Kamis, 19 Januari 2012

Dominasi Televisi Kita

Di awal tulisan ini saya ingin menyitir Kenneth J. Gergen sebagai pembuka, “kita juga banyak mengambil isyarat dari media, kita menyaksikan di televisi bagaimana caranya bercinta, dan bagaimana rasanya jika kita berduka”.

Perkataan Gergen ini mengindikasikan peran dominant dari budaya televisi dalam kehidupan kita sehari-hari. Bahkan televisi mampu mendominasi waktu luang kita yang seharusnya dipakai untuk membaca dan menulis bahkan untuk berkontemplasi.

Hal ini yang kemudian menjadi perhatian kita, dalam melihat perkembangan yang dramatis di bidang budaya media dan komunikasi di Tanah Air, yang mungkin luput dari perhatian banyak orang.

Jika kita menarik dalam kerangka sejarah, peran dominant televisi berawal sejak runtuhnya rezim Orde Baru pada Mei 1998. Di mana media menemukan iklim kebebasan yang terbuka lebar, pada saat yang sama kita juga menyaksikan kegamangan dalam memanfaatkan peluang yang ada tersebut. Persoalan-persoalan bagaimana mengartikan kebebasan dan menetapkan aturan main yang tepat dalam mengekspresikan kebebasan tersebut, belum juga berhasil dengan rumusan yang mantap.

Kebebasan media menjadi sangat rentan ketika media dimiliki oleh kekuatan modal dominan untuk menjalankan aksi ideologinya. Selain itu, kebebasan media juga bisa dijadikan kekuatan masyarakat sipil yang tengah tampil di ruang publik untuk memperbaiki kinerja suprastruktur negara.

Dalam buku ini Idi Subandi memfokuskan pembahasannya pada sejauhmana budaya media menjadi kekuatan dalam ‘memberdayakan’ atau ‘memperdayakan’ publik dalam proses demokratisasi di Indonesia. Alasannya, karena perhatian terhadap budaya komunikasi dan budaya media menjadi mendesak untuk diangkat. Mengapa demikian? Idi Subandy mengutip perkataan Douglas Kellner (1995), budaya media telah muncul dalam bentuk citra, bunyi, dan tontonan yang membantu struktur kehidupan sehari-hari, mendominasi waktu luang, membentuk pandangan politik dan perilaku sosial, serta menyediakan bahan bagi kita untuk membangun identitas.

Budaya Televisi sebagai Antitesis Demokrasi?

Dalam buku Idi Subandy, ia ingin mengetengahkan bangunan kritik terhadap media, baginya bangunan kritik itu berasal dari dua minat utama: kandungan isi media dan dampaknya bagi khalayak. Kemudian, kita menyaksikan bahwa televisi sudah menjadi ‘icon’ baru yang mendominasi waktu luang kebanyakan orang Indonesia. Televisi telah menjadi referensi utama untuk mencari informasi mengenai politik dan dalam satu hal juga menjadi rujukan budaya dan nilai bagi sebagian orang. Kita tidak bisa pungkiri bahwa kekuatan televisi terletak pada kemasifan, keseketikaan, dan pesona citra serta jangkauan yang luas. Kemudahannya dalam mengkonsumsi gambar, bunyi dan keinstanan menjadi faktor selanjutnya dalam menggiring opini masyarakat.

Buku ini juga mengarahkan perhatian pada dua corak budaya komunikasi dan media yang menonjol dalam proses demokratisasi di Indonesia. Pertama, budaya media yang berpusat pada media itu sendiri, seperti media lebih menekankan akumulasi keuntungan ekonomi bisnis semata. Logika komersialisme pers dan komodifikasi berita telah menjadi primadona dalam cara berpikir pengelola pers dan jurnalis. Pers diarahkan sebagai mesin pencetak uang, pemasok iklan, dan pemburu rating. Dalam logika seperti ini kita sulit menempatkan kepentingan publik di atas atau setara dengan kepentingan modal dan kuasa.

Kedua, budaya media yang berpusat pada publik. Di mana media dipahami sebagai entitas ideal. Ke-ideal-an ini menempatkan pers sebagai kekuatan signifikan dalam proses demokratisasi, memungkinkan pers di garda terdepan dalam menyuarakan kritik terhadap dekadensi dan degradasi budaya yang berlangsung dalam ruang publik. Dalam kondisi demokrasi yang tidak sehat dan ruang publik yang tidak ‘fair’ serta budaya masyarakat sipil yang belum matang, peran media amat sangat dibutuhkan dalam pembelajaran publik akan arti penting budaya kewargaan yang menjunjungtinggi hukum dan penghargaan terhadap hak asasi manusia.

Hal senada juga dilontarkan Raymond Williams bahwa, teknology seperti televisi harus dipahami sebagai hasil dari kekuatan-kekuatan sejarah yang muncul dari kepentingan kelas borjuis di dalam kapitalisme maju, sembari mengapresiasi nilai-nilai komunitarian dan demokratis dari kebanyakan khalayak televisi.

Sementara itu, pemikir budaya kritis, Douglas Kellner dalam bukunya yang terkenal Television and the Crisis of Democracy (1990), memandang bahwa fondasi dan sikap imperatif kapitalis dari sistem “penyiaran” komersial sebagai antitesis demokrasi itu sendiri. Keuntungan menjadi faktor utama dalam merusak proses demokrastisasi, disebabkan kurang bertanggungjawabnya koorporat, akses gelombang udara yang sangat terbatas, dan sempitnya perspektif politik yang ditampilkan.

Hal ini juga menjadi sorotan sangat detail oleh Robert W. McChesney di dalam bukunya Rich Media, Poor Democracy: Communication Politics in Dubious Time (1999), ketika koorporasi media menjadi ‘sistem media global’ dalam mewujudkan megakoorporat. McChesney berargumen bahwa konsentrasi kekuasaan di tengah oligopoli koorporat yang terintegrasi secara vertikal telah mengancam arus bebas informasi dan opini yang berbeda yang justru amat vital bagi daya hidup masyarakat demokrasi. Dia juga berpendapat bahwa, harus adanya “reformasi media secara struktural” yang akan memungkinkan televisi merealisasikan potensinya bagi penyebaran praktik-praktik sosial dan nilai-nilai demokratis.

Era Keberlimpahan Komunikasi

Kecanggihan dalam perkembangan media komunikasi menjadi titik di mana kita hidup di era “revolusi komunikasi” seperti yang digambarkan Frederick Williams dalam bukunya The Communication Revolution (1982), tetapi sebenarnya kita juga hidup di mana John Keane menyebutnya sebagai era “keberlimpahan komunikasi” (communicative abundance) menjadi ciri dari masyarakat muthakhir.

Era keberlimpahan komunikasi ini ditandai oleh komunikasi yang melampaui ambang batas. Komunikasi menjadi overload, muatan informasi mencapai titik jenuh, tidak hanya dalam masyarakat tetapi juga dalam benak kita. Kita selalu disuguhkan dengan citra-citra keberlimpahan. Keberlimpahan komunikasi tidak berarti membuat orang serba tau dan tercerahkan. Era keberlimpahan komunikasi justru dipandang membawa kontradiksi-kontradiksi baru dan menciptakan konflik-konflik baru. .

Sebenarnya keberlimpahan komunikasi dalam kehidupan tak lain disebabkan oleh “ledakan informasi” yang terus-menerus dibawa media ke ruang-ruang kehidupan manusia kontemporer. Hal ini pula yang menyebabkan “masyarakat jenuh media” (media saturated society) menjadi ciri khas masyarakat mutakhir. Masyarakat mutakhir adalah masyarakat yang dilimpahi dan diserbu oleh begitu banyak dan pelbagai macam informasi berupa gambar, teks, bunyi, tanda, dan pesan-pesan visual. Singkatnya masyarakat mutakhir adalah masyarakat yang dibanjiri informasi dan pesan-pesan ideologis, politis dan terutama komersial.

Kenneth J. Gergen dalam bukunya The Saturated Self: Dilemmas of Identity in Contemporary Life (1991), menggambarkan dengan sangat bagus pergolakan identitas masyarakat mutakhir di tengah kepungan nilai-nilai yang datang bagaikan banjir dari segala penjuru. Di mana dilema masyarakat ini sering kita sebut sebagai “masyarakat postmodern”. Menurutnya “masyarakat postmodern” ini merupakan salah satu pernik hasil kemajuan teknologi yang telah membuat kita jenuh dengan suara orang lain.

Gergen berujar dengan kemajuan teknologi inilah, media memiliki dampak dominan dalam kehidupan, yang ternyata ikut berperan penting dalam mengkonstruksi kepribadian.

Sulit bagi kita untuk merenung arti dari sebuah kehidupan, karena kehidupan kita kini telah digempur oleh kemajuan teknologi komunikasi yang sangat berpengaruh besar terhadap perilaku dan budaya kita. Begitu banyak citra, simbol, gambar, dan bunyi serta pesan komersial yang selalu menyelinap masuk ke ruang tamu kita. Inilah zaman yang disebut Jean Baudrillard “We are in a universe where there is more and more information, and less and less meaning”. Kita kini sedang berada dalam semesta yang begitu melimpahnya informasi, tetapi begitu hampa akan makna.

Buku ini juga menawarkan “komunikasi empatik” sebagai alternatif dari gempuran “budaya komersil” yang kini tengah terdistorsi di ruang publik.

Sebagai penutup buku ini layak untuk dibaca oleh siapa pun, golongan apa pun, untuk kemudian menciptakan pendidikan melek media (media literacy) di kalangan warga agar bisa bersikap kritis terhadap kandungan pesan media. (sumber)

0 comments:

Posting Komentar