Bukit itu terletak di desa Limpasuwuk, kecamatan Sumbang kabupaten Banyumas (Jawa Tengah), tidak jauh dari lokasi wisata Baturaden yang terletak di kesejukan lereng Gunung Slamet, gunung tertinggi kedua di pulau Jawa sekaligus gunung berapi aktif yang terakhir meletus pada 2009 silam. Adalah sebuah stasiun televisi yang memantik kehebohan saat mengatakan bahwa seruas jalan di bukit ini, yang secara kasatmata nampak menanjak, ternyata mampu membuat mobil melaju tanpa ketika rem-nya dilepaskan tanpa menyalakan mesinnya. Muncullah istilah “bukit magnet”, sebagai analogi dari “jabal magnet” di dekat kota suci Madinah (Saudi Arabia), karena kelajuan mobil tersebut dianggap sebagai hasil tarikan daya magnetis setempat. Alhasil masyarakat pun datang berduyun-duyun ke lokasi yang semula sepi ini, mencoba membuktikannya dengan mata kepala sendiri.
Tim Geologi Unsoed pun diterjunkan untuk menyingkap fenomena tersebut. Dan pengukuran menunjukkan ruas jalan yang dianggap menanjak tersebut, sebenarnya justru menurun dengan sudut kemiringan 1-3 derajat. Maka ruas jalan tersebut pada hakekatnya adalah sebuah bidang miring, meskipun dengan kemiringan amat landai.
Kita bisa menerapkan Hukum Newton 2 dalam kasus ini dengan menempatkan sebuah obyek pada sebuah bidang miring dengan sudut kemiringan dianggap homogen, yang jika digambarkan adalah sebagai berikut :
Pada saat sebuah mobil ditempatkan di bidang miring dengan rem dipasang, maka gaya-gaya yang bekerja adalah gaya gesek lintasan antara lintasan dan roda serta berat mobil itu sendiri. Sementara jika rem dilepas, maka gaya gesek bisa dianggap hilang (karena bernilai sangat kecil dimana gesekan kini hanya antara poros roda dengan roda yang nilanya sangat kecil agar gerak mobil efisien) sehingga perilaku mobil kini dikendalikan sepenuhnya oleh beratnya sendiri.
Menggunakan persamaan di atas maka ketika rem mobil dilepas, kecepatan gerak mobil hanya bergantung kepada gravitasi Bumi, kemiringan bidang miring (alfa) dan panjang lintasan yang ditempuh mobil (s). Jika alfa = 1 derajat dan panjang lintasan = 50 m, maka pada ujung lintasan diperoleh 4,1 m/detik atau 15 km/jam. Bila panjang lintasan 360 meter maka kecepatan mobil di ujung lintasan mencapai 40 km/jam.
Jalan menurun pada “bukit magnet” Limpasuwuk tidak kasat mata karena kemiringannya terlalu landai. Dengan panjang lintasan 50 meter saja misalnya, maka selisih ketinggian di kedua ujung berlawanan dari lintasan tersebut hanya 87 cm, dan bila panjang lintasan 360 meter selisih ketinggiannya menjadi 6,3 meter. Ditambah dengan tidak adanya medan pandang yang bisa memandu untuk menentukan permukaan datar yang benar-benar rata, serta adanya panorama tertentu di sepanjang sisi jalan (misalnya pohon-pohon yang miring karena gejala rayapan tanah/soil creep atau lapisan-lapisan sedimen yang berorientasi tertentu) maka wajar saja bila kesan yang didapatkan dari lintasan jalan “bukit magnet” Limpasuwuk adalah naik, bukannya menurun. Dengan demikian fenomena Limpasuwuk sebenarnya sebangun dan sejalan dengan fenomena sejenis seperti di lereng gunung Kelud, yang pernah diteliti tim geolog ITS. Fenomena “jabal magnet” di dekat Madinah pun diindikasikan merupakan kasus bidang miring, seperti ditunjukkan oleh pengukuran elevasi titik per titik menggunakan GPS.
Seandainya ada konsentrasi medan magnet di suatu lokasi, apakah benar-benar mampu menggerakkan obyek seperti mobil? Jawabannya tidak. Medan magnet seperti di Bumi lebih berperan sebagai tameng pelindung bagi arus partikel-partikel bermuatan listrik yang energetik yang datang dari angkasa luar, baik dalam wujud sinar kosmis, angin Matahari maupun badai Matahari. Namun kuat medan magnet itu terlalu lemah untuk bisa menarik benda-benda besar meskipun terbuat dari logam. Pada kasus “bukit magnet” Limpasuwuk, hanya mobil dan sejenisnya yang mampu melaju itupun dengan syarat remnya harus dilepas. Jika pada lintasan yang sama ditaruh balok besi tanpa roda, takkan dijumpai gerakan yang sama sebab dengan koefisien gesekan kinetis jalan aspal senilai (rata-rata) 0,4 maka pada kemiringan 1 derajat itu gaya gesek balok besi dengan jalan aspal masih lebih besar dibanding bobot balok besi itu sendiri. sumber
Kita bisa menerapkan Hukum Newton 2 dalam kasus ini dengan menempatkan sebuah obyek pada sebuah bidang miring dengan sudut kemiringan dianggap homogen, yang jika digambarkan adalah sebagai berikut :
Pada saat sebuah mobil ditempatkan di bidang miring dengan rem dipasang, maka gaya-gaya yang bekerja adalah gaya gesek lintasan antara lintasan dan roda serta berat mobil itu sendiri. Sementara jika rem dilepas, maka gaya gesek bisa dianggap hilang (karena bernilai sangat kecil dimana gesekan kini hanya antara poros roda dengan roda yang nilanya sangat kecil agar gerak mobil efisien) sehingga perilaku mobil kini dikendalikan sepenuhnya oleh beratnya sendiri.
Menggunakan persamaan di atas maka ketika rem mobil dilepas, kecepatan gerak mobil hanya bergantung kepada gravitasi Bumi, kemiringan bidang miring (alfa) dan panjang lintasan yang ditempuh mobil (s). Jika alfa = 1 derajat dan panjang lintasan = 50 m, maka pada ujung lintasan diperoleh 4,1 m/detik atau 15 km/jam. Bila panjang lintasan 360 meter maka kecepatan mobil di ujung lintasan mencapai 40 km/jam.
Jalan menurun pada “bukit magnet” Limpasuwuk tidak kasat mata karena kemiringannya terlalu landai. Dengan panjang lintasan 50 meter saja misalnya, maka selisih ketinggian di kedua ujung berlawanan dari lintasan tersebut hanya 87 cm, dan bila panjang lintasan 360 meter selisih ketinggiannya menjadi 6,3 meter. Ditambah dengan tidak adanya medan pandang yang bisa memandu untuk menentukan permukaan datar yang benar-benar rata, serta adanya panorama tertentu di sepanjang sisi jalan (misalnya pohon-pohon yang miring karena gejala rayapan tanah/soil creep atau lapisan-lapisan sedimen yang berorientasi tertentu) maka wajar saja bila kesan yang didapatkan dari lintasan jalan “bukit magnet” Limpasuwuk adalah naik, bukannya menurun. Dengan demikian fenomena Limpasuwuk sebenarnya sebangun dan sejalan dengan fenomena sejenis seperti di lereng gunung Kelud, yang pernah diteliti tim geolog ITS. Fenomena “jabal magnet” di dekat Madinah pun diindikasikan merupakan kasus bidang miring, seperti ditunjukkan oleh pengukuran elevasi titik per titik menggunakan GPS.
Seandainya ada konsentrasi medan magnet di suatu lokasi, apakah benar-benar mampu menggerakkan obyek seperti mobil? Jawabannya tidak. Medan magnet seperti di Bumi lebih berperan sebagai tameng pelindung bagi arus partikel-partikel bermuatan listrik yang energetik yang datang dari angkasa luar, baik dalam wujud sinar kosmis, angin Matahari maupun badai Matahari. Namun kuat medan magnet itu terlalu lemah untuk bisa menarik benda-benda besar meskipun terbuat dari logam. Pada kasus “bukit magnet” Limpasuwuk, hanya mobil dan sejenisnya yang mampu melaju itupun dengan syarat remnya harus dilepas. Jika pada lintasan yang sama ditaruh balok besi tanpa roda, takkan dijumpai gerakan yang sama sebab dengan koefisien gesekan kinetis jalan aspal senilai (rata-rata) 0,4 maka pada kemiringan 1 derajat itu gaya gesek balok besi dengan jalan aspal masih lebih besar dibanding bobot balok besi itu sendiri. sumber
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar