Senin, 20 Februari 2012

Debat Pimilukada yang Mengabaikan Epidemi HIV

Jakarta, 12/7-2010. Stasiun televisi swasta nasional, al. MetroTV dan TVOne, yang menyiarkan secara langsung (live) debat antara calon peserta Pemilukada (pemilihan umum kepala daerah) tidak menjadikan epidemi HIV sebagai salah satu topik dalam materi perdebatan.

Ada kesan MetroTV dan TVOne tidak melihat epidemi HIV sebagai masalah besar yang dihadapi negeri ini. Hal itu terbukti pada debat Pemilukada di MetroTV, yaitu: (1) Debat Calon Walikota Surabaya (18/5-2010), dan (2) Debat Calon Gubernur Prov. Kepri (22/5-2010).

Di dua daerah itu epidemi HIV merupakan masalah besar. Laporan terakhir yang dikeluarkan Depkes RI sampai tanggal 31 Desember 2009 menunjukkan kasus kumulatif AIDS secara nasional di Prov. Jawa Timur, termasuk Kota Surabaya, menempati peringkat kedua dengan kasus 3.227, sedangkan Prov. Kepri menempati peringkat kesebelas dengan kasus 333. Tapi, perlu diingat kasus yang terdeteksiini tidak menggambarkan keadaan yang sebenarnya di masyarakat. Epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es sehingga angka yang dilaporkan (terdeteksi) hanya sebagian kecil dari angka yang sebenarnya di masyarakat. Kalangan ahli epidemilogi memperkirakan kasus HIV dan AIDS di Indonesia berkisar antara 90.000 - 120.000.

Di Kota Surabaya ada lokalisasi pelacuran ‘resmi’ Dolly. Begitu pula dengan di Kepri banyak ‘lokaliasi’ pelacuran terselubung. Lebih celaka lagi Prov. Kepri menjadi tujuan ‘wisata dan niaga seks’ bagi ‘laki-laki hidung belang’ dari Singapura dan Malaysia. Mereka tiba di Batam dan kota-kota lain di Kepri hari Jumat sore atau Sabru pagi langsung ke hotel yang sudah menyediakan ‘cewek’. Mereka pulang hari Minggu sore. Memang, mereka membawa uang ke Kepri, tapi ada kemungkinan sekaligus membawa IMS (penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seks, seperti  sifilis, GO, klamidia, virus hepatitis B, dll.) dan HIV juga. Singapura, misalnya, mewajibkan laki-laki yang ‘main’ di Kepri untuk menjalani tes HIV. Ini menunjukkan Pemerintah Negara Singa itu melihat epidemi HIV di Kepri sebagai ancaman bagi penduduknya yang ‘main’ di Kepri. Kondidinya kian parah karena ‘laki-laki hidung belang’ dari Malaysia dan Singapura enggam memakai kondom. Ini ancaman besar bagi Kepri secara khusus dan Indonesia secara umum karena pekerja seks komersial (PSK) yang ‘praktek’ di Batam dari dari semua penjuru di Tanah Air.

Dari aspek kesehatan masyarakat dan penanggulangan HIV upaya bisa dilakukan melalui lokalisasi. Seperti yang dilakukan di Thailand. Penerapan program ‘wajib kondom 100 persen’  di lokalisasi dan rumah bordir di Thailand menurunkan insiden penularan IMS dan HIV melalui hubungan seks di kalangan dewasa. Tapi, di Surabaya Wakil Gubernur Jatim justru membuka wacana penutupan Dolly. Di Kepri pun ada gerakan ‘membasmi’ pelacuran.

Padahal, ada fakta yang luput dari perhatian yaitu penularan HIV kepada pekerja seks justru dilakukan oleh laki-laki. Mereka itu dalam kehidupan sehari-hari bisa sebagai seorang suami, pacar, ’selingkuhan’, atau lajang yang bekerja sebagai pegawai, kaaryawan, pelajar, mahasiswa, pedagang, petani, nelayan, perampok, dll. Mereka inilah sebenarnya yang menjadi mata rantai penyebaran HIV.

Kalau saja dalam debat Pemilukada masalah penanggulangan HIV dan AIDS menjadi materi debat tentu akan tampak paradigma calon-calon itu dalam menanggulangi epedmi HIV di daerahnya.

Untuk tahun 2009 diperkirakan dana yang dibutuhkan untuk penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia mencapai Rp 180 miliar. Sekitar 70 persen dari dana ini merupakan sumbangan (donor) dari luar negeri. Jika kelak tidak ada lagi donor asing maka beban biaya penanggulangan HIV dan AIDS akan ditanggung oleh pemerintah. Dalam kaitan ini tentulah pemerintah daerah pun akan ikut menanggung beban yang tidak sedikit.
Tidak ada daerah di Nusantara yang bebas HIV/AIDS sehingga jika kelak tidak ada donor maka biaya pembelian obat antireroviral (ARV) harus ditanggung pemerintah daerah.

Di Sumatera Utara (Sumut), misalnya, setiap tahun dihabiskan dana Rp 19 miliar  hanya untuk pembelian obat ARV. Seorang Odha (Orang dengan HIV/AIDS) menghabiskan dana Rp 3,6 juta per bulan (Waspada, 5/11-2009). Berdasarkan fakta ini maka setiap daerah provinsi, kabupaten dan kota di Indonesia akan menghadapi masalah besar jika kelak tidak ada donor asing.

Beban daerah kelak akan bertambah besar karena angka kasus akan terus bertambah karena penyebaran HIV terus berlangsung. Ini terjadi karena selama ini tidak ada program penanggulangan yang realistis. Banyak daerah provinsi, kabupaten dan kota hanya mengandalkan peraturan daerah (Perda) sebagai ’senjata’ untuk menanggulangi epidemi HIV. Celakanya, pasal-pasal penanggulangan HIV dan AIDS di dalam Perda-perda itu hanya bertumpu pada norma, moral dan agama. Ini tidak realistis karena tidak menyentuh akar persoalan.
Bertolak dari fakta-fakta di atas maka kami berharap MetroTV dan TVOne serta stasiun televisi lain menjadikan HIV dan AIDS sebagai materi perdebatan. Kita akan melihat persepsi calon-calon yang berdebat terhadap epidemi HIV dan langkah-langkah konkret yang akan mereka jalankan kelak dalam menanggulangi epidemi HIV jika terpilih.  Jika kelak tidak ada donor asing, apa yang akan mereka lakukan untuk mendapatkan dana penanggulangan epidemi HIV?

Bisa jadi mereka akan berpaling ke APBD. Tentu ini akan mengurangi porsi untuk kesejahteraan rakyat daerahnya karena beberapa daerah justru menguras dana APBD untuk keperluan sepakbola. “Pemkok Surabaya Alokasikan APBD untuk Persebaya (klub sepakbola-pen.).” (Newsticker, TVOne, 11/7-2010).
Jika banyak penduduk yang tertular HIV tentulah kian sulit mencari pemain sepakbola. Apakah kita masih akan terus menampik dan menyangkal epidemi HIV di negeri ini biar pun kasus-kasus HIV dan AIDS terus terdeteksi setiap hari? [Syaiful W. Harahap, pemerhati masalah HIV/AIDS melalui LSM (media watch) "InfoKespro" Jakarta (E-mail: lsm_infokespro@yahoo.com]

0 comments:

Posting Komentar