Sejarah baru sedang bergulir. Untuk pertama kalinya sejak reaktor nuklir pertama beroperasi 2 Desember 1942, bencana geologi menghentikan operasi reaktor nuklir dan menempatkannya dalam situasi kecelakaan nuklir yang serius. Inilah yang dihadapi enam reaktor nuklir di kompleks PLTN Fukushima I yang terletak di pesisir timur Jepang sejauh 260 km sebelah utara kota Tokyo dalam gempa akbar Tohoku 2011.
Kompleks PLTN Fukushima I terletak di kota Okuma, distrik Futaba, prefektur Fukushima. Kompleks ini adalah salah satu PLTN tertua dan sekaligus terbesar di dunia, yang dibangun sejak dekade 1960-an dan selesai pada 1970-an untuk selanjutnya dioperasikan oleh TEPCO (Tokyo Elektric Power Company) dengan mulai menyuplai listrik sejak 26 Maret 1971. Di dalam kompleks ini terdapat 6 buah reaktor nuklir, masing-masing unit 1, 2 dan 6 (diproduksi oleh General Electric), unit 3 dan 5 (diproduksi oleh Toshiba) serta unit 4 (diproduksi oleh Hitachi). Jadi sebagian reaktor ini buatan AS dan sebagian lagi buatan Jepang sendiri. Reaktor tertua (yakni reaktor unit 1) memiliki daya 460 megawatt listrik, sementara reaktor unit 2 hingga 5 memiliki daya 784 megawatt listrik dan reaktor unit 6 memiliki daya terbesar, yakni 1.100 megawatt listrik. Total daya adalah 4.696 megawatt listrik.
Seluruh reaktor bertipe reaktor air mendidih (boliling water reactor atau BWR) yang dikenal sederhana karena hanya terdiri dari satu jalur pendingin. Jadi air pendingin disirkulasikan ke dalam reaktor (dengan menggunakan pompa) untuk kemudian mendidih dan memproduksi uap yang lantas disalurkan keluar reaktor guna memutar turbogenerator (gabungan turbin uap dan generator listrik). Uap bekas yang telah memutar turbogenerator selanjutnya masuk ke kondenser untuk diubah menjadi air dan diinjeksikan kembali ke dalam reaktor dengan menggunakan pompa. Karena pendingin hanya satu jalur, efisiensi reaktor ini tergolong tinggi namun cairan pendinginnya menjadi radioaktif.
Reaktor berbahan bakar uranium oksida berbentuk pellet yang disekap dalam batang bahan bakar (terbuat dari paduan logam zirkonium-alumunium) sejumlah 340 (unit 1), 575 (unit hingga 5) dan 810 (unit 6) dalam pola rotasi 5 tahunan dan dikonfigurasikan tegak pada sebuah kolam besar yang digenangi air. Air berfungsi sebagai pendingin sekaligus moderator (bahan pelambat neutron). Di antara batang-batang bahan bakar ini terdapat batang kendali (control rod) untuk mengatur populasi fluks neutron (yakni jumlah neutron per centimeter persegi per detik) dalam reaktor. Dengan batang kendali ini, maka daya reaktor bisa dinaikkan hingga ke tingkat operasional, ataupun diturunkan sesuai kebutuhan, ataupun dimatikan secara langsung (lewat sistem SCRAM). Tepat di atas reaktor terdapat kolam bahan bakar bekas (spent fuel), yang digunakan baik untuk menyimpan batang bahan bakar yang sudah terpakai maupun yang belum digunakan.
Seluruh bagian reaktor dilindungi sistem pengungkung (containment) kuat yang dinamakan pengungkung Mark-1 (untuk unit 1 hingga 5) dan Mark-2 (unit 6). Sistem pengungkung ini terdiri dari dua lapis beton tebal yang dibuat secara khusus. Lapisan pertama melindungi reaktor, sementara lapisan kedua menyelubungi lapisan pertama. Kekuatan sistem pengungkung Mark ini bisa digambarkan, andaikata pengungkung ini ditabrak jet tempur supersonik yang melaju pada kecepatan jelajahnya, pengungkung itu masih utuh. Sistem pengungkung ini menjamin bahan radioaktif berbahaya (uranium dan turunan hasil reaksi fissi nuklir) tetap berada dalam reaktor meski terjadi kecelakaan terparah tanpa berpotensi keluar ke lingkungan sekitarnya. Inilah yang membedakan PLTN Fukushima dengan PLTN Chernobyl.
Pendingin Aktif
Salah satu titik lemah dalam PLTN Fukushima, sebagai bagian dari reaktor-reaktor nuklir generasi pertama, terletak pada sistem pendingin darurat pasca-mati. Pada sebuah reaktor nuklir, pendinginan tetap dibutuhkan meskipun reaktor telah dimatikan. Ini karena reaksi fissi nuklir menghasilkan sejumlah produk yang kemudian mengalami peluruhan radioaktif (memancarkan radiasi) sehingga melepaskan energi yang secara akumulatif dinamakan panas peluruhan. Secara umum begitu sebuah reaktor dimatikan (baik secara normal maupun mendadak dengan SCRAM), pada hari pertama panas peluruhannya masih 7 % dari daya termal reaktor. Persentase ini akan kian menurun seiring dengan berjalannya waktu (misalnya pada setahun pasca dimatikan tinggal 0,5 %). Maka dibutuhkan pendinginan kontinu selama 1-3 tahun (bergantung tipe bahan bakar nuklirnya) sebelum suhu optimal benar-benar diperoleh.
Pada reaktor BWR, efisiensi konversi energi panas ke listrik adalah 30 %, sehingga besarnya panas peluruhan adalah 23 % daya listrik reaktor. Dengan demikian panas peluruhan pada reaktor unit 1 hingga 3 PLTN Fukushima 1 masing-masing adalah 106 megawatt, 180 megawatt dan 180 megawatt. Bandingkan dengan daya PLTA Jatiluhur yang “hanya” 150 MW. Sebagai ilustrasi, panas peluruhan itu mampu mendidihkan air yang semula bersuhu 30 C masing-masing sebesar 31.300 ton/hari, 53.100 ton/hari dan 53.100 ton/hari. Kuantitasnya sangat besar sehingga pendinginan mutlak diperlukan, sebab jika tidak maka panas peluruhan sanggup menaikkan suhu reaktor sangat tinggi sehingga bisa merusak integritas reaktor (terutama melelehnya batang bahan bakar dan batang kendali reaktor).
Reaktor nuklir generasi pertama merupakan derivasi langsung dari reaktor nuklir kapal selam sehingga butuh sistem pendingin pasca-mati yang aktif. Artinya, meskipun reaktor sudah dimatikan dan tidak menghasilkan listrik sama sekali, namun pendingin reaktor harus tetap dialirkan sehingga pompa dan katup-katupnya harus tetap hidup. Pada reaktor generasi ketiga, pendinginan pasca-mati juga tetap dibutuhkan, namun inovasi membuat pendinginan bersifat pasif yang bisa dilakukan dengan menggunakan udara dari luar tanpa harus menggerakkan pompa atau katup-katupnya. Sistem pendingin pasca-mati yang aktif inilah biang keladi kecelakaan nuklir di PLTN Fukushima I.
Ketika reaktor BWR dimatikan pada dasarnya masih ada sisa uap dalam reaktor dan bisa dimafaatkan guna memutar pompa. Sehingga sirkulasi pendingin tetap berjalan meskipun reaktor telah mati dan aliran listrik terhenti. Namun disepanjang sistem pendingin terdapat katup-katup yang berfungsi untuk mengatur aliran air. Nah katup-katup ini hanya bisa digerakkan dengan listrik. Jika reaktor dimatikan, listrik ini diperoleh dari sumber eksternal, yakni dari jaringan kelistrikan yang sebelumnya disuplai PLTN Fukushima 1. Jika jaringan ini pun mati, masih ada diesel cadangan yang terletak di lantai bawah gedung operasional. Jika diesel ini juga mati, reaktor masih memiliki catudaya cadangan berupa batere (aki) yang sanggup beroperasi selama 8 jam kemudian (dengan asumsi selama 8 jam itu jaringan kelistrikan atau diesel bisa diperbaiki).
Kecelakaan Nuklir
Saat gempa akbar Tohoku 2011 terjadi, hanya reaktor unit 1, 2 dan 3 yang hidup sementara reaktor unit 4, 5 dan 6 sedang dimatikan sesuai jadwal untuk perawatan rutin. Episentrum gempa berada sejauh 179 km dari kompleks PLTN Fukushima, namun patahan sumber gempanya tepat berhadapan dengan kompleks ini. Model getaran Gutenberg-Richter memperlihatkan getaran yang dirasakan kompleks PLTN Fukushima 1 mencapai skala 8 MMI dengan percepatan tanah 0,5 g. Percepatan ini hampir 3 kali lipat nilai percepatan maksimum desain reaktor PLTN Fukushima (yakni 0,18 g) namun sejauh itu tidak ditemukan kerusakan. Meski demikian getaran sangat keras ini merubuhkan menara jaringan tegangan ekstratinggi sehingga jaringan kelistrikan setempat terputus.
Karena posisinya tepat di tepi laut, PLTN ini juga dilindungi dengan dinding anti-tsunami (seawall). Namun dinding dirancang hanya untuk menahan tsunami setinggi 4 meter produk gempa dengan Mw ~8. Kala gempa akbar Tohoku 2011 meletup, model tsunami dari Abe memperlihatkan tinggi tsunami di Fukushima mencapai 8,5 meter yang secara teoritis mampu menerjang ke daratan hingga sejauh 200 meter pada pantai yang telah dilengkapi sistem anti-tsunami sekalipun. Ketinggian tsunami melampaui dinding penahannya dengan mudah dan ‘tumpah’ menerjang fasilitas PLTN Fukushima 1, merendamnya dalam lautan puing-puing selama beberapa jam kemudian. Akibatnya ruang diesel cadangan pun turut terendam.
Disinilah rangkaian kegagalan demi kegagalan terjadi yang kemudian berujung pada kecelakaan nuklir. Sistem kendali reaktor secara otomatis mematikan semua reaktor kala gempa terjadi secara SCRAM. Putusnya jaringan kelistrikan membuat katup-katup aliran pendingin digerakkan oleh diesel cadangan, namun ini pun hanya bertahan 1 jam karena diesel kemudian mati terendam air tsunami. Aliran listrik lantas diambil alih aki selama 8 jam kemudian. Bantuan aki dan diesel cadangan yang mobil segera didatangkan dari PLTN terdekat yang tidak mengalami gangguan, namun butuh waktu 13 jam pascagempa untuk mencapai Fukushima. Bantuan itu pun tidak langsung tersambung dengan Fukushima karena konektornya berada di ruang basement yang terendam air. Akibatnya reaktor unit 1 hanya mendapatkan pendinginan 9 jam pascagempa dan setelah itu pendingin berhenti. Sistem pendinginan darurat (ECCS atau emergency core cooling system) pun tak bisa diaktifkan akibat ketiadaan listik. Konsekuensinya panas peluruhan tidak lagi bisa dialirkan keluar, sebuah kondisi yang kadang diistilahkan sebagai LOHSA (Loss Of Heat Sink Accident) atau LOFA (Loss Of Flow Accident).
Akibat LOHSA, air pendingin dalam reaktor tidak bisa mengalir sehingga terus terdidihkan sampai menguap oleh panas peluruhan. Penguapan intensif membuat tinggi permukaan air reaktor terus menyusut dan satu saat sampai ke titik dimana batang bahan bakar mulai tidak terendam air. Pada saat itu suhu reaktor sudah mencapai 800 C. Tidak terendamnya batang bahan bakar berimplikasi serius, sebab suhu reaktor terus menanjak naik hingga mencapai 1000 C. Pada titik ini, panas telah mampu melelehkan batang bahan bakar dan isinya, kondisi yang secara teknis disebut LOCA (Loss Of Coolant Accident). Dalam fisika reaktor nuklir, LOCA menduduki hirarki tertinggi sebagai kecelakaan terparah yang membuat sebuah reaktor bisa mati untuk selamanya. Zirkonium yang meleleh lantas bereaksi secara kimiawi (reaksi kimia biasa) dengan uap air panas menghasilkan zirkonium oksida dan gas Hidrogen, dimana dalam tiap kg zirkonium yang bereaksi diproduksi 500 liter gas Hidrogen. Terbentuknya gas Hidrogen membuat tekanan di dalam reaktor meningkat sehingga sempat mencapai 2 kali lipat di atas normal.
Pada titik tertentu, campuran uap air, udara dan gas Hidrogen cukup berbahaya karena sanggup menghasilkan detonasi (ledakan) yang ditandai dengan pelepasan gelombang kejut. Setiap reaktor pada dasarnya memiliki perangkat yang mampu mengalirkan gas Hidrogen keluar sebelum konsentrasi berbahaya tercapai. Namun ketiadaan aliran listrik membuat langkah ini tak berjalan, sementara gas Hidrogen telah dialirkan keluar memenuhi ruangan di antara lapisan pengungkung pertama dan kedua. Sebagai akibatnya, ketika konsentrasi berbahaya tercapai, ledakan Hidrogen pun tak terelakkan.
Ledakan Hidrogen di reaktor unit 1 terjadi pada 12 Maret 2011 pukul 13:36 WIB, yang menyebabkan atap reaktor (lapisan pengungkung kedua) bolong. Namun inspeksi menunjukkan lapisan pengungkung pertama masih utuh. Problem di reaktor unit ternyata juga menghinggapi reaktor unit 3 yang berujung pada ledakan Hidrogen dua hari kemudian, yakni 14 Maret 2011 pukul 09:15 WIB, sebagai bagian dari rangkaian kegagalan yang dimulai dengan matinya ECCS sejak sehari sebelumnya. Meski ledakan menyebabkan bagian atas lapisan pengungkung kedua juga bolong, namun lapisan pengungkung pertama tetap utuh. Namun puing-puing ledakan berhamburan kemana-mana, termasuk merusak sistem pendinginan reaktor unit 2. Akibatnya ECCS reaktor unit 2 pun mati, yang membuat air dalam reaktor sepenuhnya kosong sehingga pelelehan pun mulai terjadi. Ujungnya, ledakan Hidrogen di reaktor unit 2 pun terjadi pada 15 Maret 2011 pukul 04:14 WIB.
Pada reaktor unit 4, meski telah dimatikan secara terjadwal sebelum gempa terjadi dan seluruh batang bahan bakarnya telah dipindah ke kolam bahan bakar bekas di atas reaktor, pendinginan yang tidak mencukupi membuat air dalam kolam bahan bakar bekas memanas dan mendidih sampai kering. Gas Hidrogen pun terbentuk dan lama kelamaan mencapai konsentrasi berbahaya sehingga ledakan Hidrogen pun terjadi pada 15 Maret 2011 pukul 04:00 WIB. Masih tingginya konsentrasi gas Hidrogen membuat kolam bahan bakar bekas terbakar empat jam kemudian. Ledakan telah menyebabkan dinding lapisan pengungkung kedua bolong di dua lokasi, masing-masing seluas 64 meter persegi. Bolongnya dinding dan habisnya air dalam kolam bahan bakar bekas menempatkan reaktor unit 4 sebagai reaktor paling berbahaya selama rangkaian kecelakaan nuklir ini, karena nyaris tidak ada pelindung lagi antara batang bahan bakar nuklir dengan lingkungan luas.
Akibat rangkaian kejadian ini, IAEA menempatkannya sebagai kecelakaan nuklir dalam skala 4 INES dan kemudian dinaikkan menjadi skala 5 INES. Ini disebabkan telah terjadinya pelelehan sebagian bahan bakar nuklir dalam reaktor, yang secara akumulatif mencapai 3 % meski diestimasikan pada reaktor unit 1 dan 2 masing-masing telah terjadi 70 % dan 33 % bahan bakar rusak. Dalam skala 5 INES, kecelakaan nuklir PLTN Fukushima 1 setara dengan kecelakaan nuklir PLTN Three Mile Island 1 di Pennsylvania (AS), yang sama-sama disebabkan oleh LOCA. Radiasi di dalam kompleks PLTN Fukushima 1 sempat menyentuh angka 1 juta mikro Sievert/jam alias 3 juta kali lipat di atas nilai radiasi natural, meski kemudian turun menjadi 0,6 juta mikro Sievert/jam. Dalam jarak 20 km dari reaktor, radiasi tercatat 330 mikro Sievert/jam sementara batas aman bagi manusia adalah 25 mikro Sievert/jam. Inilah yang menjadi dasar evakuasi penduduk dalam radius 20 km dari PLTN Fukushima 1 sementara penduduk dalam radius 20 hingga 30 km diminta untuk tetap tinggal di dalam rumah. Namun pada jarak yang lebih jauh, seperti Tokyo, radiasi masih berada di ambang batas normal. Tingkat radiasi di Tokyo tercatat 0,8 mikro Sievert/jam.
Epilog
Jepang bertindak cepat dalam menangani kejadian ini. Setelah upaya memperbaiki sistem kelistrikan secara cepat gagal, mereka memompakan air laut tak tersaring pada reaktor-reaktor yang kepanasan ini. Tindakan ini berhasil memberikan pengaruh signifikan, yang ditandai dengan tidak meningkatnya tingkat radiasi, meski otoritas ketenaganukliran Jepang sangat memahami bahwa langkah pemompaan ini akan berakibat pada ditutupnya reaktor untuk seterusnya. Pada reaktor-reaktor yang telah mengalami ledakan Hidrogen, disiramkan Boron dalam bentuk asam borat dari helikopter, dengan tujuan menghindari kemungkinan kritikalitas reaktor (kondisi yang menyebabkan reaksi fusi berantai berjalan lagi meski hanya pada selang waktu sangat pendek). Perhatian khusus ditujukan ke reaktor unit 4, yang dianggap memiliki kondisi paling membahayakan.
Hingga 13 Maret 2011, telah 200.000 penduduk dievakuasi dari zona radius 20 km dari PLTN Fukushima 1. Pada dasarnya, dari sekian banyak unsur radioaktif produk reaksi fissi nuklir, ada tiga yang paling berbahaya, yakni Yodium-131, Cesium-137 dan Stronsium-90. Yodium-131 mudah diserap oleh kelenjar tiroid (dan menimbulkan kanker tiroid pada dosis tertentu), sementara Cesium-17 menyubstitusi peran Kalium ke sel. Dan Stronsium-90 bisa menggantikan Kalsium sehingga mengendap dalam tulang (dan berpotensi menimbulkan kanker tulang). Untuk mencegah masuknya Yodium-131 dan cesium-137, para penduduk diharuskan mengonsumsi tablet-tablet Kalium Yodida. Demikian pula guna mengeliminasi kemungkinan konsumsi Stronsium-90.
Per 19 Maret 2011, jaringan kelistrikan ke PLTN Fukushima 1 berhasil dipulihkan, yang menumbuhkan harapan normalisasi aliran pendingin dengan menghidupkan pompa-pompanya secara penuh. Pemantauan lewat udara terhadap atap-atap reaktor yang bolong menunjukkan tanda-tanda menggembirakan: kolam bahan baka bekas di reaktor unit 1, 2, 3 dan 4 telah sepenuhnya terisi air, sehingga resiko ledakan gas Hidrogen lanjutan bisa diminalisir. Sementara pemantauan radiasi dalam jarak 1 km di luar kompleks reaktor tidak menunjukkan adanya peningkatan dramatis dosis radiasi, yang mengindikasikan bahwa reaktor-reaktor tidak lagi bocor dan pelelehan telah terhenti.
Sampai kapan situasi kecelakaan nuklir ini akan terus berlanjut? Belum jelas. Namun dengan mulai pulihnya jaringan kelistrikan, maka aliran pendingin bisa dinormalkan sehingga potensi terbentuknya gas Hidrogen akan menghilang sekaligus memadamkan bara api kebakaran yang masih mengepul. Jika faktor-faktor tersebut bisa diatasi, teknisi bisa segera memasuki kawasan pengungkung untuk memperbaiki kerusakan atau melakukan penutupan reaktor untuk seterusnya. Melihat perkembangan ini, barangkali dibutuhkan waktu sebulan penuh untuk mengatasi problem pendinginan reaktor nuklir PLTN Fukushima 1 dan kembali mengisolasinya dari lingkungan luar. sumber
Kompleks PLTN Fukushima I terletak di kota Okuma, distrik Futaba, prefektur Fukushima. Kompleks ini adalah salah satu PLTN tertua dan sekaligus terbesar di dunia, yang dibangun sejak dekade 1960-an dan selesai pada 1970-an untuk selanjutnya dioperasikan oleh TEPCO (Tokyo Elektric Power Company) dengan mulai menyuplai listrik sejak 26 Maret 1971. Di dalam kompleks ini terdapat 6 buah reaktor nuklir, masing-masing unit 1, 2 dan 6 (diproduksi oleh General Electric), unit 3 dan 5 (diproduksi oleh Toshiba) serta unit 4 (diproduksi oleh Hitachi). Jadi sebagian reaktor ini buatan AS dan sebagian lagi buatan Jepang sendiri. Reaktor tertua (yakni reaktor unit 1) memiliki daya 460 megawatt listrik, sementara reaktor unit 2 hingga 5 memiliki daya 784 megawatt listrik dan reaktor unit 6 memiliki daya terbesar, yakni 1.100 megawatt listrik. Total daya adalah 4.696 megawatt listrik.
Seluruh reaktor bertipe reaktor air mendidih (boliling water reactor atau BWR) yang dikenal sederhana karena hanya terdiri dari satu jalur pendingin. Jadi air pendingin disirkulasikan ke dalam reaktor (dengan menggunakan pompa) untuk kemudian mendidih dan memproduksi uap yang lantas disalurkan keluar reaktor guna memutar turbogenerator (gabungan turbin uap dan generator listrik). Uap bekas yang telah memutar turbogenerator selanjutnya masuk ke kondenser untuk diubah menjadi air dan diinjeksikan kembali ke dalam reaktor dengan menggunakan pompa. Karena pendingin hanya satu jalur, efisiensi reaktor ini tergolong tinggi namun cairan pendinginnya menjadi radioaktif.
Reaktor berbahan bakar uranium oksida berbentuk pellet yang disekap dalam batang bahan bakar (terbuat dari paduan logam zirkonium-alumunium) sejumlah 340 (unit 1), 575 (unit hingga 5) dan 810 (unit 6) dalam pola rotasi 5 tahunan dan dikonfigurasikan tegak pada sebuah kolam besar yang digenangi air. Air berfungsi sebagai pendingin sekaligus moderator (bahan pelambat neutron). Di antara batang-batang bahan bakar ini terdapat batang kendali (control rod) untuk mengatur populasi fluks neutron (yakni jumlah neutron per centimeter persegi per detik) dalam reaktor. Dengan batang kendali ini, maka daya reaktor bisa dinaikkan hingga ke tingkat operasional, ataupun diturunkan sesuai kebutuhan, ataupun dimatikan secara langsung (lewat sistem SCRAM). Tepat di atas reaktor terdapat kolam bahan bakar bekas (spent fuel), yang digunakan baik untuk menyimpan batang bahan bakar yang sudah terpakai maupun yang belum digunakan.
Seluruh bagian reaktor dilindungi sistem pengungkung (containment) kuat yang dinamakan pengungkung Mark-1 (untuk unit 1 hingga 5) dan Mark-2 (unit 6). Sistem pengungkung ini terdiri dari dua lapis beton tebal yang dibuat secara khusus. Lapisan pertama melindungi reaktor, sementara lapisan kedua menyelubungi lapisan pertama. Kekuatan sistem pengungkung Mark ini bisa digambarkan, andaikata pengungkung ini ditabrak jet tempur supersonik yang melaju pada kecepatan jelajahnya, pengungkung itu masih utuh. Sistem pengungkung ini menjamin bahan radioaktif berbahaya (uranium dan turunan hasil reaksi fissi nuklir) tetap berada dalam reaktor meski terjadi kecelakaan terparah tanpa berpotensi keluar ke lingkungan sekitarnya. Inilah yang membedakan PLTN Fukushima dengan PLTN Chernobyl.
Pendingin Aktif
Salah satu titik lemah dalam PLTN Fukushima, sebagai bagian dari reaktor-reaktor nuklir generasi pertama, terletak pada sistem pendingin darurat pasca-mati. Pada sebuah reaktor nuklir, pendinginan tetap dibutuhkan meskipun reaktor telah dimatikan. Ini karena reaksi fissi nuklir menghasilkan sejumlah produk yang kemudian mengalami peluruhan radioaktif (memancarkan radiasi) sehingga melepaskan energi yang secara akumulatif dinamakan panas peluruhan. Secara umum begitu sebuah reaktor dimatikan (baik secara normal maupun mendadak dengan SCRAM), pada hari pertama panas peluruhannya masih 7 % dari daya termal reaktor. Persentase ini akan kian menurun seiring dengan berjalannya waktu (misalnya pada setahun pasca dimatikan tinggal 0,5 %). Maka dibutuhkan pendinginan kontinu selama 1-3 tahun (bergantung tipe bahan bakar nuklirnya) sebelum suhu optimal benar-benar diperoleh.
Pada reaktor BWR, efisiensi konversi energi panas ke listrik adalah 30 %, sehingga besarnya panas peluruhan adalah 23 % daya listrik reaktor. Dengan demikian panas peluruhan pada reaktor unit 1 hingga 3 PLTN Fukushima 1 masing-masing adalah 106 megawatt, 180 megawatt dan 180 megawatt. Bandingkan dengan daya PLTA Jatiluhur yang “hanya” 150 MW. Sebagai ilustrasi, panas peluruhan itu mampu mendidihkan air yang semula bersuhu 30 C masing-masing sebesar 31.300 ton/hari, 53.100 ton/hari dan 53.100 ton/hari. Kuantitasnya sangat besar sehingga pendinginan mutlak diperlukan, sebab jika tidak maka panas peluruhan sanggup menaikkan suhu reaktor sangat tinggi sehingga bisa merusak integritas reaktor (terutama melelehnya batang bahan bakar dan batang kendali reaktor).
Reaktor nuklir generasi pertama merupakan derivasi langsung dari reaktor nuklir kapal selam sehingga butuh sistem pendingin pasca-mati yang aktif. Artinya, meskipun reaktor sudah dimatikan dan tidak menghasilkan listrik sama sekali, namun pendingin reaktor harus tetap dialirkan sehingga pompa dan katup-katupnya harus tetap hidup. Pada reaktor generasi ketiga, pendinginan pasca-mati juga tetap dibutuhkan, namun inovasi membuat pendinginan bersifat pasif yang bisa dilakukan dengan menggunakan udara dari luar tanpa harus menggerakkan pompa atau katup-katupnya. Sistem pendingin pasca-mati yang aktif inilah biang keladi kecelakaan nuklir di PLTN Fukushima I.
Ketika reaktor BWR dimatikan pada dasarnya masih ada sisa uap dalam reaktor dan bisa dimafaatkan guna memutar pompa. Sehingga sirkulasi pendingin tetap berjalan meskipun reaktor telah mati dan aliran listrik terhenti. Namun disepanjang sistem pendingin terdapat katup-katup yang berfungsi untuk mengatur aliran air. Nah katup-katup ini hanya bisa digerakkan dengan listrik. Jika reaktor dimatikan, listrik ini diperoleh dari sumber eksternal, yakni dari jaringan kelistrikan yang sebelumnya disuplai PLTN Fukushima 1. Jika jaringan ini pun mati, masih ada diesel cadangan yang terletak di lantai bawah gedung operasional. Jika diesel ini juga mati, reaktor masih memiliki catudaya cadangan berupa batere (aki) yang sanggup beroperasi selama 8 jam kemudian (dengan asumsi selama 8 jam itu jaringan kelistrikan atau diesel bisa diperbaiki).
Kecelakaan Nuklir
Saat gempa akbar Tohoku 2011 terjadi, hanya reaktor unit 1, 2 dan 3 yang hidup sementara reaktor unit 4, 5 dan 6 sedang dimatikan sesuai jadwal untuk perawatan rutin. Episentrum gempa berada sejauh 179 km dari kompleks PLTN Fukushima, namun patahan sumber gempanya tepat berhadapan dengan kompleks ini. Model getaran Gutenberg-Richter memperlihatkan getaran yang dirasakan kompleks PLTN Fukushima 1 mencapai skala 8 MMI dengan percepatan tanah 0,5 g. Percepatan ini hampir 3 kali lipat nilai percepatan maksimum desain reaktor PLTN Fukushima (yakni 0,18 g) namun sejauh itu tidak ditemukan kerusakan. Meski demikian getaran sangat keras ini merubuhkan menara jaringan tegangan ekstratinggi sehingga jaringan kelistrikan setempat terputus.
Karena posisinya tepat di tepi laut, PLTN ini juga dilindungi dengan dinding anti-tsunami (seawall). Namun dinding dirancang hanya untuk menahan tsunami setinggi 4 meter produk gempa dengan Mw ~8. Kala gempa akbar Tohoku 2011 meletup, model tsunami dari Abe memperlihatkan tinggi tsunami di Fukushima mencapai 8,5 meter yang secara teoritis mampu menerjang ke daratan hingga sejauh 200 meter pada pantai yang telah dilengkapi sistem anti-tsunami sekalipun. Ketinggian tsunami melampaui dinding penahannya dengan mudah dan ‘tumpah’ menerjang fasilitas PLTN Fukushima 1, merendamnya dalam lautan puing-puing selama beberapa jam kemudian. Akibatnya ruang diesel cadangan pun turut terendam.
Disinilah rangkaian kegagalan demi kegagalan terjadi yang kemudian berujung pada kecelakaan nuklir. Sistem kendali reaktor secara otomatis mematikan semua reaktor kala gempa terjadi secara SCRAM. Putusnya jaringan kelistrikan membuat katup-katup aliran pendingin digerakkan oleh diesel cadangan, namun ini pun hanya bertahan 1 jam karena diesel kemudian mati terendam air tsunami. Aliran listrik lantas diambil alih aki selama 8 jam kemudian. Bantuan aki dan diesel cadangan yang mobil segera didatangkan dari PLTN terdekat yang tidak mengalami gangguan, namun butuh waktu 13 jam pascagempa untuk mencapai Fukushima. Bantuan itu pun tidak langsung tersambung dengan Fukushima karena konektornya berada di ruang basement yang terendam air. Akibatnya reaktor unit 1 hanya mendapatkan pendinginan 9 jam pascagempa dan setelah itu pendingin berhenti. Sistem pendinginan darurat (ECCS atau emergency core cooling system) pun tak bisa diaktifkan akibat ketiadaan listik. Konsekuensinya panas peluruhan tidak lagi bisa dialirkan keluar, sebuah kondisi yang kadang diistilahkan sebagai LOHSA (Loss Of Heat Sink Accident) atau LOFA (Loss Of Flow Accident).
Akibat LOHSA, air pendingin dalam reaktor tidak bisa mengalir sehingga terus terdidihkan sampai menguap oleh panas peluruhan. Penguapan intensif membuat tinggi permukaan air reaktor terus menyusut dan satu saat sampai ke titik dimana batang bahan bakar mulai tidak terendam air. Pada saat itu suhu reaktor sudah mencapai 800 C. Tidak terendamnya batang bahan bakar berimplikasi serius, sebab suhu reaktor terus menanjak naik hingga mencapai 1000 C. Pada titik ini, panas telah mampu melelehkan batang bahan bakar dan isinya, kondisi yang secara teknis disebut LOCA (Loss Of Coolant Accident). Dalam fisika reaktor nuklir, LOCA menduduki hirarki tertinggi sebagai kecelakaan terparah yang membuat sebuah reaktor bisa mati untuk selamanya. Zirkonium yang meleleh lantas bereaksi secara kimiawi (reaksi kimia biasa) dengan uap air panas menghasilkan zirkonium oksida dan gas Hidrogen, dimana dalam tiap kg zirkonium yang bereaksi diproduksi 500 liter gas Hidrogen. Terbentuknya gas Hidrogen membuat tekanan di dalam reaktor meningkat sehingga sempat mencapai 2 kali lipat di atas normal.
Pada titik tertentu, campuran uap air, udara dan gas Hidrogen cukup berbahaya karena sanggup menghasilkan detonasi (ledakan) yang ditandai dengan pelepasan gelombang kejut. Setiap reaktor pada dasarnya memiliki perangkat yang mampu mengalirkan gas Hidrogen keluar sebelum konsentrasi berbahaya tercapai. Namun ketiadaan aliran listrik membuat langkah ini tak berjalan, sementara gas Hidrogen telah dialirkan keluar memenuhi ruangan di antara lapisan pengungkung pertama dan kedua. Sebagai akibatnya, ketika konsentrasi berbahaya tercapai, ledakan Hidrogen pun tak terelakkan.
Ledakan Hidrogen di reaktor unit 1 terjadi pada 12 Maret 2011 pukul 13:36 WIB, yang menyebabkan atap reaktor (lapisan pengungkung kedua) bolong. Namun inspeksi menunjukkan lapisan pengungkung pertama masih utuh. Problem di reaktor unit ternyata juga menghinggapi reaktor unit 3 yang berujung pada ledakan Hidrogen dua hari kemudian, yakni 14 Maret 2011 pukul 09:15 WIB, sebagai bagian dari rangkaian kegagalan yang dimulai dengan matinya ECCS sejak sehari sebelumnya. Meski ledakan menyebabkan bagian atas lapisan pengungkung kedua juga bolong, namun lapisan pengungkung pertama tetap utuh. Namun puing-puing ledakan berhamburan kemana-mana, termasuk merusak sistem pendinginan reaktor unit 2. Akibatnya ECCS reaktor unit 2 pun mati, yang membuat air dalam reaktor sepenuhnya kosong sehingga pelelehan pun mulai terjadi. Ujungnya, ledakan Hidrogen di reaktor unit 2 pun terjadi pada 15 Maret 2011 pukul 04:14 WIB.
Pada reaktor unit 4, meski telah dimatikan secara terjadwal sebelum gempa terjadi dan seluruh batang bahan bakarnya telah dipindah ke kolam bahan bakar bekas di atas reaktor, pendinginan yang tidak mencukupi membuat air dalam kolam bahan bakar bekas memanas dan mendidih sampai kering. Gas Hidrogen pun terbentuk dan lama kelamaan mencapai konsentrasi berbahaya sehingga ledakan Hidrogen pun terjadi pada 15 Maret 2011 pukul 04:00 WIB. Masih tingginya konsentrasi gas Hidrogen membuat kolam bahan bakar bekas terbakar empat jam kemudian. Ledakan telah menyebabkan dinding lapisan pengungkung kedua bolong di dua lokasi, masing-masing seluas 64 meter persegi. Bolongnya dinding dan habisnya air dalam kolam bahan bakar bekas menempatkan reaktor unit 4 sebagai reaktor paling berbahaya selama rangkaian kecelakaan nuklir ini, karena nyaris tidak ada pelindung lagi antara batang bahan bakar nuklir dengan lingkungan luas.
Akibat rangkaian kejadian ini, IAEA menempatkannya sebagai kecelakaan nuklir dalam skala 4 INES dan kemudian dinaikkan menjadi skala 5 INES. Ini disebabkan telah terjadinya pelelehan sebagian bahan bakar nuklir dalam reaktor, yang secara akumulatif mencapai 3 % meski diestimasikan pada reaktor unit 1 dan 2 masing-masing telah terjadi 70 % dan 33 % bahan bakar rusak. Dalam skala 5 INES, kecelakaan nuklir PLTN Fukushima 1 setara dengan kecelakaan nuklir PLTN Three Mile Island 1 di Pennsylvania (AS), yang sama-sama disebabkan oleh LOCA. Radiasi di dalam kompleks PLTN Fukushima 1 sempat menyentuh angka 1 juta mikro Sievert/jam alias 3 juta kali lipat di atas nilai radiasi natural, meski kemudian turun menjadi 0,6 juta mikro Sievert/jam. Dalam jarak 20 km dari reaktor, radiasi tercatat 330 mikro Sievert/jam sementara batas aman bagi manusia adalah 25 mikro Sievert/jam. Inilah yang menjadi dasar evakuasi penduduk dalam radius 20 km dari PLTN Fukushima 1 sementara penduduk dalam radius 20 hingga 30 km diminta untuk tetap tinggal di dalam rumah. Namun pada jarak yang lebih jauh, seperti Tokyo, radiasi masih berada di ambang batas normal. Tingkat radiasi di Tokyo tercatat 0,8 mikro Sievert/jam.
Epilog
Jepang bertindak cepat dalam menangani kejadian ini. Setelah upaya memperbaiki sistem kelistrikan secara cepat gagal, mereka memompakan air laut tak tersaring pada reaktor-reaktor yang kepanasan ini. Tindakan ini berhasil memberikan pengaruh signifikan, yang ditandai dengan tidak meningkatnya tingkat radiasi, meski otoritas ketenaganukliran Jepang sangat memahami bahwa langkah pemompaan ini akan berakibat pada ditutupnya reaktor untuk seterusnya. Pada reaktor-reaktor yang telah mengalami ledakan Hidrogen, disiramkan Boron dalam bentuk asam borat dari helikopter, dengan tujuan menghindari kemungkinan kritikalitas reaktor (kondisi yang menyebabkan reaksi fusi berantai berjalan lagi meski hanya pada selang waktu sangat pendek). Perhatian khusus ditujukan ke reaktor unit 4, yang dianggap memiliki kondisi paling membahayakan.
Hingga 13 Maret 2011, telah 200.000 penduduk dievakuasi dari zona radius 20 km dari PLTN Fukushima 1. Pada dasarnya, dari sekian banyak unsur radioaktif produk reaksi fissi nuklir, ada tiga yang paling berbahaya, yakni Yodium-131, Cesium-137 dan Stronsium-90. Yodium-131 mudah diserap oleh kelenjar tiroid (dan menimbulkan kanker tiroid pada dosis tertentu), sementara Cesium-17 menyubstitusi peran Kalium ke sel. Dan Stronsium-90 bisa menggantikan Kalsium sehingga mengendap dalam tulang (dan berpotensi menimbulkan kanker tulang). Untuk mencegah masuknya Yodium-131 dan cesium-137, para penduduk diharuskan mengonsumsi tablet-tablet Kalium Yodida. Demikian pula guna mengeliminasi kemungkinan konsumsi Stronsium-90.
Per 19 Maret 2011, jaringan kelistrikan ke PLTN Fukushima 1 berhasil dipulihkan, yang menumbuhkan harapan normalisasi aliran pendingin dengan menghidupkan pompa-pompanya secara penuh. Pemantauan lewat udara terhadap atap-atap reaktor yang bolong menunjukkan tanda-tanda menggembirakan: kolam bahan baka bekas di reaktor unit 1, 2, 3 dan 4 telah sepenuhnya terisi air, sehingga resiko ledakan gas Hidrogen lanjutan bisa diminalisir. Sementara pemantauan radiasi dalam jarak 1 km di luar kompleks reaktor tidak menunjukkan adanya peningkatan dramatis dosis radiasi, yang mengindikasikan bahwa reaktor-reaktor tidak lagi bocor dan pelelehan telah terhenti.
Sampai kapan situasi kecelakaan nuklir ini akan terus berlanjut? Belum jelas. Namun dengan mulai pulihnya jaringan kelistrikan, maka aliran pendingin bisa dinormalkan sehingga potensi terbentuknya gas Hidrogen akan menghilang sekaligus memadamkan bara api kebakaran yang masih mengepul. Jika faktor-faktor tersebut bisa diatasi, teknisi bisa segera memasuki kawasan pengungkung untuk memperbaiki kerusakan atau melakukan penutupan reaktor untuk seterusnya. Melihat perkembangan ini, barangkali dibutuhkan waktu sebulan penuh untuk mengatasi problem pendinginan reaktor nuklir PLTN Fukushima 1 dan kembali mengisolasinya dari lingkungan luar. sumber
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar