Brother Hanif ternyata sudah beberapa tahun masuk Islam, namun belum pernah bertemu dengan Muslim lainnya di Krakow. Ia mengenal Islam sejak mengikuti forum keIslaman di Internet, padahal tadinya ia hanya ingin tahu prihal sejarah pembantaian saudara-sauadaranya di negara Islam, pencarian sejarah malah menyebabkan ia jatuh hati pada agama mulia ini.
Kemudian tatkala ada info Islamic Centre Krakow melalui website-website, ia mengirimi email, Abu Azzam segera membalas emailnya. Sungguh tadinya kami tak percaya bahwa di sudut Nowa Huta Krakow ternyata ada sesosok Muslim (dan yang menyebabkan ia masuk Islam memang karena nuraninya mempercayai Allah SWT sebagai Robb semesta alam, dan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam adalah utusan Allah, sulit menggambarkan suasana hati di kala hidayah itu datang), tak ada orang sekitar yang mempengaruhi pilihan hidup dalam memeluk agama-Nya ini.
Dua kali pertemuan, brother Hanif amat senang mengenal bacaan Al-Qur’an. Ia ucapkan, “Ternyata perasaan hati yang menakjubkan itu adalah ketika berIslam, yah…Subhanalloh, Saya tak mampu melukiskan perasaan ini…” Saat Abu Azzam bertanya mengenai apakah Brother menemui kesulitan dalam membeli makanan halal, dan apakah mau menerima sedekah atau zakat dari brother lainnya (karena muallaf berhak memperoleh bantuan tersebut), ternyata brother Hanif menolak secara halus, “Oh, tidak, Brother. Saya tak mau menerima sedekah atau zakat, Saya punya pekerjaan dan bisa membeli makanan dengan lancar, meskipun Ibuku sedang sakit dan saya yang membelanjai keperluan dan obat-obatan buatnya…sudah bisa masuk Islam saja adalah bentuk hadiah terindah dari Allah buatku, saya sangat bersyukur…” ucapnya. Dan buat Abu Azzam, memiliki ‘murid’ sepertinya pun adalah hadiah besar dari-Nya sebagai projek bekal akhirat, insya Allah.
Suatu hari sister Aysha menghubungkanku dengan seorang teman yang tertarik pada Islam. Namanya Ola. Kami bercakap melalui telepon. Teman tersebut adalah orang pribumi-Krakow, ia sering bertanya tentang Islam, intinya, “Kenapa agama yang benar hanyalah Islam, kenapa tidak bisa memiliki banyak agama yang dipeluk jadi bisa merayakan semua hari raya?” Saya adalah hamba-Nya yang sangat lemah, masih amat sedikit ilmu pengetahuan yang kuresapi (masih banyak yang belum kuamalkan pula), maka kujawab sebatas pengetahuanku saja, kukatakan berkali-kali agar jika ia belum puas akan jawabanku, ia bisa bertanya lagi ke Islamic Centre kota lain yang punya posko-posko resmi dengan da’i-da’i yang terlatih. “Gak apa-apa, sister Ummu Azzam, saya merasa nyaman bertanya-tanya denganmu. A ty jest bardzo ciepÅ‚o (sikapmu menghangatkan)…” katanya bercanda.
“Sister, Islam itu merupakan prinsip dan komitmen. Allah ta’ala sendiri yang menyebutkan bahwa agama yang benar dan diridhoi Allah hanyalah Islam. Tauhid adalah hal utama, kami meyakini bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Allah, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, Tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya. Maka pilihan hidup dalam agama-Nya harus menjaga komitmen ini, mustahil mencampur adukkan banyak agama dalam hidup karena hal itu berarti telah menyekutukan Allah. Dan merayakan semua hari raya maksudnya menganggap agama adalah permainan? Naudzubillahi minzalik, Islam mengajarkan kita bahwa waktu adalah hal termahal, saat mencari bekal untuk akhirat, maka waktu hidup di dunia ini jangan terbuang sia-sia, detik-detik berlalu, dan detik-detik itu bernilai ibadah jika kita mengingat Allah, jika kita terus belajar memahami ilmu-Nya, tak ada masa untuk mempermainkan jiwa dengan mencampur-adukkan agama, Sist…” kalimat-kalimatku lainnya menginformasikan padanya bahwa Islam adalah agama keselamatan, yang kuncinya kita dibekali dua wasiat untuk ‘kamus hidup’ yaitu Kitabulloh (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam (Al-Hadits).
Pertemuan dengan Ola berlangsung amat singkat, kami tak punya banyak waktu di kala bertatap muka. Namun tiba-tiba, ia meneleponku via media on-line.
“Sister, saya pindah kota, tapi memang tak sempat bercerita denganmu, maafkan yah karena kita tak ada masa lagi berjumpa sebelum saya pindah,” ujarnya.
“Tak apa, insya Allah suatu hari nanti kita bisa bertemu kembali…”, kataku singkat.
“Saya harus memberi tahumu bahwa saya sering mimpi mengaji dengan lancar, sepertimu…” celotehnya. Lalu ia sambung dengan kalimat yang membuatku menahan nafas karena jantungku bagai berhenti sebentar, “Sister…saya sudah yakin, saya mau ber-Islam…apakah kamu mau mendengar bahwa saya sudah bisa bersyahadat dengan bahasa Arab? Bagaimana, Sister?” katanya.
“Haaaa?! Kamu sudah yakin? Masa’ sih?!” Saya masih meragukan apa yang saya dengar. Selanjutnya malah mataku sudah basah…
“Asyhadu alla ilaaha illallah Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah…sekarang, saya benar-benar sistermu, kan, Ummu Azzam?” katanya.
Semoga Allah menerima ke-Islamanmu, dan meneguhkan keimananmu pada-Nya, bisikku.
Ya Allah… bahagia sekali mendengarnya, istilahnya, hatiku berbisik, “Ini sesuatu banget, Yaa Robb!”. Alhamdulillahilladzi ‘ala ni’matil Islam wal iman…
Sebulan lalu, seorang remaja Poland mengirimi email kepada Abu Azzam, intinya ia adalah gadis Poland yang sudah mempelajari Islam, dan ingin berkenalan dengan sisters di Krakow. Maka email itu pun diteruskan ke alamat emailku, kami bersilaturrahim melalui dunia maya, dan bertukar nomor telepon. Ia menganggapku sebagai kakaknya, sebut saja sister Sholihat.
Pada hari Selasa saat ada perjalanan sekolah dari kota sister Sholihat menuju Krakow, ia menghubungiku supaya bisa bertemu dan ia ingin pergi ke masjid. Maka kuupayakan mengatur waktu di hari selasa tersebut, kuhubungi beberapa sister lainnya, ternyata ada yang memiliki waktu kosong pada jam itu, dan mau menemani ke masjid pula. Bahkan sister Srilanka yang sedang sakit pun, bersedia memasakkan makan siang buat menyambutnya. Subhanalloh…
Tatkala berjumpa dengannya di Centrum mall, kami berpeluk mesra, segera akrab bagaikan sahabat lama, juga kami bertukar hadiah, padahal tanpa janjian sebelumnya, dan ia amat senang memperoleh hadiah kerudung biru, segera ia mengikutiku ke ruang menyusui, dan meminta dipakaikan kerudung itu. “It’s my first hijab… I’m very-very happy, Oh Allah…”, katanya. Sholihat amat cantik dengan hijab itu, dengan percaya diri ia melangkah bersamaku menuju masjid.
Kami bertemu beberapa brothers yang sedang mengukur-ngukur ruangan dalam masjid, mungkin untuk keperluan memasang karpet, dua sisters dari Malaysia datang pula saat itu.
Setelah menungguiku sholat tahyatul masjid dan menggendong Si Kecil, menghidupkan pemanas kecil di ruangan tersebut, sister Sholihat bilang, “Sister, saya kesini untuk bersyahadat…selama ini Saya belajar Islam melalui Internet dengan teman-teman muslim, dalam hati saya sudah ber-Islam, saya sholat, dan Ramadhan lalu saya sudah berpuasa, tapi saya belum bersyahadat officially… saya mau bersyahadat sekarang dan saya tak malu menunjukkan identitas sebagai Muslimah, insya Allah…”, sebenarnya ia pernah mengatakan hal itu terlebih dahulu melalui telepon, namun kalimatnya tersebut tetap menyentuh nuraniku.
Saya tanyakan, “Kamu yakin, Sist? Kalau baru masuk Islam itu, cobaannya banyak lho, Sist… Kamu siap menghadapi cobaan-cobaan-Nya…?” saya masih ingat betapa malu-malunya dia ketika berhijab pertama kalinya hari itu. Ia memandangi orang-orang sekitar, takut kalau dicemooh, dan sebagainya. “Insya Allah saya siap, Sist… saya yakin dan berharap dapat memeluk Islam seumur hidupku, saya juga tak mengerti kenapa hatiku ini amat mempercayai Islam...” katanya. Begitulah hidayah, misteri dan rahasia-Nya.
“Baiklah, Sist… kita rekam yah sebagai dokumentasi di masjid…” kataku. Ia mengangguk dengan yakin. Kami pun mempersiapkan handycame.
“Siap Sist…?” ujarku, “Insya Allah, yes…” katanya.
“Ikuti bacaan dua kalimat syahadat yang saya sebutkan yah, Sister…(ia mengangguk) Asyhadu…” saya mulai. Sister Sholihat mengikuti, “Asyhadu…” dan seterusnya.
Sepatah-patah kata dalam kalimat, “Asyhadu allaa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu warosuluhu…” ia ikuti dengan lancar. Suasana nuraniku jauh lebih tegang dari pada proses akad nikah beberapa tahun lalu, masya Allah!
Maka, selamat buatmu, duhai saudari baru kami, selamat bahwa hari istimewa itu adalah di kala engkau memutuskan sebuah pilihan terbesar dalam hidupmu, memilih agama Allah di tengah hiruk pikuk fitnah dunia.
Saya teringat bahwa dalam sebuah kisah, Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal, untuk mengIslamkan sekelompok orang yang tinggal di negeri Yaman. Sebelum Sahabat Mu’adz bin Jabal berangkat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Mu’adz, “Ajaklah mereka agar mau bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwasanya aku adalah utusan Allah. Apabila mereka telah melakukan hal tersebut (bersyahadat) maka beritahulah kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan kepada mereka solat lima waktu sehari semalam. Lalu apabila mereka telah melakukan hal tersebut, maka beritahulah kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan kepada mereka untuk mensedekahkan harta mereka, yang sedekah tersebut diambil dari orang-orang kaya dari mereka, dan diberikan kepada orang-orang miskin dari mereka.” (HR. Bukhori)
Usai memeluk dan mengucapkan selamat kepadanya, Sholihat meminta diajari berwudhu, selama ini masih banyak kebingungan dalam berwudhu, ujarnya. Kami pun merencanakan pertemuan selanjutnya, semoga ia dapat mempelajari Islam dengan baik, lancar dan mudah. Usai wudhu, kami sholat dzuhur berjama’ah dan melanjutkan program perencanaan hari itu, Sholihat mengikuti hingga menjemput sulungku dan sesampai di appartemen kami, sulungku mengajarkan beberapa do’a harian buatnya. Alhamdulillah ‘ala kulli hal…
Sholihat berkata, “Alangkah menakjubkan dan indahnya Al-Islam, bahkan Allah menghadiahiku saudara-saudari dan keluarga muslim yang baik. Cahaya Islam memang merupakan hadiah paling indah dari-Nya sepanjang hidupku ini…”
Duhai Sister, justru kami merasakan bahwa pertemuan denganmu dan dengan Brothers dan Sisters disini merupakan hadiah terindah dari-Nya. Saya amat kangen dengan keluarga di tanah air. Namun tatkala menemui peristiwa di atas, Saya memang harus banyak bersujud syukur, “Oh, Allahku, ternyata ini adalah salah satu hikmah dan karunia besar dari-Mu mengenai keberadaan kami di negeri asing ini… Jagalah hati kami dalam ketaatan pada-Mu…”
Wallahu’alam bisshowab.
(bidadari_Azzam, Salam ukhuwah dari Krakow, 8 Muharram 1433 H)
Penulis adalah koordinator muslimah-Islamic Centre Krakow, Poland.
Kemudian tatkala ada info Islamic Centre Krakow melalui website-website, ia mengirimi email, Abu Azzam segera membalas emailnya. Sungguh tadinya kami tak percaya bahwa di sudut Nowa Huta Krakow ternyata ada sesosok Muslim (dan yang menyebabkan ia masuk Islam memang karena nuraninya mempercayai Allah SWT sebagai Robb semesta alam, dan bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam adalah utusan Allah, sulit menggambarkan suasana hati di kala hidayah itu datang), tak ada orang sekitar yang mempengaruhi pilihan hidup dalam memeluk agama-Nya ini.
Dua kali pertemuan, brother Hanif amat senang mengenal bacaan Al-Qur’an. Ia ucapkan, “Ternyata perasaan hati yang menakjubkan itu adalah ketika berIslam, yah…Subhanalloh, Saya tak mampu melukiskan perasaan ini…” Saat Abu Azzam bertanya mengenai apakah Brother menemui kesulitan dalam membeli makanan halal, dan apakah mau menerima sedekah atau zakat dari brother lainnya (karena muallaf berhak memperoleh bantuan tersebut), ternyata brother Hanif menolak secara halus, “Oh, tidak, Brother. Saya tak mau menerima sedekah atau zakat, Saya punya pekerjaan dan bisa membeli makanan dengan lancar, meskipun Ibuku sedang sakit dan saya yang membelanjai keperluan dan obat-obatan buatnya…sudah bisa masuk Islam saja adalah bentuk hadiah terindah dari Allah buatku, saya sangat bersyukur…” ucapnya. Dan buat Abu Azzam, memiliki ‘murid’ sepertinya pun adalah hadiah besar dari-Nya sebagai projek bekal akhirat, insya Allah.
Suatu hari sister Aysha menghubungkanku dengan seorang teman yang tertarik pada Islam. Namanya Ola. Kami bercakap melalui telepon. Teman tersebut adalah orang pribumi-Krakow, ia sering bertanya tentang Islam, intinya, “Kenapa agama yang benar hanyalah Islam, kenapa tidak bisa memiliki banyak agama yang dipeluk jadi bisa merayakan semua hari raya?” Saya adalah hamba-Nya yang sangat lemah, masih amat sedikit ilmu pengetahuan yang kuresapi (masih banyak yang belum kuamalkan pula), maka kujawab sebatas pengetahuanku saja, kukatakan berkali-kali agar jika ia belum puas akan jawabanku, ia bisa bertanya lagi ke Islamic Centre kota lain yang punya posko-posko resmi dengan da’i-da’i yang terlatih. “Gak apa-apa, sister Ummu Azzam, saya merasa nyaman bertanya-tanya denganmu. A ty jest bardzo ciepÅ‚o (sikapmu menghangatkan)…” katanya bercanda.
“Sister, Islam itu merupakan prinsip dan komitmen. Allah ta’ala sendiri yang menyebutkan bahwa agama yang benar dan diridhoi Allah hanyalah Islam. Tauhid adalah hal utama, kami meyakini bahwa Allah adalah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan selain Allah, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, Tidak ada seorang pun yang setara dengan-Nya. Maka pilihan hidup dalam agama-Nya harus menjaga komitmen ini, mustahil mencampur adukkan banyak agama dalam hidup karena hal itu berarti telah menyekutukan Allah. Dan merayakan semua hari raya maksudnya menganggap agama adalah permainan? Naudzubillahi minzalik, Islam mengajarkan kita bahwa waktu adalah hal termahal, saat mencari bekal untuk akhirat, maka waktu hidup di dunia ini jangan terbuang sia-sia, detik-detik berlalu, dan detik-detik itu bernilai ibadah jika kita mengingat Allah, jika kita terus belajar memahami ilmu-Nya, tak ada masa untuk mempermainkan jiwa dengan mencampur-adukkan agama, Sist…” kalimat-kalimatku lainnya menginformasikan padanya bahwa Islam adalah agama keselamatan, yang kuncinya kita dibekali dua wasiat untuk ‘kamus hidup’ yaitu Kitabulloh (Al-Qur’an) dan sunnah Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam (Al-Hadits).
Pertemuan dengan Ola berlangsung amat singkat, kami tak punya banyak waktu di kala bertatap muka. Namun tiba-tiba, ia meneleponku via media on-line.
“Sister, saya pindah kota, tapi memang tak sempat bercerita denganmu, maafkan yah karena kita tak ada masa lagi berjumpa sebelum saya pindah,” ujarnya.
“Tak apa, insya Allah suatu hari nanti kita bisa bertemu kembali…”, kataku singkat.
“Saya harus memberi tahumu bahwa saya sering mimpi mengaji dengan lancar, sepertimu…” celotehnya. Lalu ia sambung dengan kalimat yang membuatku menahan nafas karena jantungku bagai berhenti sebentar, “Sister…saya sudah yakin, saya mau ber-Islam…apakah kamu mau mendengar bahwa saya sudah bisa bersyahadat dengan bahasa Arab? Bagaimana, Sister?” katanya.
“Haaaa?! Kamu sudah yakin? Masa’ sih?!” Saya masih meragukan apa yang saya dengar. Selanjutnya malah mataku sudah basah…
“Asyhadu alla ilaaha illallah Wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah…sekarang, saya benar-benar sistermu, kan, Ummu Azzam?” katanya.
Semoga Allah menerima ke-Islamanmu, dan meneguhkan keimananmu pada-Nya, bisikku.
Ya Allah… bahagia sekali mendengarnya, istilahnya, hatiku berbisik, “Ini sesuatu banget, Yaa Robb!”. Alhamdulillahilladzi ‘ala ni’matil Islam wal iman…
Sebulan lalu, seorang remaja Poland mengirimi email kepada Abu Azzam, intinya ia adalah gadis Poland yang sudah mempelajari Islam, dan ingin berkenalan dengan sisters di Krakow. Maka email itu pun diteruskan ke alamat emailku, kami bersilaturrahim melalui dunia maya, dan bertukar nomor telepon. Ia menganggapku sebagai kakaknya, sebut saja sister Sholihat.
Pada hari Selasa saat ada perjalanan sekolah dari kota sister Sholihat menuju Krakow, ia menghubungiku supaya bisa bertemu dan ia ingin pergi ke masjid. Maka kuupayakan mengatur waktu di hari selasa tersebut, kuhubungi beberapa sister lainnya, ternyata ada yang memiliki waktu kosong pada jam itu, dan mau menemani ke masjid pula. Bahkan sister Srilanka yang sedang sakit pun, bersedia memasakkan makan siang buat menyambutnya. Subhanalloh…
Tatkala berjumpa dengannya di Centrum mall, kami berpeluk mesra, segera akrab bagaikan sahabat lama, juga kami bertukar hadiah, padahal tanpa janjian sebelumnya, dan ia amat senang memperoleh hadiah kerudung biru, segera ia mengikutiku ke ruang menyusui, dan meminta dipakaikan kerudung itu. “It’s my first hijab… I’m very-very happy, Oh Allah…”, katanya. Sholihat amat cantik dengan hijab itu, dengan percaya diri ia melangkah bersamaku menuju masjid.
Kami bertemu beberapa brothers yang sedang mengukur-ngukur ruangan dalam masjid, mungkin untuk keperluan memasang karpet, dua sisters dari Malaysia datang pula saat itu.
Setelah menungguiku sholat tahyatul masjid dan menggendong Si Kecil, menghidupkan pemanas kecil di ruangan tersebut, sister Sholihat bilang, “Sister, saya kesini untuk bersyahadat…selama ini Saya belajar Islam melalui Internet dengan teman-teman muslim, dalam hati saya sudah ber-Islam, saya sholat, dan Ramadhan lalu saya sudah berpuasa, tapi saya belum bersyahadat officially… saya mau bersyahadat sekarang dan saya tak malu menunjukkan identitas sebagai Muslimah, insya Allah…”, sebenarnya ia pernah mengatakan hal itu terlebih dahulu melalui telepon, namun kalimatnya tersebut tetap menyentuh nuraniku.
Saya tanyakan, “Kamu yakin, Sist? Kalau baru masuk Islam itu, cobaannya banyak lho, Sist… Kamu siap menghadapi cobaan-cobaan-Nya…?” saya masih ingat betapa malu-malunya dia ketika berhijab pertama kalinya hari itu. Ia memandangi orang-orang sekitar, takut kalau dicemooh, dan sebagainya. “Insya Allah saya siap, Sist… saya yakin dan berharap dapat memeluk Islam seumur hidupku, saya juga tak mengerti kenapa hatiku ini amat mempercayai Islam...” katanya. Begitulah hidayah, misteri dan rahasia-Nya.
“Baiklah, Sist… kita rekam yah sebagai dokumentasi di masjid…” kataku. Ia mengangguk dengan yakin. Kami pun mempersiapkan handycame.
“Siap Sist…?” ujarku, “Insya Allah, yes…” katanya.
“Ikuti bacaan dua kalimat syahadat yang saya sebutkan yah, Sister…(ia mengangguk) Asyhadu…” saya mulai. Sister Sholihat mengikuti, “Asyhadu…” dan seterusnya.
Sepatah-patah kata dalam kalimat, “Asyhadu allaa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu warosuluhu…” ia ikuti dengan lancar. Suasana nuraniku jauh lebih tegang dari pada proses akad nikah beberapa tahun lalu, masya Allah!
Maka, selamat buatmu, duhai saudari baru kami, selamat bahwa hari istimewa itu adalah di kala engkau memutuskan sebuah pilihan terbesar dalam hidupmu, memilih agama Allah di tengah hiruk pikuk fitnah dunia.
Saya teringat bahwa dalam sebuah kisah, Suatu ketika, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal, untuk mengIslamkan sekelompok orang yang tinggal di negeri Yaman. Sebelum Sahabat Mu’adz bin Jabal berangkat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan kepada Mu’adz, “Ajaklah mereka agar mau bersaksi bahwasanya tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwasanya aku adalah utusan Allah. Apabila mereka telah melakukan hal tersebut (bersyahadat) maka beritahulah kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan kepada mereka solat lima waktu sehari semalam. Lalu apabila mereka telah melakukan hal tersebut, maka beritahulah kepada mereka bahwasanya Allah telah mewajibkan kepada mereka untuk mensedekahkan harta mereka, yang sedekah tersebut diambil dari orang-orang kaya dari mereka, dan diberikan kepada orang-orang miskin dari mereka.” (HR. Bukhori)
Usai memeluk dan mengucapkan selamat kepadanya, Sholihat meminta diajari berwudhu, selama ini masih banyak kebingungan dalam berwudhu, ujarnya. Kami pun merencanakan pertemuan selanjutnya, semoga ia dapat mempelajari Islam dengan baik, lancar dan mudah. Usai wudhu, kami sholat dzuhur berjama’ah dan melanjutkan program perencanaan hari itu, Sholihat mengikuti hingga menjemput sulungku dan sesampai di appartemen kami, sulungku mengajarkan beberapa do’a harian buatnya. Alhamdulillah ‘ala kulli hal…
Sholihat berkata, “Alangkah menakjubkan dan indahnya Al-Islam, bahkan Allah menghadiahiku saudara-saudari dan keluarga muslim yang baik. Cahaya Islam memang merupakan hadiah paling indah dari-Nya sepanjang hidupku ini…”
Duhai Sister, justru kami merasakan bahwa pertemuan denganmu dan dengan Brothers dan Sisters disini merupakan hadiah terindah dari-Nya. Saya amat kangen dengan keluarga di tanah air. Namun tatkala menemui peristiwa di atas, Saya memang harus banyak bersujud syukur, “Oh, Allahku, ternyata ini adalah salah satu hikmah dan karunia besar dari-Mu mengenai keberadaan kami di negeri asing ini… Jagalah hati kami dalam ketaatan pada-Mu…”
Wallahu’alam bisshowab.
(bidadari_Azzam, Salam ukhuwah dari Krakow, 8 Muharram 1433 H)
Penulis adalah koordinator muslimah-Islamic Centre Krakow, Poland.
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar