وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِيَ آتَيْنَاهُ آيَاتِنَا فَانسَلَخَ مِنْهَا فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطَانُ فَكَانَ مِنَ الْغَاوِينَ ﴿١٧٥﴾
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ذَّلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ ﴿١٧٦﴾
سَاء مَثَلاً الْقَوْمُ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا وَأَنفُسَهُمْ كَانُواْ يَظْلِمُونَ ﴿١٧٧﴾
Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al Kitab), kemudian dia melepaskan diri daripada ayat-ayat itu lalu dia diikuti oleh setan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat lalim. (QS. Al-A’raaf: 175-177)
Ini adalah pemandangan yang menakjubkan, baru, dan serius, yang terkandung di dalam lukisan dan pelukisan bahasa ini. Seorang manusia yang Allah berikan kepadanya ayat-ayat-Nya (pengetahuan tentang isi Alkitab), memberikan karunia kepadanya, memberinya pengetahuan, dan memberinya kesempatan yang sempurna untuk menggunakan petunjuk, berhubungan dengan Tuhan, dan meninggikan derajatnya.
Namun, ia melepaskan diri dari semua ini. Ia melepaskan diri seakan-akan ayat-ayat Allah itu sebagai kulit yang membungkus dagingnya. Lantas, ia melepaskannya dengan keras dan susah payah, seperti halnya makhluk hidup melepaskan dirinya dari kulit yang melekat pada dirinya. Bukankah keberadaan manusia itu lekat dengan rasa iman kepada Allah seperti melekatnya kulit pada tubuh?
Nah, inilah ia melepaskan diri dari ayat-ayat Allah, melepaskan diri dari penutup yang melindungi, dan baju besi pelindung diri. Ia menyimpang dari petunjuk untuk mengikuti hawa nafsu, turun dari ufuk yang bersinar cemerlang lantas belepotan dengan tanah lumpur. Sehingga, jadilah ia sebagai buruan setan yang tidak ada seorang pun yang dapat melindunginya dari setan itu. Karena itu, ia menjadi pengikut setan dan dikuasai olehnya.
Kemudian, inilah kita berada di depan pemandangan yang menakutkan dan mengerikan. Yaitu, berada di depan makhluk yang lekat ke bumi, berlumuran dengan lumpur, dan tiba-tiba keadaannya berubah seperti anjing, yang mengulurkan lidahnya kalau dihalau dan mengulurkan lidahnya meski tidak dihalau.
Pemandangan-pemandangan ini bergerak dengan beruntun, dan bayangan tentang kesan-kesannya tampak jelas. Tiba-tiba kita berada pada pemandangan terakhir. Yaitu, menjulurkan lidah yang tiada henti. Terdengar komentar yang menakutkan dan mengesankan terhadap semua pemandangan itu.
"Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat lalim." (QS. Al-A’raaf: 176-177)
Begitulah perumpamaan mereka! Ayat-ayat yang membawa petunjuk dan mengisyaratkan serta memicu keimanan melekat pada fitrah mereka dan keberadaan mereka serta seluruh wujud semesta yang ada di sekelilingnya. Tetapi, kemudian mereka melepaskan diri darinya.
Tiba-tiba, mereka berubah eksistensinya, turun derajatnya dari posisi ‘manusia’ ke posisi binatang. Posisi anjng yang bergelimang kotoran. Padahal, mereka memiliki sayap iman yang dapat digunakan terbang ke ‘illiyyin’, posisi orangorang yang tinggi dan terhormat.
Fitrah mereka yang pertama adalah dalam bentuk yang seindah-indahnya. Akan tetapi, mereka jatuh darinya ke derajat yang serendah-rendahnya.
"Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri mereka sendirilah mereka berbuat lalim." (QS. Al-A’raaf: 177)
Adakah perumpamaan yang lebih buruk dari perumpamaan ini? Adakah yang lebih buruk daripada orang yang melepaskan dan menelanjangi diri dari petunjuk? Adakah yang lebih buruk dari pada orang yang melekatkan diri ke tanah dan mengikuti hawa nafsu? Adakah yang menganiaya dirinya sendiri sebagaimana yang dilakukan oleh orang yang bersikap seperti ini?
Yang menelanjangi dirinya dari pakaian dan baju yang melindungi diriya, dan membiarkan dirinya menjadi objek setan untuk dikendalikan dan dikendarainya? Dijatuhkannya ke dunia binatang yang melekat ke tanah, yang bingung dan guncang jiwanya, yang mengulurkan lidahnya bagaikan anjing yang terengah-engah!
Adakah orang yang dapat menyifati keadaan ini dan melukiskannnya dengan lukisan yang menakjubkan dan unik ini, selain Alquran yang mengagumkan dan unik?
Selanjutnya, apakah ini sekadar informasi untuk dibaca saja? Ataukah, sebagai perumpamaan untuk melukiskan realitas yang sering terjadi? Ataukah ini hanya sekadar informasi dan cerita lepas?
Beberapa riwayat menyebutkan bahwa ini adalah informasi tentang seorang saleh di Palestina sebelum dimasuki oleh Bani Israil. Diriwayatkan secara rinci dan panjang tentang penyimpangan dan penyelewengannya, yang tidak tertutup kemungkinan cerita-cerita ini adalah cerita Israiliyat yang dikutip dalam kitab-kitab tafsir.
Ini sebagai salah satunya, yang rincian-rinciannya tidak memuaskan dan menenteramkan hati. Kemudian, di dalam riwayat-riwayat ini terdapat kontradiksi dan kegoncangan yang mendorong kita untuk semakin berhati-hati.
Terdapat pula riwayat yang mengatakan bahwa dia adalah seorang laki-laki dari Bani Israil yang bernama Bal’am bin Ba’ura’. Riwayat lain mengatakan bahwa orang itu adalah seorang lelaki dari Palestina yang diktator. Riwayat lain lagi mengatakan bahwa dia adalah orang Arab yang bernama Umayyah bin Shalt.
Ada pula riwayat yang mengatakan bahwa dia adalah seorang yang sezaman dengan masa diutusnya Rasulullah, yang bernama Abu Amir al-Fasik. Dan, ada pula riwayat yang mengatakan bahwa orang tersebut semasa dengan Nabi Musa a.s.
Ada lagi riwayat yang mengatakan bahwa dia hidup sepeninggal Musa, yaitu sezaman dengan Yusya’ bin Nun yang memerangi para diktator Bani Israil sesudah mereka kebingungan dan terkatung-katung di padang pasir selama empat puluh tahun. Yakni, sesudah Bani Israil tidak mau memenuhi perintah Allah untuk memasukinya dan berkata kepada Nabi Musa a.s., “Maka pergilah engkau bersama Tuhanmu, lalu perangilah mereka, sedang kami menunggu di sini.”
Diriwayatkan juga di dalam menafsirkan ayat-ayat yang diberikan kepadanya bahwa ayat-ayat itu adalah nama Allah yang teragung. Orang itu berdoa dengan menyebutnya, lalu dikabulkan doanya. Sebagaimana juga ada riwayat yang mengatakan bahwa ayat-ayat itu adalah kitab suci yang diturunkan, sedang dia adalah seorang Nabi. Setelah itu, terdapat keterangan yang berbeda-beda mengenai rincian cerita tersebut.
Oleh karena itu, sesuai dengan manhaj yang kami tempuh dalam tafsir Fi Zhilalil Quran ini, kami tidak ikut campur dalam urusan ini sedikit pun, karena cerita-cerita rinci seperti itu sama sekali tidak terdapat di dalam Alquran dan hadits yang marfu dari Rasulullah.
Kami hanya mengambil pelajaran yang terdapat di belakang informasi ini saja. Yaitu, menggambarkan keadaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Allah sesudah tampak jelas bagi mereka, dan mereka mengetahuinya. Tetapi, kemudian tidak istiqamah padanya.
Alangkah banyak terjadi peristiwa seperti ini di dalam kehidupan manusia. Alangkah banyak orang yang diberi pengetahuan mengenai agama Allah, tetapi mereka tidak menggunakannya sebagai petunjuk. Bahkan, mereka menjadikannya sebagai jalan untuk mengubah kalimat-kalimat Allah dari tempat-tempat dan posisinya, demi mengikuti hawa nafsu.
Yakni, hawa nafsu mereka sendiri dan hawa nafsu para penguasa yang berkuasa atas diri mereka, menurut anggapan mereka, dalam menghadapi kehidupan dunia.
Betapa banyak orang yang mengerti hakikat agama Allah, tetapi kemudian dia menyeleweng darinya, dan menyatakan yang sebaliknya. Mereka mempergunakan ilmunya ini untuk melakukan penyelewengan-penyelewengan yang dimaksud, dan memberikan fatwa-fatwa murahan kepada penguasa negara yang sebenarnya akan lenyap!
Mereka berusaha memantapkan kekuasaan yang menentang kekuasaan dan kehormatan agama Allah di muka bumi seluruhnya!
Kita melihat bahwa di antara mereka ada orang yang mengerti dan mengatakan bahwa membuat syariat dan hukum itu adalah hak Allah. Tetapi, kemudian dia mengaku dirinya punya hak uluhiyyah, padahal orang yang mengklaim dirinya punya hak uluhiyyah adalah kafir. Barangsiapa yang mengakui hak uluhiyyah ini bagi manusia, maka sesungguhnya dia juga telah kafir!
Di samping pengetahuannya terhadap hakikat ini, yang ia ketahui sebagai sesuatu yang pasti dalam agama, maka dia juga biasa memohon kepada thagut-thagut yang mengklaim punya hak membuat syariat dan hukum yang nota bene mengklaim dirinya punya hak uluhiyyah yang pada hakikatnya suda kafir tetapi masih disebut ‘muslim’.
Apa yang mereka lakukan itu sebagai ‘islam’ yang tidak ada lagi Islam sesudah itu. Kita melihat di antara mereka ada yang menulis tentang haramnya riba secara umum dan menyeluruh. Tetapi, kemudian dia menulis bahwa riba itu halal secara khusus.
Kita melihat di antara mereka ada orang yang memberkahi kedurhakaan dan kemungkaran termasuk prostitusi di kalangan masyarakat. Lalu, dia campakkan selendang agama, tanda-tanda pengenal, dan identitas-identitasnya di atas lumpur ini.
Nah, bukankah ini sebagai pembuktian terhadap informasi tentang orang yang telah diberikan kepadanya ayat-ayat Allah, lantas dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu dan mengikuti setan, sehingga ia menjadi orang yang zalim? Bukankah ini sebagai bukti perubahan keadaan seperti yang diceritakan Allah mengenai pelaku cerita itu.
وَلَوْ شِئْنَا لَرَفَعْنَاهُ بِهَا وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى الأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِن تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَث ذَّلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِينَ كَذَّبُواْ بِآيَاتِنَا فَاقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir." (QS. Al-A'raaf: 176)
Kalau Allah menghendaki, niscaya Dia mengangkat derajatnya dengan pengetahuannya tentang ayat-ayat-Nya itu. Tetapi, Allah Yang Mahasuci tidak menghendaki. Karena, orang yang mengetahui ayat-ayat Allah itu cenderung kepada dunia dan mengikuti hawa nafsunya, tidak mengikuti ayat-ayat-Nya.
Ini adalah perumpamaan bagi setiap orang yang Allah telah memberikan ilmu-Nya kepadanya, tetapi dia tidak memanfaatkan ilmu ini. Ia tidak mau istiqamah di jalan iman, dan melepaskan diri dari nikmat Allah. Kemudian menjadi pengikut setan yang hina dina. Akhirnya, berubah wajahnya (hati dan penampilannya) seperti binatang.
Kemudian, bagaimana penguluran lidah dan keterengah-engahan yang tiada henti itu? Menurut perasaan kami, sebagaimana kesan informasi dan lukisan pemandangan dalam Alquran itu, bahwa penguluran lidah di balik kekayaan kehidupan duniawi yang untuk mendapatkannya itu orang-orang yang diberikan ayat-ayat Allah, melepaskan diri dari ayat-ayat itu.
Penguluran lidah dan keterengah-engahan yang berupa keguncangan hati yang tidak pernah tenang selamnya, yang tidak pernah lepas dari pelakunya, baik anda nasihati maupun tidak. Karena, dia terus bergelimang dalam keadaan yang demikian!
Kehidupan manusia senantiasa menampakkan perumpamaan seperti ini kepada kita di semua tempat, masa, dan lingkungan. Sehingga, hampir tidak ada waktu berlalu melainkan mata kita melihat adanya manusia seperti dalam perumpamaan itu di dunia ini, kecuali orang-orang yang dilindungi oleh Allah.
Yaitu, orang-orang yang tidak melepaskan diri dari ayat-ayat Allah dan tidak melekatkan dirinya (cenderung) kepada kehidupan dunia, tidak mengikuti hawa nafsu, dan tidak mau dihinakan oleh setan. Juga tidak mengulur-ulurkan lidahnya untuk mendapatkan kekayaan di belakang penguasa.
Nah, ini adalah perumpamaan yang senantiasa ada dan terwujud dalam realitas. Hal ini tidak terbatas pada kisah yang terjadi pada suatu generasi tertentu saja!
Allah telah memerintahkan Rasul-Nya agar membacakannya kepada kaumnya yang kepada merekalah diturunkan ayat-ayat Allah, supaya mereka tidak melepaskan diri dari ayat-ayat yang telah diberikan kepada mereka itu. Kemudian senantiasa dibaca oleh dan dibacakan kepada orang-orang sesudahnya dan sesudahnya lagi.
Sehingga, orang-orang yang mendapatkan pengetahuan dari Allah berhati-hati agar tidak menjadi seperti itu, dan tidak mengulurkan lidah dan terengah-engah yang tiada henti. Juga supaya tidak menganiaya dirinya sendiri dengan penganiayaan yang tidak pernah dilakukan oleh seorang musuh terhadap musuhnya. Karena, sebenarnya mereka tidak menganiaya melainkan menganiaya dirinya sendiri dengan sikapnya itu.
Kita melihat di antara mereka itu, mudah-mudahan Allah melindungi kita, pada zaman sekarang ini orang yang tampaknya begitu berambisi menganiaya dirinya sendiri. Atau, sepertinya berpegang teguh pada kedudukan yang dengannya dia akan masuk ke jurang neraka, yang merasa khawatir posisinya direbut oleh orang lain.
Maka, setiap hari dia berusaha mengokohkan kedudukannya ini di neraka! Dia senantiasa mengulurkan lidahnya untuk mendapatkan keinginannya ini hingga meninggal dunia.
Ya Allah, lindungilah kami, teguhkanlah kaki kami, curahkanlah kesabaran atas kami, dan matikanlah kami sebagai orang-orang muslim. Orang-orang yang menyerahkan diri dengan taat dan patuh kepada-Mu.
Ini adalah perumpamaan bagi ilmu yang tidak dapat melindungi pemiliknya dari memperturutkan hawa nafsu dan keinginannya. Lantas, melekat ke bumi (cenderung kepada kehidupan dunia) tanpa dapat melepaskan diri dari beban dan daya tariknya, dan memperturutkan hawa nafsunya. Lalu, dikendalikan dan dibimbing oleh setan dengan kekang hawa nafsu.
Ilmu saja, ternyata, tidak cukup untuk melindungi pemiliknya. Alquran menggunakan metodenya sendiri untuk membentuk jiwa muslimin dan kehidupan Islami. Ilmu bukan semata-mata pengetahuan. Tetapi, semestinya ia dapat menciptakan akidah yang hangat, bersemangat, dan bergerak untuk mengimplementasikan petunjuknya di dalam hati dan alam kehidupan.
Manhaj Alquran tidak menyuguhkan akidah dalam bentuk ‘teori’ untuk kajian. Karena, ini hanya semata-mata pengetahuan yang tidak menimbulkan sesuatu pu di dalam hati dan alam kehidupan. Dan, itulah ilmu yang beku yang tidak dapat melindungi pemiliknya dari hawa nafsu. Juga tidak menghilangkan beban syahwat sedikit pun, dan tidak dapat menolak setan. Bahkan, kadang-kadang malah menjadikannya mengikuti jalannya dan menjadi budaknya.
Alquran juga tidak menyuguhkan agama Islam ini sebagai kajian-kajian dalam ‘sistem islami’, ‘fikih islami’, ‘ekonomi islami’, ‘ilmu alam’, ‘ilmu jiwa’, dan bentuk-bentuk kajian ilmu pengetahuan lainnya.
Alquran menyuguhkan agama ini sebagai akidah yang memiliki daya dorong (motivator), memancarkan cahaya, menghidupkan, menyadarkan, mengangkat, dan meninggikan. Juga mendorong manusia untuk bergerak mengaplikasikan muatan petunjuknya begitu telah mantap di dalam hati.
Alquran juga menghidupkan hati yang mati sehingga dapat menggeliat, bergerak, dan tampil ke depan. Juga membangkitkan perangkat-perangkat dan potensi dalam fitrah untuk menerima dan mrespon. Dengan demikian, ia kembali kepada perjanjian Allah yang pertama, dan meninggikan cita-cita dan keinginan. Sehingga, tidak terikat oleh daya tarik tanah (kehidupan dunia) melulu dan tidak melekat di bumi selamanya.
Alquran juga menghidangkan agama sebagai manhaj untuk dinalar dan direnungkan, yang berbeda dengan manhaj-manhaj buatan manusia. Karena, Islam datang untuk menyelamatkan manusia dari keterbatasan, kesalahan, dan penyimpangan manhaj-manhaj mereka di bawah permainan hawa nafsu, beratnya badan, dan tipu daya setan.
Alquran menghidangkan Islam sebagai timbangan untuk menimbang kebenaran agar menjadi pedoman bagi akal dan pikiran manusia. Ia menjadi timbangan untuk menimbang dan mengukur arah mereka, gerakan mereka, dan persepsi mereka. Maka, apa yang diterima oleh timbangan ini adalah benar unutk dilaksanakan, dan apa yang ditolaknya berarti salah dan harus dicabut.
Alquran menyuguhkan Islam sebagai manhaj untuk bergerak. Juga untuk memandu perjalanan manusia langkah demi langkah mendaki puncak tertinggi, sesuai dengan program dan ketentuan-ketentuannya.
Di tengah gerak riilnya, Islam membentuk sistem kehidupan bagi manusia, membangun prinsip-prinsip syariatnya, dan kaidah-kaidah ekonomi, sosial, dan politik mereka. Kemudian, dengan akalnya yang berpedoman pada Islam, manusia menciptakan aturan-aturan hukum fikih, ilmu-ilmu kealaman, ilmu jiwa, dan semua kebutuhan hidup praktis mereka yang riil.
Mereka menciptakannya, sedang di dalam jiwanya terdapat kehangatan dan motivasi, akidah, keseriusan melaksanakan syariah dan merealisasikannya, dan kebutuhan-kebutuhan hidup riill dengan arahan-arahannya.
Inilah manhaj Alquran di dalam membentuk jiwa muslimin dan kehidupan Islami. Ada pun kajian teoritis yang semata-mata hanya kajian, maka yang demikian iniilah ilmu yang tidak dapat melindungi pemiliknya dari kecenderungan kepada kehidupan dunia, dorongan hawa nafsu, dan godaan setan. Juga tidak menyuguhkan kebaikan bagi kehidupan manusia.
Alquran memberikan komentar terhadap perumpamaan personifikatif dalam pemandangan ini, bagi orang yang Allah telah berikan ayat-ayat-Nya kepadanya. Lalu, ia melepaskan diri dari ayat-ayat itu.
Hal ini menggambarkan bahwa petunjuk itu adalah petunjuk Allah. Barangsiapa yang diberi hidayah oleh Allah, maka dialah orang yang mendapat petunjuk yang sebenarnya. Dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka dialah yang merugi, yang tidak mendapatkan keuntungan sedikit pun.
مَن يَهْدِ اللّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَن يُضْلِلْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
"Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi. "(QS. Al-A’raaf: 178)
Allah akan memberi petunjuk kepada orang yang berjuang untuk mendapatkan petunjuk, sebagaimana dinyatakan Allah dalam surah lain.
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَإِنَّ اللَّهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِينَ
"Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik." (QS. Al-Ankaabut: 69)
Demikian pula, Allah menyesatkan orang yang mencari kesesatan untuk dirinya sendiri dan berpaling dari petunjuk-petunjuk hidayah dan petunjuk-petunjuk yang membawa kepada keimanan. Lalu, ia menutup hati, pendengaran, dan pandangannya dari petunjuk itu. Demikianlah sebagaimana disebutkan pada ayat sesudahnya dalam surah ini.
وَلَقَدْ ذَرَأْنَا لِجَهَنَّمَ كَثِيرًا مِّنَ الْجِنِّ وَالإِنسِ لَهُمْ قُلُوبٌ لاَّ يَفْقَهُونَ بِهَا وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَّ يُبْصِرُونَ بِهَا وَلَهُمْ آذَانٌ لاَّ يَسْمَعُونَ بِهَا
"Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah)." (QS. Al-A’raaf: 179)
“Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya.” (QS. Al-Baqarah: 10)
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kezaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa) mereka dan tidak (pula) akan menunjukkan jalan kepada mereka, kecuali jalan ke neraka jahannam. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.” (QS. An-Nisaa: 168-169)
Dengan mengkaji nash-nash tentang hidayah dan kesesatan dan menelusuri petunjuk-petunjuknya, maka akan muluslah sebuah jalan bagi kita yang jauh dari perdebatan yang disebarkan oleh para mutakallimin dalam firqah-firqah islamiah. Juga yang disebarkan oleh para teolog kristen dan para filsuf seputar masalah qadha’ dan qadar secara umum.
Sesungguhnya kehendak Allah yang dengannya berlaku qadar-Nya pada manusia, ialah menciptakan manusia ini dengan persiapan-persiapan yang potensial terhadap petunjuk dan kesesatan. Yaitu, dengan memberikan kemampuan kepada fitrahnya untuk mengtahui hakikat ketuhanan yang esa dan terarah ke sana, serta diberi akal untuk membedakan antara petunjuk dan kesesatan.
Juga, diutus-Nya para rasul dengan membawa keterangan-keterangan untuk menyadarkan fitrah ketika sedang lengah dan memberi petunjuk kepada akal ketika tersesat. Setelah semua itu, terserah kepada persiapan-persiapannya yang poetnsial terhadap petunjuk dan kesesatan yang memang manusia diciptakan dengan potensi yang demikian, sesuai dengan kehendak Allah yang dengan kehendak itulah qadar-Nya berlaku.
Dalam semua hal terealisasikanlah kehendak Allah, bukan kehendak yang lain. Terjadilah apa yang terjadi dengan qadar Allah, bukan qadar yang lain. Tidak ada suatu perkara pun yang terjadi demikian melainkan karena Allah menghendaki demikian.
Tidak ada ssuatu pun yang terjadi kecuali dengan qadar Allah. Maka, di alam ini tidak ada kehendak lain yang segala urusan berjalan sesuai dengannya, sebagaimana tidak ada kekuatan kecuali qadar Allah yang menimbulkan peristiwa-peristiwa. Di dalam bingkai hakikat yang besar inilah manusia menggerakkan dirinya, dan teraplikasikanlah petunjuk dan kesesatan untuknya.
Demikianlah persepsi islami yang ditimbulkan oleh nash-nash Alquran secara sinergis dan simetris, ketika ayat-ayat itu tidak dipilah-pilah sesuai hawa nafsu masing-masing firqah dan aliran. Juga ketika yang sebagian ayat tidak diposisikan untuk menghadapi sebagian yang lain, dalam rangka adu argumentasi dan perdebatan.
Dalam nash yang sedang kita hadapi ini, Allah berfirman,
مَن يَهْدِ اللّهُ فَهُوَ الْمُهْتَدِي وَمَن يُضْلِلْ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, maka merekalah orang-orang yang merugi.” (QS. Al-A’raaf: 178)
Ayat ini menetapkan bahwa orang-orang yang ditunjukkan oleh Allah, sesuai dengan sunnah-Nya yang telah kita gambarkan pada poin terdahulu, maka dialah orang yang mendapat petunjuk yang sebenarnya.
Orang yang telah sampai pada keyakinan, mengetahui jalan kebenaran, berjalan di atas jalan yang lurus, dan kelak akan mendapatkan kebahagiaan di akhirat. Ada pun orang yang disesatkan oleh Allah, maka dialah orang yang merugi dalam segala hal dan tidak mendapatkan keuntungan sedikit pun.
Bagaimana pun ia berkuasa dan ia ia mendapatkan kekayaan, semua itu adalah debu dan ruang hampa. Kalau kita perhatikan, dia sebagai orang yang tersesat, itu pun sudah merugikan dirinya sendiri, maka apakah gerangan yang akan diperoleh dan didapat orang yang merugikan dirinya sendiri? sumber
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar