Konflik budaya menjadi sebuah hal yang sepertinya lumrah terjadi di negara dengan banyak budaya. Indonesia salah satunya. Di negara dengan seribu pulau ini, konflik budaya menjadi hal yang paling mungkin terjadi, berkenaan dengan kehidupan sosial.
Masalah budaya memang menjadi hal yang cukup sensitif, terutama di Indonesia yang notabene memang banyak memiliki budaya. Hal ini dikarenakan budaya adalah jelmaan lain dari identitas sebuah suku bangsa. Jika ada yang menyinggung suatu budaya tertentu, itu sama saja dengan menghina identitas sebuah suku bangsa. Itulah penyebab terjadinya konflik budaya. Begitulah kira-kira.
Hidup di Indonesia kelihatannya sangat melelahkan, bukan hanya setiap hari melihat politik yang tidak jelas, tetapi kadang kita jua disuguhi tontonan konflik budaya yang berlangsung di berbagai tempat di Indonesia.
Masyarakat Indonesia boleh jadi merupakan masyarakat dengan kepusingan yang luar biasa. Tingkat kestresan masyarakatnya bisa menjadi yang paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya. Belum selesai dengan masalah ekonomi, korupsi dan politik, sudah hadir atau bahkan rentan kedatangan konflik budaya. Semuanya lengkap ada di Indonesia.
Ada yang berkonflik karena masalah ekonomi, ada pula yang perang kampung karena hal sepele, atau sering pula terjadi karena salah paham dua kelompok. Hal-hal itu nantinya merembet pada konflik budaya yang lebih besar. Sebuah konflik yang nantinya akan mampu menghancurkan bangsa hingga aspek terkecil.
Di manakah hasil pendidikan yang selama ini kita jalani? Dari SD hingga SMA kita diajarkan mengenai moral dan etika, entah itu itu PMP (Pendidikan Moral Pancasila), PPKN, dan sekarang menjadi Kewarganegaraan. Ke manakah hasilnya? Pengajaran yang didapatkan seolah mengupak. Tidak berlaku ketika amarah memuncak pada setiap konflik budaya.
Ada yang bilang bahwa pelaksanaan pendidikan moral tidak dijiwai oleh kesadaran yang luas. Baik oleh mereka yang bertanggung jawab mengajarkan maupun yang menerima pengajaran. Pelajaran tentang bagaimana menjadi warga negara yang baik dengan saling menghormati seperti hanya teori lusuh. Tanpa disadari bahwa pemahaman seperti itu bisa menghindarkan masyarakat dari permasalahan, konflik budaya salah satunya.
Bagaimana kita mau sadar, sementara kita tinggal di kota sedangkan budaya itu tetap tinggal di pelosok-pelosok nusantara yang miskin dan tidak ada akses. Bagaimana kita bisa menjiwai sementara pendidikan hanya dihitung secara matematis, output hanya ditentukan oleh yang namanya Ujian Nasional. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu menjadi akar dari hadirnya konflik budaya.
Budaya yang selalu kita banggakan sebagai kekayaan nusantara hanya menjadi hiasan-hiasan yang ada di dinding republik ini, dan ketika ada konflik baru sang ‘pemilik rumah’ kebakaran jenggot. Konflik budaya yang mulai berbentuk nyata, perlahan mengubah banyak orang untuk tiba-tiba peduli. Lalu, kemana saja kita selama ini?
Ingat dengan konflik budaya yang terjadi kepada Indonesia beberapa waktu lalu. Ketika Malaysia dianggap menggangu kebudayaan Indonesia. Ketika Malaysia sibuk mengklaim beberapa produk budaya Indonesia. Tengok ketika Malaysia mengklaim Angklung, Batik, dan Reog Ponorogo. Hal itu tiba-tiba membuat seluruh masyarakat Indonesia menjadi lebih cinta tanah air. Sebuah ekspresi yang sebenarnya cukup memprihatinkan.
Semua ramai ikut bersuara, seolah seluruh pemimpin dan rakyat Indonesia adalah pegiat seni, kritikus budaya, dan pioner budaya. Tapi ketika tidak ada konflik budaya, semua acuh diam bukan lagi seribu bahasa, tetapi sejuta bahasa. Apakah ini berarti masyarakat Indonesia hanya akan "bergerak" ketika terjadi suatu masalah? Seperti konflik budaya ini?
Sama halnya dengan konflik budaya yang ada di Indonesia, peristiwa Sampit, Poso, atau konflik-konflik di Papua membuat kita harus menata ulang bagaimana cara kita memperlakukan suatu budaya. Bagaimana memperlakukan budaya dengan posisi yang sama. Bahwa tidak ada budaya yang lebih unggul atau tertinggal.
Hal ini menjadi sebuah pekerjaan rumah yang cukup rumit bagi pemerintah Indonesia. Apa dan bagaimana agar konflik budaya tidak menjadi sebuah "agenda rutin" adalah hal yang harus dicarikan jalan keluarnya.
Jika mau sinis, seharusnya kita malu dengan hal ini. Bahwa seharusnya kita berterimakasih kepada Malaysia. Berkat "ulahnya", masyarakat Indonesia menjadi lebih peduli dengan budayanya. Bahwa konflik budaya antara dua negara satu rumpun ini ternyata memberikan hikmah yang bisa jadi tidak akan didapatkan dengan cara apapun.
Konflik Budaya dan Ontologi Budaya
“Kami ciptakan kalian bersuku-suku, berbangsa-bangsa supaya kalian saling mengenal satu sama lain”, begitu firman Allah. Secara ontologis, manusia sudah berbeda-beda dan tidak ada yang sama. Bahkan, si kembar pun masih memiliki perbedaan. Namun, apakah keadaan perbedaan ini pada dasarnya damai atau semua yang berbeda itu pada dasarnya berkonflik? Apakah konflik budaya juga menjadi bagian yang takterpisahkan dari proses belajar untuk saling menghargai, memahami dan mengenal?
Kita seringkali terjebak dalam sebuah pernyataan normatif seperti perbedaan adalah untuk persatuan atau berbeda. Tetapi satu. Persatuan dan tetap satu adalah dasar keinginan dan cita-cita yang terus diimpikan setiap orang. Di sini lain, setiap budaya memiliki ideologi yang tidak bisa dikompromikan lagi. Akan menjadi konflik budaya jka masing-masing budaya tidak bisa saling menghargai ideologi yang dimilikinya.
Kondisi juga kadang memengaruhi terjadinya sebuah konflik budaya. Tengok saja warga keturunan Tionghoa ketika mereka tinggal di suatu wilayah, biasanya mereka berkumpul di tempat tertentu. Daerah itu biasa kita sebut pecinaan. Apakah mereka tidak mau berbaur dengan penduduk asli, atau mungkin juga penduduk asli masih memiliki sentimen terhadap segala sesuatu yang berbeda dengan diri mereka? Pertanyaan yang bernada keragu-raguan juga kadang menjadi andil dalam "terbentuknya" konflik budaya di masyarakat.
Begitu pula dengan warga pendatang yang bermukim di wilayah jauh. Di Lampung misalnya, ada perkampungan orang Jawa, ada juga perkampungan orang Sunda. Mendengar hal itu seolah kita tidak memiliki kampung yang lebih besar, yaitu kampung Indonesia. Entah ke mana Indonesia ketika kita berada dalam wilayah yang lebih kecil, yang ada hanyalah kesukuan-kesukuan. Mengotak-ngotakkan diri menjadi salah satu penyebab konflik budaya yang selanjutnya. Terlebih jika merasa suku bangsanya lebih tinggi dibanding suku bangsa yang lain.
Jangankan soal budaya, soal KTP (Kartu Tanda Penduduk) saja seringkali menyisakan problem. Anda yang ber-KTP Bandung atau Jakarta dan tinggal di daerah lain tidak akan memiliki hak sebagai warga negara untuk memilih di lingkungan yang berbeda dengan identitas KTP Anda. Anda harus balik ke kampung halaman kalau mau ikut pemilu, bayar pajak kendaraan, atau mengurus SIM.
Permasalahan ini memang erat hubungannya dengan peraturan pemerintah. Tanpa sadar, pihak-pihak tersebut justru adalah pihak yang terkadang berada di balik terjadinya konflik budaya.
Multikulturalisme dan Konflik Budaya
Banyak aktivis yang dengan giat mengampanyekan semangat multikulturalisme agar konflik budaya bisa dicegah dan dihentikan. Tetapi, ketika mendengar cerita teman dari Papua, semua menjadi lain.
Misalnya, ketika ia berbicara konflik budaya di Papua, lalu saja mengajukan gagasan multikulturalisme. Sebagian besar masyarakat Papua menanggapinya dengan dingin. Bahwa multikulturalisme hanya ada di atas kertas, tidak di atas tanah Papua. Sebuah perrnyataan yang sangat memprihantinkan.
Ada sebuah cerita yang menggambarkan bagaimana kondisi pendatang dan penduduk asli Papua di sana. Hingga sekarang, masih digunakan istilah-istilah yang cenderung sentimentil ketika membedakan antara penduduk asli dan pendatang. Secara mutlak, hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya konflik budaya.
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar