Kamis, 19 Januari 2012

Media Massa Televisi Merupakan Senjata Budaya Penghancur Generasi Muda Indonesia

Keberadaan komunikasi massa telah membawa kita pada era globalisasi, sebuah zaman yang menawarkan ruang tak terbatas, membuang sekat-sekat antar negara dan mengintegrasikannya ke dalam satu persepsi sehingga informasi-informasi dapat kita ketahui secara cepat. Ini terjadi berkat revolusi informasi yang memasuki pelosok dunia lewat saluran media massa diantaranya adalah televisi dan internet. Melalui bantuan teknologi mutakhir ini pula kita dapat mengakses berbagai berita mulai dari kebijakan pemerintah, kenaikan harga di pasar, perseteruan antarpemilik saham, gosip selebritas, pemerkosaan, seks bebas,dan kriminalitas.

Pada dasarnya media massa merupakan sesuatu yang dapat digunakan oleh segala bentuk komunikasi, baik komunikasi personal, komunikasi kelompok dan komunikasi massa. Pada saat ini media masa telah menjadi suatu kebutuhan hampir pada seluruh masyarakat berbagai lapisan baik pada lapisan atas, tengah, dan bawah. Kebutuhan tersebut bertambah seiring dengan perkembangan informasi yang sedang berkembang pada saat ini.

Hal ini didukung pula oleh lahirnya kebebasan komunikasi massa dalam bentuk media massa cetak dan elektronik melalui Undang-Undang Penyiaran No. 32 tahun 2002 dan Undang-Undang Pers No. 40 tahun 1999 serta dibungkus dengan himpunan etika profesi wartawan (kode etik jurnalistik) bagi para pencari berita. Sehingga, tidak heran kalau dewasa ini, media massa cetak maupun elektronik berlomba untuk menayangkan variatif program untuk mendongkrak posisi rating mereka serta mendapatkan keuntungan sebesar - besarnya.

Pemberitaan di media massa khususnya televisi, merupakan salah satu sarana untuk menyampaikan berita (pesan) yang paling diminati masyarakat pada umumnya. Penyampaian pesan yang disampaikan kepada penerima pesan (penonton) dengan cara yang lebih menarik yaitu dengan adanya tampilan audio visual sehingga terasa lebih hidup dan dapat menjangkau ruang lingkup yang sangat luas, sehingga hal ini merupakan salah satu nilai positif yang dimiliki media masa televisi.

Akan tetapi, hal tersebut tidak hannya memberikan dampak yang positif terhadap masyarakat (penonton). Jika pesan-pesan yang disampaikan oleh media masa televisi tidak sesuai dengan aturan-atuaran penyiaran yang telah ditetapkan dan dikemas dengan baik, maka hal tersebut akan memberikan implikasi yang negatif terhadap kehidupan masyarakat. Salah satu dampak yang ditimbulkan adalah peningkatan tindak kriminalitas yang terjadi di masyarakat.

Dengan bertambah banyaknya stasiun televisi, pihak-pihak pengusaha televisi menganggap tentunya hal ini akan memunculkan persaingan dan situasi yang kompetitif antar media elektronik untuk dapat merebut perhatian pemirsa dengan cara menyuguhkan acara-acara yang diperhitungkan akan disenangi oleh pemirsa. Untuk dapat menarik perhatian khalayak, paket acara yang ditawarkan dikemas semenarik mungkin. Berbagai paket acara yang disajikan diproduksi dengan memperhatikan unsur informasi, pendidikan serta hiburan. Namun, ketatnya persaingan justru menggeser paradigma pihak pengelola stasiun untuk menyajikan program acara yang hannya mementingkan ratting.

Program acara-acara yang sering muncul di layar kaca justru kurang memperhatikan unsur informasi, pendidikan, sosial budaya bahkan etika dan norma masyarakat. Salah satunya unsur kekerasan menjadi menu utama di berbagai jenis tayangan yang dikemas dalam film, sinetron, dan berita. Salah satu bentuk pemberitaannya adalah pemberitaan kasus kriminalitas seperti Patroli, Buser, Sergap, dan sejenisnnya. Penayangan adegan kekerasan semacam ini disinyalir termasuk kekerasan media (media violence).

Unsur kekerasan yang terdapat dalam berita kriminal dapat memicu munculnya faktor penentu perubahan bagi perilaku khalayaknya dalam aspek kognitif, afektif, dan konatif. Alternatif berita kriminal di televisi tentunya akan memberikan pengaruh bagi khalayak pemirsanya, terutama jika berita kriminal yang ditayangkan dinikmati oleh khalayak remaja.

Menurut Hurlock (Suharto, 2006) tahap perkembangan anak-anak hingga remaja, pada fase inilah remaja mulai memiliki pola perilaku akan hasrat penerimaan sosial yang tinggi. Khalayak remaja mulai menyesuaikan pola perilaku sosial sesuai tuntutan sosial. Remaja yang memiliki intentitas menonton berita kriminal mulai menyesuaikan hal-hal yang diterimanya dengan realitas sosial. Sehingga pengaruhnya akan cepat diterima terutama pada aspek kognitif yang meliputi pengetahuan akan kejahatan, aspek afektif meliputi perasaan atau emosi akan tayangan kekerasan bahkan aspek behavioral yang meliputi tindakan untuk meniru adegan kekerasan.

Gerbner beserta para koleganya mulai dengan argumentasi bahwa televisi telah menjadi tangan budaya utama masyarakat Amerika. “Televisi telah menjadi anggota keluarga yang penting, anggota yang bercerita paling banyak dan paling sering”[1] dan TV merupakan ” senjata budaya utama”[2] budaya kita.

Teori kultivasi (cultivation) dikembangkan untuk menjelaskan dampak menyaksikan televisi pada persepsi, sikap, dan nilai-nilai orang. Teori ini berasal dari program riset jangka panjang dan ekstensif yang dilakukan oleh George Gerbner beserta para koleganya di Annenberg School of Communication di University of Pennsylvania (Gerbner, Gross, Morgan, dan Signorielli, 1980). Menurut Gabner dalam penelitiannya bahwa masyarakat terbagi menjadi dua yaitu pemirsa penonton TV “berat” dan “ringan”. Pemirsa berat adalah mereka yang menonton TV lebih dari 4 jam dalam sehari, sedangkan pemirsa penonton TV ringan adalah mereka yang menonton TV kurang dari satu hari. Riset awal yang mendukung teori kultivasi didasarkan pada perbandingan antar pemirsa “berat” televisi dan pemirsa “ringan” televisi. Tim Gerbner menganalisis jawaban-jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam survey dan menemukan bahwa pemirsa “berat” televisi dan pemirsa “ringan” televisi pada umumnya memberikan jawaban yang berbeda. Selanjutnya, pemirsa “berat” televisi sering memberikan jawaban yang lebih dekat dengan dunia yang digambarkan dalam televisi.

Melihat dari hasil pengamatan yang ada, bahwa sepanjang sejarah pertelevisian, keprihatinan utamanya adalah kemungkinan dampak tayangan kekerasan di televisi. Analisis ini menunjukkan bahwa televisi menghidangkan menu tayangan kekerasan yang banyak sekali. Serangkaian angka menunjukkan bahwa menjelang usia 12 tahun, rata-rata anak telah menyaksikan 101.000 episode kekerasan di televisi, termasuk 13.400 kematian (Steinfeld, 1973).

Riset belakangan ini dilakukan terhadap kekerasan yang ditayangkan di televisi berfokus pada bagaimana kekerasan ditayangkan di televisi. Sebuah penelitian yang menguji televisi kabel dan juga jaringan-jaringan besar menemukan bahwa sangat sedikit tayangan kekerasan yang menunjukkan konsekuensi kekerasan jangka panjang, bahwa sebagian besar adegan kekerasan menunjukkan kekerasan tersebut tidak dihukum, dan bahwa sebagian besar interaksi kekerasan tidak menunjukkan kepedihan atau konsekuensi kekerasan negative jangka panjang (National Television Study, 1996).

Selain itu dapat kita rasakan bahwa program-program media masa televisi Indonesia pada saat ini tidak hannya berkutat pada masalah kekerasan, bahkan motif dan modus tindak kejahatan terkadang ditayangkan. Program-program tayangan TV gaya hidup dan gaya berpakaianpun sudah lagi tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang lebih cenderung “tertutup dan sopan” , sehingga hal ini memberikan demonstration effect pada pemuda-pemudi kita yang dapat melihat nilai-nilai pergaulan Barat yang sangat bebas. Dalam film-film yang ditayangkan TV sering kita melihat adegan-adegan seks bebas yang dilakukan lakilaki dengan perempuan yang belum menikah.

Meskipun pergaulan dan seks bebas tidak dilakukan semua pemuda dan pemudi Barat, tetapi bahaya demonstration effect bisa terjadi, sehingga sementara pemuda-pemudi kita menganggap berhubungan seks sebelum menikah sebagai hal yang biasa, yang menganggap sebagai hal yang tabu justru dianggap pandangan yang kuno. Budaya-budaya barat yang ditayangkan TV akan dapat menimbulkan gegar budaya (cultural shock) terutama pada remaja dan pemuda yang dibesarkan dalam lingkungan tertutup, dan baru mengenal nilai-nilai budaya barat, yang sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai budaya Indonesia.

Senin, 24 Oktober 2005 kapanlagi.com menberitakan bahwa tingginya kasus penyakit Human Immunodeficiany Virus/Acquired Immnune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS), khususnya pada kelompok umur remaja, salah satu penyebabnya akibat pergaulan bebas. Hasil penelitian di 12 kota di Indonesia termasuk Denpasar menunjukkan 10-31% remaja yang belum menikah sudah pernah melakukan hubungan seksual. Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan RI yang disampaikan oleh Direktur PP2PL pada tanggal 26-11-2009 di Jakarta, menyatakan bahwa jumlah penderita HIV di Asia meningkat lebih dari 150% dan Indonesia adalah negara dengan pertubuhan epidemic HIV tercepat, hingga September 2009 terdapat 18.442 kasus HIV/AIDS. Proporsi kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun (53,80%), disusul kelompok umur 30-39 tahun (27,99%) dan kelompok umur 40-49 tahun (8,19%).

Perubahan gaya hidup dikalangan masyarakat tersebut terutama pada umur remaja sangat ditentukan oleh lingkungan sekitar ataupun rangsangan-rangsangan yang datang dari luar. Program-program televisi dan media lainnya memainkan peraran yang teramat penting dalam bagaimana orang memandang dunia mereka sendiri. Pada saat ini, kebanyakan orang mendapatkan informasi mereka dari sumber-sumber yang bermediasi dibandingkan dari pengalaman langsung. Oleh kareana itu, sumber-sumber yang bermediasi dapat membentuk kenyataan seseorang.

Begitu juga sama halnya dengan aksi tindak kekerasan yang disiarkan oleh stasiun televisi, kegiatan menonton TV kelas berat mengultivasi suatu anggapan bahwa dunia adalah tempat yang penuh dengan kekerasan, dan para penonton TV kelas berat merasa bahwa terdapat lebih banyak kekerasan di dunia dibandingkan dengan kenyataanya atau daripada yang dirasakan kelas ringan. Hal tersebut sangat memberikan dampak yang sangat besar terhadap aspek kognitif para penonton terutama pada kalangan anak remaja.

Haermann’s Whole Brain mengatakan bahwa kognisi merupakan kepercayaan sesorang tentang sesuatu didapatkan dari proses berpikir tentang sesuatu atau seseorang. Selain itu, dapat juga diartikan sebagai bagaimana cara manusia menerima, mempersepsi, mempelajari, menalar, mengingat, dan berpikir tentang sesuatu informasi. Informasi yang didapat tersebut merupakan suatu pengetahuan dan pengetahuan seseorang tentang seuatau yang dipercaya dapat mempengaruhi sikap mereka dan pada akhirnya mempengaruhi perilaku/tindakan mereka terhadap sesuatu.

Menurut Hurlock penonton anak remaja berada pada tahap perkembangan mulai memiliki pola perilaku akan hasrat penerimaan sosial yang tinggi. Remaja yang memiliki intentitas menonton berita kriminal mulai menyesuaikan hal-hal yang diterimanya dengan realitas sosial. Sehingga pengaruhnya akan cepat diterima terutama pada aspek kognitif yang meliputi pengetahuan akan kejahatan, aspek afektif meliputi perasaan atau emosi akan tayangan kekerasan bahkan aspek behavioral yang meliputi tindakan untuk meniru adegan kekerasan.

Mengingat pengaruh media masa TV yang begitu besar terhadap perkembangan tingkah laku anak remaja, maka sebaiknya penayangan acara-araca TV tersebut haruslah berjalan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku dan jangan sampai para stasiun TV hannya mengejar ratting semata demi mengejar keuntungan yang besar tanpa memperhatikan etika dan moral. Menurut Fedier seharusnya media massa dapat memberikan informasi kepada masyarakat, memberikan pendidikan kepada masyarakat, memberikan penerangan kepada masyarakat, memberikan hiburan pada masyarakat, dan sebagai pendorong peningkatan ekonomi dan sebagai pertanggung jawaban sosial.

Peranan pentinngnya media masa dalam globalisasi tidak semata-mata memberikan dampak yang positif bagi masyarakat, akan tetapi hal tersebut juga memberian implikasi yang negatif. Begitu banyak dampak positif yang dimiliki oleh media masa dan begitu pula dampak negatifnya, dampak positif dapat terlihat salah satunya mudah dan cepatnya kita memperoleh informasi yang kita butuhkan. Akan tetapi, dampak negatif juga dapat banyak kita rasakan dalam kehidupan kita sehari-hari, terutama perubahan sikap dan perilaku generasi muda Indonesia.

Dengan banyaknya dampak negatif yang ditimbulkan dari penayangan program-program televisi tersebut dapat menyebabkan tidak maksimalnya peranan pemuda dalam masyarakat dan bangsa sesuai dengan yang di gariskan dalam GBHN, yaitu pengembangan generasi muda di persiapkan untuk kader penerus perjuangan bangsa dan pembangunan nasional, dengan memberi keterampilan, kepemimpinan, kesegaran jasmani, daya kreasi, patriotisme, idealisme, kepribadian dan budi yang luhur. Permasalahan ini merupakan permasalahan yang komplek sehingga penanganan terhadap permasahan ini tidak dapat dilakuakan oleh satu tangan saja. Kerjasama anggota keluarga dan partisipasi semua elemen masyarakat adalah solusi yang sangat tepat untuk menyelesaikan permasalahan ini.
[1] Tankard Severin, Teori Komunikasi Massa, Kencana Prenada Media Group, 2007, p 91.

[2] Tankard Severin, Teori Komunikasi Massa, Kencana Prenada Media Group, 2007, p 85. (sumber)

0 comments:

Posting Komentar