Sabtu, 25 Februari 2012

Aborsi Justru Banyak Dilakukan oleh Perempuan Bersuami

“Pelaku Aborsi 15-30 Persen Dilakukan Remaja.” Ini judul berita di Harian “Tribun Jabar” (31/8-2010).

Dalam berita disebutkan: “Dampak pergaulan bebas remaja Indonesia salah satunya adalah prilaku aborsi. Tak kurang dari 2,3 juta kasus aborsi ditemukan di Indonesia setiap tahunnya. Ironisnya, pelaku aborsi 15-30% adalah remaja. Hal ini diperparah dengan makin banyaknya penderita AIDS.”

Dalam berita tidak dijelaskan sumber data terkait dengan kasus aborsi. Selama ini banyak pejabat, pakar dan tokoh masyarakat yang mengutip data itu. Dari tahun ke tahun data itu tetap sama dan selalu mengaitkannya dengan remaja.

Tentang kasus AIDS di kalangan remaja ada fakta yang luput dari perhatian. Penemuan kasus HIV/AIDS di kalangan remaja terjadi pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya). Remaja penyalahguna narkoba diwajibkan menjalani tes HIV jika hendak mengikuti rehabilitasi.

Sebaliknya, tidak ada mekanisme yang bisa mendeteksi kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa. Kasus HIV/AIDS di kalangan dewasa akan menjadi ’bom waktu’ ledakan AIDS. Tanda-tanda ke arah itu sudah banyak. Di Jabar, misalnya, sudah banyak bayi yang terdeteksi HIV. Bayi tertular HIV dari ibunya (vertikal) dan ibu bayi itu tertular HIV dari suaminya (horizontal).

Istilah ’pergaulan bebas’ selama ini hanya dipakai untuk kegiatan di kalangan remaja terkait dengan seks pranikah. Ini tidak adil karena mengesankan tidak ada masalah bagi kalangan dewasa yang melakukan seks di luar nikah. Kondisi ini merugikan remaja dan menguntungkan kalangan dewasa.

Kemudian perilaku aborsi tidak ada kaitannya secara langsung dengan ’pergaulan bebas’. Aborsi dilakukan oleh perempuan yang belum menikah (remaja), janda, dan yang masih terikat pernikahan yang sah. Penelitian Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Jakarta tahun 2003 di sembilan kota besar di Indonesia menunjukkan aborsi dilakukan oleh perempuan yang terikat dalam pernikahan yang sah sebesar 87 persen, sedangkan yang belum menikah 12 persen. Dari jumlah ini ibu rumah tangga 48 persen, bekerja 43 persen, pelajar 7 persen, dan lain-lain 2 persen. Data ini akurat karena penelitian dilakukan langsung di klinik-klinik yang melakukan aborsi.


Dalam berita Netty Heryawan, Ketua Pembina PKK Jawa Barat yang juga Pembina Gerakan Sadar Media, mengatakan: “Dari hasil penelitian 85% remaja pernah menonton video porno. Bahkan 40% remaja pernah melakukan hubungan seksual di rumahnya sendiri.”

Pernyataan itu lagi-lagi menohok remaja. Mengapa tidak ada data pembanding dari kalangan dewasa? Apakah kalangan dewasa tidak ada yang menonton video porno? Atau, apakah kalangan dewasa memang diizinkan atau boleh menonton video porno? Ya, lagi-lagi kalangan dewasa menjadikan remaja sebagai perisai terhadap perilaku (buruk) mereka.

Apakah dampak (buruk) menonton video porno hanya terhadap pada kalangan remaja? Berita ini jelas mengesankan bahwa hanya remaja yang menghadapi masalah kalau menonton video porno. Ini tidak akurat karena laki-laki dewasa pun akan mengalami hal yang sama. Bahkan, banyak kasus perkosaan justru dilakukan oleh kalangan dewasa. Lebih parah lagi banyak korban lelaki dewasa itu justru anak-anak perempuan dan laki-laki di bawah umur. Apakah kasus ini tidak terkait dengan dampak dari menonton video porno?

Terkait dengan remaja yang melakukan hubungan seksual di rumahnya sendiri tidak ada data pembanding tentang pelaku laki-laki. Apakah semua remaja? Bisa jadi tidak sedikit laki-laki dewasa yang menjadi pelakunya.

Netty juga mengatakan: ” …. perilaku tersebut akibat pengaruh globalisasi dan media televisi.” Ini tidak akurat karena sejak zaman duhulu, ketika telivisi belum ada, tetap saja ada perilaku seperti yang dilakukan remaja sekarang.

Perilaku di kalangan remaja dan dewasa merupakan gambaran orang per orang. Di tahun 1990-an ketika bekerja di Tabloid ”MUTIARA” Jakarta saya meliput kasus perksoaan terhadap seorang mahasiswi di Bogor, Jabar. Pelakunya ditangkap polisi. Pelaku berdalih bahwa dia memperkosa karena terangsang setelah menonton film di bioskop.

Saya mewawancarai seorang psikolog. Persoalannya adalah mengapa hanya permuda tadi yang memperkosa setelah menonton? Kalau benar film itu merangsang tentulah semua laki-laki yang menonton akan melakukan hal yang sama.

Hasil pemeriksaan polisi menunjukkan pemuda itu sudah lama mencari kesempatan untuk memperkosa mahasiswi tadi. Pemuda itu sering mengintip gadis itu jika sedang mandi. Maka, film hanya dijadikannya sebagai pembenaran untuk dirinya melakukan perkosaan.

Di Prov. Banten bioskop dilarang. Tapi, apakah ada jaminan di rumah tidak terjadi pemutaran film (porno)? Justru perilaku remaja dan kalangan dewasa yang menonton video di rumah lebih riskan daripada menonton film di gedung bioskop. Siapa yang bisa mengawasi perilaku penduduk Banten yang menonton video di rumah?

Ada kesan kalau laki-laki dewasa tidak akan melakukan seks di luar nikah karena mereka sudah mempunyai istri. Apakah ini benar? Tidak! Soalnya, banyak suami yang berzina. Buktinya, sekarang kian banyak istri yang tertular HIV dari suaminya. Ini menunjukkan suami mereka melakukan hubungan seks dengan perempuan lain. sumber

0 comments:

Posting Komentar