Kamis, 19 Januari 2012

Identitas Budaya

Kebudayaan yaitu sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide gagasan yang terdapat di dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi social, religi seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat.

Dulu mungkin kita sering mengatakan dengan bangga bahwa saya orang sumatera, saya orang Jawa, saya orang Sunda, saya orang Indonesia atau yang lainnya.Tapi, kini kita tidak lagi bisa mengatakan seperti itu. Yah, karena dalam diri kita sebenarnya memiliki identitas-identitas ganda.

Di antara menyusutnya identitas budaya itu karena kita tanpa disadari telah berhubungan dengan manusia yang secara identitas mereka berbeda. Belum lagi, berbagai kebudayaan yang kita bawa berbaur dengan kebudayaan lainnya. Sehingga dengan begitu kita pun terkadang mempunyai identitas yang baru.

Di antara penyebab perubahan identitas budaya adalah;

Pertama, mencairnya batas-batas kebudayaan. Dulu kebudayaan selalu diikat oleh batas-batas fisik yang jelas. Sebagai contoh pakaian kebaya, sungkeman, batik, selalu identik dengan pakaian atau adat buadaya jawa. Identitas budaya seperti itu selalu dijadikan sebagai batas-batas atau simbol-simbol fisik yang menjadi dasar dalam pendefinisian keberadaan suatu kebudayaan, khsusnya pada saat sesuatu yang bersifat fisik itu masih dianggap paling penting dan menentukan. Namun, ketika kesadaran atau pola pikir manusia mengalami perubahan, mencairnya batas-batas teritorial identitas, mobilisasi manusia, kecanggihan intelektual yang dimiliki, media komunikasi yang semakin modern, masyarakat menjadi terintegrasi bukan hanya pada level lokal akan tetapi dunia,

Karena itu, maka batas-batas identitas suatu kebudayaan itu pun mau tidak mau harus mencair atau memudar. Tradisi sungkeman, bercium tangan sebagai simbol kepatuhan dan ketundukan seorang anak kepada orang tua pun menjadi tergantikan hanya lewat telepon atau alat canggih lainnya. Bahkan tidak hanya itu, dengan kecanggihan tekhnologi, batas-batas teritorial sebuah komunitas, kelompok, terasa tak berarti. Orang Indonesia dalam waktu yang sama dapat berkomunikasi, berinteraksi dengan manusia luar yang tanpa di sadarinya transfer budaya pun saling berpindah. Manusia pun dalam waktu singkat dapat berganti-ganti karakter atau pola pikir layaknya seperti manusia “mutan”.

Irwan Abdullah mencontohkan bahwa dengan semakin canggihnya arus komunikasi dunia modern, unsur-unsur kebudayaan kerap kali mengalami penyusutan atau penyesuaian. Sebagai contoh, arsitektur Bali tidak hanya ditemukan di Bali, akan tetapi juga dapat ditemukan di Jakarta. Karena itu, kerajinan khas Bali pun dengan mudah dapat kita temukan tidak hanya di Bali, akan tetapi diluar bahkan sampai dunia Eropa. Kesimpulannya menurut Irwan Abdullah, apa yang ada atau khas di Bali tidak hanya harus menjadi monopoli Bali, karena unsur-unsur kebudayaan Indonesia yang lain atau unsur kebudayaan dunia dapat dengan mudah ditemukan dalam bentuk-bentuk ekspresi simbolik di mana pun. Karena itu, dengan adanya integrasi tatanan global, kebudayaan kemudian tidak lagi terikat pada batas-batas fisik yang kaku yang disebabkan oleh ikatan ruang yang bersifat deterministic.

Kedua, sebab adanya perubahan budaya juga karena adanya politik ruang dan makna budaya. Makna suatu simbol juga disebabkan oleh struktur kekuasaan yang berubah. Hal senada pun diungkapkan oleh Irwan Abdullah. Ia mengatakan suatu kebudayaan bagaimanapun tidak dapat dilepaskan begitu saja dari ruang di mana kebudayaan itu dibangun, dipelihara, dan dilestarikan, atau bahkan diubah. Dengan adanya kepetingan kekuasaan yang berbeda, maka ruang yang menjadi wadah tempat kebudayaan telah mengalami re-definisi baru sejalan dengan tumbuhnya gaya hidup modern yang secara langsung diawali dengan perubahan rancangan ruang.

Ketika kondisi ini terjadi, maka ruang pun menjadi arena yang diperebutkan, demi melanggengkan sebuah kepentingan kekuasaan atau politik tertentu. Karena itu, makna kebudayaan pun harus tunduk terhadap siapa yang mendefinisikan ulang. Buah dari semua ini, maka sebuah simbol dan makna kebudayaan pun menjadi suatu objek yang kehadirannya dihasilkan oleh suatu proses negosiasi yang melibatkan sejumlah kontestan yang terlibat dengan kepentingan yang berbeda.

Ketiga, ketika hegemoni kepentingan politik kekuasaan terjadi, maka secara bersamaan, pemaksaan akan makna ruang dan makna sebuah identitas budaya pun terjadi. Posisi publik yang enggan mengikuti keinginan penguasa pun tercerai berai menjadi kelompok-kelompok kecil yang juga beragam di dalam memaknai ruang dan makna identitas budaya.

Kontestasi berbagai institusi terjadi secara intensif yang menyebabkan individu menjadi objek dan komoditi dari kepentingan-kepentingan yang berbeda. Mereka yang tersubordinasi pun ikut melakukan kontestasi dalam bentuk pemaknaan dekonstruktif atau pembangkangan terhadap pendefinisian ruang dan makna identitas badaya yang dilakukan oleh hegemoni pemegang kendali kuasa. Tarik menariknya antara pemegang kendali kuasa dengan mereka yang tersubordinasi pun menjadikan identitas kebudayaan pun mengalami konstruksi dan reproduksi yang berebda yang tentunya syarat akan kepentingan yang berbeda. Simbol-simbol budaya pun pada akhirnya dijadikan sebagai alasan penegasan autentisitas kelompok yang keberadaannya menjadi bagian dari sistem sosial global dengan pertentangan nilai yang juga tajam.

Kondisi inilah yang menurut saya terjadi saat ini, terlebih ketika beberapa bulan yang lalu saat kita dikisruhkan tentang perebutan identitas dengan Malysia misalnya. Buah dari kondisi ini semua, kita rindu akan masa lalu atau dalam bahasa Irwan Abdullah mereka tertarik melakukan replikasi dari kesukubangsaan dengan parameter yang berbeda yang didasarkan bukan pada nilai lokal yang sama, tetapi pada minat dan kepentingan yang sama dari mereka yang secara asal usul berbeda. Dan kita baru sadar bahwa semua itu telah “hilang”.

Teori-teori identitas

Identitas merupakan satu unsure kunci dari kenyataan kenyataan subyektif dan, sebagaimana semua kenyataan subyektif, berhubungan secara dialektis dengan masyarakat. Identitas dibentuk oleh proses-proses sosial. Begitu memperoleh wujudnya ia, ia dipelihara, di modifikasi, atau malahan dibentuk ulang oleh hubungan-hubungan sosial. Proses-proses sosial yang terlibat dalam membentuk dan mem,pertahankan identitas ditentukan oleh struktur sosial. Sebaliknya identitas yang dihasilkan oleh interaksi antara organism, kesadaran individu, dan struktur sosial bereaksi terhadap struktur sosial yang sudah diberikan, memeliharanya, memodifikasinya, atau malahan memmbentuknya kembali. Masyarakat mempunyai sejarah, dan didalam perjalanan sejarahnya itu muncul identitas-identitas khusus, tetapi sejarah-sejarah itu dibuat oleh manusia dengan identitas-identitas tertentu.

Apabila kita selalu ingat akan dialektika ini maka kita akan dapat menghindari pengertian sub specie aelernitatis, dari eksistensi individu. Struktur-struktur sosial historis tertentu melahirkan tipe-tipe identitas , yang bise dikenali dalam kasus-kasus individual. Dalam pengertian ini kita bisa mengatakan bahwa seorang Amerika memiliki identitas yang berbeda dengan seorang Perancis, seorang warga New York mempunyai identitas berbeda dengan seorang warga dari bagian Barat Tengah, seorang eksekutif mempunyai identitas berbeda dengan seorang gelandanagn dan seterusnya. Seperti telah kita lihat , orientasi dan perilaku dalam kehidupan sehari-hari tergantung pada tipifikasi-tipifikasi seperti itu. Ini berarti bahwa tipe-tipe identitas bisa diamati dalam kehidupan sehari-hari.

Identitas merupakan suatu fenomena yang timbul dari dialektika antara individu dan masyarakat. Sebaliknya tipe-tipe identitas merupakan produk-produk sosial semata-mata, unsure-unsur yang relative stabil dari kenyataan ssosial obyekktif (yang tingkat stabilitasnya, dengan sendirinya, pada gilirannya ditentukan secara sosial). Dengan demikian tipe identitas itu merupakann pokok dari suatu bentuk kegiatan berteori dalam tiap masyarakat, sekalipun tipe-tipe itu stabil dan pembentukan identitas-identitas individu relative tidak menimbulkan masalah. Teori-teori tentang identitas selalu berakar dalam penafsiran yang lebih umum tantang penafsiran yang lebih umum tentang kenyataan, teori – teori ”dipasang dalam” universum simbolik dan legitimasi-legitimasi teoretisnaya, serta bervariasi tentang sifat yang disebut balakangan. Identitas tetap tak bisa dipahami kecuali jikaia berlokasi dalam suatu dunia. Karena itu, setiap kegiatan teori tentang identitas dan tipe-tipe identitas tertentu harus dilakukan di dalam kerangka tafsiran-tafsiran teoritis dimana identitas dan tipe-tipe identitas itu berada. Apabila teori-teori identitas selalu brerakar dalam teori-teori yang lebih konprehensif tentang kenyataan maka itu harus dipahami menurut logikayang mendasari apa yang disebut belakangan itu. Misalnya suatu psikologi yang menafsirkan tentang fenomena-fenomena empiris tertentu sebagai kemasukan roh jahat mempunyai-sebagai matrisnaya-sebuah teori mitologisn melalui kosmos , dan tidaklah pada tempatnya untuk menafsirkan dalam suatu kerangka non mitologis.

Suatu penekanan terhadap penampakan luar telah menunjukkan pentingnya penampilan-cara cara objek , tempat atau orang menghadirkan dirinya atau dihadirkan. Karena penampilan dirancang untunk beraneka ragam konteks atau tujuan maka akan menjadi terpecah – pecah atau ephemeral. Penampakan pada penampakan luar memperlihatkan bahwa makna-makna (dari objek , tempat, atau orang) tidaklah stabil dan oleh sebab itutergantung pada kesewenag-wenangan persepsi dan prenggunaan. Dalam hal ini tampak juga telah terjadi perubahan selam tahun-tahun terakhir era modern pada landasan sosial utama dari identitas. Saat ini muncul perasaan yang menyebar luas mengungat kerja ataupun jabatan secara tradisional menentukan kelas sosial dan begitu pula cara hidup seseorang, pada paruh kedua abad ini aktivitas-aktivitas waktu luang dan atau kebiasaan konsumen semakinbanyak dialami oleh individu-individu sebagai basis identitas sosial mereka. Apabila proses konsumsi merupakan pembentukan makna, maka siapa kita secara reflektif terbentuk dalam upaya proses upaya tersebut sebanyak apakah upaya tersebut (Keller 1992; lihat juga esai mengenai “ruang-ruang diri dan masyarakat” dalam kumpulan yang sama). Hal ini merupakan bagian dari yang dimaksud dengan gagasan refleksifitas bahwa entitas-entitas sosial seperti para actor dan gaya-gaya dilekati karakter khusus melalui tata cara atau sikap mereka, sehingga seharusnya tidak mengherankan bahwa isu-isu identitas (baik personal maupun kolektif ) – formasi, stabilitas, dan perubahannya telah menjadi perhatian utama bagi praktik gaya hidup (untuk suatu pandnagan yang lebih kritis mengenai pentingnya desstabablisasi identitas-identitas dala konsumerisme massa , lihzat Warde 1994)

Sejaln dengan itu identitas-identitas personal dibuat menjadi kurang stabil dan koheren dalam suatu budaya, yang didalamnya makna dari objek-objek dan praktik-praktik secara terus-menerus diciptakn kembali. Alasan untuk mengaskan pentingnya hubungan adalah bahwa jika hal-hal yang kita gunakan atau terapkan adalah tidak terduga, maka setidaknya bagian apa dari mereka , objek-objek yang akan diambil untuk memaknai , tergantung pada siapa yang menggunakannya dan bagaimana digunakannya. Dan, dengan cara yang sama siap kita sebagai pemain aktif dalam permainan konsumsi (the game of consumption) terbentuk dan ditampilakan melalui bagaiman kita memanfaatkan sumber daya-sumberdaya dalam permainan. Ini merupakan hubungan simbiotik yang telah menyebabkan para sosiolog percaya bahwa mereka dapat membac kembali dari pola-pola konsumsi dan aktivitas waktu luang untung jawaban terhadap “pertanyaan-pertanyaan yang sanagat penting mengenai pertanyaan yang teramat penting mengenai apa yanag kita percaya dan yang kita pikirkan, bagaiman kita sampai pada kepercayaan kita, apa yang kita lakukan dan bagaimana tindakan kita mengekspresikan kepercayaan atau nilai-nilai tertentu” (tomilison 1990:5;dalam cara-cara yang berbeda -beda)berapa esai dalam kumpulan inin mrnyentuh kelunturan identitas dalam budaya konsumen ; lihat jika diskusi yang menyeluruh dalam Finkelstein 1991)

Disampiung argument teoritis tersebut , seyogyanya menunjuk pada dua tren selanjutnya yang lebih empiris , untuk menghubungkan dalam identitas,identitas budaya konsumen denagn gagasan identitas personal. Yang pertama dapat disimpulakan dari cara-cara berpartisipasi lebih public, komunal, dan klektif dalam peristiwa-peristiwa budaya kea rah cara-cara partisipasi kearah yang lebih privat dan personal, suatu proses yang dilukiskan sebagai penyebaran waktu luang

Fesyen dan Identitas

Dalam masyarakat modern, semua manusia adalah performer. Setiap orang diminta untuk bisa memainkan dan mengontroll peranan mereka sendiri. Gaya pakaian, dandanan, rambut, segalam macam asesoris yang menempel, selera musik, atau pilihan-pilihan kegiatan yang dilakukan, adalah bagian dari pertunjukan identitas dan kepribadian diri. Kita bisa memilih tipe-tipe kepribadian yang kita inginkan lewat contoh-contoh kepribadian yang beredar di sekitar kira-bintang film, bintang iklan, penyanyi, model, bermacam-macam tipe kelompok yang ada atau kita bisa menciptakan sendiri gaya kepribadian yang unik, yang berbeda, bahkan jika perlu yang belum pernah digunakan oleh orang lain.

Antony Synott (1993) berhasil memberikan penjelasan yang bagus tentnag rambut. Dalam beberapa hal, rambut tidak sekedar berarti simbol seks penanda laki-laki dan perempuan. Ia juga simbol gerakan politik kebudayaan tertentu. Menurutnya, model rambut yang berbeda menandakan model ideologi yang berbeda pula. Tahun 50-an yang membawaiklim pertumbuhan dan kemakmuran di Amerika ikut menghembuskan kebebasan ekspresi individual baru termasuk jenis model rambut baru. Model rambut yang dibentuk menyerupai ekor bebek menjadi sangat populer saat itu. Tokoh-tokoh utama jenis rambut ini adalah Elvis Presley dan Tony Curtis. Setelah itu berlangsunglah era model rambut beatnik look yang dipelopori oleh James Dean dan Marlon Brando.

Rambut Panjang vs Rambut Pendek

The Hippies yang populer pada tahun 60-an, tidak hanya dikenal berkat gerakan-gerakan protesnya menentang norma-norma seksual yang puritan, etika protestan, gerakan-gerakan mahasiswa menentang perang, anti senjata nuklir, anti masyarakat yang fasis, militeris, birokratis, tidak manusiawi dan tidak natural, tetapi juga mendunia lewat simbol-simbol yang dinekalkannya. Kalung manik-manik, celana jins, kaftan-jubah longgar sepanjang betis yang pada awalnya merupakan pakaian tradisional Turki, sandal, jaket dan mantel yang dijahit dan disulam sendiri, untuk membedakan mereka dengan golongan orang-orang yang

memakai setelah resmi dan berdasi, kaftan banyak digunakan sebagai pakaian khas orang-orang hippies karena jenis pakaian ini biasanya berharga murah, sehingga tidak berkesan borjus, dan membebaskan pakaiannya dari kungkungan kerah, kancung dan ikat pinggang yang ketat. Dan simbol yang paling mencolok adalah rambut mereka yang panjang dan lurus. Rambut-rambut yang natural, tanpa cat, tanpa alat pengeriting, tanpa dihiasi dengan pernik-pernik apapun, tanpa wig. Kaum laki-laki hippies juga memelihara rambut panjang, lengkap dengan janggut dan kumis yang dibiarkan tumbuh lebat tanpa dipotong. Ini yang membedakan mereka dari golongan orang tua mereka. Sepuluh tahun kemudian gaya hippies, yang pada awalnya tumbuh untuk menentang kemapanan ini mendapat serangan dari golongan The Skinheads.

Sama halnya dengan kaum hippies, orang-orang skinheads juga menentang kemapanan meskipun dnegan alasan yang berbeda. Awalnya, skinheads adalah term slang untuk menunjuk pada orang-orang yang botak dan gundul. Kaum skinheads biasanya berasal dari kelas pekerja. Skinheads khususnya ditujukan ditunjukkan untuk menentang golongan mahasiswa kelas menengah yang berambut panjang, orang-orang Asia dan kaum gay. Skingeads membenci orang-orang hippies, khususnya kaum laki-laki hippies. Mereka sering mengolok-olok kaum laki-laki hippies sebagai orang yang keperempuan-peremnuanan dan aneh: dengan dandanan rambut panjang, pakaian bermotif bunga-bunga, manik-manik, dan sandal, sering membagi-baikan bunga kepada polisi saat demonstrasi, pasif, malas, dan lemah. Pada awal kemunculannya di tahun 1968 dan 1969 sampai tahun 1790-an awal, skinheads biasanya memakai celana jins pudar yang digulung sampai di atas pergelangan kaki, sepatu militer jenis boover boots atau sepatu boot kulit, t-shirt yang memamerkan slogan afiliasi gerakan politik atau organisasi sepak bola tertentu, jaket yang bertuliskan ‘skins’ di belakangnya, dan rambut yang dicukur sangat pendek. Beberapa orang skinheads yang mengenakan sepatu boover boot memang pernah bergabung dengan kesatuan militer, sementara beberapa pemakai yang lain memakainya dengan alasan supaya bisa menendang lebih kuat. Dnegan ciri sepatu jenis inilah maka mereka juga mendapat julukan boover boys. Perempuan skinheads juga mengenakan dandanan yang sama, hanya saja biasanya mereka menyisakan sedikit kuncir rambut di bagian belakang dan samping.

Pada tahun 1975 muncullah kaum punk. Penampilan kaum punk ini seringkali dikacaukan dengan kaum skinheads. Term punk sendiri adalah bahasa slang untuk menyebut penjahat atau perusak. Sama seperti para pendahulunya, kaum punk juga menyatakan dirinya lewat dandanan pakaian dan rambut yang berbeda. Orang-orang punk menyatakan dirinya sebagai golongan yang antifesyen, dengan semangat dan etos kerja ‘semuanya dikerjakan sendiri’ (do-it-yourself) yang tinggi. Ciri khas dari punk adalah celana jins sobek-sobek, peniti centel (safety pins) yang dicantelkan atau dikenakan di telinga, pipi, asesoris lain sepeti swastika, salib, kalung anjing, dan model rambut skipe-top dan mohican. Model rambut spike-top atau model rambut standar kaum punk. Sementara model rambut mohican atau biasa disebut dengan mohawk yaitu model rambut yang menggabungkan gaya spike-top dengan cukuran di bagian belakang dan samping untuk menghasilkan efek bentuk bulu-bulu yang tinggi atau sekumpulan kerucut, hanya dipakai oleh sedikit penganut punk. Kadang-kadang mereka mengecat rambutnya dengan warna-warna cerah seperti hijau menyala, pink, ungu, dan oranye.

Fesyen dan Kesenangan

Gaya casuals dipelopori oleh kelompok anak muda kalangan atas yang mempunyai tingkat pekerjaan dan pendidikan lebih tinggi sebagai lawan dari kelangan skinheads yang biasanay berada dalam posisi sosial kurang menguntungkan. Mereka biasanya mengenakan setelah pakaian santai atau pakaian sport yang bererek mahal. Basis pakaian para perempuannya adalah pakaian laki-laki seperti cardigans atau celana pantalon.

Suatu jenis gaya atau kelompok yang jua memainkan peranan penting dalam kebudayaan anak-anak muda adalah rockers. Kelompok rokers ini biasanya dijuluki juga sebagai leather boys karena ciri khasnya memakai jaket kulit, celana jins, musik rock, dan di awal kemunculannya kerap diidentikkan dengan sepeda motor besar. Penampilan mereka yang tampak liar dan keras ini tentu saja secara substansial sangat berbeda dengan penampilan para teddy boy yang sangat dandy dan flamboyan: sepatu kulit mengkilap serta jas dan blazer yang rapi.

Semua hal yang telah dipertontonkan lewat tubuh: gaya pakaian, gaya rambut, serta asesoris pelengkapnya, lebih dari sekedar demonstrasi penampilan, melainkan demonstrasi ideologi. Sekaligus menunjukkan kepada kita bahwa globalisasi berperan besar dalam penyebaran gaya keseluruh dunia meskipun tidak dalam waktu yang bersamaan. Globalisasi beserta seluruh perangkat penyebarannya, televisi, majalah, dan bentuk-bentuk media massa yang lain, juga menyebabkan peniruan gaya yang sama, tetapi dengan kesadaran yang samasekali berbeda dengan konteks sejarah awalnya. Jadi, para anak muda yang mengenakan dandanan serba punk di Indonesia ini sangat mungkin diilhami oleh sesuatu yang sangat berbeda dengan generasi punk pendahulu mereka di negara asalnya.

Sampai tahap ini, kita bisa melihat adanya hubungan yang kompleks antara tubuh, fesyen, gaya dan penampilan, serta identitas kepribadian yang ingin dikukuhkan oleh seseorang. Pembentukan identitas bukan persoalan sederhana. Ia tidak pernah bergerak secara otonom atau berjalan atas inisiatif diri sendiri, tapi dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang diidentifikasi sebagai kreativitas, bahwa semua orang diwajikan untuk reatif supaya tampak berbeda dan dianggap berbeda pula. Kemudian ada faktor pengaruh ideology kelompok dan tekanan teman sepermainan sebaya. Di sini, persoalan merek sepatu atau jenis pakaian bisa jadi persoalan besar karena ikut menentukan apakah seseorang dianggap memenuhi syarat untuk dimasukkan dalam kelompok tertentu atau tida. Faktor-faktor lainnya adalah status social, bombardier iklan-iklan media, serta unsure kesenanga (pleasure dan fun). Unsur kesenangan ini bisa dipakai untuk menjelaskan dan memahami kelompok anak muda yang mengadopsi, mengkonsumsi atau mencapurkan berbagai macam gaya dengan tanpa referensi jelas terhadap makna asalnya. Gaya menjadi kolase-kolase. Hanya penampilan semata. Hanya fesyen. Tetapi hal ini tidak berarti mereduksi gaya menjadi sesuatu yang tidak bermakna. Berakhirnya otentisitas bukan berarti kematian makna. Kolase, peniruan-peniruan, kombinasi, ambil sana-ambil sini, ikut membentuk lahirnya makna baru.

Baju Bekas

Baju bekas tercatat ikut membentuk gaya subkultur anak muda yang khusus dan unik. Selain merefleksikan posisi keuangan anak-anak muda yang terbatas, ia juga menggambarkan

gairah akan gaya pakaian-pakaian retro yang otentik dan tidak ada kembarannya. Jenis baju yang dijual di toko-toko baju bekas biasanya berjumlah terbatas atau malah hanya tersedia sebanyak 1 buah saja sehingga terkesan lebih personal. Efek personalitas ini yang tidak bisa didapat jika kita membeli baju di mall atau supermarket karena baju yang dijual disana rata-rata dibuat secara massal. Selain memberi kesan lebih personal, dengan memakai baju-baju bekas, sejarah dan nilai-nilai lama yang dibawa oleh baju-baju tersebut seolah-olah dikosongkan atau dihilangkan karena dimaknai secara berbeda dan diberi nilai-nilai baru, serta diisi dengan sejarah baru.

Di idonesia sendiri kemunculan pasar baju bekas ini tidak berjalan merata. Pasar baju bekas di Sumatera, Batam, Kalimantan, dan Sulawesi misalnya, lebih dulu muncul daripada di Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya dsb. Toko baju bekas di sini lazim disebut dengan toko baju impor, karena memang baju-baju bekas itu asalnya dibawa dalam karung-karung besar dari pelabuhan. Jenis barang yang dijual di toko macam ini bermacam-macam, mulai dari kaos, hem, jaket, celana panjang, sampai selimut-selimut tebal dan bed cover. Harga barang-barang yang dijual di kota-kota yang dekat dengan pelabuhan biasanya lebih murah daripada di kota-kota lain. Penampilan baju bekas kerap diidentikkan dengan kelompok bergaya traveler atau new age. Kaos bertumpuk-tumpuk, rompi bekas dengan beberapa lubang di sudut sudutnya, sweater bekas, dan celana yang dijait sendiri dari kain-kain perca. Mereka mempunyai anggaran yang terbatas untuk membeli pakaian, lagipula pakaian tidak menempati posisi penting dari eksistensi mereka. Sehingga bagi mereka pakaian pun bisa diwariskan dari dari kakak tertua ke adik dan saudara-saudara yang lain.

Di Inggris gaya pakaian bekas second hand dress ini banyak dipakai juga oleh kelompok indie dan para mahasiswa di tahun 1980-an dan 1990-an. Mereka biasanya memakai t-shirt bekas, jumper, atau jaket bekas dan kain wol. Di Indonesia konsumen terbesar baju-baju bekas adalah anak-anak muda. Tetapi anak-anak muda ini kadang bersikap malu-malu kalau ketahuan membeli baju bekas. Sikap malu-malu dari konsumen baju bekas adalah sesuatu yang menjijikkan karena tidak jelas asal-usul sejarahnya juga berkesan kumuh karena dibelu di tempat-tempat yang sempit penuh sesak dengan karung-karung isi baju bekas bertumpuk-tumpuk. (NJ).

Identitas Hibrida

Dalam bukunya yang terkanal, Imagined Communities: Reflections on the Origins and spread of Nationalism (1983), Ben Anderson menyatakan bahwa “bangsa” adalah sebuah “komunitas imajiner” dan identitas nasional adalah sebuah konstruksi yang diciptakan lewat symbol-simbol dan ritual-ritual dalam hubugannya degan kategori administrated fan teritori. Menurutnya, bahasa nasional, kesadaran waktu, dan kesadaran ruang, merupakan konstruksi yang diciptakan lewat fasilitas-fasilitas komunikasi. Ia menjelaskan bahwa produksi Koran dan standar-standar bahasa yang kemudian menyediakan konsisi bagi terbentuknya sebuah kesadaran nasional.

Kritik yang bisa dikemukakan atas pemikiran Anderson ini adalah bahwa ia menganggap bahasa bersifat stail. Anderson terlalu menekankan aspek homogeny, kesatuan,dan kekuatan perasaan kebangsaan yang mengatasi perbedaan klas, gender, etnisitas dsb, dan tidak melihat bahwa perbedaan konteks dan lapangan-lapangan interaksi ternyata menciptakan identitas yang khusus dan berbeda-beda. Ketidakstabilan bahasa, menurut Homi Bhabha (1994), memaksa kita untuk tidak memikirkan kebudayaan dan identitas ebagai entitas yang bersifat tetap, tetapi selalu berubah.

Pemikiran Anderson juga tidak memadai untuk melihat bagaimana kebudayaan identitas terbentuk dalam globalisasi. Globalisasi menyediakan sebuah tempat yang lapang bagi konstruksi identitas; pertukaran benda-benda/simbol-simbol dan pergerakan antartempat yang semakin mudah, yang dikombinasikan dengan perkembangan teknologi komunikasi, membuat percampuran dan pertemuan kebudayaan juga semakin mudah.

Dalam globalisasi, kebudayaan dan identitas bersifat translokal (Pieterse 1995). Kebudayaan dan identitas tidak lagi mencukupi jika dipahami dalam term tempat, tetapi akan lebih baik jika dikonseptualisasikan dalam term perjalanan. Dalam konsep ini tercakup budaya dan orang yang selalu dalam perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain, juga kebudayaan sebagai sites of criss-crossing travelers (Clifford 1992).

Hibriditas, Kreolisasi, dan Mimikri

Ide tentang ketidakstabilan kebudayaan dan identitas dalam globalisasi membawa kita kepada pemahaman bahwa kebudayaan dan identitas selalu merupakan pertemuan dan percampuran berbagai kebudayaan identitas yang berbeda-beda. Inilah yang disebut hibriditas kebudayaan dan identitas. Batas-batas kebudayaan yang mapan dikaburkan dan dibuat tidak stabil oleh hibridasi.

Dalam budaya anak muda, hibriditas ini musalnya tampak sebagai hasil internasionalisasi music (rock, rap, hip metal, dll), internasionalisasi merek (MTV, Nike, Levi’s, Coca-Cola, dll), dan internasionalisasi olah raga (NBA, Sepakbola Italia tau Inggris, dll). Di sini gaya menjadi apparatus identitas anak muda yang terpenting, dank arena itu menjadi arena hibridasi yang utama. Musik rap dinyanyikan dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa (Iwa K, Denada, Neo, G-Tribe, dll), gemar menonton Ketoprak Humor sekaligus MTV Unplugeed, kaos bergambar klub-klub NBA atau klub sepakbola Itali dan inggris dsb. Mana yang Indonesia dan mana yang bukan Indonesia tidak lagi penting, karena gaya adalah yang utama.

Pada tahap ini menjadi penting untuk berbicara tentang kreolisasi. Dalam kreolisasi elemen-elemen kebudayaan lain diserap, tetapi dipraktekkan dengan tidak mempertimbangkan makna aslinya. Subkultural rasta di Jamaika memakai rantai di sabuk celana, panjang, menjuntai. di sabuk celana, panjang, menjuntai ke bawah, menyapu lantai. Mereka memakainya sebagai bentuk solidaritas kepada teman-temannya yang dipenjara. Tetapi di Indonesia, rantai semacam itu dipakai untuk pengikat dompet, selain sebagai asesori fesyen, juga agar tak mudah kecopetan.

Konsep kreolisasi sekaligus memberikan cara berpikir alternative, yang berbeda dengan konsep imperialism cultural( Tomlinson 1991), yang menganggap Barat telah berhasil melakukan dominasi budaya atas Timur dengan menciptakan “kesadaran palsu” lewat budaya massa, benda-benda konsumen dll. Karena kenyataannya konsumen tidaklah pasif, melainkan menciptakan makna-makna baru bagi benda-benda dan simbol-simbol yang mere konsumsi.

Bhabha (1994) mengajukan konsep mimikri untuk menggambarkan proses peniruan/peminjaman berbagai elemen kebudayaan. Menurutnya mimikri tidaklah menujukkan ketergantungan sang terjajah kepada yang dijajah, ketergantungan kulit berwarna kepada kulit putih, tetapi peniru menimkati/bermain dnegan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi. Ini terjadi karena mimikri selalu mengindikasikan makna yang “tidak tepat” dan “salah tempat”, ia imitasi sekaligus subversi.

Dengan begitu mimikri bisa dipandang sebagai strategi menghadapi dominasi. Seperti penyamaran, ia bersifat ambivalen, melanggengkan tetapi sekaligus menegasikan dominasinya. Inilah dasar sebuah identitas hibrida. gairah akan gaya pakaian-pakaian retro yang otentik dan tidak ada kembarannya. Jenis baju yang dijual di toko-toko baju bekas biasanya berjumlah terbatas atau malah hanya tersedia sebanyak 1 buah saja sehingga terkesan lebih personal. Efek personalitas ini yang tidak bisa didapat jika kita membeli baju di mall atau supermarket karena baju yang dijual disana rata-rata dibuat secara massal. Selain memberi kesan lebih personal, dengan memakai baju-baju bekas, sejarah dan nilai-nilai lama yang dibawa oleh baju-baju tersebut seolah-olah dikosongkan atau dihilangkan karena dimaknai secara berbeda dan diberi nilai-nilai baru, serta diisi dengan sejarah baru.

Di idonesia sendiri kemunculan pasar baju bekas ini tidak berjalan merata. Pasar baju bekas di Sumatera, Batam, Kalimantan, dan Sulawesi misalnya, lebih dulu muncul daripada di Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya dsb. Toko baju bekas di sini lazim disebut dengan toko baju impor, karena memang baju-baju bekas itu asalnya dibawa dalam karung-karung besar dari pelabuhan. Jenis barang yang dijual di toko macam ini bermacam-macam, mulai dari kaos, hem, jaket, celana panjang, sampai selimut-selimut tebal dan bed cover. Harga barang-barang yang dijual di kota-kota yang dekat dengan pelabuhan biasanya lebih murah daripada di kota-kota lain. Penampilan baju bekas kerap diidentikkan dengan kelompok bergaya traveler atau new age. Kaos bertumpuk-tumpuk, rompi bekas dengan beberapa lubang di sudut sudutnya, sweater bekas, dan celana yang dijait sendiri dari kain-kain perca. Mereka mempunyai anggaran yang terbatas untuk membeli pakaian, lagipula pakaian tidak menempati posisi penting dari eksistensi mereka. Sehingga bagi mereka pakaian pun bisa diwariskan dari dari kakak tertua ke adik dan saudara-saudara yang lain.

Di Inggris gaya pakaian bekas second hand dress ini banyak dipakai juga oleh kelompok indie dan para mahasiswa di tahun 1980-an dan 1990-an. Mereka biasanya memakai t-shirt bekas, jumper, atau jaket bekas dan kain wol. Di Indonesia konsumen terbesar baju-baju bekas adalah anak-anak muda. Tetapi anak-anak muda ini kadang bersikap malu-malu kalau ketahuan membeli baju bekas. Sikap malu-malu dari konsumen baju bekas adalah sesuatu yang menjijikkan karena tidak jelas asal-usul sejarahnya juga berkesan kumuh karena dibelu di tempat-tempat yang sempit penuh sesak dengan karung-karung isi baju bekas bertumpuk-tumpuk.

Berger & Luckmann. 1990. Tafsir Sosial atas Kenyataan. Yogyakarta: LP3S
Chaney. David. 2009. Lifestyle, Sebuah Pengantar Komprehensif. Yogyakarta: Jalasutra
Newssletter Kunci edisi khusus /6-7/ Mei-Juni 2000 (sumber)

0 comments:

Posting Komentar