Rabu, 25 Januari 2012

HAJI

Filsafat Haji dan Rahasia yang Dikandungnya

Haji adalah sebuah ibadah besar yang pada hakikatnya mempunyai empat dimensi, di mana setiap dimensi itu lebih mengakar dan lebih menguntungkan dari dimensi yang lainnya.

a. Dimensi Etis Haji

Filsafat haji yang paling penting terletak pada perubahan akhlak yang muncul dalam diri manusia. Ritualitas yang dilakukan ketika ihram akan secara total mengeluarkan manusia dari suluk-buluk kenikmatan materi dan kelebihan-kelebihan lahiriah yang mereka miliki, seperti aneka warna pakaian dan perhiasan. Dengan diharamkannya berbagai kelezatan untuk para muhrim (orang-orang yang melakukan ihram) dan dengan menenggelamkan manusia dalam pensucian diri sebagai salah satu kewajiban muhrim, ia telah mengeluarkan mereka dari dunia materi dan tenggelam dalam alam cahaya spiritualitas yang jernih. Mereka yang biasanya merasa berat dengan menyangga atribut-atribut berat semacam derajat tinggi dan medali-medali di atas punggungnya, tiba-tiba ia akan merasakan bebannya menjadi begitu ringan, muncul perasaan rileks, santai, dan mudah dalam melihat segala problema.

Setelah itu, ritual haji berjalan dari ritual yang satu ke ritual yang lainnya. Sebuah ritual yang akan membuat kecintaan maknawi manusia kepada Tuhannya,sesaat demi sesaat dan setapak demi setapak akan menjadi semakin kuat dan indah. Ritual yang mampu menciptakan komunikasi mereka dengan Sang Khaliq menjadi semakin lekat dan dekat. Ritual yang akan melepaskan diri dari masa lalu yang gelap dan bergelimang dosa dan mengalihkannya pada tatapan masa depan yang terang dan bening penuh cahaya.

Perhatian terhadap ibadah haji ini terutama terletak pada hakikat dari ritual haji itu sendiri, yang pada setiap langkahnya merupakan kenangan dari perjalanan Nabi Ibrahim a.s. sang pemenggal kepala berhala, dan Nabi Ismail a.s. sang dzabîhullah (yang disembelih oleh Allah), serta ibundanya Hajar. Sebuah kenangan terhadap perjuangan dan usaha keras mereka, serta kenangan dari sebuah ketakwaan yang agung. Dan kenangan-kenangan inilah yang setapak demi setapak terpahat dan terukir di hadapan mata jutaan manusia. Dan dengan memperhatikan bahwa bumi Makkah pada umumnya, dan Masjidil Haram, Ka’bah dan tempat untuk melakukan thawaf pada khususnya, akan mengingatkan kita pada kenangan-kenangan yang ditinggalkan oleh Rasulallah saw., pemimpin-pemimpin besar Islam, khususnya para imam ma’shum, dan para pejuang muslimin pada masa-masa permulaan Islam. Hal ini akan membuat semakin mendalamnya revolusi akhlak dalam diri manusia, sedemikian rupa sehingga mereka senantiasa melihat wajah Rasulullah saw. dan Imam Ali bin Abi Thalib a.s. pada setiap sudut dari Masjidil Haram dan bumi Makkah, dan mereka mendengar suara-suara mereka yang antusias, menggelora, dan penuh semangat dari segala penjuru.

Ya! Mereka semua saling merapatkan tangan dan membentuk sebuah medan untuk menuju pada suatu perubahan dan revolusi akhlak dalam hati dan kalbu-kalbu yang telah siap, sebagaimana manusia yang membalik lembaran-lembaran kehidupan lama yang merupakan sebuah cerita yang tidak ada kesudahannya, lalu memulai untuk mengisi lembaran baru dalam kehidupan mereka.

Bukanlah tanpa dalil apabila dalam riwayat-riwayat Islam ditegaskan, “Seseorang yang melaksanakan hajinya dengan sempurna, maka ia akan keluar dari dosa-dosanya sebagaimana seseorang yang baru saja lahir dari perut ibunya.”
Ya! Untuk muslimin, haji merupakan kelahiran yang kedua, sebuah kelahiran yang akan menjadi permulaan kehidupan baru bagi manusia.

Tentu saja, tidak perlu lagi untuk diingatkan bahwa berkah dan pengaruh agung dari ritualitas haji ini —dan apa yang nanti akan kami jelaskan selanjutnya— bukanlah untuk orang-orang yang mencukupkan diri dengan hanya melaksanakan lapisan luar dari pelaksanaan haji dengan membuang intinya. Pengaruh dan berkah ini tidak pula untuk mereka yang menganggap haji hanya sebagai sebuah variasi kehidupan, sebuah alat untuk mendapatkan kesenangan, untuk refreshing, pamer, riya, atau untuk melengkapi peralatan materi seseorang. Karena dengan begini, mereka sama sekali tidak akan pernah menyentuh ruh dan hakikat haji. Oleh karena itu, bagian yang akan mereka dapatkan hanyalah sebatas apa yang mereka pedulikan dan apa yang mereka cari.

b. Dimensi Politik Haji

Seperti yang telah dikatakan oleh salah seorang faqih Islam, selain ritual haji merupakan ibadah yang paling murni dan paling mendalam di antara ibadah-ibadah yang ada, juga merupakan sebuah mediator yang paling berpengaruh untuk memperoleh tujuan politik Islam.

Hakikat dari sebuah ibadah adalah mengarahkan perhatian dan memfokuskan konsentrasi kepada Allah swt., sedangkan hakikat dari politik adalah mengarahkan perhatian pada ciptaan Allah swt. Kedua hal ini saling berbaur sedemikian rupa hingga berbentuk sebagaimana keburaman warna sebuah kain (karena banyaknya warna yang bercampur di dalamnya).

Haji merupakan komponen fundamental untuk mempersatukan barisan Muslimin.

Haji merupakan salah satu elemen untuk melawan fanatisme suatu negara, keturunan, ras, dan kaum yang berada di dalam istana-istana yang terletak di perbatasan geografi.

Haji merupakan sebuah alat untuk menghancurkan para penghujat dan menghilangkan pengaruh-pengaruh kekuatan-kekuatan arogan yang memegang kekuasaan di negara-negara Islam.

Haji adalah suatu sarana untuk menyebarkan berita politik negara-negara Islam dari satu titik ke titik yang lain.

Dan akhirnya, haji adalah salah satu faktor yang berpengaruh untuk melepaskan rantai-rantai ketertawanan dan penjajahan, serta unsur yang berpengaruh untuk menciptakan kebebasan muslimin.

Dengan alasan ini, pada masa kekuasaan pemerintahan arogan dan keji semacam Bani Umaiyah dan Bani Abbasiyah atas bumi suci Islam, mereka senantiasa memata-matai seluruh kegiatan komunikasi dan kontak yang dilakukan oleh kelompok-kelompok muslimin, sehingga dengan cara ini mereka akan bisa menghancurkan setiap gerakan yang mengarah pada kebebasan dan kemerdekaan.

Tibanya masa pelaksanaan haji merupakan sebuah katup kecil yang mengarah pada kemerdekaan dan merupakan tempat untuk melakukan komunikasi antara kelompok-kelompok masyarakat besar Islam, dan juga merupakan tempat untuk memaparkan persoalan-persoalan politik.

Atas alasan ini, ketika menjelaskan filsafat haji Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. berkata: “Allah telah mensyariatkan haji untuk menguatkan agama Islam”.

Bukanlah tanpa alasan jika salah satu dari pengamat politik asing yang terkenal, dalam statemennya yang penuh makna mengatakan, “Celakalah muslimin apabila mereka tidak mengetahui makna dari ritual haji, dan celakalah para musuh apabila mereka memahami makna ritual haji.”

Dalam riwayat-riwayat Islam yang lain juga ditegaskan bahwa haji adalah sebuah jihad bagi orang-orang yang lemah. Sebuah jihad yang bahkan pria lanjut usia dan wanita renta pun mampu untuk merefleksikan keagungan dan kemegahan umat Islam ini dengan kehadirannya di medan haji, dan mampu untuk menggoncangkan kubu pertahanan para musuh dengan lingkaran barisan shalat yang mengelilingi rumah Allah secara berlapis-lapis, serta dengan teriakan suara yang mengumandangkan kebersatuan dan keagungan Allah swt.

c. Dimensi Kultural Haji

Komunikasi yang dilakukan oleh kelompok-kelompok muslim di musim haji bisa menjadi sebuah faktor yang paling bepengaruh dalam pertukaran budaya dan pikiran. Khususnya, reuni agung yang ada dalam pelaksanaan haji ini merupakan perwakilan hakiki dan alami dari kelompok-kelompok muslim dunia. Karena, dalam pemilihan personil untuk berziarah ke rumah Allah tidak ada sedikit pun faktor pemalsuan yang berpengaruh. Para penziarah Ka’bah dari berbagai kelompok, ras, keturunan, dan dengan bahasa yang mereka pergunakan untuk melakukan percakapan, bangkit dan berkumpul menjadi satu di tempat tersebut.

Oleh karena itu, dalam riwayat Islam kita membaca bahwa salah satu dari manfaat haji adalah penyebaran sunah-sunah Rasulullah saw. ke seluruh penjuru dunia.

Hisyam bin Hakam, salah seorang sahabat Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, “Aku pernah bertanya kepada beliau tentang filsafat haji dan thawaf di sekeliling Ka’bah. Beliau menjawab, ‘Allah telah menciptakan hamba-hamba-Nya ... dan Ia telah memberikan perintah-perintah kepada mereka bagaimana jalan untuk mendapatkan kebaikan agama dan dunia. Dan salah satu cara tersebut adalah dengan menetapkan berkumpulnya manusia dari barat hingga timur (dalam pelaksanaan haji) sehingga manusia bisa saling mengenal antara satu dengan yang lainnya dan masing-masing bisa saling mengetahui keadaan yang lainnya. Setiap kelompok saling menukar modal-modal perdagangan dari kota yang satu ke kota yang lain .... Begitu juga, supaya mereka mengenal sunnah, peninggalan-peninggalan, dan berita-berita dari Rasulullah saw., sehingga masyarakat akan senantiasa mengenang dan tidak melupakannya.’”

Dengan alasan ini pula, pada masa krisis politis -di mana para khalifah dan pemimpin arogan kejam tidak memberikan izin terhadap penyebaran hukum-hukum Islam kepada muslimin- dengan memanfaatkan kesempatan musim haji ini, mereka mampu menyelesaikan kendala-kendala yang mereka hadapi, dan mampu menyibakkan tirai yang telah menutupi wajah-wajah hukum Islam dan sunah Rasulullah saw. dengan melakukan kontak dan komunikasi dengan para imam ma’shum a.s. dan ulama besar Islam.
Dari sisi lain, haji bisa pula diangkat sebagai sebuah pertemuan besar dan konggres kebudayaan untuk mengumpulkan para ilmuwan dan pakar intelektual Islam selama mereka berada di Makkah, sehingga mereka bisa mengutarakan kepada sesamanya apa yang menjadi pikiran dan solusinya.

Pada prinsipnya, salah satu kemalangan besar -di mana dengan adanya perbatasan di antara negara-negara Islam telah menyebabkan munculnya perbedaan budaya di antara mereka- adalah karena kaum muslim dari setiap negara hanya memikirkan keadaan diri mereka sendiri. Tentu saja hal ini akan membuat masyarakat Islam yang tadinya bersatu menjadi sebuah masyarakat yang terkoyak dan bercerai-berai, dan pada akhirnya mereka akan hilang tanpa bekas. Ya! Dengan adanya pelaksanaan haji, kemuraman masa depan—seperti telah digambarkan di atas—akan bisa diantisipasi.

Betapa menarik ucapan Imam Ash-Shadiq a.s. dalam kelanjutan riwayat yang dinukilkan oleh Hisyam bin Hakam tersebut, “Apabila setiap kaum dan bangsa hanya berbicara tentang bangsa dan kaumnya sendiri, dan hanya memikirkan tentang apa problem yang terjadi di dalam dirinya, mereka semua akan berada di ambang kehancuran dan negara-negara mereka akan rusak. Demikian juga, keuntungan-keuntungan yang telah mereka peroleh sebelumnya akan menjadi terhenti dan berita-berita yang benar akan tertutupi oleh tirai kekaburan.”

d. Dimensi Ekonomi Haji

Berbeda dengan apa yang dipersepsikan oleh sebagian orang, memanfaatkan kongres besar haji ini dalam menguatkan pondasi perekonomian Islam bukan hanya tidak bertentangan dengan hakikat haji, bahkan berdasarkan riwayat-riwayat Islam, sisi ini adalah salah satu filsafat haji yang ada.

Apa sulitnya muslimin yang berada dalam pertemuan yang begitu besar ini meletakkan satu pondasi pembentukan sebuah pasar bersama yang islami dan mempersiapkan pusat pertukaran dan perdagangan di antara mereka? Karena perlu diketahui bahwa keuntungan dari transaksi semacam ini tidak akan masuk ke kantong musuh dan tidak pula akan menyebabkan perekonomian mereka bergantung kepada negara asing. Dan ini tidak berart sama penyembahan terhadap dunia, akan tetapi justru sebuah ibadah dan jihad.

Oleh karena itu, dalam riwayat itu pula, selain Hisyam bin Hakam telah mendengarkan penjelasan tentang filsafat haji dari Imam Ash-Shadiq a.s. secara tegas dan jelas, ia juga menangkap sebuah isyarat bahwa salah satu dari tujuan haji adalah untuk memperkuat perdagangan muslimin dan mempermudah hubungan perekonomian di antara mereka.

Dalam sebuah hadis yang lain, ketika menafsirkan ayat, “Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia dari Tuhanmu” (QS. Al-Baqarah [2]: 198), Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, “Maksud dari ayat tersebut adalah usaha untuk mencari rezeki. Ketika manusia telah keluar dari keadaan ihramnya dan menyelesaikan pelaksanaan manasiknya, pada musim itu juga mereka melakukan transaksi jual beli. Dan melakukan hal ini bukan saja tidak berdosa, bahkan malah memiliki pahala.”

Makna dan kandungan yang sama terdapat pula dalam hadis dari Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s. yang menjelaskan filsafat haji secara panjang lebar. Di akhir hadis beliau berkata, “Liyasyhadû manâfi’a lahum (supaya mereka menyaksikan manfaat-manfaat bagi mereka).”

Ucapan terakhir beliau ini (liyasyhadû manâfi'a lahum) selain mengisyaratkan tentang keuntungan maknawiyah, juga mengisyaratkan adanya keuntungan materi di mana keduanya, apabila dilihat dari satu sisi, sama-sama merupakan keuntungan maknawiyah.
Pendek kata, apabila ibadah yang agung ini dimanfaatkan secara benar dan sempurna, dan para peziarah rumah Allah dalam melakukan aktifitasnya di bumi suci ini mempunyai kesiapan kalbu untuk memanfaatkan kesempatan besar ini dalam menyelesaikan berbagai problem yang ada dalam masyarakat Islam dengan membentuk berbagai kongres politik, budaya, dan perekonomian, maka ibadah ini dari setiap segmennya akan mampu menjadi sebuah penuntas masalah. Mungkin dengan dalil ini pulalah Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, “Tidak akan runtuh agama (Islam) selama rumah Ka’bah masih berdiri tegak.”

Demikian juga dalam sebuah hadis, Imam Ali bin Abi Thalib a.s. menegaskan bahwa melupakan rumah Allah berarti mati. Beliau berkata, “Jagalah kedudukan rumah Tuhanmu! Janganlah kamu kosongkan rumah Allah, karena sesungguhnya apabila kamu meninggalkannya, Allah akan menarik kesempatan itu darimu.”

Karena pentingnya hal ini, ketika muslimin pada suatu musim hendak meliburkan haji selama satu tahun saja, wajib bagi pemerintahan Islam untuk mengirimkan mereka ke Makkah dengan cara paksa.

Haji, Ibadah Penting untuk Pembentukan Insan

Perjalanan haji pada hakikatnya merupakan sebuah hijrah besar, sebuah perjalanan Ilahi, sebuah medan yang luas untuk pembentukan dan penyucian jiwa insan, serta sebuah jihad akbar.

Ritual haji pada hakikatnya menunjukkan sebuah ibadah yang telah membaur secara mendalam dengan kenangan-kenangan dari usaha dan perjuangan keras yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. dan putranya Nabi Ismail a.s., serta istrinya Hajar. Apabila kita melalaikan pengkajian atas rahasia-rahasia haji ini, akan begitu banyak hakikat dari ritual haji ini yang berada dalam teka-teki. Ya! Kunci dari teka-teki ini adalah kepedulian pada keberbauran yang mendalam ini.

Pada saat kita mendatangi tempat penyembelihan binatang kurban yang terletak di Mina, kita akan tercengang dan muncul pertanyaan di dalam hati kita, untuk apakah semua binatang kurban yang sedemikian banyak ini? Pada prinsipnya, apakah penyembelihan hewan memang bisa merupakan sebuah cincin dari kumpulan mata rantai sebuah ibadah?

Akan tetapi, ketika kita mengingat kembali peristiwa penyembelihan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim a.s. terhadap anak semata wayang yang paling dicintai dan disayanginya, seorang putra yang merupakan buah pernikahan dari sekian tahun usianya yang harus dikorbankan dan dipersembahkan di jalan Allah, yang kemudian termanifestasi menjadi sebuah sunah dalam bentuk penyembelihan kurban di tanah Mina, maka kita akan memahami filsafat dari amal ini.

Penyembelihan kurban merupakan sebuah rumus bahwa segala sesuatu harus diletakkan pada jalan penghambaan dan pengabdian. Penyembelihan kurban merupakan sebuah manifestasi untuk mengosongkan kalbu manusia dari segala sesuatu selain Allah dan kita akan bisa mengambil manfaat edukasi dari manasik ini dengan cukup ketika kita telah mampu mengukir dan memahat keseluruhan peristiwa penyembelihan Ismail a.s. dan kekuatan spiritual yang dimiliki oleh bapak serta anak ini ketika melakukan penyembelihan dalam pandangan kita, dan pada akhirnya, spiritualitas tersebut pun akan menyorotkan cahayanya ke dalam wujud manusia.

Ketika kita pergi ke Jamarât, yaitu tiga buah tiang yang terbuat dari batu khusus -di mana para haji ketika melakukan ritualnya melempari ketiganya dengan batu dan pada setiap lemparannya, mereka melemparkan tujuh buah batu dengan ritual yang khas- maka teka-teki dari ritualitas ini pun terhampar di hadapan kita yang kemudian memunculkan sebuah pertanyaan, apa kira-kira arti dari melemparkan sekian banyak batu ke arah sebuah tiang batu yang tanpa ruh ini? Dan kira-kira persoalan apakah yang akan bisa terpecahkan dengan ritual semacam ini?

Akan tetapi, apabila kita mengingat kembali bahwa semuanya ini merupakan kenangan dari perlawanan Nabi Ibrahim a.s., sang Pahlawan Tauhid dalam menghadapi godaan setan yang telah menampakkan dirinya sebanyak tiga kali untuk menghalangi langkah beliau dan mempunyai maksud untuk membuat keraguan dan kelemahan dalam menghadapi medan jihad akbar ini, dan setiap kali itu pula Ibrahim sang Pahlawan melemparinya dengan batu supaya setan menjauh darinya, maka kandungan dari ritual ini pun akan menjadi jelas bagi kita.

Arti ritual ini adalah, bahwa kita semua pun sepanjang usia berada di dalam medan jihad akbar yang senantiasa berhadapan dengan bisikan setan. Dan selama kita tidak melemparinya dan tidak memperlihatkan sedikit pun reaksi supaya ia melarikan diri dari kita, kita tidak akan pernah memperoleh, bahkan separuh kemenangan sekalipun.

Apabila Anda memiliki harapan bahwa supaya Allah Yang Agung, Pemilik Segala Kesempurnaan memandang Anda dengan pandangan kasih dan rahmat-Nya sebagaimana Ia menyampaikan salam-Nya kepada Nabi Ibrahim dan mengabadikan ajaran dan kenangannya dalam sunah-sunah agama-Nya, Anda harus melanjutkan garis yang telah ada ini.

Kemudian, pada saat kita menapakkan kaki ke Shafa dan Marwah, dan kita melihat orang-orang secara berkelompok dan berbondong-bondong berjalan dari gunung kecil di sini ke arah gunung yang lebih kecil lagi di bagian sana, kemudian dari sana kembali lagi ke gunung yang ini, dan mereka mengulangi perbuatannya lagi di mana terkadang mereka melakukannya dengan berlari, akan tetapi tak jarang pula melakukannya dengan berjalan tanpa menghasilkan sesuatu pun, tentu saja kita akan terheran-heran; amal apa lagi ini? Dan kira-kira apa arti yang akan diperoleh dari ritual semacam ini?

Akan tetapi, ketika kita mengurut benang sejarah ke belakang, kemudian mengingat kembali kisah jerih payah seorang wanita penuh iman bernama Hajar yang dengan semangat luar biasa mencarikan air di tengah sahara yang kering dan membakar untuk menyelamatkan si buah hatinya, Ismail dari kehausan, dan bagaimana kemudian Allah Swt. mengabulkan seluruh usaha dan jerih payahnya dengan memancarkan dan mengalirkan air Zamzam di bawah telapak kaki Ismail kecil, tiba-tiba kita seakan tersentak, roda zaman berputar ke belakang dan tabir kekaburan tersingkap. Lalu pada saat itu, kita akan melihat posisi diri kita telah berada di samping Hajar, bersama-sama melangkahkan kaki dalam menguras tenaga dan keringat untuk meraih rahmat-Nya. Karena kita mengetahui bahwa perjalanan di jalan Allah tanpa adanya usaha dan kemauan, tidak akan pernah bisa membawa kita ke tempat manapun.
Walhasil, dari segala apa yang telah kami katakan sebelumnya kita bisa mengambil kesimpulan, bahwa haji haruslah diajarkan dengan (menjelaskan) segala rumus dan rahasia yang tersembunyi di baliknya, kemudian mengukir dan memahat seluruh kenangan Nabi Ibrahim a.s., Nabi Ismail a.s. dan Hajar setapak demi setapak, sehingga selain filsafat dari semua kejadian ini bisa dipahami, pengaruh-pengaruh akhlak yang dalam dari haji juga bisa menghujamkan cahayanya di dalam jiwa-jiwa mereka yang melakukannya. Tanpa adanya hakikat-hakikat tersebut, haji berarti hanya dilakukan pada bagian lapisan luarnya saja, tidak lebih dari itu.

Sumber http://www.al-shia.org/html/id/

0 comments:

Posting Komentar