Senin, 20 Februari 2012

UU Anti Pornogarafi Ternyata Tidak Bisa Menjerat Pelaku Zina

Hiruk-pikuk unjuk rasa anti dan pro RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) tahun 2006 hampir saja memecah belah kesatuan dan persatuan bangsa. Bahkan, ada tokoh salah satu ormas kesukuan yang dengan lantang mengatakan bahwa “para wanita yang ikut pawai menentang RUU APP sebagai perempuan bejat, iblis, dan tak bermoral.”
Ketika itu beberapa elemen masyarakat unjuk rasa menentang RUU APP. Yang menolak RUU APP keberatan karena mereka berpendapat tidak perlu ada campur tangan negara dalam penegakan moral dan agama. Ada pula yang melihat UU itu kelak akan mengganggu aspek-aspek kebudayaan khas daerah. Cacian terhadap kalangan yang menolak RUU APP menilainya sebagai suatu bentuk pelecehan dan penghinaan kepada perempuan.
Aksi-aksi yang menolak pengesahan RUU APP pun ditanggapi oleh Ketua Pansus, ketika itu, Balkan Kaplale, bahwa gelombang penolakan didukung oleh kelompok mantan presiden yang ingin memanfaatkan situasi untuk kembali bekuasa, dan bantuan asing, dalam hal ini Amerika Serikat, untuk menghancurkan moral bangsa. Balkan membuat kesimpulan ini karena menurut dia LSM yang memotori aksi penolakan dibiayai oleh AS. Ini keliru karena yang menjadi donor untuk LSM di Indonesia di AS dan Eropa Barat bukan negara tapi badan-badan donor swasta yang independen.
Selain itu, sangat disayangkan Pak Balkan lupa bahwa di AS hukuman bagi pemerkosa adalah hukum mati. Ini menunjukkan perlindungan terhadap perempuan dalam konteks norma, moral dan agama. Bandingkan dengan di Indonesia. Ancaman hukuman memang 12 tahun penjara, tapi harus ada saksi mata dan korban melakukan perlawanan. Di Malaysia hukuman bagi pemerkosa minimal empat tahun di bui.
Bahkan, ketika diperiksa polisi (kabarnya sekarang tidak ada lagi pertanyaan ini) ada pertanyaan: Apakah Anda bergoyang ketika diperkosa? Masya Allah. Ini pertanyaan apa. Nah, kalau korban meronta, apaka itu diartikan sebagai goyangan? Bagaimana seorang perempuan bisa melawan kalau dibekap beberapa laki-laki? Bagaimana seorang perempuan bisa melawan jika dia dibius sebelum diperkosa? Bagaimana seorang perempuan bisa melawan di bawah ancaman senjata tajam atau senjata api ketika diperkosa?
Tangkisan dari Senayan pun terus bergema. Bahkan, Pak Balkan mengatakan “Undang-undang ini berlaku untuk negara yang ber-Tuhan.” Semua bangsa dan negara di muka bumi ini mempunyai Tuhan (dalam kaitan ini Tuhan adalah kepercayaan kepada Yang Maha Kuasa). Dan, tidak ada satu negara pun yang melegalisasi pornografi dan pornoaksi.
Ada salah kaprah yang sangat fatal di Indonesia. Banyak orang yang menilai moral sebuah bangsa atau negara, khususnya AS, dari film, dalam hal ini film produksi Hollywood. Mereka lupa kalau film dibuat untuk hiburan dengan tujuan bisnis memperoleh keuntungan. Yang membuat dan mendanainya pun bukan negara atau pemerintah. Ada pula kesan kehidupan di AS persis seperti di film. Dalam sebuah wawancara di televisi AS pemeran Harry Potter mengatakan bahwa sama sekali dia tidak bisa meresapi atau menikmati adegan ciuman karena di selilingnya ada puluhan orang yang menyaksikan, mulai dari sutradara, penata kamera, penata rias, dll.
Biar pun gelombang penolakan kian besar, tapi Senayan tidak surut. Bahkan, suara dari Senayan menyebutkan perbandingan yang setuju dengan tidak setuju 90:10. Memang, di negara demokrasi yang banyak yang menang. Tapi, perlu diingat tidak selamanya yang banyak yang benar. Menjadikan angka perbandingan sebagai pembenaran bisa berujung celaka.
Agaknya, itulah yang terjadi. Buktinya, setelah RUU disahkan menjadi UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi ternyata tetap tidak bisa menjerat pelaku yang ‘bejat, iblis, dan tak bermoral’. Bahkan, pelaku yang berbuat sebagai ajakan setan atau iblis, seperti dipercayai oleh pendukung RUU APP, dan sudah tersebar luas ternyata lolos dari jeratan UU yang sudah mengutik sendi-sendi kehidupan bangsa yang bhinneka ini.
Lagi pula soal pornografi yang disebut sebagai kesusilaan, moral, dan kesopanan sudah diatur di empat undang-undang, yaitu KUHP, UU Pers, UU Penyiaran, dan UU Film. Tapi, Balkan berkelit dalam KUHP pornografi dan pornoaksi tidak diatur secara spesifik.
Semula yang diharapkan dari RUU semacam APP itu adalah paradigma dengan perspektif perempuan. Selama ini perempuan menjadi korban terkait dengan berbagai aspek, seperti pelacuran, dunia hiburan, perdagangan manusia, dll. Untuk itulah perlu UU yang bisa menjerat dan mendera pelaku yang menjadikan perempuan sebagai korban.
Terkait dengan pelacuran, misalnya, yang dihukum berat bukan pekerja seks (perempuan), tapi orang yang menguasai, memanfaatkan, atau yang mempedagangkan perempuan pekerja seks itu. Sayang, paradigma ini tidak mampir ke Senayan sehingga dalam UU APP yang dihukum justru perempuan yang justru menjadi korban.
Kini, UU No. 44/2008 sedang diuji ketajamananya terkait dengan video yang berisi gambar laki-laki dan perempuan melakukan hubungan seks yang bersifat zina. Pada pasal 1 ayat 1 disebutkan: ”Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.”
Selanjut di pasal 3 ayat a UU ini disebutkan: ”Undang-undang ini bertujuan mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan asyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan.”
Sayang, tujuan UU ini ternyata tidak kesampaian karena tidak bisa menjerat perempuan yang terlibat dalam hubungan seks bersifat zina di video ’mirip artis’ tersebut. Salah satu perempuan yang ada di video itu malah sudah mengakui bahwa dialah perempuan yang sebelumnya disebut ’mirip artis’. Tapi, tidak ada satu pasal pun dalam UU Antipornografi yang bisa menjeratnya. Polisi hanya bisa memakai KUHP untuk membawa perkara itu ke kejaksaan.
Dari tiga tersangka hanya satu yang bisa dijerat dengan UU APP yaitu laki-laki. Namun, bukan karena perbuatan zina tapi karena tersangka merekam perzinaan itu. Untuk perbuatan zina hanya bisa dijerat dengan KUHP.
Perzinaan hanya bisa dijerat dengan KUHP. Lalu, untuk apa memaksakan pengesahan RUU APP yang sudah memecah belah kebhinnekaan bangsa ini kalau ternyata tidak bisa menjerat pelaku zina? Ya, kolonial ternyata lebih jeli menjerat pelaku yang melanggar asas norma, moral dan agama. Dua perempuan yang menjadi tersangka kasus video tadi tidak ditahan karena ancaman hukuman pada KUHP hanya sembilan bulan. Misalnya, pelaku dihukum sembilan bulan tapi dampak buruk video itu berjalan sepanjang masa.
Dengan ancaman hukuman enam bulan sudah bisa ditebak vonis. Hukuman bisa di bawah enam bulan atau bebas karena, al. tidak ada saksi pelapor dan saksi mata. Salah satu faktor yang tidak mendukung adalah tidak ada pihak, dalam kaitan ini suami atau istri, dari para tersangka yang mengadukan perzinaan itu. Ini penting karena KUHP menyaratkan harus ada pengaduan, saksi dan bukti-bukti lain.

Bertolak dari fakta di KUHP tentang harus ada pengaduan dari istri atau suami terkait dengan perzinaan suami atau istri mereka, maka patut dipertanyakan keabsahan razia yang selama ini dilakukan oleh Polri dan Sat Pol PP di berbagai daerah ke losmen dan hotel melati. Soalnya, tidak ada pengaduan. Lagi pula polisi dan Sat Pol PP hanya berani menggrebeg losmen dan hotel kelas melati. Apakah di apartemen dan hotel berbintang tidak ada perzinaan?
RUU yang sudah mendorong orang menghakimi saudara-sauara kita yang menentang sebagai iblis, sekarang ketika sudah menjadi UU ternyata UU itu tidak bisa menjerat perbuatan amoral yang ’ditunggangi’ iblis. ***
* Penulis aktivis di LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com). 


0 comments:

Posting Komentar