Jumat, 09 Maret 2012

Kimia Kebahagiaan Al-Ghazali: Tentang Musik dan Tari

Hati manusia diciptakan oleh Yang Maha Kuasa bagai sebuah batu api. Ia mengandung api tersembunyi yang terpijar oleh musik dan harmoni serta menawarkan kegairahan bagi orang lain, di samping dirinya.

Harmoni-harmoni ini adalah gema dunia keindahan yang lebih tinggi, yang kita sebut dunia ruh. Ia mengingatkan manusia akan hubungannya dengan dunia tersebut, dan membangkitkan emosi yang sedemikian dalam dan asing dalam dirinya, sehingga ia sendiri tak berdaya untuk menerangkannya.

Pengaruh musik dan tarian amat dalam, menyalakan cinta yang telah tidur di dalam hati—cinta yang bersifat keduniaan dan inderawi, ataupun yang bersifat ketuhanan dan ruhaniah.

Sesuai dengan itu, terjadi perdebatan di kalangan ahli teologi mengenai halal dan haramnya musik dan tarian dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Suatu sekte, Zhahariah, berpendapat bahwa Allah sama sekali tak dapat dibandingkan dengan manusia, seraya menolak kemungkinan bahwa manusia bisa benar-benar merasakan cinta kepada Allah.

Mereka mengatakan manusia hanya bisa mencinta sesuatu yang termasuk dalam spesiesnya. Jika ia "benar-benar" merasakan sesuatu yang ia pikir sebagai cinta kepada Sang Khalik. Kata mereka, hal itu tak lebih daripada sekadar proyeksi belaka, atau bayang-bayang yang diciptakan oleh khayalannya, atau suatu pantulan cinta kepada sesama mahluk.

Musik dan tarian, menurut mereka, hanya berurusan dengan cinta kepada makhluk, dan karenanya haram dalam kegiatan keagamaan. Jika kita tanya mereka, apakah arti "cinta kepada Allah" yang diperintahkan oleh syariat, mereka menjawab bahwa hal itu berarti ketaatan dan ibadah.

Kesalahan ini akan kita sanggah pada bab yang akan membahas kecintaan kepada Allah. Saat ini, baiklah kita puaskan diri kita dengan berkata bahwa musik dan tari tidak memberikan sesuatu yang sebelumnya tidak ada di dalam hati, tapi hanyalah membangunkan emosi yang tertidur.

Oleh karena itu, menyimpan cinta kepada Allah di dalam hati yang diperintahkan oleh syariat itu sama sekali dibolehkan. Malah ikut serta dalam kegiatan-kegiatan yang memperbesarnya patut dipuji. Di pihak lain, jika hatinya penuh dengan nafsu inderawi, musik dan tarian hanya akan menambahnya; karena itu terlarang baginya.

Sementara itu, jika mendengarkan musik hanyalah sebagai hiburan belaka, maka hukumnya mubah. Karena sekadar kenyataan bahwa musik itu menyenangkan tidak lantas membuatnya haram, sebagaimana mendengarkan seekor burung berbunyi; atau melihat rumput hijau dan air mengalir tidak diharamkan.
Watak tak-berdosa dari musik dan tarian yang diperlakukan sekadar sebagai hiburan, juga dibenarkan oleh hadits shahih yang kita terima dari Siti Aisyah yang meriwayatkan:

Pada suatu hari raya, beberapa orang Habsyi menari di masjid. Nabi berkata kepadaku, "Inginkah engkau melihatnya?" Aku jawab, "Ya." Lantas aku diangkatnya dengan tangannya sendiri yang dirahmati, dan aku menikmati pertunjukan itu sedemikian lama, sehingga lebih dari sekali beliau berkata, "Belum cukupkah?"

Hadits lain dari Siti Aisyah... "Pada suatu hari raya, dua orang gadis datang ke rumahku dan mulai bernyanyi dan menari. Nabi masuk dan berbaring di sofa sambil memalingkan mukanya. Tiba-tiba Abu Bakar masuk dan melihat gadis-gadis itu bermain, dia berseru, "Hah! Seruling setan di rumah Nabi!" Nabi menoleh karenanya dan berkata, "Biarkan mereka, Abu Bakar. Hari ini adalah hari raya."

Terlepas dari kasus-kasus yang melibatkan musik dan tarian yang membangunkan nafsu-nafsu setan yang telah tidur di dalam hati, kita dapati adanya kasus-kasus yang menunjukkan mereka sama sekali halal. Misalnya nyanyian orang-orang yang sedang menjalankan ibadah haji yang merayakan keagungan Baitullah di Makkah, yang dengan demikian mendorong orang lain untuk pergi haji, dan musik yang membangkitkan semangat perang di dada para pendengarnya dan memberikan mereka semangat untuk memerangi orang-orang kafir.

Demikian pula, musik-musik sendu yang membangkitkan kesedihan karena telah berbuat dosa dan kegagalan dalam kehidupan keagamaan juga diperbolehkan: misalnya musik Nabi Daud, nyanyian penguburan yang menambah kesedihan karena kematian tidak diperbolehkan, karena tertulis dalam Alquran, "Jangan bersedih atas apa yang hilang darimu." Di pihak lain, musik-musik gembira di pesta-pesta, seperti perkawinan dan khitanan atau kembali dari perjalanan, hukumnya halal.

Sekarang kita sampai pada penggunaan musik dan tarian yang sepenuhnya bersifat keagamaan. Para sufi memanfaatkan musik untuk membangkitkan cinta yang lebih besar kepada Allah dalam diri mereka, dan dengannya mereka seringkali mendapatkan penglihatan dan kegairanan ruhani.

Dalam keadaan ini hati mereka menjadi sebersih perak yang dibakar dalam tungku, dan mencapai suatu tingkat kesucian yang tak akan pernah bisa dicapai oleh sekadar hidup prihatin, walau seberat apapun. Para sufi itu kemudian menjadi sedemikian sadar akan hubungannya dengan dunia rohani, sehingga mereka kehilangan segenap perhatiannya akan dunia ini dan kerapkali kehilangan kesadaran inderawinya.
Beberapa orang sufi telah dapat melihat dunia dan neraka yang tak kasat mata, diungkapkan kepada mereka pada saat-saat mereka berada dalam keadan kerasukan (trance) seperti mati.

Pada saat pulihnya kesadaran, muka-muka mereka menggambarkan sifat ungkapan-ungkapan yang telah mereka terima dengan tanda-tanda kegembiraan yang luar biasa ataupun kepanikan.

Tapi tidak perlu lagi visi untuk membuktikan kepada manusia-manusia yang berpikir apa-apa yang akan terjadi. Yaitu ketika kematian telah mencabut indera-inderanya dan meninggalkannya tanpa sesuatu apa pun kecuali kepribadian telanjangnya, jika ketika di atas bumi ia terlalu asyik menyibukkan dirinya dengan benda-benda cerapan indera—seperti istri, anak, kekayaan, tanah, budak laki-laki dan perempuan dan sebagainya—ia akan menderita ketika kehilangan benda-benda ini.

Sebaliknya, jika ia telah membalikkan punggung sejauh-jauhnya dari semua benda-benda duniawi dan meneguhkan kasih sayangnya yang amat besar terhadap Allah, ia akan menyambut kematian sebagai suatu sarana untuk melarikan diri dari kerepotan-kerepotan duniawi dan bergabung dengan Ia yang dicintainya.

Dalam kasus ini, sabda Rasul akan akan terbukti, "Kematian adalah jembatan yang menyatukan sahabat dengan sahabat", "Dunia ini surga bagi orang kafir, dan penjara bagi orang-orang mukmin."

Di pihak lain, semua derita yang ditanggung oleh jiwa setelah mati bersumber pada cinta yang berlebih-lebihan terhadap dunia. Rasulullah bersabda bahwa semua orang kafir setelah mati akan disiksa oleh 99 ular, masing-masing memiliki sembilan kepala.

Beberapa orang yang berpikiran sederhana telah memeriksa kuburan orang-orang kafir ini dan bertanya-tanya mengapa mereka tak bisa melihat ular-ular ini. Mereka tidak paham bahwa ular-ular ini bersemayam di dalam ruh orang-orang kafir itu dan bahwa kesemuanya itu sudah ada di dalam diri orang-orang kafir tersebut, bahkan sebelum ia mati.

Karena semuanya itu sesungguhnya adalah simbol-simbol sifat jahatnya, seperti cemburu, kebencian, kemunafikan, kesombongan, kelicikan dan lain sebagainya. Sifat-sifat itu semuanya bersumber, secara langsung maupun tidak, pada kecintaan terhadap dunia ini. Itulah neraka yang disediakan bagi orang-orang yang di dalam Alquran dikatakan, "Meneguhkan hati mereka pada dunia ini lebih daripada akhirat."

Jika ular-ular itu sekadar bersifat eksternal belaka, mereka akan bisa berharap untuk melarikan diri dari siksanya, meskipun hanya untuk sesaat saja. Tetapi jika semuanya itu sudah menjadi sifat-sifat bawaan mereka, bagaimana mereka bisa melarikan diri?

Ambillah contoh kasus seseorang yang menjual seorang budak perempuan tanpa tahu seberapa jauh ia telah terikat dengannya sampai ketika perempuan itu telah sama sekali berada di luar jangkauannya. Kemudian kecintaan pada budak itu, yang selama ini tertidur, bangun di dalam dirinya dengan suatu intensitas yang menyiksanya, menyengatnya seperti ular. Ia bisa gila karenanya, mencampakkan dirinya ke dalam api atau air untuk melarikan diri darinya.
Meskipun demikian, orang-orang yang mendengar syair sufi berada dalam bahaya dikutuk, jika ia menerapkan syair-syair yang didengarnya itu untuk Allah.

Misalnya, ketika ia dengar syair seperti "Engkau berubah dari kecenderungan semulamu," ia tak boleh menerapkannya untuk Allah—yang tak boleh berubah—melainkan untuk dirinya dan ragam suasana hatinya sendiri.

Allah bagaikan mentari yang selalu bersinar, tetapi bagi kita kadang-kadang cahaya-Nya terhalang oleh beberapa obyek yang ada di antara kita dan Dia.

Diriwayatkan bahwa beberapa ahli mencapai tingkat ekstase sedemikian rupa sehingga diri mereka hilang dalam Allah. Demikian halnya dengan Syekh Abul-Hasan Nuri yang ketika mendengar seuntai syair tertentu, terjatuh dalam keadaan ekstase dan menerobos ke dalam ladang yang penuh dengan batang-batang tebu yang baru dipotong, berlari kian-kemari sampai kakinya berdarah penuh luka dan akhirnya mati tak lama sesudah itu.

Dalam kasus-kasus semacam itu, beberapa orang berpendapat bahwa Tuhan telah benar-benar turun ke dalam manusia, tapi ini adalah kesalahan yang sama besar dengan yang dilakukan oleh seseorang yang ketika pertama kali melihat bayangannya di cermin, berpendapat bahwa ia telah tersatukan dengan cermin itu, atau bahwa warna-warni merah-putih yang dipantulkan oleh cermin adalah sifat-sifat bawaan cermin itu.

Keadaan-keadaan ekstase yang dialami para sufi beragam, sesuai dengan emosi-emosi yang dominan di dalamnya, yakni cinta, ketakutan, nafsu, tobat dan sebagainya. Keadaan-keadaan ini, sebagaimana kita sebut di atas, dicapai seringkali tidak hanya sebagai hasil mendengarkan ayat-ayat Alquran, tetapi juga syair yang merangsang. Sementara orang keberatan terhadap pembacaan syair, sebagaimana juga Alquran, pada kesempatan-kesempatan seperti itu.

Tapi mesti diingat bahwa tidak seluruh ayat Alquran dimaksudkan untuk membangkitkan emosi seperti misalnya, perintah bahwa seorang laki-laki mesti mewariskan seperenam hartanya untuk ibunya dan sebagainya untuk saudara perempuannya, atau bahwa seorang wanita yang ditinggal mati suaminya mesti menunggu empat bulan sebelum boleh menikah lagi dengan orang lain. Sangat sedikit orang dan hanya yang sangat peka sajalah yang bisa tercebur ke dalam ekstase keagamaan oleh ayat-ayat seperti itu.
Alasan lain yang membenarkan penggunaan syair, juga ayat-ayat Alquran, dalam kesempatan-kesempatan seperti ini adalah bahwa orang-orang telah sedemikian akrab dengan Alquran, banyak di antaranya bahkan telah menghafalnya, sehingga pengaruh pembacannya telah sedemikian ditumpulkan oleh perulangan yang berkali-kali.

Seseorang tidak bisa selalu mengutip ayat-ayat Alquran baru sebagaimana yang bisa dilakukan dengan syair. Suatu kali ketika beberapa orang Arab Badul mendengarkan Alquran untuk pertama kalinya dan menjadi sangat tergerak olehnya.

Abu Bakar berkata kepada mereka, "Kami dulu pernah seperti kamu, tetapi sekarang hati kami telah mengeras." Berarti Alquran telah kehilangan sebagian pengaruhnya atas orang-orang yang akrab dengannya.

Dengan alasan yang sama, Khalifah Umar biasa memerintahkan para peziarah haji ke Makkah agar segera meninggalkan tempat itu secepatnya. "Karena saya khawatir, jika kalian menjadi terlalu akrab dengan Kota Suci itu, ketakjuban kalian terhadapnya akan sirna dari hati-hati kalian," kata Umar.

Ada pula penggunaan nyanyian dan peralatan musik—seperti seruling dan gendang—secara tak berbobot dan sembrono, paling tidak di mata masyarakat awam. Keagungan Alquran tak pantas, meskipun sementara, dikaitkan dengan hal-hal seperti ini.

Diriwayatkan bahwa sekali waktu Nabi SAW memasuki rumah Rai'ah putri Mu'adz. Beberapa orang gadis penyanyi yang ada di sana secara tiba-tiba mulai mengalunkan nyanyiannya untuk menghormati beliau.

Nabi SAW dengan segera meminta mereka untuk berhenti, karena puji-pujian bagi Nabi adalah tema yang terlalu sakral untuk diperlakukan demikian. Akan timbul pula bahaya jika ayat-ayat Alquran dipergunakan secara khusus, sehingga pendengar-pendengarnya akan mengaitkannya dengan penafsiran mereka sendiri, dan hal ini terlarang.

Di pihak lain, tak ada bahaya yang mungkin timbul dalam menafsirkan baris-baris syair dengan berbagai cara, karena memang makna yang diberikan seseorang atas suatu syair tak harus sama dengan yang diberikan oleh penulisnya.
Bentuk lain dari tarian-tarian mistik ini adalah dengan melukai diri sendiri sembari mengoyak-ngoyakkan pakaian.

Jika hal ini adalah hasil dari suatu keadaan ekstase murni, maka tak ada sesuatu yang bisa dikatakan untuk menentangnya. Tapi jika hal ini dilakukan oleh orang-orang yang sok disebut "ahli", maka hal ini adalah suatu kemunafikan belaka.

Dalam setiap hal, orang yang paling ahli adalah yang mampu mengendalikan dirinya, hingga ia benar-benar berasa wajib untuk memberikan penyaluran kepada perasaan-perasannya.

Diriwayatkan bahwa seorang murid Syekh Junaid, ketika mendengar sebuah nyanyian pada suatu pertemuan para sufi, tak bisa menahan diri sehingga mulai memekik dalam keadaan ekstase. Junaid berkata kepadanya, "Jika kau lakukan hal itu sekali lagi, jangan tinggal bersamaku lagi!"

Setelah kejadian itu, sang anak muda berusaha untuk menahan dirinya. Tapi pada akhirnya, pada suatu hari emosinya sedemikian kuat terbangkitkan. Sehingga setelah sedemikan lama dan sedemikian kuat tertekan, ia melontarkan pekikan dan kemudian mati.

Kesimpulannya, dalam menyelenggarakan pertemuan-pertemuan semacam itu, perhatian mesti diberikan kepada tempat dan waktu, dan bahwa tidak ada pemirsa dengan niat yang tak patut ikut hadir di dalamnya. Orang-orang yang ikut serta di dalamnya mesti duduk berdiam diri, tidak saling melihat, menundukkan kepala—sebagaimana dalam shalat—dan memusatkan pikiran mereka kepada Allah.

Setiap orang mesti waspada terhadap segala sesuatu yang mungkin terilhamkan ke dalam hatinya, dan tidak melakukan gerakan-gerakan apa pun yang bersumber dari rangsangan sadar-diri belaka. Tetapi jika ada seseorang di antara mereka yang bangkit dalam keadaan ekstase murni, maka segenap orang yang hadir mesti bangkit pula bersamanya. Dan jika ada sorban seseorang yang tanggal, maka orang lain pun mesti meletakkan sorbannya.

Meskipun hal ini merupakan hal baru dalam Islam dan tidak diterima dari para sahabat, mesti kita ingat bahwa tidak semua hal itu terlarang, melainkan hanya yang secara langsung bertentangan dengan syariat. Misalnya, shalat tarawih. Shalat ini dilembagakan pertama kali oleh Khalifah Umar.

Nabi saw bersabda, "Hiduplah dengan setiap orang sesuai dengan kebiasaan dan wataknya." Oleh karena itu, kita dibenarkan untuk mengerjakan hal-hal tertentu demi menyenangkan orang, jika sikap tidak-berkompromi akan menyakitkan hati mereka.

Memang benar bahwa para sahabat tidak mempunyai kebiasaan untuk berdiri ketika Nabi SAW masuk, karena mereka tidak menyukai praktik ini, tetapi di daerah-daerah yang mempunyai kebiasaan seperti ini, dan tidak melakukannya akan bisa menimbulkan rasa tidak senang, lebih baik berkompromi dengannya. Orang-orang Arab punya kebiasaan sendiri, orang-orang Persia pun demikian, dan Allah tahu mana yang paling baik.
Tetapi jika ia berkata bahwa kehidupan masa depan adalah suatu kebolehjadian, hanya bahwa doktrin itu penuh mengandung keraguan dan misteri. Sehingga tidak mungkin untuk bisa memutuskan benarkah hal itu atau tidak, maka seseorang bisa berkata kepadanya, "Jika demikian, sebaiknya anda selesaikan baik-baik keraguan itu."

Misalkan anda sedang akan makan makanan, kemudian seseorang mengatakan kepada anda bahwa seekor ular telah meludahkan bisa ke dalamnya, maka mungkin sekali anda akan menahan diri dan lebih baik menahan kepedihan rasa lapar daripada memakannya. Meskipun orang yang memberi informasi pada anda mungkin hanya bercanda atau berbohong belaka.

Atau misalkan anda sedang sakit dan seorang penulis syair berkata, "Beri saya satu dirham dan saya akan menulis sebuah puisi yang bisa kauikatkan di lehermu, yang akan menyembuhkannya dari sakit." Anda boleh jadi akan memberikan dirham yang dimintanya dengan harapan bisa mendapatkan manfaat jimat itu.

Atau jika seorang peramal berkata, "Pada saat bulan telah sampai ke suatu bentuk tertentu, minumlah obat ini dan itu dan engkau pun akan sembuh." Meskipun mungkin anda tidak terlalu percaya pada astrologi, kemungkinan besar anda akan mencoba juga pengalaman itu dengan harapan bahwa orang itu benar.

Tidakkah anda berpikir bahwa kebenaran yang bisa dipercaya juga terdapat dalam kata-kata nabi, para wali dan orang-orang suci, yang menyakinkan orang akan adanya kehidupan mendatang, sebagaimana janji seorang penulis jampi-jampi atau seorang peramal. Orang berani melakukan perjalanan lewat laut yang penuh resiko demi mengharap suatu keuntungan, maka tidak maukah anda menanggung sedikit penderitaan di masa sekarang demi kebahagiaan abadi di akhirat?

Sayyidina Ali Zainal Abidin (Putra Hussein bin Ali bin Abi Thalib, cucu Rasulullah SAW) ketika berdebat dengan seorang kafir pernah berkata, "Jika anda benar, maka tidak seorang pun di antara kita yang akan menderita keadaan yang lebih buruk di masa depan. Tetapi jika kami yang benar, maka kami akan terhindar dan anda akan menderita."

Hal ini dikatakannya bukan karena ia sendiri berada dalam keraguan, tetapi hanya demi menciptakan suatu kesan bagi orang kafir itu. Berdasarkan semua pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa urusan utama manusia di dunia ini adalah untuk mempersiapkan diri bagi dunia yang akan datang.

Sekalipun jika ia ragu-ragu tentang kemaujudan masa depan, nalar mengajarkan bahwa ia harus bertindak seakan-akan hal itu ada dengan mempertimbangkan akibat luar biasa yang mungkin terjadi. Keselamatan atas orang-orang yang mengikuti ajaran-ajaran Allah.
sumber: Republika.co.id (Kimyatusy Sya'adah (The Alchemy of Happiness) Al-Ghazali, terjemahan Haidar Bagir)

0 comments:

Posting Komentar