Jumat, 27 Januari 2012

Mengakui Kesalahan jadi Manusia Suci

Dalam satu riwayat, Imam Hasan al-Mujtaba as pernah berkata tentang ciri-ciri orang saleh, yaitu “tidak pernah mencela seseorang yang menyadari kesalahan tingkah lakunya.” Hal ini berarti mengakui kesalahan bukan suatu perbuatan yang tercela, karena orang saleh tidak mencelanya. Mengakui kesalahan merupkan perbuatan yang bukan saja terpuji, tetapi juga menunjukkan sikap berjiwa besar. Bahkan ini harus menjadi ciri seorang pemimpin. Namun, tentu saja jika mengakui kesalahan itu dilakukan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.

Dalam kitab al-Imam al-Anwar ada sebuah riwayat tentang Imam Ali. Dikisahkan, Imam Ali pada saat menjadi khalifah, pernah kehilangan baju perangnya. Tak lama kemudian, dia melihat baju itu berada di tangan seorang Nasrani.

Imam Ali membawanya ke hakim untuk mengajukan tuntutan. “Baju perang ini kepunyaanku. Aku tidak pernah menjualnya atau mengha-diahkannya kepada siapapun. Sekarang aku lihat bajuku ada ditangan orang itu,” demikian ucap Imam Ali.

Sang hakim bertanya kepada orang tersebut, “Khalifah telah mendakwamu. Sekarang apa katamu?”

“Baju ini adalah milikku,” jawab si Nasrani. “Ini tidak berarti aku menyangkal keabsahan kekhalifahan-nya. Tapi tidak mustahil dia salah.”

Hakim menoleh kepada Ali dan berkata, “anda adalah yang mendakwa, dan orang ini mengingkari dakwaan anda. Berarti anda harus membawa saksi untuk membuktikan kebenaran Anda.”

Imam Ali dengan tersenyum berkata, “betul apa kata hakim. Seharus-nya aku membawa saksi, tapi sayangnya aku tidak mempunyai saksi.”

Berdasarkan fikih pendakwa harus punya saksi, maka sidangkan pun dimenangkan si Nasrani. Kemudian Imam Ali pergi. Namun tak lama kemudian, hatinya tergerak untuk kembali ke hakim dan mengaku bahwa baju tersebut memang milik Imam Ali. Lalu ia berkata, “pemerintahan seperti inilah cara pemerintahan para nabi.”

Tak lama kemudian si Nasrani itu memeluk Islam dan menjadi seorang muslim yang setia dan membela Imam Ali as.

Sebagai seorang pemimpin, Imam Ali yang memiliki kedudukan sedemikian tinggi. Baik di sisi Allah Swt dan Rasul-Nya maupun kaum mus-limin, yang juga dihormati kawan maupun lawan, membenarkan kepu-tusan hakim pada dirinya di hadapan seorang nasrani. Dalam hal Imam Ali mengakui kesalahannya, karena ia tidak membawa saksi.

Tetapi yang jelas Imam Ali benar, bahwa baju perang itu miliknya dan si Nasrani telah berdusta. Dan jika Imam Ali mau, ia dapat memanggil sahabat-sahabatnya yang pernah melihat baju perang itu, ketika Imam Ali tampil dalam perang. Tetapi Imam Ali tak mau masalah kecil ini dibesar-besarkan. Imam Ali membenarkan keputusan hakim.

Imam Ali walaupun kedudukkannya sebagai khalifah, Imam Ali tidak mau melanggar prosedur yang berlaku. Inilah sifat adil dan akhlak yang mulia yang terdapat dalam diri Imam Ali. Keutamaannya, ditinjau dari sisi manapun berada di atas dan khu- susnya bidang hukum lebih a`lim dari hakim tersebut. Imam Ali pernah menjadi saksi untuk Fatimah as dalam kasus tanah Fadak. Mustahil ia tidak tahu tentang masalah kesaksian. Sedangkan Nabi saw pernah bersabda: `Ali aqdhakum, “Ali lebih hakim dari kalian.” Nabi saw juga pernah bersabda tentang Ali: “Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali.”

Jadi, jelas ada hikmah di balik kisah tersebut. Antara lain; pertama, sifat adil dan tawadu seorang pemim-pin. Yang kedua, kepemim-pinan atau pemerintahan Imam Ali tidak otoriter. Sedangkan yang ketiga yaitu, sikap tidak mementingkan golongan atau pribadi dan lain sebagainya. Dari kisah itu `sikap mengaku salah’ yang Ali ajarkan kepada kita. `Qulil haq walau kana murran,’ “Katakanlah kebenaran meskipun terasa pahit,” begitu sabda Nabi saw.

Namun, dalam realitas kehidu-pan sosial zaman sekarang, sikap mengaku salah `nyaris tak terdengar’, apalagi bagi kalangan para pemimpin. Sikap ini tersisih oleh kepentingan-kepentingan kelompok dan pribadi. Kini, nasib sikap mulia ini seperti nasib sikap-sikap mulia yang lain, seperti kejujuran dan keadilan, terpaku bisu di rak-rak perpustakaan. Menjadi sekumpulan teori, tanpa perwujudan dalam kehidupan.

Mengakui kesalahan di sini tentunya dilakukan bukan setelah digebukin baru mengaku salah. Sikap ini muncul karena tuntutan fitrah insani, yakni mencintai kebenaran dan kea-dilan. Mengaku salah berarti mau mengoreksi diri-nya dan itu suatu tanda baik. Mengaku salah termasuk sifat tawadu dan menjauhkan dari sifat sombong. Rasulullah saw pernah bersabda: “Alangkah bagusnya tawadhu-nya si kaya di hadapan si miskin karena mengharap ridho Allah. Dan lebih bagus dari itu adalah tidak bergantungnya si miskin kepada si kaya karena tawakal kepada Allah.”

Orang yang paling kaya pernah ada di dunia ini adalah nabi Sulaiman. Namun kekayaan tidak membuatnya merasa kuat dan berbuat semena-mena. Kedudukan Nabi saw bahwa beliau adalah manusia terbaik, baik dari yang ajam sampai yang arab, tetapi tidak membuatnya lupa diri. Wa la fakhr, “Tetapi aku tidak bangga,” kata Nabi saw. Kebanggaan Nabi saw, juga Ali as adalah kebenaran dan kearifan.

Dalam ajaran Islam manusia mempunyai kedudukan dan tugas masing- masing. Orang boleh menjadi konglomerat asal tak jahat, berani mengakui kesalahannya kepada wong melarat. Boleh jadi raja asal bijaksana, berani mengakui kesalahannya di hadapan rakyat. Boleh sebagai majikan asal tidak mentang-mentang, berani mengakui kesalah- annya pada pelayan. Sebagai seorang ayah harus berani mengakui kesalah-annya meskipun kepada anaknya.

Mengapa iblis dikutuk untuk selamanya? Satu sebabnya, karena sombong. Sehingga iblis tidak mau mengakui kesalahannya, ketika melanggar perintah Allah agar `sujud’ kepada Adam as.

Muhammad Ali Quthub meng-utip cerita hikmah: “Seorang ayah dan anaknya mengunjungi sebuah perkebunan gandum yang bulirnya sudah saatnya masak. Namun si anak terkagum pada bulir temannya yang berdiri tegak, lalu ia mendekati dan memetiknya. Sang ayah menanyakan hal yang diperbuatnya. Ia menjawab bahwa ia kagum pada bulir tersebut dan menurutnya akan lahir biji yang banyak dari bulir tersebut. Sang ayah tersenyum, dipegangnya bulir ter-sebut dan diremasnya hingga hancur tidak ada satu bijipun di dalamnya. Kemudian ia berkata kepada anaknya, “Wahai anakku, bulir-bulir yang penuh dengan biji membuatnya semakin merunduk. Sedangkan bulir-bulir yang kosong kepalanya akan tetap tinggi.”

Pada orang-orang yang mem-punyai ambisi kedudukan, kekuasaan dan kekayaan, umumnya tidak punya mental untuk mengakui kesalahan- kesalahannya. Imam Ali Zainal Abidin pernah bersabda: “Hati-hatilah merasa senang ketika berdosa, sesungguhnya yang senang ketika berbuat dosa lebih jelek dari perbuatan dosa itu sendiri.”

Mengaku salah tidak hanya kepa-da sesama, tetapi juga kepada Allah Swt. Sikap ini merupakan bagian dari taubat. Karena salah satu syarat taubat ialah menyesal atas kesalahan dan dosa yang diperbuat. Rasa menyesal itu artinya ia tidak akan mengulangi kesalahannya yang lalu, kecuali tidak sengaja. Imam Ali dalam doa Kumail berucap, Allahumaghfir li kulla dzanbin adznabtuh Wa kulla khathi`atin akhtha`tuha: “Ya Allah, ampunilah segala dosa yang telah kulakukan dan semua kesalahan yang telah kukerjakan.” Doa ini meng-ajak kita untuk bertaubat. Kita mesti mengaku salah atas segala kesalahan yang pernah kita perbuat. Dan kembali kepada Tuhan Yang Mahabenar.

Mengakui kesalahan berarti mau memperbaiki diri untuk mencapai kesempurnaan maknawi. Imam Ali as bersabda:

“Barang siapa yang memperbaiki batinnya, Allah akan memperbaiki lahirnya. Dan barang siapa yang berbuat demi kemaslahatannya agamanya, Allah akan memper-mudah baginya urusan dunianya. Dan barang siapa yang menjaga hubungan dirinya dengan Allah, maka Allah akan memudahkan urusannya dengan orang lain.” 




0 comments:

Posting Komentar