Jumat, 24 Februari 2012

Cultural Shock

Manusia adalah mahluk yang sangat paling bisa menyesuaikan diri pada hal-hal yang baru. Inilah rahasia pertahanan kita. Namun, penyesuaian itu secara bertahap.

Karena kalau terjadi seketika, akibatnya terjadi goncangan kebiasaan atau dalam konteks massa disebut cultural shock (gegar budaya), sebuah istilah psikologis untuk menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang menghadapi kondisi lingkungan sosial dan budaya yang berbeda.

Tubuh kita memang didesain menerima sesuatu dengan proses. Misal, saat makan harus dikunyah minimal 30 kali dan maksimal 70 kali. Kalau tidak, akan mengakibatkan gangguan kesehatan lambung.

Demikian pula pola tidur kita, juga harus teratur. Sekali saja Anda melakukan pergeseran pola tidur, meski itu hanya satu jam, akan membuat tubuh kita melakukan penyesuaian minimal tiga hari, maksimal seminggu.

Ini baru sekali, bagaimana susahnya tubuh kita melakukan penyesuaian bila pola tidur Anda tidak teratur dan selalu berubah? Jangan heran bila nanti bisa menambah tinggi risiko masalah kardiovaskular. Hal ini beresiko besar terhadap gangguan jantung.

Pada orang dewasa, kurang tidur bisa membuat depresi berat. Dalam keadaan kurang tidur yang parah, depresi akan bertambah, ditambah otak tak bisa berfikir jernih. Banyak kasus bunuh diri yang terjadi karena hal ini.

Sedikit uraian di atas tadi mengisahkan bagaimana tubuh melakukan penyesuaian terhadap faktor internal. Bayangkan, sudah begitu rumit. Apalagi penyesuaian pada faktor eksternal, tentu lebih rumit lagi. Bila terlalu drastis maka akan terjadi cultural shock.

Cultural shock tak hanya terjadi saat kita harus menyesuaikan diri ketika berada di negeri orang, namun juga pada ranah keseharian. Karena ini menyangkut akan kebiasaan dan sosialisasi yang puncanya pada tatacara, kebiasaan dan budaya.

Suatu hal yang bisa kita petik pelajaran, bagaimana gundahnya warga Batam ketika belum lama ini mendengar akan terjadi pemadaman listrik selama satu minggu. Reksi keras berdatangan, “Bisa jadi kita kembali ke zaman batu!” ujarnya.

Reaksi lain, masyarakat berbondong-bondong menyerbu toko alat-alat listrik untuk membeli lampu emergency. Bagi yang punya uang lebih, mereka membeli genset mini. Lama-lama, genset dan lampu emergency tadi menjadi sebuah tren.


Aksi dan reaksi ini terjadi, sebenarnya adalah bentuk insting pertahanan manusia akan sebuah hal yang dinilai menganggu proses kehidupannya. Saat itu, sebenarnya tubuh kita tak siap bila harus melakukan penyesuaian diri yang begitu drastis. Dari semula hidup dengan listrik, kini harus tanpa listrik.

Memang hal ini tak akan mengakibatkan kematian, namun bisa membuat rangkaian kebiasaan yang selama ini tertata, jadi berantakan. Misalnya, tubuh mereka menolak bila harus tidur dalam keadaan panas, akibat AC atau kipas angin tak bisa menyala. Atau, belum siap bila harus mencuci pakaian tak lagi menggunakan mesin, dan lain sebagainya dan lain sebagainya.

Gegaran budaya ini juga terjadi saat pemerintah melakukan konversi minyak tanah ke gas. Reaksi pun timbul, akibat kurangnya sosialisasi dari pemerintah. Ujungnya, tak jarang menimbulkan malapetaka bagi masyarakat itu sendiri. Misalnya, terjadi tabung gas bocor hingga meledak.

Inilah salah satu contoh kecil dengan apa yang disebut cultural shock. Contoh lain dari cultural shock ini dapat kita lihat ketika awal tahun 1990-an lalu, masyarakat dihebohkan oleh pemutraran film kartun dan sinetron tiga dimensi di RCTI. Agar bisa menyaksikannya, mereka harus memakai kacamata tiga dimensi.

Mau tahu apa yang terjadi? Masyarakat berbondong-bondong menyerbu toko buku untuk mendapatkannya, meski harganya -untuk kacamata yang framenya dari kertas karton dan kacanya dari film itu- luar biasa mahal.

Makin dekat waktu pemutaran film kartun dan sinetron tersebut, makin naik pula harganya. Padahal kegunaan kacamata itu tak begitu berarti. Karena, menonton tanpa kacamata tersebut juga tak jauh beda.


Hal serupa dapat kita saksikan ketika blackberry mewabah. Lihatlah betapa mabuknya masyarakat saat itu. Biar keren, orang-orang berbondong-bondong punya Blackberry. Tak peduli apakah bisa atau tidak mengoperasikannya, yang penting punya. Mereka juga tak pikir panjang, apakah punya e-mail atau tidak, bahkan tak peduli lagi apakah Riset in Motion, selaku produsen Blackberry, memiliki kantor perwakilan di Indonesia atau tidak.

Begitu terus. Cultural shock ini terus terjadi dan terus berulang. Cultural shock adalah hal yang serius, karena banyak kekacauan yang terjadi di muka bumi ini, bermula dari sini. sumber

0 comments:

Posting Komentar