Kecelakaan nuklir Fukushima 1. Inilah kecelakaan nuklir terparah dalam seperempat abad terakhir. Mata dunia pun menatap tajam padanya dan sebagian bertanya-tanya: akankah ia separah tragedi Chernobyl, atau bahkan lebih parah lagi? Suka atau tidak, pasca April 1986 kosakata nuklir selalu dihubung-hubungkan dengan horor Chernobyl yang demikian dramatis. Namun ada banyak alasan untuk mengatakan kecelakaan nuklir PLTN Fukushima 1 takkan menjadi separah kecelakaan nuklir Chernobyl. Berikut empat diantaranya:
Alasan pertama, perbedaan pada desain reaktor. Baik reaktor nuklir PLTN Fukushima 1 ataupun PLTN Chernobyl memang sama-sama reaktor air mendidih, yang dilengkapi pengaman seperti SCRAM (instrumen penghenti operasi reaktor secara mendadak) dan ECCS (sistem pendinginan darurat untuk reaktor). Namun reaktor nuklir Fukushima 1 berjenis BWR-460 (memproduksi 460 megawatt listrik) dan BWR-784 (memproduksi 784 megawatt listrik), yang menggunakan air ringan (air biasa) sebagai cairan pendingin dan bahan pelambat neutron (moderator). Keunggulannya, reaktor ini mudah dikendalikan meskipun pada daya rendah dan volume cairan pendingin kurang, sehingga kemungkinan-kemungkinan meliarnya daya reaktor yang disertai pembentukan uap air secara brutal menjadi tidak mungkin.
Sebaliknya, reaktor nuklir Chernobyl merupakan reaktor tipe RBMK-1000 (memproduksi 1.000 megawatt listrik) yang hanya digunakan di (eks) Uni Soviet. Gampangnya, reaktor ini mirip BWR, namun menggunakan grafit/karbon sebagai moderator sementara air ringan hanya difungsikan sebagai cairan pendingin yang dialirkan lewat kanal-kanal dalam grafit. Grafit dipilih karena murah & banyak tersedia di Uni Soviet, namun kombinasi grafit dan air ringan sebenarnya merupakan mimpi buruk fisika reaktor nuklir. Sebab ketika daya reaktor diturunkan atau ketika jumlah air berkurang, pengendalian daya reaktor jadi sangat sulit karena daya sangat mudah meliar. Terbuka kemungkinan saat diprogram untuk daya rendah dan dalam volume caian pendingin yang minim, daya reaktor RBMK tiba-tiba melonjak tajam atau tiba-tiba merosot jauh, apalagi jika pengendalian dilakukan oleh operator tak berpengalaman.
Cacat desain reaktor ini, selain kesalahan operator, merupakan faktor penyebab tragedi Chernobyl. Tragedi ini terjadi kala dilaksanakan eksperimen pembangkitan daya darurat dari turbogenerator kala terjadi kegagalan daya dengan tujuan mendapatkan listrik untuk menggerakkan pompa dan katup-katup pendingin. Pada reaktor BWR, jika situasi seperti ini terjadi, uap sisa dalam reaktor masih mampu menggerakkan pompa pendingin tanpa harus dialiri listrik. Eksperimen yang semula bertujuan baik ini menjadi berantakan dan berujung petaka karena rangkaian kesalahan demi kesalahan yang dipungkasi dengan melonjaknya daya reaktor secara hebat sehingga pengaman SCRAM pun gagal mengatasinya. Tragedi ini membuka maka akan cacat desain reaktor RBMK sehingga pelan tapi pasti mayoritas PLTN yang menggunakan reaktor ini pun ditutup. Saat ini tinggal tersisa 3 PLTN (dengan 7 reaktor) yang masih menggunakan reaktor RBMK, semuanya berada di wilayah Russia, namun itupun tinggal menunggu waktu untuk ditutup.
Alasan kedua, perbedaan penyebab kecelakaan. Tragedi Chernobyl disebabkan oleh melonjak hebatnya daya reaktor secara mendadak, yang secara fisika reaktor nuklir dinamakan ekskursi nuklir. Ekskursi nuklir Chernobyl hanya berlangsung 20 detik saja, namun telah melambungkan daya reaktor dari semula hanya 200 megawatt termal menjadi 10.000 megawatt termal atau jauh melampaui daya maksimum operasional (yakni 3.400 megawatt termal). Ditambah sedikitnya jumlah air pendingin dalam reaktor (akibat miskomunikasi operatornya) membuat lonjakan daya hebat ini memanaskan air yang tersedia secara brutal sehingga semuanya berubah menjadi uap bertekanan sangat tinggi. Tekanan ini melampaui ambang batas dayatahan beton penutup di bagian atas reaktor sehingga jebol dan menghasilkan ‘ledakan’ uap. Pada saat yang sama grafit dan zirkonium bereaksi dengan uap air membentuk gas Hidrogen yang lantas mencapai konsentrasi tertentu untuk kemudian terbakar berkepanjangan. Sehingga hancurnya reaktor disebabkan oleh ledakan uap di internal reaktor dan saat itu reaktor dalam kondisi menyala.
Situasi sangat berbeda dijumpai di PLTN Fukushima 1. Gempa akbar Tohoku 2011 memicu aktifnya sistem SCRAM sehingga reaktor langsung mati secara otomatis. Berhentinya pasokan daya tidak membuat aliran pendingin macet, karena masih tersedia uap sisa yang bisa menggerakkan pompa tanpa listrik. Namun katup-katup di sepanjang pipa pendingin membutuhkan listrik, sementara listrik cadangan dari luar terputus dan listrik cadangan dari diesel pun menyusul terputus seiring terendamnya ruang diesel oleh air bah tsunami. Akibatnya pendingin berhenti mengalir sehingga terjadi situasi LOHSA (Loss Of Heat Sink Accident) atau LOFA (Loss Of Flow Accident) dimana reaktor tetap panas karena panas peluruhannya tidak bisa tersalurkan keluar. Ujung-ujungnya cairan pendingin terdidihkan, batang bahan bakar mulai tak terendam air, sehingga suhunya terus meningkat. Maka terjadi situasi LOCA (Loss Of Coolant Accident), situasi terparah bagi sebuah reaktor nuklir. Dalam LOCA, batang bahan bakar akan terus memanas sehingga mencapai titik leleh zirkonium dan mulai meleleh. Zirkonium juga akan bereaksi dengan uap air membentuk oksida zirkonium dan gas Hidrogen, dimana untuk tiap kg zirkonium yang bereaksi diproduksi 500 liter gas Hidrogen yang mudah terbakar/meledak. Operator segera menyalurkan gas Hidrogen keluar, namun ketiadaan listrik membuat gas Hidrogen terperangkap di antara lapisan pengungkung pertama dan kedua. Disinilah gas Hidrogen meledak dan membobol atap lapisan pengungkung kedua. Sehingga ledakannya merupakan ledakan eksternal yang tidak mengganggu integritas reaktor dan saat itu reaktor dalam kondisi mati sehingga tidak ada sumber panas tambahan yang berpotensi memperburuk situasi.
Alasan ketiga, beda penanganan dalam first minutes. Situasi reaktor unit 1-3 PLTN Fukushima 1 telah dipahami bahkan sebelum ledakan gas Hidrogen terjadi di masing-masing reaktor. Para petugas layanan kedaruratan telah bersiaga di lokasi sehingga tidak kehilangan menit-menit berharga. Awalnya mereka berusaha mengaktifkan kembali sistem pendingin. Ketika gagal, maka pendinginan model terbuka dengan mengguyur jutaan liter air laut ke reaktor pun dilakukan, khususnya pasca ledakan gas Hidrogen. Pada saat yang sama, asam borat (yang mengandung Boron) pun disiramkan ke tiap reaktor guna mencegah situasi kritikalitas (situasi yang menyebabkan reaksi fusi berantai berjalan lagi meski hanya pada selang waktu sangat pendek, namun sanggup memproduksi radiasi sinar gamma dan neutron dosis tinggi yang berbahaya bagi manusia). Langkah-langkah ini membuat LOCA bisa dieliminir, suhu reaktor mulai bisa dikendalikan dan produksi gas Hidrogen telah sangat berkurang sehingga kekhawatiran ledakan susulan tereliminasi. Telah matinya reaktor memberikan sumbangan berharga karena tidak ada lagi sumber panas tambahan yang sanggup menciptakan kebakaran berkepanjangan. Berhasil dikendalikannya situasi tiap reaktor nampak dari pengukuran dosis radiasi, yang tidak menunjukkan kenaikan maupun penurunan tajam sejak Rabu (16 Maret 2011).
Sebaliknya, reaktor unit-4 PLTN Chernobyl masih menyala saat ledakan uap internal terjadi. Pasca kejadian, tidak terdapat gambaran informasi yang menyeluruh sehingga petugas layanan kedaruratan kehilangan hari-hari pertama yang berharga untuk mengendalikan situasi, sebaliknya petugas pemadam kebakaran tidak diberitahu situasi sebenarnya sehingga mereka berjuang memadamkan kebakaran dalam siraman radiasi ekstra tinggi tanpa mereka sadari. Pasca ledakan, kombinasi grafit dan air yang tersisa sanggup membuat reaktor kembali menyala (mengalami kritikalitas) meski telah rusak berat. Akibatnya terdapat panas tambahan yang tak tersalurkan (bersama panas peluruhan) sehingga melelehkan material logam disekelilingnya termasuk zirkonium. Reaksi lanjutan zirkonium dan karbon bersama uap air menghasilkan gas Hidrogen berlimpah yang menjadi bahan bakar kobaran api, sehingga kebakaran berlangsung selama berhari-hari dan meloloskan banyak partikel radioaktif. Adanya kebocoran radiasi baru jelas saat petugas di PLTN Forsmark (Swedia) yang berjarak 1.100 km dari Chernobyl mendeteksi tingkat radiasi cukup besar sehari pasca ledakan, dimana radiasi di luar kompleks PLTN mereka jauh lebih besar dibanding didalamnya. Berhari-hari para petugas khusus (dinamakan likvidator) menyiramkan asam borat untuk menetralisir kritikalitas reaktor seta menyemprotkan air dan lempung guna memadamkan kebakaran. Selanjutnya potongan-potongan bahan bakar yang terlontar keluar beserta tanah yang terkontaminasi berat disekitarnya dikeruk, dimasukkan ke dalam lubang hasil ledakan uap di reaktor untuk kemudian ditutup dengan sarkofagus (pengungkung raksasa) yang menahannya didalam tanpa terloloskan lagi.
Alasan keempat, beda tipe pengungkungan. Inilah faktor utama yang menjadikan Fukushima 1 tidak berkembang separah Chernobyl atau melebihinya. Konsep dasar pengungkungan bahan radioaktif seharusnya terdiri dari lima lapis. Namun di PLTN Chernobyl, pengungkungan hanya terdiri dari empat lapis, masing-masing bahan bakar dibentuk pellet (lapis pertama), yang diwadahi selongsong bahan bakar (lapis kedua) untuk ditempatkan dalam bejana reaktor yang terbuat dari baja (lapis ketiga) dan dilindungi oleh dinding beton tipis (lapis keempat). Ketika ledakan uap terjadi di internal reaktor, maka lapis pertama, kedua dan ketiga rusak berat akibat besarnya gelombang kejut produk ledakan yang disusul kebakaran, sementara lapis keempat sebagai dinding beton tipis pun tak mampu menahan tekanan gelombang kejut tersebut hingga jebol. Akibatnya tidak ada lagi yang menghalangi bahan bakar nuklir yang radioaktif (beserta produk turunannya dari reaksi fissi) dengan lingkungan sekitar. Dikombinasikan dengan kebakaran yang terjadi selama berhari-hari (akibat panas peluruhan dan panas kritikalitas reaktor), maka 9 ton bahan radioaktif (setara dengan 4 % bahan radioaktif yang tersimpan di dalam reaktor) bocor keluar.
Sebaliknya, reaktor PLTN Fukushima-1 konsisten dengan sistem pengungkungan lima lapis ala Mark-1 atau Mark-2, dimana lapis keempat adalah beton tebal dengan spesifikasi khusus sebagai lapisan beton pengungkung pertama dan lapis kelima adalah lapisan beton pengungkung kedua yang sekaligus menjadi batas dengan lingkungan sekitar. Ledakan gas Hidrogen terjadi di ruang antara beton pengungkung pertama dan kedua sehingga merupakan eksternal reaktor. Ledakan hanya menghasilkan kerusakan parsial pada atap dinding beton kedua, namun dinding beton pertama tidak terpengaruh, sehingga reaktor yang ada didalamnya tidak tersentuh ledakan. Seiring dengan terjadinya LOHSA/LOFA yang kemudian berlanjut ke LOCA, maka lapis pertama (pellet) dan lapis kedua (selongsong bahan bakar) mengalami kerusakan, namun lapis ketiga (bejana reaktor yang terbuat dari baja) dan lapis keempat (dinding beton pertama) masih tetap utuh. Lapis ketiga dan keempat inilah yang menyekap bahan radioaktif reaktor unit 1-3 PLTN Fukushima 1 untuk tetap berada di tempatnya dan tidak tersebar luas.
Alasan pertama, perbedaan pada desain reaktor. Baik reaktor nuklir PLTN Fukushima 1 ataupun PLTN Chernobyl memang sama-sama reaktor air mendidih, yang dilengkapi pengaman seperti SCRAM (instrumen penghenti operasi reaktor secara mendadak) dan ECCS (sistem pendinginan darurat untuk reaktor). Namun reaktor nuklir Fukushima 1 berjenis BWR-460 (memproduksi 460 megawatt listrik) dan BWR-784 (memproduksi 784 megawatt listrik), yang menggunakan air ringan (air biasa) sebagai cairan pendingin dan bahan pelambat neutron (moderator). Keunggulannya, reaktor ini mudah dikendalikan meskipun pada daya rendah dan volume cairan pendingin kurang, sehingga kemungkinan-kemungkinan meliarnya daya reaktor yang disertai pembentukan uap air secara brutal menjadi tidak mungkin.
Sebaliknya, reaktor nuklir Chernobyl merupakan reaktor tipe RBMK-1000 (memproduksi 1.000 megawatt listrik) yang hanya digunakan di (eks) Uni Soviet. Gampangnya, reaktor ini mirip BWR, namun menggunakan grafit/karbon sebagai moderator sementara air ringan hanya difungsikan sebagai cairan pendingin yang dialirkan lewat kanal-kanal dalam grafit. Grafit dipilih karena murah & banyak tersedia di Uni Soviet, namun kombinasi grafit dan air ringan sebenarnya merupakan mimpi buruk fisika reaktor nuklir. Sebab ketika daya reaktor diturunkan atau ketika jumlah air berkurang, pengendalian daya reaktor jadi sangat sulit karena daya sangat mudah meliar. Terbuka kemungkinan saat diprogram untuk daya rendah dan dalam volume caian pendingin yang minim, daya reaktor RBMK tiba-tiba melonjak tajam atau tiba-tiba merosot jauh, apalagi jika pengendalian dilakukan oleh operator tak berpengalaman.
Cacat desain reaktor ini, selain kesalahan operator, merupakan faktor penyebab tragedi Chernobyl. Tragedi ini terjadi kala dilaksanakan eksperimen pembangkitan daya darurat dari turbogenerator kala terjadi kegagalan daya dengan tujuan mendapatkan listrik untuk menggerakkan pompa dan katup-katup pendingin. Pada reaktor BWR, jika situasi seperti ini terjadi, uap sisa dalam reaktor masih mampu menggerakkan pompa pendingin tanpa harus dialiri listrik. Eksperimen yang semula bertujuan baik ini menjadi berantakan dan berujung petaka karena rangkaian kesalahan demi kesalahan yang dipungkasi dengan melonjaknya daya reaktor secara hebat sehingga pengaman SCRAM pun gagal mengatasinya. Tragedi ini membuka maka akan cacat desain reaktor RBMK sehingga pelan tapi pasti mayoritas PLTN yang menggunakan reaktor ini pun ditutup. Saat ini tinggal tersisa 3 PLTN (dengan 7 reaktor) yang masih menggunakan reaktor RBMK, semuanya berada di wilayah Russia, namun itupun tinggal menunggu waktu untuk ditutup.
Alasan kedua, perbedaan penyebab kecelakaan. Tragedi Chernobyl disebabkan oleh melonjak hebatnya daya reaktor secara mendadak, yang secara fisika reaktor nuklir dinamakan ekskursi nuklir. Ekskursi nuklir Chernobyl hanya berlangsung 20 detik saja, namun telah melambungkan daya reaktor dari semula hanya 200 megawatt termal menjadi 10.000 megawatt termal atau jauh melampaui daya maksimum operasional (yakni 3.400 megawatt termal). Ditambah sedikitnya jumlah air pendingin dalam reaktor (akibat miskomunikasi operatornya) membuat lonjakan daya hebat ini memanaskan air yang tersedia secara brutal sehingga semuanya berubah menjadi uap bertekanan sangat tinggi. Tekanan ini melampaui ambang batas dayatahan beton penutup di bagian atas reaktor sehingga jebol dan menghasilkan ‘ledakan’ uap. Pada saat yang sama grafit dan zirkonium bereaksi dengan uap air membentuk gas Hidrogen yang lantas mencapai konsentrasi tertentu untuk kemudian terbakar berkepanjangan. Sehingga hancurnya reaktor disebabkan oleh ledakan uap di internal reaktor dan saat itu reaktor dalam kondisi menyala.
Situasi sangat berbeda dijumpai di PLTN Fukushima 1. Gempa akbar Tohoku 2011 memicu aktifnya sistem SCRAM sehingga reaktor langsung mati secara otomatis. Berhentinya pasokan daya tidak membuat aliran pendingin macet, karena masih tersedia uap sisa yang bisa menggerakkan pompa tanpa listrik. Namun katup-katup di sepanjang pipa pendingin membutuhkan listrik, sementara listrik cadangan dari luar terputus dan listrik cadangan dari diesel pun menyusul terputus seiring terendamnya ruang diesel oleh air bah tsunami. Akibatnya pendingin berhenti mengalir sehingga terjadi situasi LOHSA (Loss Of Heat Sink Accident) atau LOFA (Loss Of Flow Accident) dimana reaktor tetap panas karena panas peluruhannya tidak bisa tersalurkan keluar. Ujung-ujungnya cairan pendingin terdidihkan, batang bahan bakar mulai tak terendam air, sehingga suhunya terus meningkat. Maka terjadi situasi LOCA (Loss Of Coolant Accident), situasi terparah bagi sebuah reaktor nuklir. Dalam LOCA, batang bahan bakar akan terus memanas sehingga mencapai titik leleh zirkonium dan mulai meleleh. Zirkonium juga akan bereaksi dengan uap air membentuk oksida zirkonium dan gas Hidrogen, dimana untuk tiap kg zirkonium yang bereaksi diproduksi 500 liter gas Hidrogen yang mudah terbakar/meledak. Operator segera menyalurkan gas Hidrogen keluar, namun ketiadaan listrik membuat gas Hidrogen terperangkap di antara lapisan pengungkung pertama dan kedua. Disinilah gas Hidrogen meledak dan membobol atap lapisan pengungkung kedua. Sehingga ledakannya merupakan ledakan eksternal yang tidak mengganggu integritas reaktor dan saat itu reaktor dalam kondisi mati sehingga tidak ada sumber panas tambahan yang berpotensi memperburuk situasi.
Alasan ketiga, beda penanganan dalam first minutes. Situasi reaktor unit 1-3 PLTN Fukushima 1 telah dipahami bahkan sebelum ledakan gas Hidrogen terjadi di masing-masing reaktor. Para petugas layanan kedaruratan telah bersiaga di lokasi sehingga tidak kehilangan menit-menit berharga. Awalnya mereka berusaha mengaktifkan kembali sistem pendingin. Ketika gagal, maka pendinginan model terbuka dengan mengguyur jutaan liter air laut ke reaktor pun dilakukan, khususnya pasca ledakan gas Hidrogen. Pada saat yang sama, asam borat (yang mengandung Boron) pun disiramkan ke tiap reaktor guna mencegah situasi kritikalitas (situasi yang menyebabkan reaksi fusi berantai berjalan lagi meski hanya pada selang waktu sangat pendek, namun sanggup memproduksi radiasi sinar gamma dan neutron dosis tinggi yang berbahaya bagi manusia). Langkah-langkah ini membuat LOCA bisa dieliminir, suhu reaktor mulai bisa dikendalikan dan produksi gas Hidrogen telah sangat berkurang sehingga kekhawatiran ledakan susulan tereliminasi. Telah matinya reaktor memberikan sumbangan berharga karena tidak ada lagi sumber panas tambahan yang sanggup menciptakan kebakaran berkepanjangan. Berhasil dikendalikannya situasi tiap reaktor nampak dari pengukuran dosis radiasi, yang tidak menunjukkan kenaikan maupun penurunan tajam sejak Rabu (16 Maret 2011).
Sebaliknya, reaktor unit-4 PLTN Chernobyl masih menyala saat ledakan uap internal terjadi. Pasca kejadian, tidak terdapat gambaran informasi yang menyeluruh sehingga petugas layanan kedaruratan kehilangan hari-hari pertama yang berharga untuk mengendalikan situasi, sebaliknya petugas pemadam kebakaran tidak diberitahu situasi sebenarnya sehingga mereka berjuang memadamkan kebakaran dalam siraman radiasi ekstra tinggi tanpa mereka sadari. Pasca ledakan, kombinasi grafit dan air yang tersisa sanggup membuat reaktor kembali menyala (mengalami kritikalitas) meski telah rusak berat. Akibatnya terdapat panas tambahan yang tak tersalurkan (bersama panas peluruhan) sehingga melelehkan material logam disekelilingnya termasuk zirkonium. Reaksi lanjutan zirkonium dan karbon bersama uap air menghasilkan gas Hidrogen berlimpah yang menjadi bahan bakar kobaran api, sehingga kebakaran berlangsung selama berhari-hari dan meloloskan banyak partikel radioaktif. Adanya kebocoran radiasi baru jelas saat petugas di PLTN Forsmark (Swedia) yang berjarak 1.100 km dari Chernobyl mendeteksi tingkat radiasi cukup besar sehari pasca ledakan, dimana radiasi di luar kompleks PLTN mereka jauh lebih besar dibanding didalamnya. Berhari-hari para petugas khusus (dinamakan likvidator) menyiramkan asam borat untuk menetralisir kritikalitas reaktor seta menyemprotkan air dan lempung guna memadamkan kebakaran. Selanjutnya potongan-potongan bahan bakar yang terlontar keluar beserta tanah yang terkontaminasi berat disekitarnya dikeruk, dimasukkan ke dalam lubang hasil ledakan uap di reaktor untuk kemudian ditutup dengan sarkofagus (pengungkung raksasa) yang menahannya didalam tanpa terloloskan lagi.
Alasan keempat, beda tipe pengungkungan. Inilah faktor utama yang menjadikan Fukushima 1 tidak berkembang separah Chernobyl atau melebihinya. Konsep dasar pengungkungan bahan radioaktif seharusnya terdiri dari lima lapis. Namun di PLTN Chernobyl, pengungkungan hanya terdiri dari empat lapis, masing-masing bahan bakar dibentuk pellet (lapis pertama), yang diwadahi selongsong bahan bakar (lapis kedua) untuk ditempatkan dalam bejana reaktor yang terbuat dari baja (lapis ketiga) dan dilindungi oleh dinding beton tipis (lapis keempat). Ketika ledakan uap terjadi di internal reaktor, maka lapis pertama, kedua dan ketiga rusak berat akibat besarnya gelombang kejut produk ledakan yang disusul kebakaran, sementara lapis keempat sebagai dinding beton tipis pun tak mampu menahan tekanan gelombang kejut tersebut hingga jebol. Akibatnya tidak ada lagi yang menghalangi bahan bakar nuklir yang radioaktif (beserta produk turunannya dari reaksi fissi) dengan lingkungan sekitar. Dikombinasikan dengan kebakaran yang terjadi selama berhari-hari (akibat panas peluruhan dan panas kritikalitas reaktor), maka 9 ton bahan radioaktif (setara dengan 4 % bahan radioaktif yang tersimpan di dalam reaktor) bocor keluar.
Sebaliknya, reaktor PLTN Fukushima-1 konsisten dengan sistem pengungkungan lima lapis ala Mark-1 atau Mark-2, dimana lapis keempat adalah beton tebal dengan spesifikasi khusus sebagai lapisan beton pengungkung pertama dan lapis kelima adalah lapisan beton pengungkung kedua yang sekaligus menjadi batas dengan lingkungan sekitar. Ledakan gas Hidrogen terjadi di ruang antara beton pengungkung pertama dan kedua sehingga merupakan eksternal reaktor. Ledakan hanya menghasilkan kerusakan parsial pada atap dinding beton kedua, namun dinding beton pertama tidak terpengaruh, sehingga reaktor yang ada didalamnya tidak tersentuh ledakan. Seiring dengan terjadinya LOHSA/LOFA yang kemudian berlanjut ke LOCA, maka lapis pertama (pellet) dan lapis kedua (selongsong bahan bakar) mengalami kerusakan, namun lapis ketiga (bejana reaktor yang terbuat dari baja) dan lapis keempat (dinding beton pertama) masih tetap utuh. Lapis ketiga dan keempat inilah yang menyekap bahan radioaktif reaktor unit 1-3 PLTN Fukushima 1 untuk tetap berada di tempatnya dan tidak tersebar luas.
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar