Kamis, 19 Januari 2012

Media Sosial dan Budaya Literasi

Maraknya media sosial, semacam blog, Twitter, Facebook, dan sejenisnya membawa implikasi yang baik dalam budaya literasi atau budaya membaca plus menulis. Dampak itu ialah dengan media sosial, masyarakat kian aktif dalam memperoleh informasi. Meski tidak membaca koran dalam bentuk cetak, pembaca dapat menikmati informasi via portal di laman daring.

Blog yang dikelola secara pribadi maupun keroyokan seperti Kompasiana dan Kaskus menjadi literatur berjalan. Dengan maraknya bloger yang mem-posting tulisannya di blog, membawa implikasi penciptaan pembaca-pembaca baru. Dengan adanya blog, orang akan memiliki alternatif bacaan. Terlebih setiap bloger acap punya satu bidang kajian. Itu yang membedakannya dengan penulis lain. Dengan kata lain, bloger melakukan personal branding dalam hal kapasitas tulisan yang dihasilkan.

Kita patut gembira saat masyarakat Indonesia sudah akrab dengan media sosial. Paling tidak ini memberikan tambahan informasi lain, selain menikmatinya lewat koran, televisi, dan radio. Mereka yang memiliki blog akan berusaha menyajikan tulisan yang baik, menarik, dan unik agar dibaca orang. Apalagi blog yang punya kekhasan sehingga membuat orang ringan langkah untuk bertandang. Membaca, mengkliknya, bahkan bisa jadi segera mempraktekkannya.

Kita ambil contoh blog keroyokan yang dikelola Kompas Cyber Media: Kompasiana. Disitat dari keterangan laman daring ini, sudah 800 ribu bloger yang mendaftar dan punya akun di portal ini. Dalam sehari sekitar 10 persen yang aktif dalam mengunggah tulisannya di banyak kanal yang disediakan. Yang menarik, administrator juga memilih beberapa tulisan dalam sehari yang masuk berita utama atau headline.

Ini jelas budaya literasi yang bagus. Di mana ada interaksi membaca yang masif dari masyarakat kita. Informasi yang disajikan pun beragam. Bisa reportase, opini, ataupun sekadar catatan harian. Ini adalah bahan bacaan yang mudah diakses. Cukup dengan ponsel dalam genggaman, orang sudah bisa mengakses tulisan, memberikan komentar. Budaya literasi ternyata banyak pula disokong dengan media sosial semacam ini.

Kadang yang menakjubkan, ada informasi aktual yang pertama kali justru disampaikan oleh jurnalis warga. Seorang Roy Suryo yang marah-marah di pesawat padahal dia yang memang salah jadwal, pertama kali diinformasikan oleh bloger. Demikian pula kabar penarikan mi instan asal Indonesia di Taiwan, perdana kali diwartakan jurnalis warga. Dan, banyak yang membacanya. Ini menjadi bukti kalau media sosial mampu membuka sendiri pasar pembacanya. Pasar yang cuma bermodal ponsel di dalam genggaman. Dan dua pengalaman itu kemudian dilanjutkan oleh media arus utama di laman daring ataupun cetak.

Budaya literasi kita memang masih rendah. UNESCO bahkan menempatkan peringkat budaya baca masyarakat Indonesia di lima puluh besar. Masih di bawah India. Di tengah masih mahalnya harga buku, akses internet lewat ponsel membuat masyarakat kian cepat mendapatkan informasi dan membacanya. Budaya membaca bisa dimulai dari tapakan yang sederhana, dengan menikmati setiap kabar lewat media sosial. Satu hal sederhana saja, Twitter.
Banyak orang beken, semisal Goenawan Mohammad yang aktif menulis di akun Twitternya. Dan banyak juga pengikuti atau follower-nya. GM, demikian ia biasa disapa, bahkan rajin menulis setiap hari, tema apa saja. Para jemaah Twitter sering mengakronimkannya dengan kultwit atawa kuliah twitter. Bayangkan, definisi “kuliah” yang dulu cuma kita kenal di ruang kampus, kini bisa dikerjakan cuma bermodal kalimat tak lebih dari 140 karakter. Itu memang tak cukup lantaran cuma selintas. Akan tetapi, sebagai awal membangkitkan budaya literasi, itu lebih daripada cukup. Itu sedikit banyak memicu masyarakat senang dan gemar membaca, juga menulis.

Era Facebook sebetulnya masih relevan demi membangun budaya literasi ini. Akun media sosial itu bisa digunakan sebagai sarana melatih diri membaca dan menulis. Ada kalanya tautan yang digunakan pemilik akun bisa kita baca. Entah itu ke blog pribadi maupun situs berita.

Kita memang berharap budaya literasi di Indonesia bisa melejit. Masyarakatnya senang membaca buku, jurnal, majalah, dan koran, serta portal berita yang menyajikan informasi beragam. Dan tak bisa dinafikan, media sosial punya pengaruh yang cukup signifikan. (sumber)

0 comments:

Posting Komentar