Sabtu, 25 Februari 2012

Remaja Selalu Menjadi Korban Kalangan Dewas

“Seks Bebas Remaja Tak Terkendali.” Ini judul berita di inilan.com (19/08/2010).

Judul berita ini merupakan stigma (cap buruk) terhadap remaja. Remaja menjadi objek dari kalangan dewasa sebagai tameng untuk menutupi perilaku mereka, termasuk ketika remaja.

Penggunaan istilah ‘seks bebas’ juga tidak pas karena istilah ini ngawur. ‘Seks bebas’ berkembang di awal tahun 1970-an yang merujuk kepada perilaku remja kala itu, terutama di Barat. Isitlah itu merupakan terjemaha bebas dari free sex yang justru tidak ada dalam kosa kata Bahasa Inggris. Perilaku itu bukan merupakan perilaku masyarakat di Barat, tapi hanya perilaku orang per orang. Di Indonesia pun sudah lama dikenal ‘kumpul kebo’ yang justru menjadi ‘budaya’ di kalangan masyarakat tertentu.

Kalau ‘seks bebas’ diartikan sebagai zina atau hubungan seks sebelum nikah dan di luar nikah, maka berita ini tidak adil karena tidak ada data pembanding dari kalangan dewasa. Berita yang yang bertolak dari Penelitian Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Kalimantan Tengah (Kalteng) ini kian memojokkan remaja. Penelitian menunjukkan jumlah remaja yang pernah berhubungan seks alias making love (ML) semakin tinggi.

Hasil penelitian menunjukkan 68 persen remaja pernah berhubungan seks, dan 87 persen menonton film serta video porno. Data ini pun membuat anggota Komisi X DPR Fraksi Partai Demokrat, Angelina Sondakh, prihatin. Sayang, dalam berita tidak disebutkan metode penelitian dan jumlah responden. Ini penting karena akan memberikan gambaran yang nyata tentang hasil penelitian itu. Karena tidak ada data responden maka publikasi hasil penelitian itu mengesankan perilaku itu merupakan gambaran seluruh remaja di Kalteng.

Penelitian terhadap segelintir remaja disamaratakan sebagai perilaku remaja secara umum. Ini tidak adil karena merugikan remaja yang tidak melakukan ’seks bebas’. Upaya mereka menjalankan hidup sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku rusak karena segelintir remaja.

Dalam berita Angelina mengatakan: “Sudah sepatutnya memang pendidikan seks masuk dalam kurikulum pendidikan kita, mengingat fakta dan fenomena yang berkembang di masyarakat saat ini, terutama di kalangan para anak didik kita.” Jika yang dibicarakan adalah zina, hubungan seks sebelum dan di luar nikah maka pendidikan seks juga harus diberikan kepada kalangan dewasa karena mereka juga melakukan hal yang sama dengan remaja. Bahkan, tidak sedikit remaja putri yang menjadi korban ‘cinta’ lelaki dewasa.

Menempatkan remaja sebagai ‘sasaran tembak’ dalam pendudikan kesehatan reproduksi, khususnya seksualitas, menenggelamkan perilaku kalangan dewasa. Kalangan ini berlindung di balik tudingan terhadap remaja. Remaja dijadikan objek sebagai pelengkap penderita oleh kalangan dewasa. Ini membuat mereka bebas dari pantauan terkait dengan perilaku seks.

Disebutkan: “Mantan Putri Indonesia ini juga menilai, perilaku pergaulan yang cenderung mengarah pada berlangsungnya seks bebas di kalangan remaja, merupakan ancaman cukup serius bagi generasi muda harapan bangsa kita.” Lagi-lagi ini menohok remaja. Apakah kalangan dewasa, terutama suami, tidak melakukan ‘seks bebas’? Selama ini ada kesan ‘seks bebas’ hanya dilakukan remaja karena mereka belum menikah. Kondisi ini mengesankan laki-laki dewasa, menikah atau lajang, tidak terkait dengan ‘seks bebas’. Ini menyesatkan.

Lebih jauh Angelina mengatakan: “Mengingat, efek yang ditimbulkan tidak hanya berkaitan dengan semakin merebaknya PMS termasuk penyebaran HIV/Aids yang cenderung semakin bertambah, tetapi juga menyangkut isu kesehatan dan etika moral yang mulai semakin meluntur.” Dari aspek epidemiologi HIV yang potensial menjadi mata rantai penyebaran HIV justru laki-laki dewasa. Suami-suami yang mengidap HIV akan menularkan HIV kepada istrinya, pacarnya, atau pekerja seks komersial/PSK (horizontal).

Selama informasi tentang kesehatan reproduksi tidak disampaikan secara faktual maka selama itu pula remaja tidak bisa menangkap makna seksualitas.

Kita selalu mengedepankan norma, moral dan agama dalam menyampaikan informasi terkait kesehatan reproduksi, terutama tentang seksualitas. Ini mengesakan norma, moral dan agama bisa menjadi ‘benteng’ bagi remaja dalam mengendalikan diri.

Tapi, apa yang terjadi? ‘Benteng’ itu sering jebol karena tidak berpijak pada realitas. Dorongan seks untuk melakukan hubungan seksual merupakan konsekuensi biologis. Dorongan ini tidak bisa digantikan dengan kegiatan lain.

Dalam kaitan itulah remaja dibekali dengan pemahaman yang realistis tentang seksulitas. Sebuah sekolah menengah atas (SMA) di Jakarta pernah kewalahan menghadapi kasus kehamilan di kalangan siswi-siswinya. Untuk mengatasi hal itu sekolah tadi memberikan pelajaran tentang seksualitas.

Apa yang terjadi kemudian? Jumlah kasus kehamilan di kalangan siswi menurun drastis. Ada dua kemungkinan yang terjadi.

Pertama, siswa-siswi sekolah itu sudah mengetahui cara-cara mencegah kehamilan. Jika ini yang terjadi barulah merupakan ranah moral. Siswa-siswi diberikan pemahaman tentang tanggung jawab dalam menyalurkan hasrat seks sehingga tidak ada pihak yang dirugikan. Biar pun siswi tidak hamil tapi mereka sudah dirugikan karena kehilangan ‘mahkota’ di luar pernikahan.

Kedua, siswa-siswi sekolah itu menjalankan pergaulan yang bertanggung jawab. Mereka menghindarkan perilaku seksual yang bisa merugikan pasangannya. Ini juga perlu dikuatkan dengan pembekalan agar mereka meningkatkan tanggung jawab sebagai pacar dan menghargai kesucian pasangannya.

Namun, selama ini justru kalnagan dewasa yang menolak pemberian materi kesehatan reproduksi, khususnya tentang seksualitas, kepada remaja. Ini merupakan sikap munafik yang menggiring opini yang mengesakan bahwa remaja sekaranglah yang membuat ulah. Padahal, kalangan dewasa juga melakukan hal yang sama ketika mereka remaja.

Kalau memang kalangan dewasa sekarang merasa dirinya tidak berbuat seperti yang dilakukan remaja sekarang, ya, tolonglah bagi pengalaman Anda kepada remaja.

Kita menunggu dan menuntut agar kalangan dewasa mau membagi pengalaman mereka dalam mengendalikan hasrat seks ketika remaja dahulu. sumber

0 comments:

Posting Komentar