يَسْأَلُونَكَ عَنِ الأَنفَالِ قُلِ الأَنفَالُ لِلّهِ وَالرَّسُولِ فَاتَّقُواْ اللّهَ وَأَصْلِحُواْ ذَاتَ بِيْنِكُمْ وَأَطِيعُواْ اللّهَ وَرَسُولَهُ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
"Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang. Katakanlah: 'Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu, dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman.'" (QS. Al-Anfaal: 1)
Sungguh merinding seseorang ketika melihat para peserta Perang Badar membicarakan harta rampasan perang. Padahal, mereka adalah kaum Muhajirin yang telah rela meninggalkan segala sesuatu untuk berhijrah guna menyelamatkan akidah mereka, tanpa menghiraukan kekayaan dunia sedikit pun.
Sementara itu, orang-orang Anshar yang telah membantu kaum Muhajirin dengan merelakan harta dan rumah-rumah mereka untuk dimakan dan ditempati bersama, tidak ada sedikit pun yang bakhil terhadap kekayaan dunia sebagaimana diungkapkan dalam firman-Nya.
وَالَّذِينَ تَبَوَّؤُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَى أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
"Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Ansar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung." (QS. Al-Hasyr: 9)
Akan tetapi, kita dapati sebagian tafsir membawakan beberapa riwayat yang memaparkan fenomena ini (fenomena tentang perselisihan antar beberapa individu dalam status kepemilikan harta rampasan perang, red).
Harta rampasan pada waktu itu berhubungan dengan cobaan yang baik dalam peperangan. Dengan begitu, ia menjadi bukti cobaan yang baik. Pada waktu itu, orang-orang sangat berambisi mendapatkan bukti atau kesaksian ini dari Rasulullah dan dari Allah, dalam peperangan pertama untuk mengobati hati mereka dari sakit hati terhadap orang-orang musyrik.
Ambisi ini telah menutup dan mengalahkan persoalan lain yang dilupakan oleh orang-orang yang membicarakan surah Al-Anfaal. Sehingga, Allah mengingatkan mereka dan mengambalikan mereka kepada-Nya.
Inilah keharusan bertoleransi di antara mereka dalam bergaul, serta berdamai dalam hati dan perasaan. Sehingga, mereka menyadarinya sebagaimana yang dikatakan oleh Ubadah ibnush-Shamit r.a., “Mengenai kami, para peserta Perang Badar, diturunkannya surah ini ketika kami berselisih tentang harta rampasan perang, dan akhlak kami menjadi buruk. Maka, Allah melepaskan harta rampasan itu dari tangan kami, dan menyerahkannya kepada Rasulullah saw.”
Allah telah memberikan tarbiyah Rabbaniyah kepada mereka dengan perkataan dan perbuatan, dengan dilepaskan-Nya seluruh harta rampasan dari tangan mereka dan dikembalikan-Nya kepada Rasulullah. Sehingga, Dia menurunkan hukum mengenai pembagian harta rampasan ini secara keseluruhan.
Maka, harta rampasan ini bukan hak mereka yang patut mereka perselisihkan. Akan tetapi, merupakan karunia dari Allah kepada mereka, yang dibagi-bagikan oleh Rasulullah sebagaimana yang diajarkan Allah kepada beliau. Hal ini selain pendidikan praktis sekaligus merupakan pengarahan jangka panjang, yang dimulai dengan ayat-ayat ini, dan berkelanjutan dengan ayat-ayat berikutnya.
(QS. Al-Anfaal: 1)
Bisikan yang datang kepada hati yang berselisih tentang harta rampasan ini adalah bisikan supaya bertakwa kepada Allah. Mahasuci Pencipta hati Yang Maha Mengetahui rahasia-rahasia hati. Dia tidak memalingkan hati dari kepekaan terhadap kekayaan kehidupan dunia dan tidak melepaskannya, meskipun penjelasan ini sarat dengan makna sebagai bukti terhadap ujian yang baik.
Yaitu, memokuskan perasaan untuk bertakwa kepada Allah, takut kepada-Nya, dan mencari ridha-Nya dalam urusan dunia dan akhirat. Sesungguhnya hati yang tidak bergantung kepada Allah, tidak takut kemurkaan-Nya, dan tidak mencari ridha-Nya, niscaya ia tidak akan dapat lepas dari beban harta kekayaan duniawi dan tidak akan dapat bebas merdeka.
Takwa merupakan kendali hati, yang dapat menuntunnya untuk tunduk dan patuh kepada Allah dengan mudah. Dengan kendali ini, Alquran membimbing hati untuk memperbaiki dirinya sendiri.
“…Sebab itu, bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu…”
Dengan kendali ini, Alquran membimbingnya untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya, “Taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya….”
Ketaatan pertama di sini ialah ketaatan kepada hukum yang telah ditetapkan Allah berkenaan dengan harta rampasan perang. Harta rampasan perang itu telah lepas dari tangan seorang peserta perang secara mutlak, dan kepemilikannya secara mendasar kembali kepada Allah dan Rasul-Nya.
Maka, hak penggunaan harta itu bermuara kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada sikap lain bagi orang-orang yang beriman selain menyerah kepada hukum Allah dan pembagian Rasulullah dalam masalah harta rampasan perang ini, dengan hati yang ikhlas dan jiwa yang rela.
Dengan demikian, mereka akan dapat memperbaiki hubungan dan perasaan mereka. Hati mereka menjadi jernih di dalam menghadapi sebagian yang lain. Begitulah, “…Jika kamu adalah orang-orang yang beriman…”
Oleh karena itu, iman harus memiliki bentuk amaliah yang praktis dan tampak jelas. Tujuannya untuk memantapkan keberadaannya dan menerjemahkan hakikatnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Iman itu bukan angan-angan (khayalan) dan bermanis mulut. Akan tetapi, iman adalah sesuatu (keyakinan) yang mantap di dalam hati dan dibuktikan dengan amal.” (HR. Ad-Dailami dari Anas)
Oleh karena itu, komentar semacam ini banyak terdapat di dalam Alquran untuk mengukuhkan makna yang ditetapkan oleh Rasulullah ini, dan untuk mentakrifkan iman dan mendefinisikannya. Juga untuk mengeluarkannya dari sekadar kata-kata yang diucapkan dengan lisan, atau angan-angan kosong yang tidak ada realisasinya dalam dunia amal yang nyata.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhan-lah mereka bertawakal." (QS. Al-Anfaal: 2-4)
Pengungkapakan Alquran dengan bangunan kata yang lembut ini menunjukkan materi kandungan maknawi (spritual)nya. Di dalam ungkapannya ini terdapat kata sandang untuk membatasi, yaitu innamaa ‘hanya’, dan tidak ada alasan untuk mentakwilkannya (memberinya arti lain).
Di sini, juga terdapat ketetapan yang halus, dengan mengatakan bahwa yang dimaksud adalah ‘iman yang sempurna’. Tidak, tidak demikian! Sebab, seandainya yang dimaksud itu, ‘iman yang sempurna’, tentu Allah Yang Mahsuci sudah mengatakannya begitu.
Ungkapan ini merupakan ungkapan yang membatasi serta halus dan lembut petunjuknya, bahwa orang-orang yang demikian sifat-sifatnya, amalannya, dan perasaannya adalah orang-orang mukmin, orang-orang yang beriman. Orang-orang yang tidak demikian sifat-sifatnya secara keseluruhan, bukanlah orang mukmin.
Ta’kid atau penegasan pada akhir ayat, “Mereka itulah orang-orang mukmin yang sebenarnya’, merupakan penegasan terhadap hakikat ini. Maka, orang-orang yang bukan mukmin yang sebenarnya, sama sekali bukan orang mukmin. Kalimat-kalimat Alquran itu saling menafsirkan. Allah berfirman,
فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ
“Maka, apalagi sesudah kebenaran kalau bukan kesesatan?” (QS. Yunus: 32)
Dengan kata lain, apa yang bukan kebenaran adalah kesesatan.
Tidak dapat diterima pemahaman yang mengatakan bahwa antonim (kebalikan) dari sifat ‘orang-orang mukmin yang sebenarnya’ adalah orang-orang mukmin yang tidak sempurna imannya. Ungkapan Alquran yang lembut dan cermat ini tidak boleh ditentang dengan takwil-takwil yang mudah meleleh dengan segala ilustrasi dan pernyataan-pernyataan.
Oleh karena itu, para salaf mengetahui dari ayat-ayat ini bahwa orang yang pada dirinya tidak terdapat sifat-sifat dan amalan-amalan seperti yang disebutkan ini, berarti tidak terdapat keimanan di dalam hatinya dan dia sama sekali bukan orang yang beriman.
Disebutkan di dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa mengenai firman Allah, ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka’, Ali bin Thalhah berkata dari Ibnu Abbas, “Orang-orang munafik itu di dalam hatinya tidak terbetik sedikit pun ingat kepada Allah ketika menunaikan suatu kewajiban.
“Mereka tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, tidak bertawakal kepada-Nya, tidak menunaikan shalat apabila jauh dari pandangan orang lain, dan tidak menunaikan zakat harta mereka. Lantas, Allah menginformasikan bahwa mereka bukan orang yang beriman.
“Kemudian, Allah menyifati orang-orang mukmin dengan firman-Nya, ‘Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka.’ Lantas, mereka menunaikan kewajiban-kewajibannya. ‘Dan, apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah iman mereka’, yakni bertambah keyakinan mereka. “Kepada Tuhanlah mereka bertawakal”, yakni tidak berharap kepada selain-Nya.”
Akan kita lihat dari sifat-sifat ini bahwa tidak mungkin ada iman tanpa sifat-sifat ini. Persoalannya, bukanlah persoalan kesempurnaan atau kekurangan iman. Persoalannya adalah persoalan ada atau tidaknya iman.
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka….” (QS. Al-Anfaal: 2)
Ini adalah getaran perasaan yang menyentuh kalbu orang mukmin ketika disebut nama Allah dalam suatu perintah atau larangan. Maka, ia merasa tertutup oleh keagungan-Nya, meluaplah rasa takutnya kepada-Nya, terbayanglah olehnya keagungan Allah dan kehebatan-Nya.
Di samping itu, terbayang pula kekurangan dirinya dan dosa-dosanya, lantas termotivasi untuk melakukan amal dan ketaatan. Atau, seperti yang dikatakan Ummud Darda’ r.a. yang diriwayatkan oleh Ats-Tsauri, dari Abdullah bin Utsman bin Khatsyam, dari Syahr bin Hausyab.
Ummud Darda’ berkata, “Gemetar dalam hati itu seperti bisul yang panas (hendak pecah), apakah engkau merasa gemetar waktu itu?” Yang ditanya menjawab, “Benar.” Ummu Darda’ berkata, “Apabila engkau merasa hal itu, maka berdoalah kepada Allah, karena doa itu dapat menghilangkan hal itu.”
Itulah keadaan hati yang memerlukan doa untuk menenangkan dan menenteramkannya. Dan begitulah keadaan hati orang mukmin ketika disebut nama Allah dalam suatu perintah atau larangan, sehingga ia lantas melaksanakan perintah itu dan menjauhi larangan tersebut, sebagaimana dikehendaki Allah Yang Mahaluhur, karena mengagungkan Allah dan takut kepada-Nya.
وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا
“…Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, maka bertambahlah iman mereka….”
Hati yang beriman itu dapat menemukan di dalam Alquran sesuatu yang bisa menambah keimanan dan mengantarkannya kepada ketentraman. Sesungguhnya Alquran dapat berinteraksi dengan hati manusia tanpa perantaraan siapa pun, dan tidak dapat dihalangi oleh sesuatu pun kecuali kekufuran.
Apabila penghalang iman ini tidak ada, maka hati akan merasakan manisnya Alquran. Kesan-kesannya yang berulang-ulang akan menambah keimanan yang mengantarkan hati kepada ketenangan dan kemantapan.
Sebagaimana kesan-kesan Alquran di dalam hati yang beriman dapat menambah keimanan, maka hati yang beriman inilah yang mengetahui adanya kesan-kesan yang dapat menambah keimanan itu.
Oleh karena itu, penetapan hakikat ini disebutkan secara berulang-ulang di dalam Alquran, seperti di dalam firman Allah, “Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang-orang mukmin.” Salah seorang sahabat pernah berkata, “Kami telah diberi iman sebelum diberi Alquran.”
Dengan iman ini, mereka mendapati rasa khusus terhadap Alquran. Perasaan yang didukung oleh suasana kejiwaan mereka, yang hidup dengan Alquran dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Mereka senantiasa merasakan dan memahaminya.
Dalam beberapa riwayat mengenai turunnya ayat ini, disebutkan perkataan Sa’ad bin Malik ketika dia meminta Rasulullah untuk memberikan pedang rampasan perang kepadanya. Beliau berkata kepada Sa’ad, “Sessungguhnya pedang ini bukan milikmu dan bukan milikku, maka letakkanlah ia.”
Ketika Sa’ad dipanggil, setelah dia meletakkan pedang dan pergi, ia berharap bahwa Allah telah menurunkan ayat berkenaan dengan persoalan ini. Dia berkata, “Sungguh Allah telah menurunkan sesuatu berkenaan denganku.” Rasulullah bersabda, “Tadi kamu meminta pedang kepadaku padahal ia bukan milikku. Sekarang pedang itu telah diberikan kepadaku, maka kuberikanlah ia kepadamu.”
Demikianlah para sahabat hidup dengan Rabb mereka dan bersama Alquran yang senantiasa turun kepada mereka. Ini merupakan sesuatu yang sangat besar dan saat yang menakjubkan dalam kehidupan manusia. Oleh karena itu, mereka merasakan Alquran demikian rupa.
Sebagaimana mereka melakukan gerakan praktis di bawah naungan pengarahan Alquran secara langsung, maka sentisitivitas mereka semakin meningkat. Kalau yang pertama (masa kehidupan sahabat) tidak berulang dalam kehidupan manusia, maka yang kedua (gerakan Qurani) senantiasa berulang manakala ada golongan beriman yang berusaha bergerak mengaplikasikan agam aini di dalam realitas kehidupan masyarakat sebagaimana yang dilakukan oleh golongan Islam pertama.
Golongan beriman inilah yang bergerak dengan Alquran untuk mengaplikasikan kembali agama ini dalam realitas kehidupan masyarakat. Karena, mereka telah merasakan manisnya Alquran. Dengan merasakan manisnya Alquran itu, hati mereka bertambah imannya karena mereka telah beriman secara mendasar.
Din (agam) bagi mereka merupakan gerakan untuk menegakkan agama ini sesudah masyarakat dilanda pola kehidupan jahiliyah yang telah kembali menyebar ke seluruh permukaan bumi. Bagi mereka, iman bukan sekadar angan-angan kosong. Tetapi, iman merupakan keyakinan yang tertanam dengan mantap di dalam hati dan dibuktikan dengan amal.
وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ
“Kepada Tuhanlah mereka bertawakal….”
Hanya kepada-Nya saja mereka bertawakal, sebagaimana ditunjuki oleh bentuk kalimatnya. Mereka tidak mempersekutukan-Nya dengan seorang pun untuk mereka mintai pertolongan dan perlindungan.
Atau, sebagaimana ulasan Imam Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, “Yakni, mereka tidak berharap kepada selain-Nya, tidak mengarahkan permintaan kecuali kepada-Nya, tidak berlindung kecuali kepada perilndungan-Nya, tidak meminta pemenuhan kebutuhannya kecuali kepada-Nya, dan tidak menadahkan harapan kecuali kepada-Nya.
“Mereka mengerti bahwa apa yang yang dikehendaki-Nya pasti terjadi dan apa yang tidak dikehendaki-Nya pasti tidak akan terjadi. Juga mengerti pula bahwa Dialah yang menjalankan kekuasaan-Nya, yang tidak ada sekutu bagi-Nya, dan tidak ada yang dapat menghalang-halangi- perlaksanaan keputusan-Nya, sedang Dia Mahacepat perhitungan-Nya. Oleh karena itu, Sa’id bin Jubair berkata, ‘Tawakal kepada Allah merupakan keseluruhan unsur iman.”
Inilah kemurnian kepercayaan terhadap keesaan Allah, ketulusan ibadah kepada-Nya, tanpa selain-Nya. Maka, tidak mungkin berkumpul dalam hati seseorang antara sikap mentauhidkan Allah dan bertawakal kepada apa pun selain kepada Allah.
Orang-orang yang hatinya bertawakal kepada seseorang atau kepada suatu sebab, maka ia harus mempertanyakan kepada hatinya tentang keimanannya kepada Allah.
Tawakal kepada Allah Yang Maha Esa ini tidak menghalangi manusia untuk melakukan sebab-sebab atau usaha. Orang yang beriman menjadikan sebab ini sebagai bab iman kepada Allah dalam menaati perintah-Nya untuk melakukan usaha itu.
Namun, ia tidak menjadikan sebab itu sebagai sesuatu yang menimbulkan hasil lantas ia bertawakal kepadanya. Yang menimbulkan hasil, sebagaimana yang menimbulkan sebab, adalah ketentuan Allah. Tidak ada hubungan antara sebab dan hasil di dalam perasaan orang mukmin.
Mengambil sebab (melakukan usaha) merupakan suatu ibadah karena itu adalah ketaatan. Sedangkan, kenyataan keberhasilan merupakan qadar dari Allah yang bebas dari sebab mana pun. Tidak ada yang berkuasa menjadikan keberhasilan ini kecuali Allah.
Dengan demikian, perasaan orang yang beriman itu bebas dari menyembah sebab-sebab dan dari bergantung kepadanya. Pada waktu yang sama, ia melakukan usaha-usaha sesuai dengan kemampuannya untuk mendapatkan pahala dari Allah sebagai pelaksaan ketaatan.
Jahiliyah “ilmiyah” modern telah memasuki apa yang disebut dengan “ketentuan hukum alam”, untuk menafikan ‘qadar Allah’ dan ‘kegaiban Allah’. Pada akhirnya, hal itu menghentikan sarana-sarana dan eksperimen-eksperimennya sendiri di hadapan kegaiban Allah dan qadar-Nya seperti berhentinya orang yang tidak mampu mendapatkan informasi yang pasti, dan berlari kepada teori ‘kemungkinan’ di dunia materi.
Sehingga, semua yang pasti menjadi mungkin, dan ‘yang gaib’ sebagai rahasia yang tertutup. Tinggallah qadar Allah sebagai satu-satunya hakikat yang meyakinkan. Juga firman Allah, “Kamu tidak tahu barangkali sesudah itu Allah menjadikan sesuatu”, sebagai satu-satunya undang-undang yang pasti.
Yakni, yang berbicara dengan benar tentang kemutlakan kehendak Ilahi di balik undang-undang alam yang dengannya Allah mengatur alam semesta ini, dengan qadar-Nya yang berlaku secara mutlak.
Sir James Jeans, seorang profesor matematika dan ilmu alam dari Inggris berkata, “Ilmu pengetahuan tempo dulu menetapkan dengan ketetapan yang dapat dipercaya, bahwa alam ini tidak menempuh kecuali satu jalan. Yaitu, jalan yang telah ditetapkan sebelumnya untuk ditempuh olehnya sejak permulaan zaman hingga akhir zaman, secara berkesinambungan sesuai dengan sebab-akibat. Ia tidak dapat lepas dari kondisi (a) yang diikuti oleh kondisi (b).
“Sedangkan menurut ilmu pengetahuan moderen, segala sesuatunya dapat dikatakan atau diprediksi hingga sekarang. Yaitu, bahwa kondisi (a) kemungkinan diikuti oleh kondisi (b), (c), atau (d), atau kondisi-kondisi lain yang tak terbatas kemungkinannya.
Memang, dapat saja dikatakan bahwa terjadi kondisi (b) lebih besar kemungkinannya daripada kondisi (c), dan kondisi (c) lebih besar kemungkinannya daripada kondisi (d) dan seterusnya. Bahkan, diperbandingkan tingkat kemungkinan-kemungkinan antara (a), (b), (c), dan (d).
Namun, tidak dapat dipastikan, kondisi-kondisi mana yang mengikuti kondisi yang lain. Karena, semuanya dalam pencarian kemungkinan-kemungkinannya. Ada pun apa yang pasti terjadi, semuanya diserahkan kepada takdir, bagaimana pun hakikat takdir itu.
Apabila hati telah bebas dari tekanan sebab-sebab lahiriyah, maka di sana sama sekali tidak ada tempat untuk bertawakal kepada selain Allah. Qadar Allah itulah yang menjadikan setiap peristiwa. Hanya ini sajalah satu-satunya hakikat yang meyakinkan. Sedangkan, sebab-sebab lahiriyah hanya menimbulkan kemungkinan-kemungkinan yang bersifat zhanniyah ‘dugaan’ belaka.
Inilah peralihan besar yang dipindahkan oleh akidah Islami terhadap hati manusia dan pikirannya. Yakni, peralihan yang telah dijalani oleh kejahiliyahan dengan tanpa petunjuk selama tiga abad untuk mencapai tingkatan utama dalam bidang pemikiran.
Namun, tidak sedikit pun menyentuh aspek perasaan, yang menimbulkan hasil-hasil kerja yang riskan di dalam menyikapi qadar Allah. Juga di dalam menyikapi sebab-sebab dan kekuatan-kekuatan lahiriyah.
Peralihan ini adalah peralihan yang berupa kebebasan berpikir, merasa, berpolitik, sosial, moralitas, dan bentuk-bentuk kebebasan lainnya. Manusia tidak akan dapat bebas sama sekali jika mereka masih menjadi budak “kepastian” yang bukan iradah dan qadar Allah, yang menjadi kaidah ubudiyah kepada selain Allah dan qadar-Nya.
Oleh karena itu, ditegaskan di sini untuk bertawakal kepada Allah saja, dan hal ini dianggap sebagai syarat bagi ada atau tidak adanya iman. Pandangan i’tiqadi dalam Islam itu saling melengkapi, dan sangat sesuai dengan bentuk realitas yang dikehendaki agama ini bagi kehidupan manusia.
الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ
“(Yaitu) orang-orang yang mendirikan shalat…” (QS. Al-Anfaal: 3)
Kita melihat bahwa iman itu memiliki bentuk gerakan lahiriah sesudah kita melihatnya dalam sifat-sifatya terdahulu sebagai perasaan hati dan batin. Hal itu karena iman merupakan keyakinan yang tertanam di dalam hati dan dibuktikan dengana amal perbuatan. Maka, amal ini merupakan fenomena lahiriah bagi iman yang memang harus memiliki bukti-bukti lahiriah yang jelas.
Mendirikan shalat itu bukan sekadar mengerjakan shalat. Mendirikan shalat adalah menunaikan shalat dengan merealisasikan hakikatnya. Yaitu, penunaian yang sempurna dan sesuai dengan posisi seorang hamba yang sedang mengabdikan diri di hadapan Al-Ma’bud (Tuhan yang disembah).
Jadi, bukan sekadar membaca, berdiri, ruku, dan sujud, sedang hatinya lalai. Shalat dalam wujudnya yang sempurna menjadi bukti riil adanya iman.
وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
“Dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka.”
Baik yang berupa zakat maupun non-zakat. Mereka menafkahkan “sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” Maka, apa yang mereka nafkahkan itu adalah sebagian dari rezeki Yang Maha Pemberi rezeki yang diberikan-Nya kepada mereka.
Nash Alquran memang senantiasa memiliki bayang-bayang dan kesan-kesan. Maka, mereka sama sekali tidak pernah menciptakan harta ini. Tetapi, harta itu diberikan Allah kepada mereka di samping rezeki-rezeki lain yang tak terhitung nilainya.
Apabila mereka memberikan infak, maka yang mereka infakkan itu hanya sebagian saja dari rezeki itu. Sedangkan, sebagian yang lain mereka pergunakan untuk keperluan mereka sendiri. Semua itu adalah rezeki dari Allah semata.
Itulah sifat-sifat iman yang ditetapkan Allah dalam ayat-ayat ini. Yaitu, yang meliputi keyakinan terhadap keesaan Allah, kepatuhan perasaan untuk mengingat Allah, kesan hati terhadap ayat-ayat-Nya, bertawakal kepada-Nya saja, mendirikan shalat karena Allah, dan menginfakkan sebagian dari rezeki yang diberikan Allah kepadanya.
Sifat-sifat ini belum menggambarkan detil-detil iman sebagaimana disebutkan dalam nash-nash lain. Namun, hanya dalam menghadapi satu kondisi riil saja. Yaitu, perselisihan tentang harta rampasan perang dan kerusakan hubungan yang ditimbulkan olehnya. Kemudian disebutkanlah sifat-sifat orang mukmin di dalam menghadapi kondisi ini.
Pada waktu yang sama, ayat-ayat ini menjelaskan bahwa orang-orang yang tidak memiliki sifat-sifat ini secara total berarti tidak terdapat hakikat iman pada dirinya, dengan menutup mata apakah syarat-syarat iman diselidiki secara mendalam atau tidak.
Maka, manhaj Rabbani dengan Alquran inilah yang menetapkan syarat-syarat dan pengarahan-pengarahan di dalam menghadapi kondisi-kondisi riil yang bermacam-macam. Karena, manhaj Alquran merupakan manhaj yang realistis, praktis, dan dinamis. Ia bukan cuma teoritis yang ditekankan pada bangunan teori dan pemaparannya.
Sesuai dengan kaidah ini, maka datanglah komentar akhir pada ujung ayat,
أُوْلَئِكَ هُمُ الْمُؤْمِنُونَ حَقًّا لَّهُمْ دَرَجَاتٌ عِندَ رَبِّهِمْ وَمَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (rahmat) yang mulia.” (QS. Al-Anfaal: 4)
Sifat-sifat ini hanya terdapat pada diri dan amalan orang yang beriman dengan sebenarnya. Barangsiapa yang tidak memiliki sifat-sifat ini secara total, maka dia tidak memiliki sifat iman. Pada waktu yang sama, ayat-ayat ini untuk menghadapi kondisi saat ia diturukan.
Di antaranya, untuk menjelaskan tentang orang yang berkeinginan untuk mati syahid sebagai ujian yang baik, bahwa orang-orang yang memiliki sifat-sifat ini “akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya”. Juga untuk menghadapi perselisihan dengan moralitas ang buruk, sebagaimana dikatakan oleh Ubadah ibnush-Shamit, bahwa orang yang memiliki sifat-sifat iman ini akan mendapatkan “pengampunan” dari Tuhan mereka.
Maka, ditutuplah seluruh keadaannya, semua perasaan dan sikap yang meliputi dan melingkupinya. Pada waktu yang sama ditetapkan hakikat temanya bahwa orang yang tidak memiliki sifat-sifat ini secara total, maka dia akan mendapatkan hakikat iman.
“Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya…”
Kelompok muslim pertama sudah diberi tahu bahwa iman itu memiliki hakikat yang harus dijumpai oleh setiap orang di dalam dirinya. Iman itu bukan pengakuan hampa, bukan sekadar pernyataan lisan, dan bukan pula imajinasi kosong.
Al-Hafizh ath-Thabrani mengatakan bahwa telah diinformasikan kepadanya oleh Muhammad bin Abdullah al-Hadhrami dari Abu Kuraib, dari Zaid ibnul-Habbab, dari Ibnu Luhai’ah dan khalid bin Yazid as-Saksaki dari Sa’id bin Abi Hilal, dari Muhammad bin Abul Jahm, dari al-Harits bin Malik al-Anshari, bahwa ia pernah melewati Rasulullah, lalu beliau bertanya kepadanya, “Bagaimana keadaanmu pagi ini, wahai Harits?” Al-Harits menjawab, “Pagi ini saya sebagai orang mukmin yang sebenarnya.”
Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Perhatikanlah apa yang engkau ucapkan itu, karena tiap-tiap sesuatu itu memiliki hakikat. Apakah hakikat keimananmu?”
Al-Harits menjawab, “Diriku telah menjauhi keduniaan, aku berjaga (tidak tidur) pada malam hari dan haus (berpuasa) pada siang hari, seolah-olah aku melihat Arasy Tuhanku tampak jelas, seakan-akan aku melihat para ahli surga sedang saling berkunjung, dan seakan-akan aku melihat para ahli neraka sedang meliuk-liuk kelaparan dan kepanasan.”
Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Harits, engkau sudah mengerti, maka konsistenlah!” Beliau mengucapkan perkataan ini tiga kali.
Sahabat yang telah mendapatkan kesaksian dari Rasulullah sebagai orang yang mengerti keadaan dirinya ini, melukiskan perasaanya dan amalan serta gerakan yang ada di belakang perasaan itu. Orang yang seakan-akan melihat Arasy Tuhannya tampak jelas, melihat para ahli surga saling mengunjungi, dan melihat para ahli neraka sedang meliuk-liuk kelaparan dan kepanasan, bahwa ia tidak hanya sekadar melihat. (sumber)
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar