Rabu, 01 Februari 2012

Ajaran Tasawuf: Mahabbah, Syauq, Wushul, Qona’ah

Ajaran Tasawuf: Mahabbah: kecenderungan kepada Allah secara paripurna, mengutamakan urusan-Nya atas diri sendiri, jiwa dan hartanya, sepakat kepada-Nya lahir dan batin, dengan menyadari kekurangan diri sendiri (Syaikh alMuhasibiy). Rabi’ah berkata: “Orang yang mahabbah kepada Allah itu tidak habis rintihan kepada-Nya sampai ia dipanggil ke sisiNya.

Ajaran Tasawuf : Syauq: yaitu kerinduan hati untuk selalu terhubung dengan Allah dan senang bertemu dan berdekatan denganNya (Abu Abdullah bin Khafif). Sebagian Ulama’ berkata: ” Orang-orang yang Syauq merasakan manisnya kematian setelah dialami, sebab terbuka tabir yang memisahkan antara dirinya dengan Allah.

Ajaran Tasawuf Unsu: tertariknya jiwa kepada yang dicintai (Allah) untuk selalu berada di dekatNya. (Abu Sa’id al Karraz). Syeh Malik bin Dinar mengatakan, “Barangsiapa tidak unsu dengan muhadatsah kepada Allah, maka sedikitlah ilmunya, buta hatinya dan sia-sia umurnya.

Ajaran Tasawuf Qurbun: dekat hatinya seseorang dengan Allah Ta’ala, sehingga dalam melakukan segala hal merasa selalu dilihat olehNya. Syeh Abu Muhammad Sahl mengatakan, “Tingkat paling rendah dalam tingkatan Qurb adalah rasa malu melakukan maksiat”

Ajaran Tasawuf Haya’: Rasa malu dan rendah diri, demi mengagungkan Allah (Syaikh Syihabuddin), Syaikh dzun Nun alMisri mengatakan, “Mahabbah membikin orang berucap, Haya’ membikin diam, dan Khauf membikin gentar”.

 Sakar: Gejolak mabuknya hati sewaktu disebut Allah (Syaikh Abu Abdullah)

Ajaran Tasawuf Wushul: terbukanya tabir hati dan menyaksikannya pada hal-hal yang diluar alam ini (alam dhohir) (Syaikh Abu Husein anNuriy)

Ajaran Tasawuf Qona’ah: menerima cukup dengan yang ada tanpa keinginan berusaha memperoleh yang belum ada (Syaikh Abu Abdullah).

Pokok-Pokok Ajaran Tasawuf  Pada dasarnya, ajaran Tasawuf merupakan bimbingan jiwa agar menjadi suci, selalu tertambat pada Allah dan Tasawuf menjauhkan dari pengaruh-pengaruh selain Allah. Kemudian dengan Tasawuf maka terbukalah hijab yang menutupinya.

Tingkatan Kwalitas jiwa keimanan, yang meliputi:

Maqom Taubat ( arabic: التوبة ), yaitu meninggalkan dan tidak mengulangi lagi perbuatan dosa yang pernah dilakukan demi menjunjung ajaran Allah dan menyingkiri murka-Nya ( Imam al- Ghozali).
Maqom Waro’, menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu, dalam rangka menjunjung tinggi perintah Allah, menurut Syaikh Ibrahim Adham. Waro’ adalah meninggalkan setiap yang syubhat (tidak jelas halal atau haramnya), Waro’ Lahiriyah: meninggalkan seluruh perbuatan kecuali perbuatan yang karena Allah, Waro’ Batiniyah: sikap hati yang tidak menerima selain Allah
Maqom Zuhud ( زاهد ), lepasnya pandangan keduniawian dan usaha memperoleh keduniawian dari seorang yang sebenarnya mampu untuk memperolehnya.

Maqom Shobar ( الصبر ), ketabahan dalam menghadapi dorongan hawa nafsu (Imam al-Ghozali), Syaikh Dzun Nun al-Misri mengatakan: Shobar adalah menjauhkan diri dari perbuatan yang melanggar agama, tabah dan tenang dalam menghadapi cobaan, dan menampakkan hidup lapang dalam mengalami kemelaratan.
Maqom Faqir ( فقير ), Tenang dan tabah diwaktu susah dan memprioritaskan orang lain di kala sedang berada ( Syaikh Abu Hasan al-Nuruy). Syaikh Ibrohim al-Khawwash, mengatakan Faqir adalah selendang orang-orang mulia, pakaian para Rosul dan baju kurung kaum Sholikhah.

Maqom Syukur ( شكر ), pengakuan terhadap kenikmatan, tindakan badan untuk mengabdi kepada Allah dan ketetapan hati untuk selalu menyingkiri yang haram, Syaikh Abul Qasim mengatakan, “Hakikat syukur adalah tidak menggunakan kenikmatan untuk maksiat, tidak segan-segan menggunakannya untuk taat sedang batasan syukur adalah mengetahui bahwa kenikmatan itu datangnya dari Allah Ta’ala.

Maqom Khauf, Rasa ketakutan dalam menghadapi siksa Allah atau tidak tercapainya kenikmatan dari Allah, Syaik Abul Hasan al-Nury, berpendapat “orang yang Khauf adalah yang lari dalam ketakutan dari Allah untuk menuju kepada Allah”.

Maqom Roja’, Rasa gembira hati karena mengetahui adanya kemurahan dari dzat yang menjadi tumpuan harapannya, Syaikh Abu Ali, berkata: “Khauf dan Roja’ adalah ibarat dua belah sayap burung, jika seimbang keduanya, maka terbang nya burung menjadi sempurna, jika kurang salah satunya, maka terbangnya tidak sempurna, dan jika hilang keduanya, maka burung jatuh dan menemui kematiannya.

Maqom Tawakal, sikap hati yang bergantung pada Allah dalam menghadapi sesuatu yang disukai, dibenci, diharapkan atau ditakuti kalau terjadi dan bukan menggantungkannya pada suatu sebab, sebab satu-satunya adalah Allah(al-Muhasibi). Syaikh Sahl berpendapat, “Jenjang pertama kali dalam Tawakal adalah hendaknya hamba dihadapan Allah bersikap sebagaimana mayat dihadapan orangyang merawatnya, dibalik kesana kemari diam saja.”

Maqom Ridho, Rasa puas hati dalam menerima nasib yang pahit (Abul Hassan al-Nuri), Rabi’ah Adawiyah menjelaskan, sewaktu ditanya bagaimana seorang hamba bisa dikatakan Ridlo, Jawabnya: “Apabila ia senang dalam menghadapi musibah sebagaimana ia senang dalam menerima nikmat. Syaikh Yahya bin Mu’arif, ketika ditanya, “Kapan seorang mencapai Maqom Ridho?” beliau menjawab: “Jika diberi mau menerima, jika ditolak ia rela, jika ditinggalkan ia tetap mengabdi dan jika diajak ia menuruti.”

Muroqobah kepada Allah
Muroqobah, Secara harfiah berarti awas-mengawasi. Dalam istilah  Tasawuf menurut al-Qusairy,  Muroqobah ialah: “keadaan seseorang meyakini sepenuh hati bahwa Allah selalu melihat dan mengawasi kita. Tuhan mengetahui seluruh gerak-gerik kita dan bahkan segala yang terlintas dalam hati diketahui Allah.”

Dalam kitab Risalah Qusyairiyyah Imam Qusyairy, ber kata, “Muroqobah ialah, bahwa hamba tahu sepenuhnya bahwa Tuhan selalu melihatnya.”.

Dalam bagian lain pada kitab risalah Qusairiyyah, “barangsiapa yang Muroqobah dengan Allah dalam hatinya maka akan memeliharanya  dari berbuat dosa pada anggota tubuhnya.” Kalimat ini mengandung maksud bahwa orang yang selalu ber Muroqobah kepada Allah, pasti ia tidak mengerjakan dosa lagi, karena Allah telah menjauhkannya dari perbuatan dosa. Berbeda dengan orang munafik, ia takut diawasi orang lain, jadi kalau tidak dilihat orang maka ia berani berbuat dosa.

Seorang ahli Tasawuf Nasrabazdy berkata, dalam kitab risalah Qusayriyyah, “Adapun Harapan baik itu, adalah menggerakkan kamu supaya berbuat amal sholeh, Khauf (takut) dan menjauhkan kamu dari maksiat. Adapun Muroqobah, adalah membawa kamu ke jalan yang benar.” Nasrabazdy bermaksud bahwa Muroqobah akan menuntun kita ke jalan yang benar dan menjauhkan dari dosa karena selalu merasa diawasi Allah.
Tingkatan Muroqobah:
  1. Muroqobatul Qalbi,  kalbunya selalu waspada dan selalu  diperingatkan agar tidak keluar dari kebersamaannya dengan Allah.
  2. Muroqobatul Ruhi, Kewaspadaan dan peringatan terhadap Ruh, agar selalu dalam pengawasan dan pengintaian Allah
  3. Muroqobatus Sirri, kewaspadaan dan peringatan terhadap Sir agar selalu meningkatkan amal ibadahnya dan memperbaiki perilakunya.
Seorang Ahli Tasawuf berkata: “Bahwa sesungguhnya, jauhnya seorang hamba dari Tuhannya, hanya karena buruknya adab tingkah lakunya.”
Dalam hadist sebuah Qudsi Allah berfirman: “Hai hambaku, jadikanlah Aku tempat perhatianmu, niscaya Aku penuhi pula perhatianmu itu. Dimana Aku ada karena kemauanmu, maka engkau itu berada di tempat jauh dari Ku. Dimana kamu berada karena kehendakKu (Allah) maka engkau itu berada di dekat Aku. Maka pilihlah mana yang lebih baik pada dirimu,

Dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghozali menegaskan, “Bahwa siapa-siapa yang membantah/mengingkari tentang adanya manusia tingkat Wali maka ia juga mengingkari adanya manusia tingkatan Nabi”. Imam Ghozali bermaksud untuk menjelaskan bahwa Wali adalah benar-benar ada, dan kita harus mempercayainya, seperti kita juga percaya  tentang adanya  nabi Allah.

Lebih jauh Imam Ghozali ber kata, “Bahwa waliyullah itu mempunyai kekuatan batin/jiwa yang sangat kuat sekali berhubung karena suci bersihnya qolbu mereka. Qolbu mereka itu bagaikan cermin yang sangat bersih, bersih dari segala kotoran maksiat dan bersih dari sifat-sifat yang buruk, sehingga dengan mudah menangkap atau menerima segala yang bersifat suci dari pancaran Nur Ilahi.”

Kekuatan qolbu dari seorang wali adalah sangat berbeda dari orang awam, hal ini terjadi karena qolbu seorang wali adalah bersih dari segala dosa dan telah menerima pancaran Nur Ilahi secara langsung dan tidak terhalang lagi oleh hijab (karena hijab atau tabirnya sudah terbuka ).  Sehingga wali memiliki ilmu Laduni (Ilmu yang diajarkan langsung oleh Allah, melalui cara yang sangat rahasia, meskipun tidak pernah mempelajari secara dhohiriah tapi mahir  menguasainya).sumber


1 komentar:

  1. bagus sekali, terimakasih atas penjelasannya. memang tasawuf itu berat ya.... kalau belum level seperti hampir sama antara satu dengan lainnya.

    BalasHapus