Berita “300 warga Aceh diduga kena AIDS” di Harian “WASPADA”, Medan, edisi 21/7-2010 lagi-lagi menunjukkan pemahaman yang tidak akurat di banyak kalangan.
Dalam berita disebutkan: “Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi (KPAP) Aceh memperkirakan sekitar 300 warga daerah itu terinfeksi penyakit AIDS dan sebagaian besar dari mereka tidak terdata karena enggan melapor.”
Pertama, yang menginfeksi atau yang menular bukan AIDS karena AIDS bukan penyakit bukan pula virus. Yang menular adalah HIV sebagai virus.
Kedua, perkiraan yang disampaikan oleh KPAP Aceh ternyata berpatokan pada fenomena gunung es pada epidemi HIV. Ini tidak akurat karena ‘rumus’ yang dikaitkan dengan fenomena gunung es yaitu 1:100 tidak bisa dipakai secara telanjang dengan memukul rata. Ada beberapa faktor yang harus ada agar ‘rumus’ itu bisa dipakai. Tapi, perlu diingat ‘rumus’ itu bukan untuk menentukan jumlah kasus HIV/AIDS tapi hanya untuk keperluan epidemiologis, seperti merancang pola penanggulangan, dll. Faktor-faktor yang bisa mendukung ‘rumus’ itu al. adalah: (a) tingkat pelacuran tinggi, (b) tingkat pemakaian kondom sangat rendah, dan (c) penyangkalan sangat tinggi, dll.
Ketiga, disebutkan “ …. sebagaian besar dari mereka tidak terdata karena enggan melapor”. Ini tidak akurat karena yang terjadi adalah banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV. Maka, jumlah penduduk yang diduga tertular HIV dapat disimak dari risiko tertular HIV.
Mereka yang sudah tertular HIV melalui hubungan seks tapi tidak terdeteksi (bukan tidak melapor) adalah: (1) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif), (2) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, pelaku kawin-cerai, waria pekerja seks, dll. (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif).
Sekarang terpulang kepada KPAP Aceh, seberapa besar kemungkinan penduduk Aceh melakukan dua hal yang berisiko tertular HIV di atas? Kalau jawabannya tinggi maka ’rumus’ tadi bisa dipakai untuk perkiraan. Celakanya, di Indonesia ada penolakan terhadap perilaku hubungan seks berganti-ganti pasangan dengan alasan tidak ada lokalisasi pelacuran. Ini merupakan bumerang karena hubungan seks berisiko tertular HIV tidak hanya terjadi dengan pekerja seks di lokalisasi pelacuran karena perilaku ini bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.
Keempat, disebutkan ”Jadi, kalau tidak ditangani secara serius dan benar, bukan tidak mungkin serangan HIV dan AIDS ini bisa endemis”. Sebagai virus HIV tidak bisa menular melalui udara, air dan pergaulan sosial sehingga epidemi HIV bukan wabah. Penularan HIV hanya terjadi melalui cara-cara yang sangat khas, seperti hubungan seks tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan orang yang sudah tertular HIV, menerima transfusi darah yang mengandung HIV, memakai jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang bisa menyimpan darah yang mengadnung HIV.
Tidak hanya HIV/AIDS, tapi semua penyakit harus ditangani secara serius dan benar. Terkait dengan HIV/AIDS penanganan tidak serius dan benar karena dikait-kaitkan dengan norma, moral dan agama. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis. Artinya, bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran seingga penanggulangannya, termasuk pencegahan, dapat dilakukan secara medis.
Tapi, yang terjadi selama ini adalah mengedepankan norma, moral, dan agama sebagai ’alat’ mencegah penyebaran HIV. Celakanya, penyebaran HIV justru tidak terkait langsung dengan norma, moral dan agama.
Kelima, disebutkan pula ” …. kendala dalam menanggulangi HIV dan AIDS sekarang adalah masih adanya stigma negatif dari masyarakat terhadap penderita penyakit ini”. Terkait dengan masalah ini terjadi ironi karena yang paling banyak melakukan stigma justru di kalangan medis, terutama di sarana kesehatan, seperti rumah sakit. Sikap masyarakat itu muncul karena selama ini mereka mendapatkan informasi HIV/AIDS dari bebagai sumber, seperti pejabat dan pakar (termasuk dari bidang kesehatan), pemuka agama, dll. tidak akurat karena dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga yang muncul hanya mitos(anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV dengan zina, seks pranikah, melacur, pekeja seks, waria, ’jajan’, selingkuh, dan homoseksual. Padahal, sama sekali tidak kaitan penularan HIV secara langsung dengan zina, seks pranikah, melacur, pekeja seks, waria, ’jajan’, selingkuh, dan homoseksual zina, seks pranikah, melacur, pekeja seks, waria, ’jajan’, selingkuh, dan homoseksual.
Penularan HIV melalui hubungan seks bisa terjadi dalam atau di luar nikah pada satu pasangan jika salah satu atau dua-duanya HV-positif. Sebaliknya, kalau satu pasangan dua-dunya HIV-negatif maka tidak ada risiko tertular HIV biar pun hubungan seks mereka lakukan dengan cara zina, seks pranikah, melacur, pekeja seks, waria, ’jajan’, selingkuh, dan homoseksual.
Yang perlu digalakkan KPAP Aceh adalah menyebarkan informasi HIV/AIDS yang akurat seingga orang-orang yang pernah melakukan hubungan seks yang berisiko tertular HIV agar menjalani tes HIV secara sukarela.
Soalnya, kalau orang-orang yang sudah tertular HIV tidak terdeteksi maka penyebaran HIVakan terus terjadi di masyarakat tanpa mereka sadari. Ini akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.
Apakah KPAP Aceh dan Pemprov. Aceh harus menunggu dulu ‘ledakan’ AIDS baru mau menangani epidemi HIV secara benar? sumber
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar