Rabu, 25 Januari 2012

Taqwa sebagai Furqaan

يِا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إَن تَتَّقُواْ اللّهَ يَجْعَل لَّكُمْ فُرْقَاناً وَيُكَفِّرْ عَنكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ وَاللّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ

"Hai orang-orang yang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan kepadamu furqaan dan menghapuskan segala kesalahan-kesalahanmu dan mengampuni (dosa-dosa) mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar." (QS. Al-Anfaal: 29)

Seruan terakhir kepada orang-orang yang beriman, dalam segmen ini, ialah seruan untuk bertakwa. Karena, tidak mungkin hati ini mau memikul beban yang demikian berat kecuali ia berada di atas landasan yang jelas dan mendapatkan cahaya yang dapat menyingkap syubhat-syubhat, menghilangkan waswas, dan meneguhkan kaki di jalan yang panjang dan penuh duri.

Tidaklah hati memiliki furqaan atau daya pembeda antara hak dan batil ini kecuali dengan adanya sensitivitas takwa dan dengan adanya cahaya Allah.

Inilah bekal, inilah persiapan perjalanan. Bekal takwa yang dapat menghidupkan hati dan membangkitkannya. Juga menghimpun padanya persiapan-persiapan kewaspadaan, kehati-hatian, dan penjagaan diri.

Persiapan cahaya pembimbing yang menyinari jalan-jalan berliku dan tanjakan-tanjakan sejauh mata memandang. Sehingga, pandangannya tidak tertutup oleh syubhat-syubhat yang menghalangi penglihatan secara total.

Bekal selanjutnya adalah bekal ampunan terhadap dosa-dosa, bekal yang membawa ketenangan, ketenteraman, dan keteguhan. Setelah itu, adalah bekal harapan terhadap karunia Allah Yang Mahaagung pada hari ketika semua perbekalan telah tiada dan amalan tak dapat dilakukan.

Sungguh, ini adalah hakikat sebenarnya, bahwa takwa kepada Allah itu menjadi furqaan di dalam hati, yang menerangi jalan-jalan yang berbelok-belok, miring, dan mendaki. Tetapi, hakikat ini tidak diketahui kecuali oleh orang yang merasakannya secara praktis. Karena keterangan saja tidak apat mengalihkan apa yang terasa dalam hakikat ini kepada orang yang tidak merasakannya.

Urusan-urusan itu bisa menjadi kacau balau di dalam perasaan dan akal, jalan-jalan pun bisa menjadi kacau balau dalam pandangan dan pikiran, dan kebatilan bisa bercampur aduk di persimpangan-persimpangan jalan.

Hujjah atau argumentasi bisa saja membungkam lawan, tetapi belum tentu dapat memuaskan, bisa menjadikan orang terdiam, tetapi belum tentu menjadikan hati dan pikiran mau mematuhinya. Perbedaan bisa menjadi tak berguna. Dialog dan diskusi hanya membuang tenaga dengan sia-sia.

Demikianlah bila tidak terdapat ketakwaan dalam hati. Apabila ada ketakwaan, maka akal akan bersinar, kebenaran menjadi jelas, jalan-jalan menjadi terang benderang, kalbu menjadi tenteram, hati menjadi tenang, dan kaki pun jadi mantap dan teguh di jalan.

Sesungguhnya kebenaran itu sendiri tidaklah samar bagi fitrah. Sesungguhnya terdapat sinergi dan keserasian antara fitrah dengan kebenaran. Fitrah itu diciptakan dengan kebenaran, dan dengan kebenaran pula diciptakannya langit dan bumi.

Namun, hawa nafsulah yang menghalangi antara kebenaran dan fitrah. Hawa nafsulah yang menebarkan kegelapan, menghalangi pandangan, menggelapkan jalan, dan menyamarkan jejak.

Hawa nafsu tidak dapat ditolak dengan argumentasi. Ia hanya dapat ditolak dengan takwa, rasa takut kepada Allah, dan kesadaran bahwa ia diawasi oleh Allah baik ketika bersembunyi maupun di hadapan orang lain.

Karena itu, hanya furqaan atau daya pembeda inilah yang dapat menerangi mata batin, menghilangkan kesamaran, dan menerangi jalan.

Ini adalah sesuatu yang tak ternilai harganya. Tetapi, Allah dengan kepemurahan-Nya menambah lagi dengan penghapusan kesalahan dan pengampunan dosa-dosa. Kemudian ditambah lagi dengan karunia yang besar.

Sungguh ini merupakan pemberian sangat besar yang tidak dapat melakukannya kecuali Tuhan Yang Maha Pemurah dan Memiliki karunia yang besar. (sumber: eramuslim.com)

0 comments:

Posting Komentar