Setelah Kabupaten Tasikmalaya (2007) dan Kota Tasikmalaya (2008) kini Kota Cirebon, yang menelurkan perda penanggulangan AIDS di Prov. Jawa Barat. Melalui Perda No 1/2010 tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS Pemkot Cirebon akan menanggulangi epidemi HIV di ‘Kota Udang’ ini. Sampai Mei 2010 sudah terdeteksi 435 kasus HIV/AIDS. Akankah perda ini bisa menanggulangi penyebaran HIV di Kota Cirebon?
Perda AIDS Kota Cirebon ini merupakan perda ke-37 dari 38 perda mulai dari tingkat provinsi, kabupaten dan kota yang sudah dibuat di Indonesia. Kalau saja Pemkot Cirebon dan DPRD Kota Cirebon mencermati perda-perda AIDS yang sudah ada tentulah perda yang dihasilkan tidak hanya bersifat copy-paste dari perda-perda yang sudah ada.
‘Perlombaan’ membuat perda didorong oleh publikasi keberhasilan Thailand menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa melalui hubungan seks. Program yang dijalankan adalah ‘wajib kondom 100 persen’ pada hubungan seks di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Maka, perda-perda AIDS nasional pun mengadopsi program Thailnad itu.
Mata Rantai
Perda AIDS Kota Cirebon, misalnya, pencegahan dikaitkan dengan pemutusan mata rantai penularan. Pada pasal 17 ayat 2 yaitu: Setiap orang yang telah mengetahui dirinya terinfeksi HIV–AIDS wajib melindungi pasangan seksualnya dengan melakukan upaya pencegahan dengan menggunakan kondom.
Pasal ini tidak jalan akan bisa dijalankan karena banyak orang yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV. Ini terjadi karena tidak ada gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik orang-orang yang sudah tertular HIV sebelum masa AIDS (antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV). Itulah sebabnya lebih dari 90 persen kasus penularan HIV terjadi tanpa disadari.
Di pasal 20 disebutkan: Setiap orang yang melakukan hubungan seksual beresiko wajib melakukan upaya pencegahan yang efektif dengan cara menggunakan kondom. Tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan hubungan seksual beresiko. Dalam ketentuan umum di pasal 1 ayat 32 disebutkan: Perilaku Seksual Tidak Aman adalah perilaku berganti-ganti pasangan seksual tanpa menggunakan kondom. Tidak jelas apakah hubungan seksual beresiko sama dengan perilaku seksual tidak aman.
Terkait dengan upaya penanggulangan dan pencegahan HIV dalam perda ini dilakukan melalui pemutusan mata rantai penyebaran HIV. Beberapa pasal yang terkait dengan upaya ini tidak akan jalan karena tidak menyentuh akar persoalan yaitu penyebaran HIV secara horizontal yang terjadi tanpa disadari. Risiko tertular dan menularkan HIV melalui hubungan seks (bisa) terjadi di dalam atau di luar nikah kalau salah satu atau dua-duanya mengidap HIV (HIV-positif) dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali sanggama.
Yang mendorong penyebaran HIV secara horizontal di masyarakat adalah perilaku berisiko tinggi yaitu: (a). melakukan hubungan seks penetrasi (penis masuk ke dalam vagina) tanpa kondom pada heteroseks (laki-laki dengan perempuan), biseks (laki-laki dengan perempuan dan dengan laki-laki), seks anal dan seks oral di dalam atau di luar nikah, serta homoseks (laki-laki dengan laki-laki), dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan seseorang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks.
Untuk memutus mata rantai penyebaran HIV dari penduduk (baca: laki-laki ‘hidung belang’) ke pekerja seks dan sebaliknya dari pekerja seks kepada laki-laki ’hidung belang’ maka perlu ada pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, wajib memakai kondom jika melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan. Untuk ‘menjaring’ orang-orang yang sudah tetular HIV maka perlu pula ada pasal yang berbunyi: Setiap orang, laki-laki dan perempuan, yang pernah atau sering melakukan hubungan seks tanpa kondom, di dalam atau di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan diwajibkan menjalani tes HIV.
Biar pun sudah terdeteksi 435 kasus ini hanya sebagian kecil dari kasus yang ada di masyarakat karena epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Yang tampai di permukaan yaitu kasus yang terdeteksi hanya sebagian kecil dari kasus yang tersembunyi. Kasus-kasus yang tersembunyi itulah yang bisa menjadi bumerang karena merupakan ‘bom waktu’ yang kelak akan menjadi ledakan AIDS. Soalnya, kasus-kasus yang tersembunyi itu menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari.
Tempat Hiburan
Di pasal 25 tentang perawatan dan dukungan di sebutkan: Perawatan dan dukungan terhadap ODHA (yang benar adalah Odha karena bukan akronim tapi kata yang mengacu ke orang yang hidup dengan HIV/AIDS-pen.) dilakukan melalui pendekatan: (a) medis; (b) agama; (c) psikologis; (d) sosial dan ekonomi. Urut-urutan dukungan ini menggambarkan pemahaman terhadap HIV/AIDS dilakukan dengan kaca mata moral. Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis sehingga cara-cara pencegahannya pun dapat dilakukan dengan cara yang konkret dengan teknologi kedokteran.
Seorang Odha akan memerlukan pertolongan medis untuk menekan laju perkembangan HIV di dalam darah yaitu dengan meminum obat antiretroviral (ARV). Jika sudah mencapai masa AIDS maka diperlukan pula pengobatan penyakit-penyakit yang muncul yang dikenal sebagai infeksi oportunistik. Maka langkah kedua yang diperlukan adalah dukungan ekonomi untuk membeli obat-obatan dan biaya perawatan. Pendekatan norma, moral dan agama seyogyanya dilakukan sebelum seseorang tertular HIV yaitu melalui penyuluhan.
Seperti yang dilakukan Thailand dalam menurunkan kasus infeksi HIV baru di kalangan dewasa adalah dengan program ‘wajib kondom 100 persen’ di lokalisasi pelacuran dan rumah bordir. Celakanya, lokalisasi dan rumah bordir tidak ada di Cirebon sehingga program itu tidak bisa dijalankan.
Dalam perda ini justru ada pasal yang terkait dengan tempat hiburan. Sayang, dalam ketentuan umum tidak ada penjelasan tentang tempat hiburan. Karena tidak ada penjelasan maka tempat hiburan akan mendapat stitma karena dianggap sebagai biang keladi penyebaran HIV. Apalagi di pasal 34 disebutkan: Setiap pemilik dan/atau pengelola tempat hiburan wajib memeriksakan diri dan karyawannya yang menjadi tanggungjawabnya secara berkala ketempat-tempat pelayanan IMS yang disedikan pemerintah, lembaga nirlaba dan atau swasta yang ditunjuk oleh SKPD.
Tidak ada kaitan langsung antara tempat hiburan dengan penularan HIV. Tidak semua tempat hiburan menyediakan pekerja seks dan tempat untuk hubungan seks. Risiko tertular HIV bukan karena tempat tapi karena perilaku seks orang per orang. Seorang pekerja seks pun bisa perilakunya tidak berisiko jika dia hanya mau meladeni laki-laki pelanggan, suami atau pacarnya yang selalu memakai kondom jika sanggama.
Apakah Perda AIDS Kota Cirebon ini juga akan mengalami nasib yang sama dengan perda-perda AIDS yang sudah ada hanya berperan sebagai ‘macan kertas’? Kita tunggu saja. sumber
Ini artikel saya, mengapa sumbernya tidak disebutkan?
BalasHapus