Berita “AIDS Menyebar di 18 Kecamatan, Diperlukan Pemeriksaan Darah WPS” di suaramedeka,com edisi 2/8/2010 menunjukkan pemahman yang tidak komprehensif terhadap epidemi HIV.
Dalam berita disebutkan: ” …. telah menyebar di 18 dari 19 kecamatan di Kabupaten Grobogan. Kecamatan Geyer merupakan satu-satunya kecamatan yang belum ditemukan adanya penyebaran virus ini.” Dalam berita tidak ada penjelasan bagaimana cara yang dilakukan mendeteksi HIV/AIDS. Yang disebutkan hanya peningkatan kasus terjadi setelah ada Klinik Voluntary Consulling and Testing (VCT) atau klinik konsultasi dan pemeriksaan sukarela di RS Panti Rahayu Yakkum Purwodadi.
Bisa saja terjadi penduduk di Kec. Geyer tidak ada yang ke VCT. Belum ditemukan kasus HIV/AIDS bukan berarti Kec. Geyer bebas HIV/AIDS karena semua penduduk belum menjalani tes HIV. Kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di Kec. Geyer bisa menjadi bumerang karena penduduk yang sudah tertular tapi tidak terdeteksi akan menjadi mata rantai penyebaran HIV tanpa mereka sadari. Kondisi ini bisa menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS.
Apakah semua penduduk dewasa di Kec. Geyer tidak pernah melakukan hubungan seks yang berisiko tertular HIV? Hubungan seks yang berisiko tertular HIV adalah: (1) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan pasangan yang berganti-ganti (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif), dan (2) orang-orang (laki-laki dan perempuan) yang pernah melakukan hubungan seks, di dalam atau di luar nikah, tanpa kondom dengan orang yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks, pelaku kawin-cerai, waria pekerja seks, dll. (ada kemungkinan salah satu dari pasangan itu HIV-positif).
Kalau jawabannya YA berarti tidak ada kasus HIV/AIDS. Tapi, kalau jawabannya TIDAK maka penduduk Kec. Geyer sudah ada yang tertular HIV tapi tidak terdeteksi. Mereka inilah yang menjadi mata rantai penyebaran HIV secara horizontal antar penduduk tanpa mereka sadari. Hasilnya? Banyak kasus HIV/AIDS yang tersembunyi di masyarakat yang pada saatnya kelak akan menjadi ledakan AIDS.
Ada lagi pernyataan ” …. mengenai identitas penderita HIV AIDS sesuai kesepakatan internasional adalah unlink anonymous atau bersifat rahasia, sehingga merupakan hak pasien untuk tidak diketahui identitasnya oleh orang lain, dan hanya boleh diketahui petugas tertentu untuk kepentingan keperawatan.” Pernyataan ini kurang pas karena akan menimbulkan praduga bahwa kasus HIV/AIDS diistimewakan. Dalam dunia madis semua keterangan (identitas, nama penyakit, tindakan yang sudah dilakukan, dll.) terkait dengan semua penyakit merupakan catatan medis (medical record) yang merupakan rahasia jabatan dokter. Pembeberan catatan medis merupakan perbuatan yan melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap HAM.
Ada lagi pernyataan ” …. daerah rawan HIV AIDS.” Ini ngawur karena yang rawan terkait HIV/AIDS adalah perilaku oang per orang, terutama perilaku seks. Seorang pekerja seks pun bisa tidak rawan tertular HIV kalau dia hanya mau meladeni laki-laki, termasuk suami atau pacarnya, yang memakai kondom. Sebaliknya, seorang ibu rumah tangga rawan tertular HIV kalau suaminya tidak memakai kondom jika melakukan hubungan seks di dalam atau di luar nikah dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan orang yang sering berganyi-ganti pasangan.
Disebutkan pula “Kami juga memasang spanduk kampanye pencegahan HIV/AIDS di 19 kecamatan. Tujuannya supaya masyarakat mengetahui bahwa saat ini penyebaran utama virus ini adalah melalui perilaku seks berisiko.”
Spanduk ini tidak akan bermanfaat kalau informasi yang disampaikan dibalut dengan norma, moral, dan agama karena yang ditangkap masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS.
Akibatnya, masyarakat tidak mengetahui cara-cara penularan dan pencegahan yang akurat sehingga penyebaran terus terjadi tanpa disadari. Kepanikan baru akan terjadi jika kelak terjadi ledakan kasus AIDS.
Sub judul berita menyebutkan “Diperlukan Pemeriksaan Darah WPS”. Ini juga ‘menyesatkan’ karena ada fakta yang luput. Penularan HIV terhadap pekerja seks dilakukan oleh laki-laki yang dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, lajang, perjaka, remaja, atau duda yang bekerja sebagai pegawai, karyawan, mahasiswa, pelajcar, penganggur, pemulung, tukang becak, petani, nalayan, perampok, dll.
Laki-laki yang menularkan HIV kepada pekerja seks merupakan mata rantai penyebaran HIV dalam masyarakat (horizontal). Begitu juga dengan laki-laki yang tertular dari pekerja seks akan menjadi bagian dari mata rantai penyebaran HIV.
Selama penanggulangan HIV/AIDS tetap dilakukan dengan mengedepankan norma, moral dan agama maka selama itu pula penyebaran HIV akan terjadi. Ini terjadi karena masyarakat tidak memperoleh informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV yang akurat.
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar