Oleh Syaiful W. Harahap*
Jakarta, Juni 2008. Penggunaan kata yang merendahkan harkat dan martabat manusia terdapat dalam beberapa material KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) terkait HIV/AIDS.
Dalam buku “Rencana Aksi Nasional Penanggulangan HIV dan AIDS di Indonesia 2007-2010” (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, 2007), misalnya, ditemukan penggunaan kata yang menggantikan kata pelacur, pekerja seks, dan pekerja seks komersial dengan memakai kata penjaja.
Di halaman iii disebutkan: penjaja seks (PS), pelanggan penjaja seks (PPS)
Di halaman x pada Daftar Singkatan disebutkan:
- PPS: Pelanggan Penjaja Seks
- WPS: Wanita Penjaja Seks
Di halaman 1 disebutkan wanita penjaja seks (WPS)
Di halaman 11 disebutkan: penjaja seks (PS), wanita penjaja seks (langsung dan tidak langsung), lelaki seks dengan lelaki (LSL), pelanggan penjaja seks (PPS)
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud-Balai Pustaka, Cet I, 1988, disebutkan:
- jaja-berjaja-menjaja: pergi berkeliling membawa dan menawarkan barang dagangan (supaya dibeli orang)
- menjajakan: menjual barang dagangan (dengan dibawa berkeliling)
- jaja-jajaan: barang dagangan yang dijajakan
- penjaja: orang yang menjajakan
Bertolak dari makna kata jaja tentulah penggunaan kata penjaja seks tidak pas karena pekerja seks tidak menjajakan ‘barang dagangannya’. Tidak ada pekerja seks yang berkeliling menunjukkan ‘barang dagangannya’. Ini fakta empiris.
Yang terjadi adalah justru laki-laki yang mendatangi pekerja seks. Ini juga fakta empiris.
Pemakaian kata pejaja seks kepada pekerja seks merendahkan harkat dan martabat manusia yang menjadi pekerja seks (baca: perempuan) sebagai manusia.
Pemakaian kata penjaja pada penjaja seks atau wanita penjaja seks menunjukkan tidak ada cita rasa bahasa.
Penggunaan kata penjaja menyuburkan stigma terhadap pekerja seks dan mendorong masyarakat melakukan diskriminasi terhadap pekerja seks.
Istilah lelaki seks dengan lelaki (LSL) juga tidak pas karena tidak ada gambaran proses atau kegiatan dalam kata ini. Seks adalah jenis kelamin sehingga kalau diartikan maka kata itu menjadi ‘lelaki jenis kelamin dengan lelaki’. LSL dipakai sebagai padanan ‘man having sex with man‘ (MSM). Pada MSM ada kegiatan yaitu laki-laki berhubungan seks dengan laki-laki, sedangkan pada LSL tidak ada kegiatan (seks).
Selain itu Odha bukan singkatan atau akronim tapi kata yang mengacu kepada Orang dengan HIV/AIDS sehingga tidak semua hurufnya kapital. Istilah ini sendiri dianjurkan oleh Prof Dr Anton M. Moeliono, ketika itu Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud, kepada aktivis YPI al. Husein Habsyi dan alm. Suzana Murni (16/11-1995). Menurut Prof Anton pemakaian kata Odha lebih netral dan dinamis daripada menyebut penderita, pengidap, korban, dll.
Dalam KIE saja kita sudah membuat jarak dan merendahkan harkat dan martabat manusia. Ini juga akan membuat orang melihat pekerja seks sebagai bidang keladi epidemi HIV. Pada akhirnya hal itu akan mendorong masyarakat melakukan stigma (pemberian cap buruk) dan diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap pekerja seks dan akan bermuara pada Odha.
* Penulis pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) ”InfoKespro” Jakarta (E-mail: infokespro@yahoo.com).
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar