Sejarah Berdirinya
Bani Umayah adalah salah satu kabilah suku Quraisy. Kabilah ini sangat besar dan memgang peranan penting dalam kekuasaan politik dan ekonomi bangsa Arab. Sebenarnya Bani Umayah masih ada hubungan darah dengan Bani Hasyim, dimana Nabi Muhammad saw berada di dalamnya. Meraka sama-sama keturunan Abdi Manaf. Tetapi kedua kabilah ini selalu besaing untuk berebut pengaruh dan kehormatan dari masyarakat kota Makkah. Di dalam peersaingannya Umayah selalu pada pihak yang unggul, karena didukung oleh kemampuan memimpin dan kekayaan yang cukup, dan juga keturunan yang banyak. Sehingga mereka selalu berpotensi menjadi pemimpin masyarakat Makkah. Pada masa puncak kepemimpinannya, kabilah ini selalu berhadapan dengan dawah Nabi Muhammad saw. Mereka yang paling gigih menolak dan menghalangi da’wah Nabi Muhammad saw, yang saat itu dipimpin oleh Abu Sufyan bin Harb bin Umayah.
Abu Sufyan ini baru memeluk Islam dan tunduk kepada Nabi Muhammad saat Fathu Makkah. Meskipun begitu Nabi Muhammad sw tetap memerankan Abu Sufyan sebagai pemimpin Makkah. Pada saat itu ketika seluruh penduduk Makkah merasa ketakutan, Nabi Muhammad berkata, bahwa barang siapa yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka ia akan selamat. Artinya bahwa keberadaan Abu sufyan adalah tetap pemimpin Makkah, meskiun ia tunduk kepada kepemimpinan Nabi Muhammad saw. Pada masa kepemimpinan Rasulullah dan Khulafaur Rasyidin, Bani Umayah tidak lagi sebagai pempimpin bangsa Arab. Pada saat itu kepemimpinan Islam dan bangsa Arab, tidak memperhatikan asal-usul kabilah dan kesukuan. Proses rekrutmen pempimpin didasarkan pada kemampuan dan kecakapan.
Meskipun Utsman bin Affan adalah dari keluarga Bani Umayah, tetapi ia tidak pernah mengatasnamakan diri sebagai Bani Umayah. Begitu juga Mu’awiyah bin Abi Sufyan diangkat oleh Umar bin Khattab sebagai gubenur Siriya adalah kerena kecakapannya. Ambisi Bani Umayah untuk memimpin kembali muncul ketika mereka sudah mempunyai kekuatan besar. Dengan berbagai upaya, mereka menyusun kekuatan dan merebut kekhalifahan umat Islam. Usaha ini akhirnya berhasil setelah Hasan bin Ali mengundurkan diri dari jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkannya kepada Mu’awiyah bin Abi Sufyan, yang dikenal dengan istilah Amul Jamaah.

Daulah Bani Umayah berdiri pada tahun 41H / 661 M. didirikan oleh Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Ia adalah gubernur Syam pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan. Selama ia menjabat gebernur, ia telah membentuk kekuatan militer yang dapat memperkuat posisinya di masa-masa mendatang. Ia tidak segan-segan menghamburkan harta kekayaan untuk merekrut tentara bayaran yang mayoritas adalah kelurganya sendiri. Bahkan pada masa Umar bin Khattab, ia mengusulkan untuk mendirikan angkatan laut, tetapi Umar menolaknya. Dan angkatan lautnya berhasil didirikan ketika masa pemerintahan Utsman bin Affan.
Ketika masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Mu’awiyah diberhentikan, dan digantikan oleh Sahal bin Hunaif. Pemecatan Ali atas Mu’awiyah ini didasarkan pada pengamatan beliau, bahwa pada hakikatnya penyebab kekacauan dan pemberontakan adalah akibat ulah Mu’awiyah dan para gubenur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahan. Bahkan peristiwa terbunuhnya Utsman bin Affan adalah akibat kelalaian mereka. Mereka tidak berbuat banyak, ketika keadaan Madinah sangat genting, padahal mereka mempunyai pasukan yang kuat.
Mu’awiyah dan penduduk syam tidak puas dengan pemecatan ini, dan menolaknya. Ia mengembalikan utusan khalifah dengan mengirimkan surat penolakan melalui kurir yang sekaliguis kurir tersebut mempropagandakan pembangakangan terhadap Khalifah Ali. Mereka menuntut Ali bin Abi Thalib untuk mengungkap dan menyelesaikan masalah pembunuhan Utsman bin Affan. Apabila Ali tidak bisa mengungkapnya, maka Ali dianggap bersekongkol dengan pemberontak dan melindungi pembunuh Utsman. Propaganda mereka diperkuat dengan membawa jubah Utsman yang berluuran darah dan potongan jari istri Utsman yang putus akibat melindungi suaminya dari usaha pembunuhan.
Mu’awiyah berhasil mempengaruhi massa yang kemudian mereka berpendapat bahwa Ali tidak mampu menyelesaikan kasus terbunuhnya Utsman bin Affan. Mereka menganggap bahwa Ali ikut terlibat dalam pemberontakan untuk mengguligkan Khalifah Utsman bin Affan. Mu’awiyah kemudian mengumpulkan pendunkungnya dan mempersiapkan diri untuk memerangi Ali bin Abi Thalib. Ia berhasil menarik simpati penduduk Syria, dan merekrut tokoh-tokoh seperti Amr bin Ash dengan tawaran jabatan yang strategis.
Melihat kondisi ini Khalifah Ali bin Abi Thalib mengirim utusan Jarir bin Abdullah ke Damaskus untuk memperingatkan Mu’awiyah, dan ancaman Khalifah akan mengirim pasukan untuk menggempur Mu’awiyah bila tetap membangkang. Akan tetapi Mu’awiyah malah mengkonsolidasikan pasukannya dan berinat memerangi Ali bin Abi Thalib. Mereka berpendapat tidak akan melakukan baiat sebelum Ali berhasil menuntaskan kasus pembunuhan terhadap Utsman. Bila tidak, maka bukan baiat yang terjadi melainkan perang.
Setelah Khalifah Ali mendengarkan informasi yang dibawa oleh Jarir sekembalinya menghadap Khalifah, maka menurut Ali tidak ada pilihan lain kecuali memberangkatkan pasukan untuk memerangi Mu’awiyah gubernur Syam yang membangkang. Kedua pasukan ini bertemu di lembah sungai Eufrat yang bernama Shiffin. Di tempat inilah kedua pasukan berperang dan saling bersuaha mengalahkan lawan masing-masing. Dan karena nama tempat inilah, sehingga perang antara pasukan Ali bin Abi Thalib dan pasukan Mu’awiyah bin Abi Sufyan dikenal dengan nama perang Shiffin.
Menghadapi situasi begini Amr bin Ash dari pasukan Mu’awiyah mengusulkan perdamaian dengan mengangkat AlQur’an di ujung tombak, yang menandakan bahwa Al Qur’an akan dijadikan tahkim untuk menyelesaikan masalah ini. Pasukan Mu’awiyah menyetujui dan bermaksud menghentikan peperangan. Sementara Ali bin Abi Thalib menganggap bahwa yang demikian ini hanya tipu muslihat, karena mereka sudah mengalami kekalahan.Ali bin Abi Thalib meyerukan untuk terus melanjutkan peperangan sampai dapat mengalahkan Mu’awiyah. Akan tetapi sebagian pasukan Ali mulai mengehtikan peperangan, mereka ingin perselisihan ini diselesaikan lewat perdamaian dengan Al Qur’an sebagai tahkimnya. Dan sebagian yang lain tetap ingin melanjutkan peperangan, sebab kemenangan sudah ada dipihaknya dan mereka menganggap upaya Amru bin Ash itu hanya tipu muslihat. Melihat perpecahan pasukannya ini dan desakan untuk menyelenggarakan tahkim, akhirnya Ali terpaksa menghentikan peperangan dan mengadakan tahkim.
Pertemuan untuk menyelesaikan krisis antara Ali dan Mu’awiyah dilaksanakan di suatu tempat di selatan Syria yang disebut dengan Daumatul Jandal. Pihak Ali diwakili oleh Abu Musa Al Asy’ari seorang sahabat besar yang alim dan taqwa, tetapi ia bukan politisi, dan tidak memiliki kekuatan dalam beragumentasi dan berdiplomasi. Sedangkan pihak Mu’awiyah diwakili oleh Amru bin Ash seorang politisi yang licin, ahli strategi, dan mempunyai kemampuan diploimasi yang sangat kuat. Kemudian masing-masing pihak mengirimkan utusan sebagai saksi 400 orang.
Di dalam perundingan kedua utusan sepakat, bahwa pangkal persoalan yang tengah melanda umat Islam adalah soal pemimpin, oleh sebab itu cara yang terbaik adalah menurunkan kedua pemimpin itu dan membentuk lembaga Syuro untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin umat Islam. Kesepakatan ini kemudian dinyatakan bersama-sama di muka umum. Untuk yang pertama Abu Musa Al Asy’ari menyampaikan, bahwa untuk mengembalikan suasana kedamaian, maka Ali bin Abi Thalib diminta turun dari jabatannya sebagai khalifah dan menyerahkannya kepada lembaga syura yang akan memilih khalifah. Begitu juga Mu’awiyah diminta untuk meletakkan jabatannya agar suasana menjadi aman dan damai. Tetapi ketika giliran Amru Bin Ash menyampaikan, ia meminta agar Ali bin Abi Thalib mengundurkan diri dari khalifah, sementara Mu’awiyah tidak perlu mengundurkan diri, karena ia hanya sebgai gubernur bukan khalifah.
Pernyataan ini ditolak oleh Ali bin Abi Thalib, karena dianggap tidak adil dan merugikan pihaknya. Para pengikut Ali menyadari bahwa perundingan itu hanyalah tipu daya amr bi Ash saja. Mereka banyak yang kecewa dari pelaksanaan tahkim itu. Mereka menuntut keadilan, dan meminta pertanggungjawaban orang-orang yang terlibat dalam tahkim. Orang-orang yang kecewa ini akhirnya menyatakan diri sebagai oposisi dan keluar dari barisan Khalifah, yang di dalam sejarah Islam mereka disebut dengan kaum Khawarij, artinya oang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian pasukan Khalifah menjadi terpecah dan lemah, sehingga tidak mampu lagi mengalahkan pasukan Mu’awiyah.
Orang-orang yang kecewa ini akhirnya menyatakan diri sebagai oposisi dan keluar dari barisan Khalifah, yang di dalam sejarah Islam mereka disebut dengan kaum Khawarij, artinya oang yang keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib.(Sumber)
0 comments:
Posting Komentar