Selasa, 27 Desember 2011

Vicarious Trauma

Pengertian Vicarious Trauma
Istilah ‘vicarious trauma’ pertama kali dikemukakan oleh McCann dan Pearlman (1990) untuk mendeskripsikan dampak pekerjaan yang berhubungan dengan penanganan trauma bagi seorang terapis. Konsep ini juga digunakan untuk menggambarkan efek trauma klien pada kehidupan terapis. Vicarious trauma (selanjutnya disebut dengan VT) didasari oleh Constructivist Self Development Theory (CSDT). Hipotesis teori ini adalah bahwa manusia memiliki kemampuan yang disebut dengan sumber daya ego, untuk mendukung dan memperkuat stabilitas, persepsi diri dan pandangan mengenai dunia dan dirinya sendiri. Apabila individu menghadapi  kejadian traumatis maka pandangannya mengenai dunia akan berubah (Janoff-Bulman dalam Pickett, 1998). Penjelasan tersebut berkaitan dengan kondisi yang dialami oleh para penyedia jasa kemanusiaan atau pekerja kesehatan mental yang seringkali menangani  para korban trauma. Kejadian-kejadian traumatis yang dialami korban membuat si terapis menjadi tersadarkan akan kengerian yang terjadi di dunia, dan hal ini membuatnya semakin menyadari kelemahan dan kerentanan hidup mereka sendiri (McCann dan Pearlman;  Pearlman dan Saakvitne, dalam Pickett, 1998).
Berdasarkan  perspektif teori ini, maka McCann dan Pearlman (dalam Stamm,1999) mendefinisikan VT sebagai :
the transformation in the inner experience of the therapist that comes about as a result of emphatic engagement with client’s trauma material (hal.31).
Berdasarkan definisi di atas, maka VT merupakan hasil transformasi suatu pengalaman dalam diri individu yang disebabkan oleh keterlibatan empatik seorang terapis dengan materi trauma klien. Pearlman dan Saakvitne (dalam Lonergan, 1999) lebih jauh mengungkapkan bahwa VT merupakan suatu proses dan hasil dari dampak kumulatif terapi trauma dengan beberapa klien. Dengan demikian VT  bukanlah akibat dari sebuah kejadian statis atau hasil menangani satu orang klien saja. Premis dasar dari VT adalah bahwa terdapat perubahan besar yang mengambil bagian dalam aspek-aspek psikologis terapis. Perubahan ini meliputi perubahan identitas dan sudut pandang, seperti halnya kemampuan mereka untuk memelihara perasaan yang positif terhadap diri dan orang lain dan untuk mengontrol perasaan bermakna. Skema kognitifpun relatif terganggu, yang meliputi keyakinan tentang rasa aman, harga diri, kepercayaan, ketergantungan, kontrol, dan intimacy.

Ada dua faktor utama yang memberikan kontribusi terjadinya VT, yaitu (a) aspek khusus dan kontekstual terapi itu sendiri, seperti jenis klien, lingkungan sosial dan iklim pekerjaan, dan (b) karakteristik dan daya tahan yang dimiliki terapis, serta cara terapis bekerja. Faktor eksternal dari materi trauma berperan juga dalam perkembangan VT (Pearlman dan Saakvitne, dalam Steed dan Downing, 1998). Ketidakmampuan klien untuk berfungsi sosial, termasuk di dalamnya sifat terlalu menuntut, menentang, curiga, atau memusuhi terapis, dapat menambah sebuah dimensi dari hubungan interpersonal yang dapat mengurangi kepercayaan diri terapis atau kemampuan empati dirinya dengan klien. Selain aspek sosial, faktor pekerjaan dan organisasi berpotensi untuk meningkatkan kecenderungan seseorang mengalami VT. Tuntutan pekerjaan yang memakan waktu, kasus-kasus yang terlalu banyak, tekanan untuk mengambil tanggung jawab lebih, rencana bisnis dan kurangnya pendanaan sehingga mempengaruhi pelayanan merupakan faktor-faktor yang dapat meningkatkan resiko VT (Pearlman dan Maclan dalam Picket, 1998). Selain faktor-faktor tersebut, terapis yang menganggap pekerjaan sebagai faktor penting dalam identifikasi diri mereka akan lebih mungkin terkena VT dibandingkan dengan terapis yang memandang pekerjaan dengan kaca mata yang lebih realistis.

Constructivist Self Developmental Theory : Penjelasan mengenai terjadinya Vicarious Trauma
CSDT menyatakan bahwa individu membangun suatu realitas personal dan membentuk harga diri mereka melalui skema atau sudut pandang kognitif dan keyakinan tentang dunianya (Pickett, 1998). Dinamika VT lebih dilihat sebagai suatu model perkembangan dan konstruktivis, dimana makna dan hubungan merupakan bagian integral dari pengalaman manusia. Oleh sebab itu, dibutuhkan usaha-usaha lanjut untuk memahami pengalaman para terapis atau cara mereka mengambil makna melalui pengalaman-pengalamannya. Dengan demikian, akan memudahkan kita untuk memahami perkembangan terjadinya VT, faktor-faktor resiko yang terkait serta bentuk intervensi yang tepat, dengan cara melakukan pemahaman terhadap pengalaman terapis atau cara mereka memaknakan pengalamannya (Mc.Cann  Pearlmann, dalam Lonergan, 1999).

Individu mengkonstruksi realitas personal yang berkembang melalui struktur kognitif yang kompleks, yang disebut dengan “skema”. Skema ini meliputi sejumlah keyakinan (beliefs), asumsi, dan harapan tentang diri dan dunia serta membantu individu untuk memaknai keduanya. McCann dan Pearlman (dalam Hesse, 2002) membuat hipotesis bahwa pengalaman traumatik dapat menyebabkan gangguan yang serius pada beberapa aspek dalam skema seseorang, dan bahwa bekerja dengan klien yang mengalami trauma juga dapat memberikan efek yang sama pada terapis. Skema belief, asumsi, dan harapan yang terganggu atau mengalami perubahan pada terapis akan berbeda satu sama lain, dan hal itu tergantung pada dua faktor, yaitu: aspek kerja (lingkungan) dan aspek intrinsik pada individu. Aspek kerja meliputi jenis klien, faktor organisasi, dan isu sosial budaya. Aspek intrinsik, meliputi kepribadian, pengalaman masa lalu, lingkungan individu saat ini, dan tingkat profesional.
Ada lima skema utama yang diidentifikasikan mengalami gangguan atau perubahan apabila terapis terlibat dalam materi trauma dan trauma dari klien (Pearlman dan Saakvitne, dalam Pickett, 1998). Kelima skema ini adalah: rasa aman, percaya, harga diri, keintiman dan kontrol.
Rasa aman (safety)
Rasa aman ternyata merupakan kebutuhan psikologis yang paling rentan terhadap materi trauma. Ketika kebutuhan ini dipengaruhi oleh informasi mengenai kejadian traumatis, terapis mulai waswas akan keselamatan dirinya dan orang-orang yang dicintainya. Keselamatan diri dan orang-orang yang dicintainya menjadi prioritas utama dari seseorang yang telah terganggu rasa amannya. Tingkah laku yang sering dijumpai pada keadaan ini adalah kecemasan dan pemeriksaan keamanan yang berlebihan, menghindari kerumunan, dan meningkatnya kritik terhadap diri sendiri.

Rasa percaya (trust)
Pendamping yang bekerja dengan klien yang mengalami trauma juga belajar tentang kejahatan, pengkhianatan, kekerasan atau kekejaman yang dilakukan seseorang atau masyarakat terhadap kliennya. Hal ini dapat mempengaruhi rasa percaya pada seorang pendamping sehingga pada akhirnya membuat mereka sinis, curiga terhadap orang lain dan sulit untuk mempercayai orang lain. Hal ini dapat mempengaruhi kehidupan personal terapis karena sangat mungkin bila mereka memandang orang lain seperti teman, pasangan, dan keluarga dengan rasa tidak percaya. VT mengganggu kemampuan terapis untuk merasa aman dan terlindungi dalam berhubungan dengan orang lain.
Kontrol (control)
Skema ini diperkirakan mulai terganggu ketika terapis teridentifikasikan dengan hilangnya kontrol si klien pada saat kejadian traumatis terjadi. Gangguan skema kontrol seringkali dikaitkan dengan perasaan kurang mampu mengendalikan perilaku dirinya sendiri, merasa dipengaruhi oleh orang lain, dan mempertanyakan kemampuan membawa perubahan bagi kehidupannya sendiri. Gangguan dalam skema kontrol memperjelas rapuhnya keyakinan akan dunia yang adil dan kemampuan mengontrol dunia, menunjukkan betapa tidak teraturnya berbagai aspek dalam kehidupan. Sejalan dengan rasa takut yang dialami, pada akhirnya muncul perasaan tidak berdaya ketika membantu kliennya dan merasa bahwa seharusnya ia memiliki kontrol terhadap kesembuhan klien. Ketika ia menyadari bahwa ia tidak punya kekuatan dan kontrol akan hal itu, maka dapat menyebabkan frustrasi dan perasaan semakin tidak berdaya.
Harga diri (esteem)
Ketika terapis mengalami gangguan dalam skema harga dirinya, mereka mengembangkan pandangan yang negatif mengenai diri mereka sebagai profesional, dengan mulai mempertanyakan kemampuan dirinya sebagai seorang teman, pasangan, atau manusia. Penilaian dan penghargaan terhadap orang lain juga dapat terganggu, sehingga terapis yang mengalami VT cenderung untuk memandang orang lain (termasuk kliennya) secara negatif. Generalisasi yang negatif ini dapat berakibat kurang baiknya hubungan antara dirinya dengan orang lain, sehingga semakin mengganggu identitas diri dan profesionalnya.
Keintiman (intimacy)
Dalam menjalani pekerjaannya dengan klien yang mengalami trauma, kemajuan yang terjadi pada klien seringkali berjalan sangat lambat dan terapis dapat merasa bahwa ia lebih banyak melakukan hal yang buruk dan berbahaya. Usaha pendamping untuk menjaga diri mereka dari efek trauma yang dialami klien, memungkinkan mereka untuk menarik diri dari klien yang dipersepsikan sebagai sumber kekecewaan dan sakit. Penarikan diri tersebut dapat menurunkan empati dalam relasi terapeutik. Upaya untuk menghambat penderitaan yang terkait dengan materi trauma juga dapat mengurangi kemampuan si terapis untuk mengalami emosi positif seperti cinta, keceriaan, dan menikmati aktifitas yang kreatif dan menyenangkan. Penarikan diri si terapis juga akan membawa dampak pada kehidupan pribadinya karena ia mulai memandang keluarga dan teman-temannya sebagai hal yang kurang penting. Ia mungkin menghindari keluarga, pasangan, maupun teman-temannya, sehingga akan semakin mengurangi tingkat dukungan bagi dirinya. Selain itu, hilangnya keyakinan pada rasa kemanusiaan akan menyebabkan terapis menjadi sinis terhadap orang lain dan mempengaruhi relasi mereka dengan keluarga, teman, atau orang-orang terdekat.
VT akan membawa dampak yang sangat besar bagi para profesional yang mengalaminya. Misalnya, kurangnya kemampuan untuk memulihkan kliennya (Pearlman dan Saakvitne dalam Stamm, 1999). Pada saat mereka merasa gagal untuk membantu kliennya, maka secara tidak langsung dapat berpotensi untuk menurunkan keyakinan akan kemampuan mereka sebagai profesional dan mengganggu identitas profesionalnya.

Sumber bacaan:
Hesse, A.R. (2002). Secondary Trauma : How Working with Trauma Survivors Affects Therapists. Clinical Social Work Journal, vol 30, 293 – 310.
Lonergan, B.A. (1999). The Development of Trauma Therapist : A Qualitative Studi of the Therapist’s Perspectives and Experiences. Colorado : Counselling Psychology.
Mc.Cann, I.L & Saakvitne, K.W. (1995). Treating Therapists with Vicarious Traumatization and Secondary Traumatic Stress Disorder. Dalam C.R. Fifley (Ed), Compassion Fatique : Secondary Traumatic Stress Disorder from Treating the Traumatized. New York : Brunner/ Mazel, Publishers.
Pickett,G.Y. (1998). Therapist in Distress : An Integrative Look at Burnout, Secondary Traumatic Stress and Vicarious Traumatization. Dissertation. University of Missouri-St. Louis.
Stamm, B.H. (1999). Secondary Traumatic Stress. Self Care Issues for Clinicians, Researchers & Educators. MD : Sidran Press.
Steed, L.G. & Downing, R. (1998). A Phenomenological Studi of VT Amongst Psychologist and Professional Counsellor Working in The Field of Sexual Abuse/ Assault. The Australian Journal of Disaster & Trauma Studies. (sumber)

0 comments:

Posting Komentar