Kamis, 19 Januari 2012

Gender dan Seksualitas (Media yang Ber-Gender)

Pengertian Kesetaraan dan Keadilan Gender:

Kesetaraan gender berarti kondisi yang adil satu tara bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Kesetaraam lebih dalam maknanya dari hanya kesamaan, karena sama belum tentu setara tapi setara sudah pasti didalamnya terkandung unsur posisi yang sama.

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki.

Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki wewenang untuk mengambil keputusan terhadap cara penggunaan dan hasil sumber daya tersebut. Memiliki kontrol berarti memiliki kewenangan penuh untuk mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya. Sehingga memperoleh manfaat yang sama dari pembangunan.

Pengertian Gender dan Seks:

Gender adalah perbedaan dan fungsi peran sosial yang dikonstruksikan oleh masyarakat, serta tanggung jawab laki-laki dan perempuan sehingga gender belum tentu sama di tempat yang berbeda, dan dapat berubah dari waktu ke waktu.

Seksualitas adalah persepsi dari perilaku seksual seseorang yang memunculkan identitas seksualnya.


Gender, Seksualitas dan Media Massa:

Dalam memperjuangankan kesetaraan dan keadilan gender serta hak hak reproduksi LGBTQ, peranan sebuah media masa sangat berpengaruh, terutama dalam membentuk sebuah opini publik. Sebagai contoh, pembubaran konferensi ILGA Surabaya, di mana media massa mengekspolitasi dan memojokkan LGBTQ dengan “penyimpangan” bahkan ada yang menuliskan “pesta seks”. Perhatian publik pun menjadi lebih memperhatikan pada isu penyimpangan dan tidak adanya ijin, bahkan pada hal yang tidak relevan sama sekali. Media dengan semena-mena membela konsep patriaki, dan kelompok fundamentalis yang memakai agama sebagai alasan untuk memperkosa Hak Asasi Manusia. Karena kita hidup dalam budaya yang tidak memungkinkan kita untuk “bergender netral” seperti yang dikatakan oleh feminist Perancis Susan Bordo dalam artikelnya “Feminism, Postmodernism, and Gender Skepticism” (1990), mana ada media yang juga tidak bergender?(1)

Seksualitas LGBTQ selalu menjadi pertanyaan “normal” atau “tidak normal”. Sebuah satus heteroseksual menjadi sebuah standarisasi kesakralan sebuah hubungan sehingga homoseksual menjadi marginalisasi. Dengan konsep ini, bagaimana LGBTQ harus bereaksi? Apa arti keberadaan seseorang itu dibatasi dengan orientasi seksualnya? Dan media massa sering kali gagal dalam menuliskan sebuah berita dari sisi netral. Apa ini karena media massa masih belum kuat betul atau cukup dewasa untuk membebaskan dirinya dari pelukan “diskriminasi gender” tiada akhir?

Secara arogan, media massa, mengaku memiliki hak untuk menentukan apa yang harus dilakukan atau tidak seharusnya dilakukan oleh sebuah pergerakan. Dalam hal ini, media massa telah menjadi tidak lebih sekedar perpanjangan penindasan praktek diskriminasi. Secara sukses mengeksploitasi pergerakan LGBTQ hanya untuk menaikan tingkat penjualan mereka.

Karakterisitik media massa yang manipulatif seringkali juga merugikan komunitas LGBTQ jika kasus-kasus yang diangkat melibatkan komunitas LGBTQ. Dalam kasus Dimas, Solo, di mana media memfokuskan pada berita LESBIAN, dan “penjerumusan” anak di bawah umur, tanpa mempersoalkan sebuah kasus PUJI yang jelas jelas meperkosa anak di bawah umur, media seakan akan menutup mata pada kasus Puji. Saya terpikir untuk lebih seksis, jika Dimas adalah benar seorang lelaki maka kasus ini paling hanya sampai di lingkungan keluarga yang langsung menikahkan mereka, tapi karena ini adalah kasus lesbian maka langsung merebak menarik perhatian nasional.

Dalam ketimpangan relasi gender inilah, dibutuhkan sebuah media yang dapat berfungsi dan berperan sebagai penghubung berita yang berbasis perfektif gender, serta dapat membantu membuat sebuah jaringan komunitas LGBTQ dan dapat memperlihatkan kepada dunia tentang pergerakan LGBTQ di Indonesia. Dan ini yang menjadi tujuan dan sebuah gerakan yang sedang dalam perencanaan HerLounge.

Sebuah ruang bagi LGBTQ untuk tumbuh dewasa dan berpikir lebih rasional dengan kesadaran, sebuah ruang di mana LGBTQ dapat belajar memahami pengalaman yang berbeda-beda dan personal, tanpa adanya dominasi dan diskriminasi sehingga timbul adanya penghargaan maupun pengakuan yang seharusnya didapat oleh semua LGBTQ.

Media massa, sebagai penerus aspirasi masyarakat, jika tidak diskriminatif gender, sebetulnya adalah alat yang bisa diandalkan bagi komunitas LGBTQ untuk menyuarakan kepentingan mereka. Apalagi di era reformasi sekarang ini, di mana media massa mempunyai akses bebas terhadap sumber-sumber berita dan kebebasan mengemukakan gagasannya.

Harapannya adalah, jika isu yang sama muncul kembali, semoga saja ada lebih banyak suara yang mendukung, atau setidaknya empati terhadap LGBTQ.

Semoga tulisan ini tidak terlalu skeptis dan pesimis dengan menanyakan satu pertanyaan
akhir yang belum juga terjawab, yaitu jika “medianya” saja sudah tidak sensitif gender, apakah mungkin “pesannya” menjadi lebih adil terhadap LGBTQ? Dan satu lagi, bukankah Hari Kemerdekaan intinya memperingati semua orang, bukan hanya yang heteroseksual saja?

Catatan Kaki:
(1) Susan Bordo, “Feminism, Postmodernism, and Gender Skepticism”, dalam Feminism/Postmodernism, Linda J. Nicholson (Ed.), (London: Routledge, Chapman & Hall, Inc., 1990) (sumber)

0 comments:

Posting Komentar