan. Ini kemungkinan merupakan posisi mayoritas. Posisi ketiga yang diidentifikasikan hall adalah kode oposisional. Ini merupaka posisi yang diduduki oleh pemirsa yang mengakui kode wacana televisual yang disampaikan, tetapi memutuskan untuk melakukan decodiing dalam sebuah kerangka acuan alternatif.

Morley memberikan sebuah rangkuman dan klarifikasi yang berguna tentang pemahamannya sendiri terhadap model encoding/decoding hall sebagai berikut:

Produksi pesan penuh makna dalam wacana televisi senantiasa merupaka pekerjaan problematis. Peristiwa yang sama bisa diencoding melalui lebih dari astu macam cara. Sehingga kajian TV disini berkenaan dengan bagaimana dan mengapa struktur dan praktik produksi tertentu cenderung menghasilkan pesan tertentu, yang mewujudkan maknanya dalam bentu-bentuk tertentu dan berulang.
Pesan dalam komunikasi sosial selalu bersifat kompleks dalam hal stuktur dan bentuk. Ia senantiasa memuat lebih dari satu pembacaan potensial. Pesan menawarkan dan menganjurkan pembacaan tertentu atas pembacaan lainnya, namun pesan tidak pernah bisa menjadi sama sekali tertutup disekitar satu pembacaan. Pesan tetap bersifat polisemik.
3. Aktivitas memetik makna dari pesan juga merupakan sebuah praktik yang problematis, betapapun transparan dan natural tampaknya aktivita itu. Pesan meng-encoding satu car bisa senantiasa dibaca dengan cara yang berbeda.

Televisi dan ideologi budaya massa

Cultural studies, terutama cultural studies feminis, menurut Ang, mesti memutuskan dengan ideologi budaya massa. Dia melihat kesenangan sebagai konsep kuci dalam politik budaya feminis yang ditrasformasikan. Cultural studies feminis harus berjuang keras melawan paternalismeideologi budaya massa yang disitu kaum perempuan dilihat sebagai korban pasif dari pesan-pesan opera sabun yang memperdayakan, kesenangan sama sekali dikesampingkan. Kesenangan seharusnya tidak dikutuk sebagai kendala bagi tujuan feminis membebaskan kaum perempuan. Pertanyaan yang diajukan Ang ialah: bisakah kesenangan, melalui identifikasi denagn perempuan atau perempuan yang secara emosional masokistis dalam opera sabun, punya makna bagi perempuan yang sikap politiknya relatif independen. Jawabannya adalah: fantasi atau fiksi. Fiksi dan fantasi adalah sumber kesenangan sebab ia menempatkan realitas dalam selingan, sebab ia membangun solusi-solusi imajiner bagi kontadiksi-kontradiksi nyata yang dalam kesederhanaanya yang fiksional dak fiksionalitasnya yang sederhana keluarlah kompeksitas hubungan sosial yang membosankan berkenaan dengan dominasi dan subordinasi.

Selanjutnya fiksi dan fantasi berfungsi karena membuat kehidupan saat ini menyenangkan atau setidaknya enak dijalani. Namun ini sama sekali tidak meniadakan kesadaran atau aktivitas politik yang radikal. Fiksi dan fantasi tidak selamanya membawa konsekuensi bahwa feminis pasti tidak gigih dalam upaya menghasilkan fantasi-fantasi baru dan memperjuangkan kedudukan mereka. Melainkan berarti bahwa sejauh menyangkut konsumsi budaya, tidak ada standar baku untuk mengukur progresivitas sebuah fantasi. Yang sifatnya personal boleh jadi bersifat politik, namun personal dan yang politik tidak senantiasa jalan bergandengan.

Dua ekonomi Televisi

John fiske berpendapat bahwa komoditas budaya termasuk televisi yang dari situ budaya massa tersebar dalam dua ekonomi sekaligus: ekonomi finansial dan ekonomi kultural.ekonomi finansial terutama menaruh perhatian pada nilai tukar, ekonomi kultural terutama berfokus pada nilai guna, makna, kesenangan dan identitas sosial

Fiske menegaskan bahwa kekuatan khalayak sebagai produsen dalam ekonomi kultural amatlah menentukan. Kekuatan khalayak berasal dari fakta bahwa makna tidak beredar dalamekonomi kultural dengan cara yang sama dimana kekayaan beredar dalam ekonomi finansial. Walaupun memperoleh kekayaan itu bukan sesuatau yang mustahil, memperoleh makna dan kesenangan itu kiranya jauh lebih sulit. Dalam ekonomi kultural tidak seperti ekonomi finasialkomoditas tidak bergerak dengan cara linear dari produksi ke konsumsi , kesenagan dan makna beredar tanpa perbedaan yang nyata antara produksi dan konsumsi.

Dua ekonomi Fiske beroperasi demi kepentingan pihak petarung yang saling berlawanan. Ekonomi finansial cenderung mendukung kekuatan kerjadan homogenisasi, sementara ekonomi kultural cenderung mendukung kekuatan perlawanan dan perbedaan. Perlawanan semiotik yang disitu makna-makna dominan ditentang oleh makna-makna subordinat punya efek terhadap peruntuhan upaya kapitalisme atas homogenitas ideologis. Dengan cara ini, menurut Fiske, kepemimpinan moral dan intelektual kelas dominan ditentang.

SURAT KABAR DAN MAJALAH

Pers Populer

Pendekatan John fIske terhadap pers populer ditempatkan dalam pernyataan umum bahwa budaya pop itu secara potensial, dan kerap secara aktual, progresif. Ia menjelaskan perbedaan antara progresif dan radikal sebagai berikut: teks populer boleh bersifat progresif lantaran teks- teks itu bisa mendorong produksi makna yang bekerja untuk mengubah atau mendestabilisasi tatanan sosial, namun teks- teks itu tak pernah bisa radikal dalam pengertian bahwa teks- teks itu pernah bisa menentang atau menggulingkan tatanan tersebut.

Fiske membedakan pers populer di satu sisi, dan pers pemerintah disisi lain, dan pers alternatif. Pers populer, sebagaimana ia catat, dipandang rendah oleh dua pers lainnya. Menurut Fiske pers populer beroperasi pada garis batas antara yang publik dan yang privat, gayanya sensasional, terkadang skeptis, tidak jarang bersungguh- sungguh secara moralistis, ungkapannya populis, kelonggaran bentuknya menampik perbedaan stalistik antara fiksi dan dokumenter, antara berita dan hiburan.

Analisis Fiske terhadap pers populer dimulai dari pernyataan Stuart Hall ( Dalam Storey, 1994) bahwa pembagian politik yang sentral pada masyarakat kapitalis lanjut adalah oposisi. Blok penguasa adalah aliansi yang bergeser, yang terekspresi dalam dan melalui insitusi seperti media, industri budaya, pemerintah, sistem pendidikan, dll. Menurut Fiske, pers pemerintah mengartikulasikan kepentingan blok penguasa melalaui aliran informasi top down. Bagi Fiske, ini adalah salah satu perbedaan utama antara pers pemerintah dan pers populer.

Bagi pers, populer atau lainnya, untuk menjadi budaya pop ia harus diterima oleh rakyat , ia harus memprovokasi percakapan dan memasuki sirkulasi dan resiskulasi oral. Ian Connell mengambil posisi yang sama dengan posisi yang dianjurkan Fiske. Ia berpendapat bahwa pers populer menopang kebencian tertentu yang dapat dibenarkan. Reportase yang fantastikal atau menakjubkan tidak menghasilkan resistensi dalam bentuk yang dianjurkan oleh Fiske.

Majalah Untuk Perempuan Muda dan Dewasa

Angela Mc Robbie ( 1991) dalam sebuah esai yang punya pengaruh besar pertama kali dipublikasikan tahun 1978, berpendapat bahwa Jackie, majalah best- seller untuk remaja putri terbitan 1970, dianggap sebagai sistem pesan, sebuah sistem penandaan dan pembawa ideologi tertentu, sebuah ideologi yang berhubungan dengan konstruksi feminis remaja. Mc Robbie mengidentifiaksi empat strategi yang melalui strategi itu mempunyai daya tarik, yaitu:

Kode roman/ percintaan.
Kode kehidupan personal.
Kode fashion dan keantikan.
Kode musik pop.

Majalah perempuan juga mengkonstruksi kolektivitas fiksional perempuan. Ini bisa kita lihat dalam keajegan penggunaan ‘ kita ‘ dalam editorial, namun penggunaan itu juga ada dalam interaksi pembaca editorial.

Membaca Budaya Visual

Surat kabar dan majalah memuat lebih dari kata- kata pada kolom. Popularitasnya tidak bisa terbayangkan tanpa mempertimbangkan foto- foto, ilustrasi, dan iklan- iklan yang muncul hampir setiap halaman. Tidak diragukan lagi, karya yang paling berpengaruh perihal budaya pop visual dalam studi budaya adalah karya fundamental teoretikus budaya perancis Roland barthes.

Tujuan Barthes adalah mengeksplisitkan apa yang sering kali tetap implisit dalam berbagai teks dan praktik budaya pop. Karya barthes mengenai budaya pop menaruh perhatian pada proses pemaknaan suatu cara yang dengan itu makna- makna dihasilkan dan disirkulasikan. Barthes (1973) menyatakan bahwa pada level pemaknaan sekunder itu dihasikan dan tersedia bagi konsumsi. Barthes memaksudkan ideologi yang dipahami sebagai sekumpulan gagasan dan praktik yang mempertahankan dan secara aktif mempromosikan berbagai nilai dan kepentingan kelompok dominan dalam masyarakat. Sekali lagi menurut Barthes, ‘ semiologi telah mengajarkan kepada kita bahwa mitos punya tugas memberikan pengabsahan alamiah pada tujuan historis, dan membuat hal- hal yang kebetulan tampak pribadi. Mitos ditentukan oelh hilangnya sifat hsitoris benda- benda.’

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Televisi dan media masa merupakan hal yang sangat urgen di era globalisasi sekarang ini. Dengan adanya keduanya maka berita yang berada di seluruh penjuru dunia dapat kita nikmati setiap hari. Namun, dari adanya televisi dan media masa terkadang timbul hal yang negatif dari pada hal yang positif, sehingga terkadang muncul asumsi bahwa televisi membuat orang malas, serta berita- beritanya kurang dapat dipertanggungjawabkan. Menurut penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat bahwa rata- rata orang menghabiskan waktunya lebih dari tujuh tahun untuk menonton acara televisi. Dari hal tersebut, sungguh sangat riskan bahwa televisi membawa dampak yang luar biasa terhadap seseorang.

Sejak televisi sebagai budaya pop maka televisi menjadi aktivitas paling populer di dunia. Dan media masa menajdi yang nomor dua yang menjadi budaya pop, sebab bila melalui televisi seseorang pasti akan terlebih dahulu menjadi hal yang utama dalam memperoleh informasi.

B. Rumusan Masalah
Bagaimana televisi menjadi budaya pop masa kini?
Bagaiman Pers populer sebagai budaya pop?

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Televisi adalah bentuk budayan pop paling akhir abad 20. Tidak diragukan lagi televise merupakan aktivitas waktu luang paling popular di dunia. Di seluruh dunia ini aka nada 3,5 milyar jam dihabiskan untuk menonton televisi (Kubeyn dan Csikzentmihalyi 1990:1). Dalam model televisual dari Hall, sirkulasi makna dalam wacana televisual melewati tiga momenyang berbeda, masing-masing memiliki kondisi eksistensi dan modalitasnya yang spesifik. Pertama, para professional media memaknai wacana televisual dengan suatu laporan khusus merekatentang, misalnya sebuah peristiwa sosial yang mentah. Pada momen dalam sirkuit ini serangkaian cara melihat dunia(ideologi-ideologi) berada dalam kekuasaan.

Pada moment kedua, segara sesudah makna dan pesan berada pada wacana yang bermakna, yakni segera sesudah makna dan pesan itu mengambil bentuk wacana televisual, aturan formal bahasa dan wacana bebas dikendalikan, suatu pesan kini terbuka, misalnya bagi permainan polisemi.

Pada momen yang kitiga, momen decoding yang dilakukan oleh khalayak, serangkaian cara lain untuk melihat dunia (ideologi) bisa dengan bebas dilakukan. Seorang khalayak tidak dihadapkan pada peristiwa sosial mentah melainkan dengan terjemahan diskursif dari suatu peristiwa. Jika peristiwa itu bermakna bagi khalayak pastilah peristiwa itu menyertakan interpretasi dan pemahaman terhadap wacana. Jika tidak ada makna yang diambil maka boleh jadi tidak ada konsumsi.

Pendekatan John fIske terhadap pers populer ditempatkan dalam pernyataan umum bahwa budaya pop itu secara potensial, dan kerap secara aktual, progresif. Ia menjelaskan perbedaan antara progresif dan radikal sebagai berikut: teks populer boleh bersifat progresif lantaran teks- teks itu bisa mendorong produksi makna yang bekerja untuk mengubah atau mendestabilisasi tatanan sosial.

Fiske membedakan pers populer di satu sisi, dan pers pemerintah disisi lain, dan pers alternatif. Pers populer, sebagaimana ia catat, dipandang rendah oleh dua pers lainnya. Menurut Fiske pers populer beroperasi pada garis batas antara yang publik dan yang privat, gayanya sensasional, terkadang skeptis, tidak jarang bersungguh- sungguh secara moralistis, ungkapannya populis, kelonggaran bentuknya menampik perbedaan stalistik antara fiksi dan dokumenter, antara berita dan hiburan.

DAFTAR PUSTAKA

Storey, John. 2008. Culture Studies dan Kajian Budaya Pop. Yogyakarta: Jalasutra.(sumber)

0 comments:

Posting Komentar