Jakarta, 10/08/2010. Berita “11 Warga Positif HIV/AIDS” di Harian “FAJAR”, Makassar, edisi 5/8-2010 lagi-lagi tidak memberikan pencerahan yang akurat kepada masyarakat. Judul berita tidak akurat karena yang positif adalah HIV bukan AIDS. Maka, yang tepat adalah positif HIV.
Dalam berita disebutkan ” …. sekarang jumlah penderita HIV/AIDS di daerahnya mengalami peningkatan cukup signifikan dibanding 2005 lalu.” Kasus meningkat dari lima (2005) menjadi delapan (2006) dan sekarang 11. Ada yang luput dari perhatian terkait dengan pelaporan kasus HIV dan AIDS di Indonesia. Yang dipakai adalah laporan kumulatif. Artinya, kasus baru ditambahkan ke kasus lama. Dari laporan ini menunjukkan tahun 2006 terdeteksi tiga kasus dan sekarang terdeteksi tiga.
Persoalan (besar) justru di balik angka-angka itu. Penemuan kasus yang kecil bisa dilihat dari dua kemungkinan.
Pertama, kasus kecil karena tidak ada mekanisme untuk ’menjaring’ penduduk yang sudah tertular HIV. Di Indonesia tidak ada cara yang sistematis untuk mendeteksi penduduk yang sudah tertular HIV. Coba simak yang dilakukan di Malaysia ini. Negeri jiran itu menerapkan survailans rutin (tes HIV anonim dengan standar yang baku terhadap perempuan hamil, polisi, narapidana, pasien TBC, pasien IMS (penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks di dalam atau di luar nikah, seperti GO, sifilis, hepatitis B, dll.). Maka, dengan peduduk 20-an juta Malaysia sudah ’menjarin’ ….kasus HIV/AIDS. Bandingkan dengan Indonesia yang berpenduduk 240 juta hanya malorkan 20.000 kasus AIDS.
Kedua, kasus kecil karena tidak semua kasus yang terdeteksi dilaporkan. Misalnya, ada dokter atau rumah sakit yang tidak melaporkan kasus HIV dan AIDS yang terdeteksi karena terikat perjanjian dengan pasien. Ada pula penduduk Enrekang yang terdeteksi di luar darah tapi tidak melaporkannya.
Ketiga, jumlah penduduk yang tertular HIV memang sedikit. Tapi, tunggu dulu. Inibisa menjadi bumerang karena yang menjadi patokan semu yaitu: a. di daerah itu tidak ada lokalisasi pelacuran (padahal, penduduk bisa melakukan hubungan seks berisiko tertular HIV di luar daerah atau di luar negeri), dan b. masyarakatnya bemoral, berbudaya dan beragama (di Arab Saudi yang memakai Alquran sebagai UUD sudah dilaporkan lebih dari 12.000 kasus AIDS), serta alasan-alasan normatif lain yang sama sekali tidak terkait langsung dengan penularan dan pencegahan HIV.
Ada pula pernyataan ” kita perlu memberikan pemahaman pada masyarakat, terutama remaja tentang pentingnya pencegahan.” Ini merupakan stigmatisaasi terhadap remaja. Ada fakta yang luput dari perhatian terkait dengan proporsi kasus HIV dan AIDS yang banyak terdeteksi di kalangan remaja. Ini terjadi di kalangan remaja penyalahguna narkoba. Remaja yang akan menjalani rehabilitasi wajib tes HIV sehingga banyak yang terdeteksi. Sebaliknya, tidak ada mekanisme yang bisa mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa.
Pertanyaannya, adalah: Apakah tingkat penyalahguna narkoba dan hubungan seks berisiko tidak ada di kalangan dewasa? Kasus HIV dan AIDS di kalangan dewasa akan menjadi bom waktu ledakan AIDS. Kalangan dewasa yang tertular HIV akan menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal tanpa mereka sadari. Yang beristri akan menularkan HIV kepada istirnya, selingkuhannya atau istrinya yang lain (horizontal). Kalau istrinya tertjular maka ada risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak (vertikal).
Ada lagi pernyataan ” …. sampai sekarang belum ada obat yang bisa menyembuhkan HIV/AIDS.” Ini tidak akurat karena bukan hanya HIV/AIDS yang tidak bisa disembuhkan. Diabetes dan darah tinggi tidak bisa disembuhkan. Sekarang sudah ada obat antiretroviral (ARV) yang bisa menekan laju perkembangan HIV di dalam darah.
Disebutkan pula ”Nurhasan yang juga Wakil Bupati (Wabup) Enrekang itu meminta tokoh agama, tokoh adat, serta masyarakat untuk terlibat dalam sosialisasi pencegahan penyebaran HIV/AIDS tersebut.” Ini anjuran yang baik. Tapi, celakanya yang dikedepankan hanya mitos dan upaya pencegahan pun mengedepankan norma, moral dan agama. Akibatnya, cara-cara pencegahan yang realitistis justru tidak muncul.
Di Indonesia sudah ada 36 perda tingkat provinsi, kabupaten dan kota tentang penanggulangan AIDS. Tapi, hanya ’macan kertas’ karena tidak mengatur fakta. Perda-perda itu justru menyuburkan mitos, stigma dan diskriminasi.
Misalnya, cara pencegahan yang diwajibkan perda-perda itu adalah meningkatkan iman dan taqwa, hibup bersih, dll. Akibatnya, hal ini mengesankan bahwa orang-orang yang tertular HIV tidak beriman, tidak bertakwa dan tidak hidup bersih. Ini mendorong stigma dan diskriminasi terhadap Odha (Orang dengan HIV/AIDS.
Tampaknya, kita tidak bisa belajar dari sejarah dan pengalaman negara lain. Di Afrika, Amerika, Australia dan Eropa Barat kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa sudah mulai menunjukkan grafik yan mendatar. Ini terjadi karena penduduk di sana sudah mengetahui cara-cara pencegahan HIV dengan benar.
Di kawasan Asia Pasifik yang terjadi justru sebaliknya. Kasus infeksi HIV di kalangan dewasa meroket. Indonesia termasuk satu dari tiga negara dengan peningkatan kasus infeksi HIV yang besar setelah Cina, dan India.
Apakah kita harus menunggu ledakan AIDS baru mau menyebarluaskan informasi HIV/AIDS yang akurat? Agaknya, kita lebih senang mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan aurat! sumber
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar