Pesta pernikahan ini selesai. Dengan malas aku menghapus sisa-sisa make up dan melepas gaun biru mudaku. Kutatap bayanganku di cermin, terpantul sesosok perempuan putus asa.
Aku menarik napas dalam-dalam, sandiwaraku tadi cukup baik. Senyumku mengembang sepanjang acara. Tak ada gurat kekecewaan, apalagi ketidaksetujuan akan pernikahan itu. Aku berdiri sempurna di tengah–tengah kerumunan undangan. Sesekali tertawa kecil, sesekali menyapa para undangan dengan hangat. Bahkan, saat pengantin pria menghampiriku, aku dengan santai bicara dengannya. Tak ada luka itu, entah bersembunyi di mana.
Malam ini, semua selesai. Aku bersedia ’berpesta’ dengannya, dengan imbalan beberapa juta rupiah. Menangis menyesali segalanya, tak ada gunanya. Kepalaku telah mengangguk setuju kala ia ajukan tawaran itu. Cinta adalah anugerah bagiku, namun anugerah itu kali ini pada akhirnya menyakitiku.
“Terima kasih untuk penampilanmu yang sangat mengagumkan dan cantik. Kau berlakon sempurna tadi,” suara baritonnya membuyarkan renunganku.
Aku tersenyum tipis. “Bukankah kita sudah menyetujui akan menyelesaikan ’pesta’ ini dengan sempurna, hingga kita berdua tidak akan melupakan malam ini?” jawabku, sedikit sinis.
Dia mencoba membantu merapikan sisa peralatan riasku. Kutampik lembut tangannya, tapi dia malah menarikku dalam pelukannya. Dia cium lembut keningku. Selembut saat pertama ia minta izin menciumku.
“Terima kasih atas semuanya. Kalau hari ini semuanya akhirnya harus terjadi, bukan karena Bli Gus mau, tapi Bli Gus harus,” dia mengulang kalimat itu lagi. Kalimat yang terlalu sering kudengar belakangan ini.
Perutku mual. Bukan saja karena kecupannya, yang pasti akan membuatku makin sulit melupakan malam ini, tapi karena kalimat itu. Yah, semuanya memang seharusnya begini. Dia sudah mengatur semuanya, dan seperti inilah baginya yang terbaik.
“Uangnya kapan Bli Gus mau transfer?” tanyaku, sambil melepaskan diri darinya. Sedikit takut–takut aku melihat ke arah pintu, cemas kalau-kalau seseorang melihat apa yang kami lakukan barusan.
“Besok. Kamu cek besok, ya. Semoga uang itu cukup,” harapnya, terlihat tulus.
Aku tersenyum sinis, tiba–tiba luka itu muncul. Sadarkah lelaki ini bahwa tak akan pernah ada nilai yang cukup untuk membayar semua yang sudah dia lakukan? Tidak akan pernah ada jumlah nominal sempurna untuk penampilanku malam ini. Senyumku, suara ceriaku atau tawaku tak akan bisa ia bayar lunas. Jika saja kuikuti kata sahabat–sahabatku untuk tak melanjutkan tawarannya, tak akan ada malam ini. Malam ini pasti aku telah terlelap, meski sebelumnya ritual menangis tetap kulakukan.
Tapi, aku tetaplah aku, Ni Made Sekar Andini. Perempuan dari kasta sudra yang terlalu mencintai Ida Bagus Gede Mataram Diwangkara. Aku berusaha tidak mendengar saran dua sahabatku agar menolak pekerjaan malam ini. Tapi, aku mau bersamanya sekali ini di upacaranya. Melihatnya sepuasnya, sambil bersiap melupakannya kemudian.
Berhari-hari sebelum pesta malam itu.
Aku seorang mahasiswa magang pada sebuah koran ibu kota yang membuka kantor cabang di Bali. Tapi, aku juga melakoni pekerjaan sampingan sebagai MC. Berkat pekerjaan sampingan itu, kini tabunganku tak pernah kosong. Bahkan, beberapa perusahaan akhirnya mengontrakku untuk jadi MC tetap di setiap acara mereka. Aku juga telah berhasil membeli sebuah mobil mungil yang kini terparkir di garasi rumahku. Sedangkan pekerjaan sebagai karyawan magang ini, hanya untuk merampungkan tugas akhirku di kampus.
Hari itu, mobil yang kugunakan untuk liputan lapangan mogok. Padahal, janji wawancara tinggal sejam lagi, dan lokasinya masih jauh. Aku harus menunggu sepekan demi membuat janji dengan narasumber ini. Jika hari ini gagal, terbayang wajah sangar redaktur pelaksanaku. “Owww, tidak boleh,” kataku, membatin. Kutinggalkan sopir kantor untuk mengecek kondisi mobil. Aku berusaha mencari taksi, sampai tiba–tiba suara itu menyapaku.
“Hei, ngapain bengong di pinggir jalan?” tanyanya. Dia melambai–lambaikan tangannya di depannya. “Kamu Sekar Andini, ’kan?” tanyanya lagi.
“Ni Made Sekar Andini,” jelasku.
“Oh, kamu gadis Bali, toh. Maaf, habis biasanya kalau kamu ngemsi cuma dengan nama Sekar Andini saja, ’kan?”
“Heh? Apa kita pernah bertemu sebelum ini?”
Dia tertawa sesaat. “Kamu MC saat opening showroom saya bulan lalu. Kita tidak sempat bertemu saat itu. Tapi, saya mengikuti acara dari awal hingga akhir. Saya puas dengan kerja kamu, dan sudah saya katakan pada Pak Kadek untuk pakai kamu saja di event kami lainnya.”
Dia menggeser sedikit berdirinya mendekatiku. Ia berusaha agar aku melihat wajahnya, mungkin berharap aku sedikit membuka ingatanku tentangnya. Tapi sia–sia, tak sedikit pun aku menemukan sisa ingatan tentang pertemuan kami sebelum hari ini.
Lalu, refleks aku melihat ke arah sepuluh jari tangannya, bersih. Tidak ada benda bundar melingkar pada salah satu jarinya. Diam–diam hatiku bersorak. Secepat itu ketertarikan padanya datang.
“Heiii, bengong lagi. Kamu mau ke mana? Sopirmu sepertinya butuh waktu lama memperbaiki mobil kalian. Bagaimana kalau kamu ikut saya. Hari ini saya punya waktu untuk mengantar kamu.” Matanya berbinar, seperti anak kecil meminta ibunya untuk membelikan mainan baru.
“Ayolah, jangan pikir macam–macam, anggaplah sebagai salam perkenalan dari partner bisnis,” dia mengulang lagi tawarannya, meyakinkanku.
“Ehh, iya, anu, maksud saya, saya akan wawancara hari ini. Di daerah Kuta. Ya, ini wawancara penting, narasumbernya sulit saya temui.” Aku mengutuk diriku mengapa begitu gelagapan menjawabnya.
Dia tersenyum lagi. “Kalau begitu, ayolah, saya antar. Asalkan setelah wawancara, kamu traktir saya kopi, ya,” selorohnya.
Dan dia benar–benar menemaniku. Setelah aku merampungkan sesi wawancara, kami berjalan menyusuri pantai. Sesekali ia menarikku menjauh dari ombak. Ada desir yang tak biasa memenuhi dadaku. Bersamaan dengan itu, aku merasa ada ribuan kunang-kunang seolah menggelitiki perutku.
Ah, aku teringat lagi saat perkenalan tadi. Aku menyebut namaku dengan Ni Made di depannya, sedangkan dia ada embel–embel Ida Bagus menyertainya. Bentangan kasta itu. Bukankah aku pernah berjanji tidak akan bercinta dengan lelaki berkasta brahmana?
Hari–hari setelahnya aku makin tak bisa menghindari karismanya. Terlebih saat tanpa sengaja, ketika kami berjalan bersama, aku berjumpa dengan kakakku. Mereka berangkulan erat sekali. Mereka sahabat semasa SMA.
Setahun setelahnya, aku dikontrak eksklusif olehnya. Dia membuka showroom mobil baru, meski tidak sebesar yang sebelumnya. Kebersamaan kami terus bergulir, sampai aku menyelesaikan magangku di koran itu.
Saat aku sibuk menyusun skripsi, dia juga yang sibuk–sibuk mengantarku ke sana kemari. Membantu mengumpulkan bahan pelengkap skripsiku dan sebagainya. Ketika nilai A kudapat, dia tersenyum bangga. Saat aku melangkah di ballroom hotel dengan jubah dan toga wisudaku, dia menatapku tak berkedip, tentu tak lupa menjepret beberapa kali dengan kamera antiknya. Kami juga berfoto bersama setelahnya.
Bli Gus Taram, aku memanggilnya. Rasa yang kunamakan cinta itu datang tanpa bisa kucegah. Meski aku tahu, cinta kami akan sulit. Tapi, aku tak berdaya, meski aku sadar, aku hanya Ni Made Sekar Andini, seorang gadis Bali biasa, walau dari keluarga yang berkecukupan dan cukup terpandang di masyarakat. Sedangkan dia, lelaki berkasta, anak lelaki satu–satunya. Aku sangat menyadarinya. Maka, dengan susah payah aku coba ingkari rasa itu. Sejak itu, aku mengklaim cinta ini bukan lagi anugerah, tapi awal petaka.
“Masa iya zaman sekarang, perbedaan macam begituan masih masalah. Kalian kan seagama, cukup, tho?” cecar Nina, seorang sahabat yang berbeda suku dan agama denganku.
Aku tersenyum maklum. “Aku juga berharap semuanya sesederhana itu. Tapi, sayangnya tidak. Bagaimanapun, kami tetap dipandang berbeda, setidaknya bagi keluarganya,” aku coba menjelaskan.
“Kamu kan bisa belajar, semuanya proses,” bujuknya.
Entahlah, yang aku tahu, tidak pernah ada komitmen pada hubungan kami. Setidaknya, sampai setahun berjalan, tidak pernah Bli Gus mengakuiku sebagai pacar, saat kami bertemu seseorang yang ia kenal. Teman, hanya begitu ia memperkenalkanku. Dia juga tak sekali pun membawaku ke tengah–tengah keluarganya. Tapi, Bli Gus Taram selalu ada buatku. Kami melakukan banyak hal bersama. Kami mendatangi semua tempat yang aku atau dia sukai bersama-sama.
Hingga suatu malam. ”Apa yang kamu rasakan pada Bli Gus?” Saat itu kami sedang duduk bersisian. Melepas lelah di hamparan pasir Kuta. Matahari baru saja terbenam. Siluetnya masih sedikit tersisa.
Aku menoleh padanya, dia menatap lurus ke pantai. “Nggak tahu. Saya nyaman kalau ada Bli Gus. That’s it,” jawabku.
Kami menarik napas bersamaan. “Apa kamu mau jadi istri Bli Gus?”
Deg! Refleks aku memperbaiki duduk, kuamati lelaki itu dalam-dalam. Ya, aku mencintainya, meski masih terus kuingkari hingga detik saat kami bersama ini. Dan, apa yang dia bilang barusan, lamaran yang seriuskah itu?
Bukankah dia selalu menyebutku hanya teman pada semua orang yang kami kenal. Lalu, mana pernah tebersit dia akan melamarku saat usiaku baru menginjak 22 tahun, di saat aku tidak pernah membayangkan bagaimana jika suatu hari akan menjadi bagian dalam keluarganya.
“Woiii, bercandanya nggak lucu, ah. Bli Gus tadi salah makan apa?” tanyaku, berusaha melucu. Tapi, wajahnya justru menegang.
“Jadi?” dia meyakinkanku lagi, juga mungkin tengah meyakinkan hatinya tentang apa yang barusan ia tanyakan padaku.
Lagi–lagi aku memperbaiki posisi dudukku. Pasir pantai jadi terasa tak nyaman di tubuhku.
“Hmm, bukan begitu. Umur saya baru 22 tahun, Bli Gus. Selama ini saya nggak pernah berpikir apa yang Bli Gus katakan barusan akan saya dengar sore ini. Tapi kan, Bli Gus juga yang selalu menyebut hubungan antara kita hanya teman…,” aku menggantung kalimatku.
“Apakah status di depan orang–orang sangat penting untuk kamu? Umurku 29 tahun, Sekar,” ia mencoba memperingatkanku, meski ia pasti sadar aku tahu itu. Aku bersamanya saat ia merayakan ulang tahunnya. Bahkan, aku yang membelikan kue bertatahkan angka itu. Jadi, mana bisa aku tak ingat usianya sudah 29 pada tahun ini.
Aku tahu dia akan bicara begitu. Beda usia kami cukup jauh, 7 tahun. Namun, bentangan kasta yang lebih memberatkanku. Aku terlampau naïf, jika terus–menerus mengingkari kasta bukan persoalan. Karena nyatanya, dalam masyarakat kami hal itu sangat penting. Terutama bagi keluarganya.
Aku merasa terlalu muda menjadi istrinya. Terlebih kultur keluargaku dengannya sangat berbeda jauh. Aku besar dalam lingkungan moderat. Bahkan, aku tak fasih berbahasa Bali, meski aku paham jika seseorang bercakap denganku menggunakan bahasa itu. Aku juga tak terlalu hobi mengunjungi pura. Aku sangat tidak Hindu. Aku sering bilang, aku terperangkap pada tubuh ini tanpa bisa memilih mau jadi manusia macam apa.
Sedangkan dia, seorang Hindu yang taat. Dia hampir hafal hari–hari piodalan di semua pura Bali. Bahkan, dia bisa berhitung jatuhnya piodalan berikutnya. Berbahasa Bali, dia jagonya. Dia seorang lelaki berkasta yang patuh pada ajaran tradisinya. Aku sering menduga, jangan–jangan ia peninggalan purbakala. Hmm....
Aku tepekur menatapnya. Tak ingin kehilangan dia sebagai ‘teman’, tapi aku juga yakin tak mungkin akan bisa mendampinginya. Bisa kubayangkan bagaimana komunitasnya akan mencemooh Bli Gus, jika dia meminangku. Aku hanyalah kaum sudra yang sama sekali tak paham soal agama dan tradisi. Lalu, bagaimana mungkin aku tiba–tiba menjadi seorang istri dari Ida Bagus Gede Mataram Diwangkara ini.
Dia meraihku dalam pelukannya. Ada semburat aneh dari air mukanya. Aku merasakan lagi kunang–kunang menggelinjang di perutku. Kali ini membuatku sangat mual dan gelisah. Pelukannya kurasakan tak lagi nyaman.
Sejak malam itu, seperti yang kuduga, hubungan kami menjauh. Dia lebih sering menjadi lelaki yang tak aku kenal. Dia jadi mempersoalkan ketidakbiasaanku mengucapkan salam saat mengangkat teleponnya. Dia meributkan hal–hal yang sejak dulu memang tak kusukai. Inikah wajah aslinya, yang tak ia perlihatkan selama kami bersama. Atau, ia sedang mencari–cari kegusaranku, sampai aku sendiri yang memutuskan menghindarinya.
Sampai ia tiba–tiba menghilang, setelah malam sebelumnya kami nonton film Ungu Violet di rumahnya. Tidak ada salam perpisahan, apalagi pesan terakhir. Dia hilang bukan hanya dari hidupku. Ia juga meninggalkan perusahaannya. Karyawannya sibuk menghubungiku. Aku makin panik. Aku nyaris sakit jiwa. Tiap pagi kuteliti berita penemuan mayat di koran. Aku terjaga, kalau–kalau mayat itu berwajah yang aku kenali, dia. Aku menangis putus asa dalam doa–doa malamku. Entah berapa kali aku mengucapkan nama itu. Jika saja Tuhan bisa kudengar suaranya, mungkin telah lama ia berteriak bosan akan doaku yang selalu sama setiap malam.
Sebulan, dua bulan, hingga enam bulan. Dia tidak juga datang. Aku membersihkan rumahnya setiap akhir minggu. Aku pastikan rumah itu harus bersih, kalau–kalau ia pulang. Selalu setelahnya, aku menunggu di pintu menatap penuh asa, berharap ia muncul dari gerbang itu. Nyatanya tak pernah ada yang mendatangi rumah ini, selain aku.
“Aku tidak mencintainya, aku hanya telanjur terbiasa akan kehadirannya,” begitu ulangku, membatin.
Pengingkaran itu tidak membuatku membaik. Hanya makin membuatku sadar, cinta itu telah tumbuh di tempatnya dengan sangat baik. Suatu petak dalam hatiku telah penuh dan subur atasnya. Dan, tak bisa lagi aku sembunyi lari atas rasa untuknya. Tapi, ke manakah dia, seburuk itukah cintaku hingga ia harus menghilang tanpa sebuah perpisahan. Setidaknya, ia tidak meninggalkanku dalam kecemasan.
“Aku harus cari dia ke mana lagi, Tuhan.” Malam itu pertahananku bobol lagi. Kumaki–maki Tuhan karena menjauhkan kami.
“Tuhan, tidakkah kau tahu kami akan saling mencintai seperti ini sampai– sampai kau harus melahirkan kami dengan status yang berbeda?” Tak ada jawaban. Tidak malam itu, atau malam–malam setelahnya.
Pada suatu siang di bulan Desember yang hujan.
Suaraku nyaris hilang, padahal aku harus menjadi MC besok malam. Pemilik acara wanti–wanti agar jangan sampai MC perempuan digantikan. Dia mau aku yang berdiri di sana.
“Oke, ke rumah sakit, ya. Saya suntik vitamin C, lalu kamu istirahat 2–3 jam. Semoga setelahnya suara kamu membaik.” Jawaban Dokter Ari sungguh menenangkanku.
Dan, di sinilah aku siang itu. Pada sebuah bilik yang tidak terlalu luas. Penuh cat putih, dengan bau obat–obatan yang menyengat. Dokter Ari memberi isyarat agar aku menunggunya. Diam–diam kuamati dokter yang menanganiku sejak aku kecil itu, penampilannya sungguh berwibawa. Namun, entah bagaimana hingga ia belum juga beristri kala usianya kini 45 tahun.
“Bagaimana, apa kabar orang tuamu?” tanyanya, sambil membasuh tangannya dengan cairan yang berbau sedikit menyengat.
“Baik. Maaf saya mengganggu Dokter?” jawabku, dengan susah payah.
Dokter Ari mengernyitkan dahi, “Saya tidak sangka suara kamu separah itu. Jangan terlalu memforsir tenaga. Suara kamu habis begitu bukan hanya karena keseringan dipakai cuap-cuap. Kamu kurang istirahat dan terlalu banyak pikiran,” ulasnya, sambil mempersiapkan jarum suntik.
“Tiga bulan terakhir ini kamu sudah enam kali minta resep obat tidur. Tidak baik terlalu tergantung pada obat-obat seperti itu. Baiknya kamu konsultasi dengan psikolog. Saya ada kenalan,” ia menyodorkan secarik kartu nama. Kubaca sekilas, lalu kusimpan sembarang ke dalam tasku.
Dokter Ari menyelesaikan tugasnya. Rasa sakit di tenggorokanku sedikit membaik. Hujan belum juga reda. Aku duduk di sofa di lobby rumah sakit. Kuamati satu per satu pengunjung rumah sakit. Sebuah keranda melintas di hadapanku, diiringi ratapan tangis keluarganya.
Ahhh... apakah aku akan ditangisi macam itu, jika kematian itu datang suatu saat nanti. Apakah di antara mereka yang menangis itu kudapati ’brahmana’-ku yang kini menghilang. Fiuhhh, lagi–lagi aku ingat dia. Hujan memang cenderung membuat aku dilanda rasa melankolis.
Tiba–tiba bayangan itu berjalan menuju arah tempatku duduk. Sepasang manusia, aku yakin, lelaki itu kukenal. Tapi, bagaimana boleh ia menggandeng wanita lain. Ia melintasiku, menoleh dengan raut muka yang datar, meski sedikit terkejut. Aku tergagap, tak bisa menyapa sepatah kata pun. Sampai pasangan itu memasuki sebuah sedan, menjauh dan hilang di ujung tikungan.
Aku membetulkan napas. Ingin aku mengejar sisa bayangan sedan itu, namun hujan bertambah deras. Bergegas aku menuju meja informasi. “Pasangan yang barusan itu, mau apa mereka di sini?” Gadis muda penjaga meja informasi sampai setengah terkejut mendapati pertanyaanku, lebih–lebih melihat pucatnya wajahku.
“Siapa maksud Anda? Apakah Anda baik–baik saja?” tanyanya. Aku mengangguk lemah, kusebutkan nama lelakiku dengan fasih. Hatiku berdegup tak keruan menunggu gadis penjaga meja informasi itu memeriksa satu per satu file nama pasien di layar komputernya.
“Ohhh, iya ini saya temukan, Ida Bagus Gede Mataram Diwangkara. Mereka berkonsultasi ke dokter kandungan. Mereka membuat janji untuk tes pranikah.”
Seketika aku rasakan ribuan kunang–kunang tidak lagi di perutku, tapi juga di kepalaku bahkan di sekujur tubuhku. Seolah ada hantaman keras, kupegang sisi meja.
Air mata tidak tumpah lagi. Tapi, kurasakan hatiku berdarah. Setelah sejauh ini, mana bisa lagi aku mengingkari bahwa aku mencintainya. Benar–benar mencintainya. Mana bisa kuingkari semua yang baru aku dapati. Dia menghilang berbulan–bulan, tanpa sepatah pesan pun. Lalu kini tiba–tiba melintas menggandeng wanita lain, merencanakan tes pranikah pula. Ia tengah mempersiapkan hari bahagianya tanpa peduli bagaimana aku mengkhawatirkan kepergiannya.
Dia akan menikah, bukan denganku.
“Mbak, bisa tolong panggilkan saya taksi, saya tidak cukup kuat berjalan sampai di pangkalan taksi di depan,“ mohonku, pada gadis penjaga meja informasi itu.
Sepanjang jalan pikiranku kosong. Bapak tua pengemudi taksi berkali-kali menatapku iba lewat kaca spionnya. Aku biarkan jendela taksi terbuka, rintik hujan bermain–main menampar wajahku. Aku tak lagi mampu menebak, rasa macam apa yang kini terombang–ambing dalam hatiku. Buah dari penantian, doa–doa malam penuh tangisan, dan harap–harap cemasku. Aku meratap di sini, sedang dia asyik bercinta dengan wanita lain. Bersiap merayakan kebersatuan mereka.
Aku masih mencintainya, sekaligus mati–matian mengingatkan hatiku agar mulai belajar membencinya. Tidak ada kata maaf untuk sebuah pengkhianatan. Apakah ini buah atas pengingkaran yang selama ini kulakukan? Atau, ini dia lakukan karena baginya kami hanya sebatas teman. Lalu, apa artinya percakapan suatu senja yang lalu, saat ia berusaha melamarku.
Kuempaskan begitu saja tubuhku. Aku mendapati fotonya, lelaki pengkhianat itu, dan aku di sisi meja belajarku. Foto itu menghadapku. Tatapan matanya kurasakan makin menikam jantungku. Aku mulai menangis. Sekencang yang aku sanggup. Aku lempar foto kami yang diambil sesudah acara wisudaku.
“Karena aku tak terlahir dengan Ida Ayu di depan namaku, dia berpaling. Karena aku sudra, dia punya alasan untuk berkhianat….” Berkali–kali kalimat itu terulang di bawah sadarku.
Drrrttttt… drrrttttt… drrrttt... ponselku bergetar. Tertera sebuah nomor asing di ujung sana.
“Ya, siapa, nih?” tanyaku, dengan suara serak. Hening.
Hanya terdengar helaan napas berkali–kali. Aku tentu tak perlu memutar otak menebak siapa yang sedang kuajak bicara. “Apa? Bli Gus mau bicara apa? Begini cara seorang brahmana, kasta yang selalu Bli Gus banggakan bersikap? Hilang begitu saja, lalu tiba–tiba muncul dengan…,” bibirku tercekat. Napasku memburu, kurasakan emosiku memuncak di ubun–ubun.
“Maaf...,” desahnya, mengiba.
Aku terisak lagi. Aku tak peduli kalau dia pernah bilang tak menyukai wanita yang terisak bagaikan anak kecil. Aku ingin ia dengarkan nyanyian kesakitanku.
“Bli Gus sadar yang Bli Gus lakukan? Saya ikhlas kalau Bli Gus akhirnya memilih wanita lain untuk jadi istrimu. Tapi, bisakah Bli Gus bicara baik–baik. Jangan tiba–tiba menghilang, membiarkan saya terus berharap Bli Gus akan datang suatu hari dan semua kembali baik–baik saja....” Aku berusaha menata napasku.
“Bli Gus mau kamu tahu, kalau ini jadinya begini bukan karena Bli Gus mau, tapi karena Bli Gus harus. Bli Gus memilih dia, karena dia begitu mirip dengan kamu.”
Aku tertawa, seandainya dia di depanku, sudah kutampar dia. “Jangan buat alasan konyol untuk membenarkan pengkhianatan. Ayo, jujur, Bli Gus pilih dia karena dia Ida Ayu, ’kan? Iya, kan Bli Gus…!” teriakku meradang. Hilang sudah segala sopan–santun yang selalu aku berlakukan, jika bicara dengannya. Aku marah, aku sakit. Kututup sambungan telepon. Percuma bicara dengannya, kalau dia hanya akan bicara untuk membela apa yang sudah dia lakukan.
Aku telan pil–pil kecil berwarna kuning yang setahun belakangan menemani malam–malamku. Lalu kepalaku terasa memberat, aku terlelap. Aku terjaga di tengah malam, melanjutkan menangis. Pertama kalinya, aku menyesal tak terlahir dengan nama Ida Ayu di depan namaku. Jika saja Ibu menjaga kastanya, tidak menikah dengan ayahku yang seorang sudra, maka hari ini aku akan memiliki embel–embel itu di depan namaku. Bli Gus akan tetap bersamaku, melanjutkan kebersamaan yang sudah kami mainkan bersama di malam–malam yang lalu.
Ting... tong... ting... tong.... Pukul 2 dini hari. Aku merasa rindu kehidupan lamaku. Dulu aku sering kali menghabiskan malam keluar-masuk bar dengan teman–temanku. Aku bisa tertawa sepuasnya, melakukan hal–hal yang kumau tanpa berusaha menjadi wanita anggun seperti yang selalu aku coba lakukan jika Bli Gus ada bersamaku.
Kepalsuan itu akhirnya membuatku terbiasa menjadi Ni Made Sekar Andini yang berbeda. Aku meninggalkan semuanya. Tidak ada rokok. Tidak ada clubbing hingga pagi tiba. Juga tak ada lagi pekerjaan sebagai MC yang menjadikanku sebagai pusat perhatian dan berlimpah uang hanya dengan sejam atau dua jam berdiri di panggung. Aku tidak hanya kehilangan pekerjaanku, tapi juga komunitasku. Tak ada teman, apalagi sahabat. Hidupku hanya dia dan dunianya. Setahun ini, saat dia menghilang, pantaslah aku limbung. Mencoba memulai lagi semuanya dari awal, aku tak yakin sanggup.
Menjelang pukul 4 dini hari hujan turun. Sengaja aku buka lebar–lebar jendela kamar. Hujan makin deras. Aku terlelap, dia datang di mimpiku. Kurasakan sakit hatiku makin menjadi, kucoba terbangun, tapi ia menahanku tetap bersamanya. Dia tak hanya merajaiku di alam nyata, namun juga khayalku. Tuhan, tolong buat aku terbangun.
Keesokan harinya…
Kepalaku masih terasa sedikit pening dan mengantuk. Seperti biasa, efek obat tidur baru aku rasakan utuh sehari setelahnya. Pukul 11 siang, aku belum juga mandi. Bahkan belum beranjak dari ranjang. Aktivitasku hanya mengamati lalu-lalang orang–orang melalui jendela kamar yang terbuka sejak semalam. Bau basah sehabis hujan masih tercium, cuaca pun masih tetap mendung.
Titttt…titttt….drtttt…
Gea! Lagi di mana? Aku & Nina mau makan siang, gabung, yuk.
Pesan singkat dari sahabatku. Cukup lama kami tidak berkumpul. Meski dengan semangat yang belum terkumpul sempurna, kurapikan sekenanya tempat tidur sambil menjawab SMS Gea, memintanya menungguku.
Mandi.
Berdandan… Aku pilih jeans dan kaus hitam. Aku masih berkabung karena kehilangan ’brahmana-ku’ pada akhirnya.
Aku mencium pipi mereka satu per satu. Mereka tampak dewasa dengan seragamnya. Ah, seandainya kuturuti ajakan untuk bergabung bekerja bersama mereka, tentu seragam itu juga akan membalut tubuhku kini. Tapi, kata Bli Gus, wanita itu terlahir menjaga keluarga, bukan sebagai pekerja. Kali itu aku tak setuju. Aku sangat fasih bicara tentang kesetaraan gender pada tulisan– tulisanku. Tapi, saat ia mengatakan itu, aku hanya bisa menelan kata–katanya. Ahhhh....
Tidak terlalu banyak senda gurau siang itu. Kami sibuk dengan makan siang masing–masing.
“Ada apa, sih, Sekar. Kamu kenapa, kok, kelihatan nggak lepas. Apa lagi ada masalah? Ceritalah kepada kita,” bujuk Nina.
Gea beranjak dari kursinya. Tanpa meminta persetujuan kami, ia pesan tiga gelas teh lemon lengkap beserta tiga piring kecil makaroni pedas. Sambil diikuti gerak mata mereka, mengalir semua kisah yang terjadi padaku di lobby rumah sakit tempo hari. Kususut perlahan air mataku. Nyatanya ketangguhanku bobol lagi. Aku yang selalu tampil sempurna, kuat, dan mandiri di hadapan mereka, kini datang menjelma menjadi Ni Made Sekar Andini yang hancur.
Nina kehilangan kata–katanya. Ia hanya merangkulku sambil berusaha membetulkan deru napasku. “Ssstttt... sabar, ya,” hanya itu yang mampu ia ucapkan.
Gea menyeruput habis tehnya. Wajahnya tampak bingung. Tak tahu harus bagaimana berlaku padaku. Tak tahu juga mesti bicara apa. Selama ini yang ia tahu, aku yang selalu menguatkan pada tiap hal yang ia dan Nina hadapi. Aku suporter setia mereka. Aku akan datang dengan semangat dan keceriaanku, juga sedikit kebawelanku. Tapi kali itu, Gea dan Nina mendapatiku tak berdaya. Bahkan tak sanggup melanjutkan ceritaku.
“Terus apa rencanamu sekarang?” tanya Nina, saat dilihatnya aku mulai tenang. Kujawab dengan gelengan.
“Nggak bisa begini. Gus Taram kawin, ya, sudah, tapi kamu nggak boleh hancur begini. Bukannya kamu yang selalu bilang, nggak boleh kita ditindas sama laki–laki. Katamu, kita boleh cinta mampus sama mereka, tapi tidak boleh mampus gara–gara mereka. Ingat?” tutur Gea perlahan, seolah ia takut salah menasihatiku.
“Kamu cari kerja saja, ya. Biar ada kesibukan, jangan habiskan waktu di rumah melulu. Kamu cari kerja di dekat vila tempat kita kerja, ya. Jadi, jam makan siang kita bisa jalan sama–sama, pulang kantor juga bisa hang out. Mau, ya, kita bantu cari…,” kata Nina, menatapku dengan semangat. Aku mencoba mentransformasikan semangat mereka berdua, tapi hanya anggukan tak pasti yang aku berikan. Bekerja di dekat vila mereka, berarti bekerja di bidang pariwisata. Mana punya aku keahlian di situ.
“Jangan khawatir, kamu pasti bisa melewati semuanya. Pasti...,” bujuk Gea, sambil menyodorkan sepiring makaroni, seolah ia tahu kekhawatiran yang melintas di kepalaku.
“Thanks, ya. Seandainya aku mendengarkan kata–kata kalian sejak awal untuk tidak pacaran sama manusia itu, pasti aku nggak akan seperti hari ini. Aku lupa, kalau dia akan tetap menjadi Ida Bagus, sedangkan aku tidak akan berubah menjadi seorang Ida Ayu,” lidahku terasa kelu mengucapkan kalimat barusan.
“Sssstt jangan gitu, yang sudah, ya, sudah. Kan kamu yang selalu ingatkan kami, jangan menyesali rasa sakit karena suatu hari nanti kita akan berterima kasih pada rasa sakit yang telah membuat kita makin kuat,” bujuk Nina, sembari mengecek jam di layar ponselnya.
Kami lalu berpisah di halaman restoran dan berjanji akan makan siang lagi lain kali. Nina dan Gea juga mengingatkanku untuk menyiapkan surat lamaran kerja dan CV. Jadi, kalau mereka menghubungiku, aku sudah siap. Semangat mereka sama sekali tak memengaruhiku. Aku tetap saja merasakan hampa yang teramat sangat.
Tiga kesalahanku, terlahir dengan usia 10 tahun lebih muda darinya. Kesalahan keduaku, tak ada gelar Ida Ayu di depan namaku. Kesalahan ketiga, yang masih kuingkari hingga hari ini, adalah kebodohanku jatuh cinta padanya, meski menyadari akan kesalahan nomor satu dan dua. Artinya, harusnya aku sudah menyiapkan diri akan rasa sakit dan kecewa ini sejak awal, bukan?!
Aku mengemudikan mobil dengan gamang. Untunglah siang menjelang sore itu Denpasar tidak sepadat biasanya. Nyaliku makin ciut manakala setan melankolis membayangiku. Bayangan Bli Gus selalu setia hadir manakala aku melewati tempat–tempat yang pernah kami datangi bersama.
Mengapa semua seakan tak bersahabat dengan lukaku. Bahkan rasa– rasanya aroma mobil ini pun kuciumi wangi parfumnya. Bli Gus, wanita tanpa kastamu ini akan sulit membuangmu dalam hidupnya, meski jelas–jelas panah tajammu telah mencabik cinta dan harga dirinya.
Cinta itu apa…?
Sama sekali tak pantas disebut anugerah, apalagi mukjizat.
Cinta itu sakit. Cinta itu perih. Cinta itu pengkhianatan. Cinta itu kamu, malaikat berwajah tampan rupawan, namun pembunuh. Dan cinta ternyata tak cukup ampuh menawarkan luka.
Jadi berhenti bilang cinta adalah keajaiban. Berhenti mengagungkan cinta di depanku, jika tak mau kuludahi. Pikirkan dulu sebelum bilang cinta tak mengenal batasan. Karena cintamu akhirnya berhenti. Aku bukanlah perempuan kastamu yang pantas kau perjuangkan cintanya.
Kutulis kalimat bodoh itu pada selembar kertas, lalu membuangnya di depan rumah Bli Gus. Masa bodoh jika ia menganggapku gila atau terobsesi padanya. Aku menginginkan ia mengetahui luka ini. Aku tidak mau semuanya hanya selesai dengan kata maaf. Tidak segampang itu membuangku.
Pukul 11 malam…
Angin malam Pantai Kuta mulai mengusik lamunanku. Untunglah Circle K malam itu tak seramai biasanya. Hanya ada aku dan beberapa turis asing yang sedang pemanasan untuk melanjutkan malam mereka di klub-klub di seputaran Legian. Malam ini grup band Kerispatih manggung di Kamasutra. Gea dan Nina menungguku di sana, lengkap dengan tiket masuk gratis.
Terharu jika menyadari betapa dua sahabatku itu berjuang keras mengeluarkanku dari ratapan kehilanganku. Bahkan, mereka rela menonton konser Kerispatih tanpa pacar masing–masing demi tak membuatku mati gaya. Lima menit lalu mereka memastikan lewat SMS agar aku datang.
Kutenggak habis sisa kopiku. Pahit itu…aroma itu…entah berapa lama tak aku nikmati. Kali ini kutandaskan minuman itu tanpa omelan dari Bli Gus. Ampuun, aku ingat dia lagi. Selalu ada sesuatu yang mengingatkanku padanya. Ahhh, baru kusadari, betapa banyak bagian hidupku telah terisi akan segala hal tentangnya.
Aku di tengah histeria lantunan lagu–lagu mellow Kerispatih....
Sesekali kupejamkan mata. Aku benci mengakuinya lagi dan lagi, ingat Bli Gus. Ingat dulu saat ia mengejekku doyan mendengarkan lagu–lagu patah hati. “Awas nanti kamu terpengaruh sama cerita lagunya. Salah–salah jadi terobsesi dan kejadian di kehidupan nyata.”
“Biarin, Bli Gus nggak romantis,” belaku, sengit.
Lalu semua akan berakhir dengan aku larut dalam dekapannya. Pelukannya... ciumannya… belaiannya. Mengapa semuanya menjadi nyata lagi bersamaan dengan lagu–lagu yang dilantunkan oleh salah satu grup band favoritku ini. Arghhh, aku frustrasi lagi. Pun ketika aku berada di tengah keramaian ini. Aku merasa asing. Kesepian. Percuma semua usaha Gea dan Nina. Tidak semudah itu mengeluarkanku dari semuanya.
Bipppp.... Bipppp... Bippp grrttttttt....
Wicak. Besok bisa tolong jemput aku di airport? Ntar aku SMS lagi schedule flight-ku. Akhirnya aku boleh cuti panjang, Bali I’m coming… Ada banyak oleh-oleh buat kamu.
Aduuh… apa kata Wicak kalau tahu aku keluyuran malam–malam. Kugamit lengan Nina dan Gea menuju pintu keluar Kamasutra, padahal Kerispatih baru selesai dengan lagu keempatnya.
”Apaan, sih, Sekar, masih panjang, tuh, konsernya!” protes Gea, sambil bersiap masuk lagi.
”Aku pulang duluan. Kakakku datang besok. Aku harus jemput dia pagi-pagi,“ jelasku, setengah panik. Kutinggalkan mereka, kami berpisah di parkiran Kamasutra.
Aku tidak memutuskan pulang. Sudah pukul 3 dini hari, pesawat Wicak akan tiba pukul 8 pagi. Aku beli beberapa bungkus permen mint. Mengunyah banyak–banyak, sambil menatap pantai. Masih setia bermain dengan bayangannya. Sungguh, aku tak pernah bisa melupakannya.
Di perjalanan menuju Bandara Ngurah Rai....
Apa yang harus aku jawab, jika Wicak tanyakan Bli Gus. Bukankah saat dua tahun lalu mengantar Wicak ke bandara untuk bertolak ke Batam, ada Bli Gus menemaniku. Bahkan, Wicak wanti–wanti pada lelakiku itu agar menjagaku baik–baik. Ia memercayakanku pada seorang sahabat yang ia yakini tepat buatku.
Bli Gus nggak bisa ikutan Wi, dia ada urusan kantor....
Ohhh aku nggak sempat bilang, Wicak balik hari ini.......
Atau, sudahlah Wi, nggak usah bahas dia lagi. Sebentar lagi dia akan jadi suami orang. Dia sudah membuang adikmu ini dari hidupnya....
Fiuhhh... susahnya memilih jawaban yang menenteramkan hati. Mobilku hampir memasuki parkiran bandara. Dag-dig-dug... hatiku kian tak menentu.
”Sekaaarrr...!” Kami berangkulan erat. Sungguh damai hati berada dalam dada kokohnya. Hanya lelaki ini dan Bli Gus yang senang memanggilku Sekar dengan nada panjang. Dia mengusap–usap kepalaku lembut. Seolah mendapatkan secercah embuh ketenangan, aku langsung merebahkan kepala ke dadanya.
”Kamu kurusan, Sekar?” seperti biasanya, dia selalu memanggil namaku utuh, matanya memicing mengamati ubun–ubun sampai kakiku.
Aku mengambil beberapa tas bawaannya. ”Pulang dulu, katanya Wicak cuti panjang. Kita punya banyak waktu buat ngobrol,” saranku.
Kami mampir di sebuah warung tenda nasi pedas di Jalan Raya Tuban. Untunglah ada dua kursi kosong. Kami sama–sama diam menandaskan makanan.
Lagi–lagi aku menarik napas dalam. Entahlah, sepertinya ada sebongkah batu yang ingin sekali kutanggalkan, namun sia–sia. Jalan di depanku makin padat, hari makin siang. Geliat Kuta tampaknya memang baru dimulai pada malam hari.
”Ada apa, Sekar? Wicak baru tinggalkan kamu 2 tahun, berapa banyak ceritamu yang terlewati oleh kakakmu ini?” Ia menyeruput habis teh panasnya. Lalu menggeser duduknya, menyampingiku.
”Hmmm... oke, Wicak tahu tempat yang bisa membuat kamu ceritakan semuanya,” katanya, lalu membayar makanan. Aku dilarangnya mengemudikan mobil. Dia mengarahkan mobil ke arah Pantai Kuta.
Ahhhh... Wicak, tempat ini memang tempat favoritku, tapi juga tempat yang akan menyakitiku karena akan mengingatkanku pada lelakiku lagi.
”Apa ?” tanyanya lagi. Kami kini sudah duduk bersisian, tidak begitu jauh dari bibir pantai. Udara tidak begitu dingin.
Hening....aku tak menemukan kalimat yang pas untuk memulai menceritakan apayang sedang aku alami. Bagaimana mungkin aku menceritakan bahwa sahabat yang iapercaya untuk menjagaku dan ia restui berpacaran denganku, pada akhirnyamencampakkanku.
Hening....
Lalu aku mendesah pelan, ”Gus Taram sebentar lagi akan menikah.” Hanya itukalimat pembuka yang bisa kuucapkan. Takut–takut aku berusaha melihatnya, iadiam. Aku menebak–nebak, sakitkah ia mendengar kalimat dengan nada getirku ituatau justru ia pikir Gus Taram akan menikahiku.
Lama sekali Wicak terdiam. Pandangannya masih lurus. Dan dia meraihku dalampelukannya. Ooh, aku mendengar ada isakan.
Aku mencari–cari jawaban, bagaimana mungkin kakakku yang tangguh ini menangisinasibku.
”Kenapa Wicak yang nangis?” Aku berusaha tertawa, seolah aku tak terpengaruholeh perlakuan Gus Taram.
”Sebulan lalu Gus Taram datang pada Wicak. Dia minta izin untuk menikah denganperempuan lain. Saat itu Wicak marah sekali. Wicak nggak terima waktu diabilang, bagaimanapun dia harus menikah dengan perempuan dari kastanya. Apa yangsalah dengan kita yang terlahir tanpa kasta?” katanya.
Napasnya memburu. Sedangkan aku hanya bisa diam. Setengah hatikuterkaget–kaget, Wicak nyatanya sudah tahu semuanya, bahkan sebelum akumengetahuinya. Tapi, ia rapi menyembunyikan dariku.
Aku sadar saat bulir bening itu berhamburan loncat dari bola mataku. Sesaat akuterisak. Wicak membiarkanku menangis.
”Jelas aku salah. Bagaimana bisa aku membiarkan cinta tumbuh, padahal aku tahuyang namanya percintaan antarkasta pasti akan ada banyak halangan.”
”Aku yang tidak realistis, Wi....” Aku meyakinkan hati bahwa yang baru sajakukatakan sama sekali bukan niat membelanya. Apalagi membersihkan namanya dimata Wicak.
Wicak lagi–lagi menghela napas. ”Terus, sekarang bagaimana kamu?”
”Bagaimana apanya? Aku, ya, aku. Aku akan jadi pemandu liburanmu.” Akumengembangkan senyumku selebarnya, meski sakit masih merajaiku.
Kembali pada malam sesudah pestanya
”Sekar...? Kamu kenapa?” Ia mengguncangkan badanku lembut.
Huhhh... aku melihat selintas bayanganku di cermin. Dia masih dengan bajupengantinnya. Berapa lama aku terombang–ambing pada ingatan masa lalu itu.Apakah ia menyadari reuni masa lalu yang baru kulakukan.
”Kamu apa bawa mobil, atau aku bisa minta izin istriku untuk antar kamu, ya?”tawarnya yang dengan segera kutolak. Tampaknya ia telah fasih memanggilperempuan itu dengan sebutan istri. Ooh, sakit sekali mendengarnya.
Niatku sudah bulat. Ini malam terakhir kisahku dengannya. Cukup sudah ketololandemi ketololan yang aku lakukan deminya. Menjadi MC untuk resepsi pernikahannyadengan perempuan Ida Ayu-nya adalah hal terakhir yang menjadi alasan kami untukbertemu.
”Saya pulang dengan taksi saja.” Aku bergegas merapikan perlengkapanku.Memasukkan semuanya sekenanya, lalu berpamitan padanya.
Di luar kamar ganti aku berpapasan dengan pengantin perempuannya. Aku tahu,sungguh perempuan ini tak pantas aku benci. Namun, sama kuatnya denganketidakinginanku marah padanya, sekuat itu juga rasa benci itu aku perlihatkan.
”Terima kasih,” ucapnya, sungguh–sungguh.
”Untuk apa? Untuk ’brahmana-ku’ yang akhirnya berhasil kamu rebut atau untukpestamu yang berakhir indah dengan kehadiranku di atas panggung?” kataku,sinis. Aku lalu tertawa dengan wajah licikku, berlalu meninggalkan IdaAyu.
Setahun setelah malam itu....
Aku mengabulkan janjiku, itu adalah malam terakhir kami bersama. Aku samasekali tak mau tahu atau tak mau berusaha mencari tahu tentang kehidupannya.
Aku hari itu ada di Pura Besakih. Hari itu hari kedua perayaan Panca WaliKrama. Besakih sangat ramai. Bahkan, aku harus memarkir mobil sangat jauh dibawah sana. Untungnya ada jasa ojek dari masyarakat sekitar, jadi aku tak mestisusah payah berjalan. Aku datang seorang diri. Aku ingin memperlihatkan padaHyang Widhi bahwa aku masih kuat bertahan. Meski telah ia ambil seseorang yangsangat berharga sekalipun.
Aku duduk termenung, bersimpuh sangat lama. Tak terasa kesemutan yang biasanyamenggerogoti sekujur kakiku. Lama–kelamaan mataku terasa memanas.
Tuhan... semua betara–betari yang beristana di Pura Agung ini... aku datangpada kalian, berserah dengan segala daya yang masih kupunya. Telah kau ambilseseorang yang aku pikir dialah yang aku cari selama ini. Jika ini tandamu diabukan jodohku, terima kasih Tuhan. Ambil saja dia, dan biarkan aku tetapberusaha kuat di tempat ini....
Aku terus bersimpuh, meski telah habis semua yang ingin kusampaikan pada-Nya.Hari makin larut, tapi masih kudengar hiruk pikuk para umat sesamakuberlomba–lomba mendatangi pura ini. Dan hujan pun turun.
”Gek kenapa bengong di sini, hujan akan turun deras. Berteduh saja dulu disana,” seorang bapak tua menyadarkanku. Tangannya masih menunjuk pada sebuahbalai–balai di sisi pura.
”Nggih, Pak,” jawabku, sambil menyembunyikan mataku yang sembap.
Aku larut di antara campuran rintik hujan, gamelan, dan kidung. Kali ini akumenikmatinya. Entah karena aku sedang tak sungguh–sungguh ada dalam alamnyataku, atau memang aku mulai belajar mencintai kesenian leluhurku. Entah.
Pukul 11 malam aku baru bisa berjalan menuju tempat kuparkirkan mobilku.Jalanan sungguh licin. Tapi untungnya, lampu penerang cukup banyak. Lagi–lagiaku menangis dalam mobil.
”Kamu diterima, 12 Mei kamu mulai bekerja, ya.” Perempuan muda yang tampakanggun dengan jilbabnya tersenyum puas dengan hasil interview-nya padaku.
Tak bisa kusembunyikan senyum senangku. ”Ohh, baiklah, tapi boleh tahuapa posisi yang saya tempati?”
”Sekretaris direktur, Mbak,” jawabnya, singkat.
Hahhh?? Aku menggigit ujung bibirku. Memastikan apa yang baru sajakudengar bukan sekadar imajinasiku. Bagaimana bisa, Ni Made Sekar Andini,gadis lulusan diploma II yang masih 22 tahun dan belum pernah bekerjasebelumnya ini mendapatkan posisi sepenting itu. Dan aku mendapatkannya karenausahaku. Bukan atas pemberian atau bantuan koneksi orang. Aku kini punyapekerjaan tetap.
”Mbak? Anda siap, ’kan. Tidak usah khawatir. Bapak, bos yang baik, kok.Teman–teman di sini juga pasti siap membantu Anda,” kata perempuan itu, memberisemangat.
”Ohh, iya, saya siap. Saya akan datang kembali Senin nanti, 12 Mei,” janjiku.
Senang tak terkira. Sepanjang jalan pulang dari perusahaanini seperti kurasakan lagi ribuan kunang–kunang menggelitik perutku.
Hai...aku Sekar, si sekretaris direktur....
Tak hentinya aku mengulang–ulang kalimat itu sambil tak lupa dengan senyumsempurnaku. Tak sabar ingin kusampaikan ini pada Wicak, Nina, dan Gea. Mereka,orang–orang yang bersaksi penuh atas hidupku belakangan ini. Bahkan pekerjaanini juga atas andil dorongan terus–menerus semangat dari mereka. Meski saat ituWicak jauh di Batam.
Pulang kerja, kalian aku tunggu di pantai biasa, ya....
Aku kirim SMS itu sekaligus pada Nina dan Gea. Setelahnya kutelepon Wicak.
”Sekarang kamu paham kan, kamu adalah perempuan cerdas. Pekerjaan ini layakkamu dapatkan. Konsentrasilah pada karier barumu. Nikmati dan pelajarisebanyak–banyaknya. Selamat merayakan hidup barumu, nona sekretaris direkturyang manis. Wi harus jadi orang pertama yang kamu traktir dengan gajipertamamu, ya.” Suara kakakku satu–satunya itu terdengar sungguh antusias.
Lagi–lagi kurasakan ribuan kunang–kunang itu bermain di perut dan dadaku. Adabahagia yang membuncah. Tapi, belum lengkap sebelum Nina dan Gea tahu. Taksabar kutunggu mereka. Pantai begitu tenang, dan matahari perlahan bersiaptertidur.
Mereka berlari–lari kecil menghampiriku. Tak kukatakan apa–apa, hanya kurangkulmereka bergantian. ”Thanks, ya. Aku dapatkan pekerjaan itu, sekretarisdirektur,” uraiku, senang.
”Wahhh... selamat, ya, Non. Asyik, traktir, ya, gaji pertama,” Ninamenatapku antusias.
”Akhirnya kita bertiga sekarang sudah punya karier masing–masing, ya, meskipunkantormu jauh. Tapi, tak masalah Sekar, yang terpenting sekarang saatnya kamumemulai hidup yang baru,” nasihat Gea, diikuti tatapan setuju Nina.
Kami menghabiskan waktu cukup lama di pantai itu. Diam–diam aku masih merasaada seseorang yang kurang dalam kebahagiaanku. Tidak ada ucapan selamat dariBli Gus. Sial. Bukankah aku baru saja akan memulai sesuatu yang baru, namunselalu saja embel–embel masa lalu datang memberondongku.
Di rumah....
Hanya ada aku dan tik–tok bunyi hujan di luar sana. Harum tanah mulai tercium.Kuambil sebuah dupa wangi lotus kegemaranku. Di depan Padmasana aku bersimpuh.Aku bercerita pada-Nya, berterima kasih atas hadiah yang ia kirimkan hari inipadaku.
12 Mei....
Pukul 9 pagi. Aku sudah memarkir mobil kesayanganku di parkiran kantor barukuyang luas. Aku disambut seorang staf bagian personalia. Aku diperkenalkan padaseisi kantor. Dan berakhir di ruangan pribadiku. Di lantai 2 dekat denganruangan direktur. Aku nyaris tak yakin ruangan ini adalah bilik pribadiku.Semua fasilitas lengkap ada di sana. Ini dia duniaku yang baru. Ada harapansegar melintas di hari pertamaku. Perusahaan jasa kontraktor ini cukup punyanama di Bali, dan kini aku menjadi bagian di dalamnya. Pencapaian yang bagus.
”Ini semua pasti akan membantuku melupakanmu, Sayang...,” kataku, membatin.
Setahun pertama kulewati. Aku tak butuh terlalu lama’menguasai’ arena kerjaku. Meskipun tak terlahir sebagai gadis jelita, akulihai menarik perhatian orang, terutama kaum pria. Tapi, aku berusaha kerasuntuk selalu berhati-hati.
Aku mulai banyak menjalin relasi. Proyek–proyek besar yang dikerjakan langsungoleh bosku mulai diserahkan padaku. Alhasil, aku seolah bermetamorfosis menjadibinatang pekerja. Berangkat ke kantor pukul 9 pagi, lalu baru beranjak pulangpukul 9 malam. Itu pun masih sesekali kuhabiskan malam dengan beberapa relasikerja yang agak dekat denganku.
Namun, siluetnya dalam hatiku belum mampu aku alihkan. ’Dia’ masih di sana,duduk tenang menempati bilik hatiku. Terkadang aku merindukannya. Mengharapkanada pertemuan tak terduga dengannya.
Setiap kali ada pria yang mendekatiku, dengan cepat aku menjauh. Aku tak begitupaham apakah ini karena traumaku yang terlampau berat, ataukah isyarat bawahsadarku bahwa aku tak ingin ada sosok lain yang menggantikannya. Entah.
”Sekar... ke ruangan saya, dong,” suara bosku terdengar di ujung telepon.
Gelagapan kuambil buku agendaku. Gontai aku melangkah. Hawa dingin ACmenyambutku.
”Ya, Pak?” Aku bersiap mencatat instruksi bos. Kulihat ia menulis sambilmembuka lembar demi lembar sebuah proposal.
”Saya mau kamu ambil alih proyek ini,” dia menyerahiku setumpuk proposal yangtadi ia baca.
“Dan tolong urus tiket saya buat ke Singapura minggu depan. Saya mau liburandengan istri. Saya titip kantor, ya.” Bosku beralih dari kursi kebesarannya.Dia mengambil minuman ringan kaleng dari kulkas pribadinya.
Aku pamit. Di ruanganku, kubaca proposal itu. Kutekan nomor telepon yangtertera di sana. Aku membuat janji dengan suara di seberang sana untuk bertemusaat makan siang besok. Suaranya menarik. Tapi, sepertinya suara itu tidakasing lagi. Suara khas lelaki yang akrab di telinga, sekilas seperti mantanlelakiku. Aku berdoa, semoga bukan ‘dia‘.
Aku kembali lagi pada layar komputerku. Terbenam lagi pada tumpukan file–filedan histeria telepon–telepon yang tak ada putusnya. Sampai malam lagi– lagidatang. Aku rindu dua sahabatku. Sejak aku bekerja, jarang sekali kami bisajalan bertiga lagi. Kami hanya masih menjaga komunikasi dengan berkirim SMSatau e-mail.
Pekerjaan ini sungguh menyita semua perhatianku. Menyenangkan, karena inimembuatku mempersedikit waktu ingat akan ‘dia‘. Menyedihkan, karena aku jauhdari dua sahabatku, dari Wicak yang makin jarang kutelepon, juga darikehidupan ingar–bingar bagi seorang wanita berumur 22 tahun yang sesungguhnya.
Pada sebuah coffee shop di seputar Pantai Kuta....
Untunglah tidak macet. Sopir kantor yang mengantarku, aku persilakanjalan–jalan sejenak sembari menunggu aku selesai meeting. Aku masih punya waktu10 menit sebelum rekan bisnisku datang.
“Hai... Sekar?” suara bariton itu mengagetkanku.
Kutengadahkan kepala mencari si sumber suara. Jika ada yang tak kuharapkanuntuk kutemui lagi di sisa akhir hidupku selain Bli Gus, dialah orangnya.Mantan seniorku semasa SMA yang pernah mempermalukanku dengan mencium seenaknyakeningku saat perayaan ulang tahun sekolah, hingga mengundang riuh tak hanyateman seangkatanku, tapi juga para kakak kelas dan guru–guruku. Ya, ampuun,orang itu kini berdiri beberapa sentimeter di depanku. Tidak terlalu berbedadengan gayanya saat SMA dulu. Masih tetap tampan dan gagah.
”He... ehhh ngapain di sini, kamu bukannya di Jakarta?” Akusama sekali merasa tak perlu berbasa-basi untuk mempersilakannya duduk. Rasamalu semasa SMA gara–gara ulahnya yang norak, tiba–tiba kurasakan begitudekat.
”Sekar... Sekar.... kamu masih saja seperti dulu. Judes. Tapi, itu yangmembuatmu cantik dan menarik. Boleh aku duduk di sini menemanimu?” pintanya,tanpa peduli pada sikap tak bersahabatku.
”Maaf, lagi nggak butuh teman duduk, Mas. Saya sudah ada janji dengan orangyang lebih penting dari kamu, dan kursi itu buat dia,” jawabku, masih denganwajah judes. Sama sekali tidak ada senyum.
Dia tertawa sejenak, memamerkan deretan giginya yang bersih. Juga lesung dikedua pipinya. “Sial, ini laki-laki... kalau saja dia nggak beraksi norak waktu SMA dulu, pasti sampai tamat SMA aku akan terus memujanya,” kataku,membatin.
“Akulah yang kamu tunggu, Sekar. Perkenalkan, namaku Gede Arya Putra Nugraha.”
Aku ingat sesuatu. Kubuka cepat–cepat proposal yang kemarinbosku berikan. Proyek yang akan kutangani, nama direkturnya sama dengan namayang baru saja aku dengar dari mulut si mantan kakak kelas norak ini.Dialah VIP person titipan bosku yang akan bekerja sama dalam pembuatan viladengan bosku. Oh, Tuhan, tamatlah riwayatmu, Sekar. Dia yang kini harus kautemani dan layani sebagai partner bisnis pentingmu.
“Orang ini VIP person, ya, Sekar,” begitu bosku mengingatkan saat tadi akuberpamitan untuk datang makan siang plus meeting ini.
Aku memperbaiki dudukku. Menepis jauh–jauh rasa terkejut yang baru sajamenderaku. Tuhan menjawab doaku, suara yang kudengar di telepon kemarin memangbukan mantan lelakiku. Mantan kakak kelasku ini Ia kirimkan sebagai gantinya.
”He, ehh pantas kemarin kayak kenal suaranya. Kamu, toh?” Aku menyeruputiced cappuccino, sambil berusaha menenteramkan hati.
”Yes, I am. Lama nggak jumpa, ya, apa kabar kamu? Kita bisa ngobrol santai dulukan sebelum bahas soal rencana investasiku di vila bosmu?”
Dia memanggil waitress, memesan minuman yang sama denganku.
”Baik, Pak.” Sejujurnya, agak canggung bibirku memanggilnya demikian. Tapi,bagaimana lagi, aku tak boleh memandangnya sebagai mantan kakak kelasku lagi.Dia seorang investor penting,
dan aku harus profesional.
Dia tertawa lagi, kali ini sambil menggeser duduknya mendekatiku. Kami tak lagiberhadap–hadapan, tapi bersisian, hanya 15 senti kini jaraknya dariku.Sampai–sampai wangi parfumnya tercium jelas olehku.
”Jangan panggil Pak, tua sekali kedengarannya. Kita cuma beda usia 2 - 3tahunan kan, Sekar? Just call me Arya, please,” pintanya.
”Kamu sudah menikah, Sekar?”
Kugelengkan kepala dengan tak semangat. Haruskah setiap partner bisnis lelakiyang kutemui menanyakan itu? Apa bedanya buat mereka statusku. Kulihat sekilasdia tersenyum, aku tak peduli untuk apa ia pertontonkan senyum indahnya itu.
”Kamu sadar nggak Sekar, kamu itu makin menarik sekarang. Makin dewasadan anggun,” gombalnya dengan tampang sok serius.
Aku memperlihatkan tampang tak acuh. Dia pikir aku apa, dia pikir mungkin akuakan terbuai oleh kata-kata gombalnya. Dia tentu tak tahu, bagaimanabertahun–tahun lalu pernah ada lelaki yang memujiku lebih darinya, namunlihatlah, toh, akhirnya lelaki itu bertekuk lutut pada wanita lain. Kalau sajabukan karena alasan pekerjaan, sudah kutinggalkan meja ini. Seketika rasa muakdan jengkel menderaku.
”Kita mulai saja meeting-nya, ya, Pak.” Aku menghidupkan laptop-ku, dan mulaimenjabarkan semua hal yang kupikir patut ia ketahui sebelum berinvestasi penuhpada proyek vila kami.
”Oke, apakah segala urusan proyek vila ini nantinya kamu yang akan tangani?”
Lagi–lagi aku dibuatnya naik pitam. Kutarik napas sedikit. Panjang lebar akupresentasi, dia malah tanyakan hal yang tidak prinsip itu.
”Ya, Pak. Bos saya akan ke Singapura beberapa minggu ini. Jadi, sementarabeliau tidak ada, semua urusan kantor menjadi tanggung jawab saya, termasukproyek ini,” jelasku.
”Baiklah, kamu kembali ke kantor. Sampaikan pada bosmu, saya 100% jamin akanjadi investor proyeknya. Kalian siapkan saja draft kerja samanya. Masalah lebihlanjut, saya akan telepon langsung bosmu secepatnya.” Tegukan terakhircappuccino-nya ia selesaikan dengan sedikit senyuman yang tak kumengerti.
Aku hampir melonjak kegirangan. Bonus di akhir bulan sudahterbayang berkat keberhasilanku meloloskan proyek ini. ”Baik, terima kasih PakArya. Sampai ketemu lagi. Saya akan siapkan surat-suratnya dulu.” Kali inikuberikan ia sedikit senyumanku. Kami berjabatan tangan, lalu berpisah saatmobil kantorku tiba di pelataran coffee shop.
”Sempurna, Sekar. Kerja yang sangat bagus,” puji bosku, sesaat setelah akuselesai menyampaikan hasil meeting-ku dengan Arya. Senyum bapak dengan 5 anakitu sumringah.
”Terima kasih, Pak. Saya tunggu instruksi Bapak selanjutnya untuk proyek ini.”
Sejak meeting siang itu, aku dan Arya makin seringbersama. Bahkan, hingga larut malam. Aku mulai salut dengan semangat kerjanya.Dia sungguh serius dan fokus saat kami melakukan meeting demi meeting.
Bosku sangat jarang ikut dalam pertemuan kami, dia nyaris mendelegasikanseluruhnya padaku. Hanya sesekali ia menelepon dari Singapura untuk memantauperkembangan proyeknya. ’Dendam’-ku semasa SMA kepadanya perlahan mulaiterkikis. Aku mengubah status dendam itu menjadi kenakalan semasa remaja.
”Saya pikir, bulan depan pembangunan bisa dimulai, ya. Semua syarat hukum sudahkita lengkapi,” katanya, pada meeting yang kami lakukan sambil menikmati makanmalam di sebuah restoran seafood di tepi Pantai Kedonganan.
”Ya, biar besok saya bicara dulu dengan bos. Kalau beliau setuju, kita mulaisaja, biar tahun depan sudah mulai operasional,” ungkapku, menyetujui usulnya.
Dia tersenyum dengan lesung pipi yang membuat dia makin tampan. ”Nggaksalah memang aku kerja sama dengan kamu Sekar. Setelah pembangunan dimulai, akubersiap dengan ’proyek’ keduaku,” katanya, sembari menekankan kata ’proyek’dengan intonasi aneh.
Aku menatapnya tak mengerti, lalu melanjutkan menghabiskan kerang dengan bumbupedas manis favoritku. Kami buru–buru beranjak menuju pantai saat matahariberanjak turun. Arya meminta seorang pelayan restoran untuk memotret kamidengan latar belakang sunset. Sesudahnya, Arya langsung mengatur agar foto itumenjadi wallpaper di ponselnya.
”Apa kamu mau jadi istriku, Sekar?” Arya menatap lurus mataku. Ada pengharapanbesar yang ia coba perlihatkan. Kurasakan dadaku berdesir. Refleks akumengingat kejadian bertahun– tahun lalu, ketika ’dia’ juga melamarku di pantai,meski bukan pantai ini. Wajah ’dia’ dan Arya sama berharapnya ketika mengajukanlamaran itu. Bedanya, bertahun–tahun lalu ada cinta yang membara bergejolakdalam diriku pada ’dia’, tapi sore ini yang aku rasakan untuk Arya tak lebihhanya kasih bagi sahabat.
”Hmm, aku salah bicara, ya?” tanya Arya, ketika aku tak juga mampu mengucapkansepatah kata.
”Kita tak punya alasan untuk akhirnya menikah, Arya. Kita bukan pasangankekasih. Selama ini kita hanya teman bekerja, dan kuanggap kamu sebagai teman.”Ada gejolak perlawanan yang kurasakan.
Luka itu terbuka lagi.
Tidak cukup setahun, dua tahun, atau berapa lama punmembuatku beranjak dari trauma itu.
Apakah terlalu berlebihan, jika aku menjaga baik–baik hatiku, setelah seseorangyang pernah sangat aku harapkan meninggalkanku menuju pelaminan, namun tanpaaku sebagai mempelai wanitanya? Arya atau lelaki mana pun mungkin akanmelakukan itu lagi.
Aku tak ingin terluka lagi. Bukankah beberapa tahun ini telah baik kulakukantanpa pasangan. Sudah aku atasi semuanya tanpa ada laki-laki dalam hatiku, lalubuat apa kini aku bersuami.
”Sekar, apa yang sudah terjadi padamu sampai–sampai kamu sedingin ini? Akurindu Sekar-ku yang kukenal semasa SMA dulu. Tidakkah kamu sadar sangat banyakkakak kelasmu yang diam–diam selalu mengamati dan mengagumi segala tingkahlakumu dulu. Termasuk aku,” tanya Arya sambil memandangku dengan mata penuhtanda tanya.
Aku hanya mampu terdiam. Aku tak punya keberanian untuk menatap mataArya. Aku takut jika nantinya mataku hanya akan memperlihatkan kebencian yangseharusnya tak tertuju padanya, lalu akan melukai Arya pada akhirnya.
”Arya, hidupku sudah baik begini. Aku sudah bahagia dengan pekerjaanku danteman–temanku. Aku tidak mau merusaknya, jika kuputuskan untuk berkeluarga,”kilahku.
Arya tertawa. Ia mengajakku berjalan menyusuri pantai yang makin gelap.“Apakah kamu akan melajang selamanya ? Apa nggak ingin punya suami dananak–anak ?” tanyanya, seolah menitipkan pertanyaan untuk teman tidurku, bukanuntuk kujawabkan padanya kala itu.
Aku diam. Bahkan terus diam sampai mobilnya berhenti di depan pagar rumahku.Dia hanya membukakanku pintu, tanpa menyampaikan apa–apa lagi. Ia usap lembutkepalaku. Dan mobilnya menghilang di ujung jalan. Aku memikirkan lamaran Arya.Apakah yang kurang darinya. Dia lelaki Hindu seagama denganku. Sama–samaberasal dari Denpasar. Akan memudahkan aku untuk masuk dalam lingkungankeluarganya. Dia pengusaha sukses. Dan baik.
Apa yang kucari? Bukankah tidak mungkin menunggu ’dia’ datang kembali dalamhidupku? Jika hari itu datang, pasti tak akan ada yang sama lagi, termasukhatiku padanya. Luka yang ’dia’ tinggalkan terlampau dalam dan menyakitkan,membuat hatiku selalu ngilu, jika mengingatnya.
Berbulan-bulan setelahnya....
Seisi rumahku bersukacita. Setiap sudut sibuk dengan persiapan masing –masing.Aku hanya mengamati segala yang terjadi lewat jendela yang sengaja kubukalebar–lebar. Wicak terlihat semangat memasang klangsah. Dia tersenyum saat matakami beradu.
”Deg–degan, ya.” Nina tiba–tiba sudah duduk di sisi ranjangku.
Aku hanya tersenyum simpul. ”Gea mana?” tanyaku.
”Masih cari parkir. Kamu sudah coba kebayamu? Pasti kamu cantik besok,”katanya.
”Apakah yang aku lakukan sudah benar?” Aku menatap sahabatku itu denganpandangan tak menentu.
”Hei, apa maksudmu? Jangan pikir yang aneh–aneh. Dia pilihan yang tepat, diasangat mencintai kamu, Sekar,” Nina meyakinkanku, sembari mengamati lekat–lekatwajahku.
”Apakah salah jika aku melakukan semua ini tanpa cinta sedikit pun? Hatikujustru sama sekali tak merasakan apa-apa.”
”Sekar, ini sudah berjalan berapa tahun, sih. Kenapa kamu masih saja mengingat masalalu itu? Nggak adil buatmu terus mengingat ’dia’. Ingat kan, betapa ’dia’dengan mudah meninggalkanmu menikah dengan perempuan lain, bahkan denganteganya memintamu menjadi MC resepsinya. Meskipun, itu juga andil dariketololanmu, masih saja mau mengikuti apa yang ia katakan.” Nina memandangkuserius. Gea datang, ia hanya duduk diam di antara kami. Mengamati aku denganpandangan iba.
”Teruskan acara ini, Sekar. Tidak akan sulit mencintai Arya, he’s a perfectman.”
Lalu, sehari setelahnya aku keluar dengan balutan kebaya dan kemben berwarnaemas. Dadaku terasa sesak bukan karena lilitan stagen yang terlalu kencang,tapi karena kulihat wajah Arya yang sangat sumringah menyambutku. Rasa bersalahmenyerangku.
”Tuhan, maafkan lakonku hari ini, aku hanya ingin memberikan menantu yang baikuntuk keluargaku...,” desisku, dalam diam.
Semua ritual siang itu sama sekali tak mendapat konsentrasiku. Aku terusberusaha sekuatnya menahan turunnya air mataku. Sejak hari ini akan menjadi takbenar lagi jika aku mengingat ’dia’. Pasti akan susah sekali menggantilamunanku dengan Arya sebagai tokoh utamanya.
Arya menggenggam tanganku lembut, tapi sangat erat. Kudengar kul–kulbertalu–talu, tanda kami sah sebagai suami-istri. Selesai sudah semuanya.
Aku sama sekali tak mengundang ’dia’. Tapi, Gea dan Nina menemaniku terus, jugaWicak. Hanya dua sahabatku yang tahu bagaimana gejolak perasaanku saatmenjalani dan menyelesaikan ritual demi ritual pernikahan ini. Wicak tak bolehtahu bahwa tak ada cinta dalam pernikahan ini.
”Terima kasih, Sekar,” bisik Arya padaku. Dia tersenyum lagi, dengan lesungpipinya yang selalu membuatnya tampak tampan dan memesona sejak pertama kaliaku mengenalnya.
Kupaksakan sebuah senyum untuknya. ”Terima kasih juga, Arya,” jawabku, lemah.
Selesai. Tak akan pernah ada ’dia’ lagi dalam otakku kini. Meski akan selaluada dalam hatiku. (tamat)
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar