Sabtu, 12 April 2014

Sepenggal Kisah Kebangkitan Islam

Islam bangkit ketika Roma runtuh. 
Ilustrasi
Pada tahun-tahun pertama abad ketujuh Masehi, jalan terbuka lebar bagi Islam untuk menaklukan dunia. Para sejarawan memiliki banyak laporan autopsi untuk menjelaskan bangkit dan jatuhnya Kekaisaran Romawi. Tapi, tak ada penjelasan yang lebih kuat daripada bencana kekalahan terhormat dari Iran. Romawi Greko-Latin dan Iran Persia merupakan dua kerajaan yang saling sebangun dalam hal ekspansi militer, penerapan hukum, pencapaian budaya, pembangunan jalan, dan kehebatan arsitektur mereka. Mereka laksana aliran sistole-diastole dari kompetisi abad ketujuh dalam hal persenjataan, kelembagaan, dan kebudayaan. Orang tak bisa mengapresiasi naiknya Islam ke panggung kekuasaan tanpa menelusuri kematian tak terhindarkan dari dua kekuatan besar ini. Perdamaian antara Romawi dan Iran merupakan interupsi alih-alih keadaan normal. Kadang-kadang, lantaran butuh, terjadi perdagangan di antara mereka. Iran memblokir jalur darat ke Asia. Romawi adalah penguasa di Mediterania. 

Orang Romawi dan masyarakat kelas atas Iran terlalu sibuk berperang di antara mereka sendiri dan mengonsolidasikan wilayah-wilayah taklukan hingga tak punya banyak perhatian satu sama lain sampai satu setengah abad sebelum kelahiran mesias Kristen. Setelah mengakar di sisi Afrika Mediterania, Kota Romawi menderap dengan sepatu bot tentara ke dalam Asia Kecil dan meraih status kekaisaran dunia. Sekitar 50 tahun kemudian, pasukan garda depan kekaisaran Iran yang relatif baru bertemu dengan pasukan Romawi yang merangsek ke Mesopotamia dari tempat mereka berpijak di Afrika Utara. Orang Latin dan Iran belum pernah terlibat dalam pertempuran besar sebelum kontak pertama di Mesopotamia. Pada 96 SM, kedua kekuasaan secara formal telah sepakat menjadikan Sungai Eufrat perbatasan bersama mereka. Sementara itu, para jenderal Romawi mengklaim mendapat dukungan senat saat mereka membagi-bagi Cleopatra, Mesir, Palestina, dan Suriah di antara mereka sendiri. Perang Romawi-Iran pertama akhirnya dimulai 43 tahun kemudian, tepat sebelum Julius Caesar dan Pompey menjerumuskan Republik Romawi dalam perang saudara dan autokrasi berdasarkan keturunan. Sekitar 250 tahun kemudian, Kekaisaran Romawi dan Kekaisaran Iran masih seperti itu. Meski, kadang terjadi perdamaian dan perang dengan bangsa lain yang mengalihkan perhatian mereka. Dalam tarik ulur penaklukan dan kekalahan yang hampir tak terputus selama abad kedua Masehi itu, kavaleri Parthia menyerang Armenia Romawi. Marcus Aurelius mengirimkan legiun untuk mengalahkan pasukan kuda berjubah baja pada 164 M untuk mencaplok Ctesiphon, ibu kota Iran yang megah sekitar 25 mil sebelah utara tempat berdirinya Baghdad kini. Sekitar 30 tahun kemudian, shahanshah Iran yang lain Artabanus gagal mengusir Romawi dari Mesopotamia. Proporsi kekalahannya amat memalukan, sehingga menyebabkan jatuhnya dinasti Parthian. Dengan besarnya jumlah emas dan perak yang dilucuti dari musuhnya, Romawi mampu menunda krisis ekonomi akibat defisit perdagangan parah selama tiga dekade. Shahanshah Parthia terakhir dilenyapkan setelah dinasti mengalami pergantian 43 kerajaan selama hampir 400 tahun. Kemudian, pada abad ketiga Kristen, penguasa baru Sassania Iran mengguncang Kekaisaran Romawi-Latin yang fondasinya sudah melemah. Kavaleri lapis baja dan infanteri berdisiplin baik milik Persia mungkin merupakan mesin militer terbaik di dunia. 

Dalam rangkaian serangan yang tangkas, pasukan Shapur I mempermalukan tiga kaisar Romawi-Latin dan pasukan-pasukan mereka. Sebanyak 70 ribu legiuner yang tertangkap dipekerjakan di seluruh kekaisarannya untuk membangun jalan, menggali kanal, dan mendirikan Kota Veh-Andiokh-Shabur, tempat lahirnya produksi budaya dan ilmiah Sassania masa depan. Tapi, bukan hanya dua kaisarnya dikalahkan dan dipenggal, kaisarnya yang ketiga, Publius Licinius Valerian, bahkan ditangkap dekat Edessa di Turki Tenggara. Bagi seorang kaisar, ditangkap hidup-hidup dalam pertempuran oleh musuh asing merupakan penghinaan. Seratus tahun setelah Shapur mempermalukan Roma, kaisar yang dikenal sebagai Julian Pemurtad akan menyerukan kepada legiuner-nya, dalam kebencian sepenuh hati akan kesombongan Persia. Tapi, sebelum bisa menghadapi orang Sassania secara efektif, kerajaan itu sangat membutuhkan reformasi politik dan stabilitas ekonomi. Pada awalnya, mereka lambat untuk pulih dari keterpurukan ke dalam anarkistis, anjloknya mata uang, dan perang saudara antara apa yang disebut kaisar-kaisar barak. Negara Romawi bahkan mengalami perombakan radikal. Kekuasaan autokratis yang ditanamkan di tangan para kaisar membuat moto yang disakralkan senat dan rakyat Roma. Kerajaan menetapkan kebijakan harga tetap dan membekukan profesi komersial dan birokrasi kunci selama-lamanya untuk keturunannya sendiri. Sebuah sistem perpajakan penyitaan untuk menyubsidi birokrasi yang besar mengalihkan sisa harta kekayaan rakyat biasa dan prajurit ke jajaran tinggi kelas bangsawan dan kelompok mapan militer. Kekuatan militer kekaisaran yang sudah besar itu tumbuh dari 30 legiun yang terdiri atas 300 ribu infanteri menjadi total 435 ribu tentara. Para inovator besar kekaisaran bahkan mencabut perdamaian 30 tahun dengan Iran. Meskipun ekonomi pasar dan basis pertanian melemah secara gawat Romawi abad ketiga berhasil bertahan dari sekitar 60 tahun tantangan Iran, bahkan ketika suku-suku Jerman berulang kali mencabik pertahanan Rhine dan Danube. Oleh: Ani Nursalikah 
 sumber
»»  READMORE...

Inilah Orang yang Paling Menderita Dunia dan Akhirat

 Pengetahuan tentang akhirat (ilustrasi).
Orang ikhlas adalah orang yang paling berbahagia hidupnya, adapun orang yang riya (beramal soleh agar dilihat oleh orang lain) adalah orang yang paling menderita. Orang yang ikhlas cukup Allah saja
lah yang tau amalannya tanpa sibuk untuk mendengar puja dan puji orang lain, adapun orang riya sibuk dengan komentar orang lain karena tanpa komentar, orang-orang riya ini sepertinya tak bisa hidup, sedih dan menderita Orang yang sibuk dengan komentar Allah dengan dirinya adalah orang yang ikhlas, adapun orang yang sibuk dengan komentar orang lain adalah orang yang riya. Penderitaan orang yang riya tidak hanya di dunia, akan tetapi di akherat mereka juga akan menjadi golongan yang pertama kali di sidang dan di adzab oleh Allah ta’ala sesuai dengan hadist Rasulullah, mereka itu dari golongan mujahid, ilmuan dan penderma • Seorang mujahid yang ingin di panggil seorang syahid dan pemberani... • Seorang yang ahli Qur’an yang ingin di panggil pribadi yang soleh, berilmu ataupun qori... · Seorang penderma yang ingin dipanggil orang yang begitu dermawan... Begitu agungnya niat dalam ajaran Islam, sampai-sampai baik dan buruknya amal perbuatan di nilai dari tulus dan tidaknya niat seseorang, suatu perbuatan yang di niatkan semata-mata karena Allah ta’ala jelas akan berbuah pahala sebagai penambah timbangan kebaikan kelak di akherat. 

 Begitu tidak mudahnya menjaga niat, sampai-sampai ini bisa menjadi penyebab di giringnya seseorang ke dalam api neraka, sedikit saja kita salah dalam menempatkan niat, maka akan berakibat fatal, kalaupun tidak di dunia, di akherat itu adalah kepastian balasannya. Sifat riya akan terbantahkan di pengadilan Allah ta’ala, karena niat mereka yang melenceng dari jalurnya ketika hidup di dunia. Hampir saja kita tergelincir..... Hampir saja kita di giring ke api neraka.... Hampir saja kita salah dalam berniat..... Hampir saja....... Syeikh Al Islam Ibnu taimiyyah yang dirahmati Allah ta’ala mengatakan tentang bahaya riya sebagai sebuah syahwat khofiyah (nafsu yang ringan). Oleh karenanya orang yang riya selalu ingin memuaskan syahwatnya dengan pujian dan komentar manusia. Sama halnya saat seseorang lapar tentu punya syahwat untuk makan, lelaki punya syahwat kepada wanita yang cantik jelita dan begitulah keadaan jiwa orang yang ria selalu mempunyai syahwat dengan komentar-komentar orang lain tentang dirinya yang sebenarnya akan membuat mereka menderita di dunia dan di akherat. Makanya mereka rela mati, bersusah payah mencari ilmu dan menghabiskan waktunya untuk menumpuk harta akan tetapi niatnya untuk mendapat pujian. Ma’adzallah.
»»  READMORE...

Kamis, 07 Maret 2013

Kisah Pernikahan Agung Sayyidah Khadijah RA dan Sayyidah Fathimah RA

“Cinta Ini Allah Karuniakan kepadaku...”

www.majalah-alkisah.comJika soal harta, Muhammad tak punya apa-apa. Karena harta bakal lenyap dan pasti kembali ke Pemiliknya. Namun ia punya perasaan suka kepada Khadijah, sebagaimana Khadijah juga memiliki perasaan yang sama kepadanya.

Keberkahan menikah. Itulah manifestasi akhir ketika seseorang merajut tali kasih dalam mahligai rumah tangga. Maka tidak ada satu pun contoh yang paling berkesan, mengharu biru, dan menjadi keteladanan bagi setiap muslim, selain kisah pernikahan Sayyidah Khadijah dan putrinya, Sayyidah Fathi­mah. Pernikahan keduanya dengan pria idaman mereka masing-masing telah me­lahirkan satu ikatan yang kuat yang ber­puncak pada keridhaan atas kehendak Allah SWT. Maka keridhaan itu berbalas kasih sayang Allah yang luar biasa se­panjang pernikahan kedua tokoh ini.

Sayyidah Khadijah dan Sayyidah Fathimah adalah sosok seorang istri dan ibu yang patut diteladani pada berbagai sisi. Sayyidah Khadijah adalah contoh bagi kaum wanita karier, sedangkan Sayyidah Fathimah adalah contoh bagi anak perempuan yang berbakti kepada orangtua.

Dalam semaian ruhaniyah dan didik­an mental Rasulullah SAW, keduanya men­­jadi sosok utama dalam sejarah kaum muslimah. Keduanya juga menjadi ibu ahlul bayt yang dibanggakan dan me­megang peran yang sentral lagi strategis bagi kaum wanita.

Bagaimanakah sesungguhnya kedua sayyidah nisa‘ al-’alamin (pemuka wanita di seluruh jagat) ini menjalani mahligai rumah tangganya? Itu dapat dilihat dari kisah pernikahannya.

Pernikahan Sayyidah Khadijah RA 

Khadijah dijuluki Ath-Thahirah (Wani­ta yang Suci), di masa Jahiliyyah maupun Islam, karena ia begitu menjaga kehor­matannya sebagai wanita. Dalam sirah karya At-Taimi, ia dijuluki Sayyidah Nisa‘ Quraisy (Pemuka Kaum Wanita Quraisy).

Khadijah, sebagaimana diriwayatkan Ibn Al-Atsir dan Ibn Hisyam, adalah se­orang wanita pengusaha yang memiliki kedudukan mulia di masyarakatnya dan juga memiliki harta yang banyak. Dalam menjalankan usahanya, ia mengupah ba­nyak laki-laki, terutama untuk mengurus perniagaannya ke berbagai wilayah.

Khadijah adalah seorang janda yang pernah menikah dua kali. Suami pertama­nya bernama ‘Atiq bin ‘Aidz At-Tamimi. Se­telah wafatnya sang suami, ia menikah dengan Abu Halah Hindun bin Zararah At-Tamimi. Dari kedua pernikahannya ini, Khadijah beroleh anak, namun sayang anak-anaknya tidak berumur panjang.

Tampaklah, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid RA adalah seorang wanita yang telah banyak merasakan manis ge­tirnya berumah tangga. Ia pernah diting­gal mati anak dan suami, namun perjalan­an hidup itu makin membuatnya semakin ku­kuh dan memilih Muhammad SAW se­bagai nakhoda di bahtera kehidupan rumah tangga terakhirnya.

Awal perjumpaannya dengan pe­muda Muhammad tidak terlepas dari pe­ran beberapa orang yang menyambung­kan kisah kasih keduanya.

Dalam buku berjudul Hayah Muham­mad, karya pujangga Mesir kenamaan, Muhammad Husain Haikal, dikisahkan, Abu Thalib adalah paman yang sangat menyayangi Muhammad. Ia menjaga dan merawatnya penuh kasih sayang, seperti kasihnya kepada putra-putrinya yang lain.

Akan tetapi kemiskinan dan banyak anak, sedikit banyaknya, menyulitkan Abu Thalib dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Untuk membantu menopang keadaan ekonomi, Abu Thalib menawarkan Muhammad untuk bekerja kepada Khadijah Binti Khuwailid, yang memiliki usaha cukup sukses dan maju. Apa­lagi ia tahu sekali, kemenakannya ada­lah seorang pemuda yang cekatan, jujur, dan mau berusaha keras.

“Anakku, aku bukan orang yang ber­ada. Keadaan makin menekan kita. Aku dengar, Khadijah binti Khuwailid mengu­pah orang dengan dua ekor anak unta un­tuk menjualkan barang dagangannya. Maukah kau kuajukan kepadanya seba­gai karyawannya. Tentunya, aku akan meminta lebih dari itu, karena mereka pun tahu siapa engkau, putraku....”

“Terserah Paman, aku ikuti saja,” kata Muhammad.

Abu Thalib pun mendatangi Khadijah. Ia tawarkan kemenakannya untuk diper­bantukan di usaha Khadijah, namun ia meminta lebih sebagai upahnya. Sebab Muhammad sudah cukup dikenal oleh Khadijah sebagai pemuda yang rajin dan jujur.

“Bahkan kalau permintaanmu itu buat orang jauh dan tidak kusukai, aku kabul­kan. Apalagi ini orang dekat dan kusukai, lebih dari itu pun aku bersedia mengu­pah­nya,” jawab Khadijah kepada Abu Tha­lib, yang sudah sangat mengenal re­putasi Abu Thalib.

Gayung pun bersambut. Betapa suka citanya Abu Thalib dengan kabar ini, se­hingga ia segera pulang untuk mengabar­kannya kepada kemenakannya itu.

“Wahai Muhammad, ini adalah rizqi yang dilimpahkan Tuhan kepadamu,” kata pamannya penuh kegirangan. Ter­bayang olehnya, beban ekonomi keluar­ga akan sedikit ringan, berkat diterimanya Muhammad bekerja pada Khadijah.

Muhammad juga menerima dengan senang hati.

Singkat cerita, Muhammad pun men­jadi tenaga penjual ke Syam dan seke­liling Makkah bagi usaha Khadijah, yang disukai pembeli dan tentunya sang empu­nya dagangan, Khadijah.

Dengan kejujuran dan kemampuan­nya, ternyata Muhammad mampu mem­perdagangkan barang-barang Khadijah dengan lebih banyak keuntungan dari­pada yang dilakukan orang sebelumnya. Sifatnya yang bijak, tutur kata yang ma­nis, dan pembawaannya yang penuh ke­san, segera menarik sikap penghormatan dan kekaguman Maisarah, rekan dalam kafilah dagang.

Selain itu, sejumlah keajaiban spiritual yang disaksikan Maisarah selama perja­lanan ke Syam juga diceritakan kepada Khadijah. Di antara keajaiban spiritual ter­sebut adalah pernyataan seorang rahib bernama Buhaira‘, tentang tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad, yang sa­ngat cocok dan tepat dengan nubuwwat yang terdapat di Taurat dan Injil. Keajaib­an lainnya adalah perjalanan mereka ber­dua, Muhammad dan Maisarah, yang ja­raknya jauh tapi menjadi terasa dekat. Juga adanya awan yang berjalan me­naungi perjalanan mereka dari terik ma­tahari.

Dalam waktu singkat saja kegem­bira­an Khadijah berubah menjadi rasa cinta. Sehingga ia, yang sudah berkepala em­pat dan sebelum itu selalu menolak la­maran pemuka-pemuka dan pembesar-pem­besar Quraisy, jatuh cinta kepada Muhammad.

Ketika Khadijah dirundung musibah, sang ayah tercinta meninggal dunia, Wa­raqah bin Naufal, anak pamannya, datang melipur laranya. Waraqah, seorang yang alim, menjelaskan bahwa dunia ini bukan akhir segalanya, akan ada hari berbangkit ketika Allah memberikan pahala atau hukuman, menurut amal masing-masing umat. Dan ayah Khadijah, menurut Wa­raqah, termasuk orang yang beruntung, sebab ia orang baik-baik.

”Kenapa kau tidak sampaikan hal ini kepada orang-orang, agar mereka tidak lagi menyembah berhala-berhala dan ha­nya berharap kepada Allah?” kata Kha­dijah setelah merasa terhibur.
“Ini bukan tugasku. Seorang nabi akhir zaman sudah waktunya muncul, sebagaimana yang ditunjukkan kitab-kitab suci yang kami baca. Dia-lah yang kelak akan menyampaikan petunjuk ini,” kata Waraqah.

Sayyidah Khadijah lalu teringat pada cerita Maisarah tentang Muhammad SAW dan menceritakannya kembali ke­pada Waraqah.

“Jika ini memang benar, wahai Kha­dijah, Muhammad adalah nabi umat ini,” Waraqah meyakinkan.
Sayyidah Khadijah pun merasa te­nang. Dalam hatinya muncul sebuah ha­rapan yang tidak bisa dibendung. Ya, cintanya kepada Muhammad, sosok yang pintar, rajin, dan shalih.
Khadijah pun mencurahkan isi hati­nya ini kepada seorang saudaranya, me­nurut riwayat yang lain sahabatnya, yang bernama Nufaisah binti Munyah.
Curahan hati itu pun disampaikan Nu­faisah kepada Muhammad.
Nufaisah berkata, “Mengapa kau be­lum menikah?”

Muhammad menjawab, “Aku tidak punya apa-apa untuk bekal persiapan menikah.”
“Kalau itu disediakan, dan yang mau melamarmu seorang wanita yang cantik, berharta, terhormat, dan memenuhi syarat, tidakkah kau terima?”
“Siapa dia?”
“Khadijah.”
“Dengan cara bagaimana?” Muham­mad  menghela napas.
Sebenarnya ia sendiri berkenan de­ngan Khadijah, sekalipun hati kecilnya belum memikirkan pernikahan. Apalagi jika mengingat bahwa lamaran para pem­besar saja ditolak Khadijah, sedangkan ia hanya pemuda sederhana.
“Serahkan itu semua kepadaku,” ujar Nufaisah menyemangatinya.
Maka Muhammad pun mengangguk, menyatakan persetujuannya.
Tak lama kemudian, Khadijah membi­carakan niatnya itu kepada paman-pa­mannya, karena ayahnya sudah tiada, ter­masuk menentukan waktu bagi keluar­ga besarnya untuk dapat menghadiri pernikahan paling indah ini.
Di sisi lain, Muhammad pun mengu­ta­rakan berita ini kepada sanak keluar­ganya, terutama paman-pamannya, dan mendapat dukungan.
“Tak akan Lari Hidungnya”
Tatkala pernikahan ini akan dilang­sungkan, Muhammad diiringi pamannya, Hamzah bin Abdul Muththallib, yang me­minangkan Khadijah bagi Muhammad. Sedangkan pamannya yang lain, Abu Thalib, menyampaikan khutbah pinang­an.

Dalam khutbahnya Abu Thalib ber­kata, “Sesungguhnya Muhammad putra­ku ini tidak bisa ditimbang-timbang de­ngan seorang pemuda Quraisy mana pun. Namun yang nyata pada dirinya adalah bahwa ia seorang pemuda yang mulia, utama, dan cerdas. Jika tentang harta, ia tak punya apa-apa. Karena harta adalah payung bagi orang yang cepat lenyap (maksudnya bakal mati) dan aib yang bakal kembali (ke sisi Tuhan). Na­mun ia punya rasa suka kepada Khadijah, sebagaimana Khadijah juga memiliki perasaan yang sama kepadanya....”

‘Amr bin Asad, wali dari Khadijah, menjawab dengan syair yang singkat, “Hewan jantan tak akan lari hidungnya....” Maksud syairnya ini, orang yang memiliki kemuliaan, seperti dia dan keluarga besar Khadijah, tak akan lari dari pinangan keluarga Muhammad.
Acara ramah tamah yang serba sing­kat dan sederhana itu pun  kemudian di­lanjutkan dengan akad nikah.

Pernikahan Khadijah dengan Mu­ham­mad dihadiri paman Khadijah, ‘Amr bin Asad, selaku wakil keluarga, yang menjadi wali dalam pernikahan itu, dan keluarga Muhammad, di antaranya pa­man-pamannya, seperti Hamzah, Abi Thalib, dan lain-lain.
Dengan 20 ekor unta muda sebagai mas kawin, Muhammad melangsungkan pernikahannya dengan Khadijah.

Acara walimah pun digelar, makanan di­hidangkan, pintu rumah Sayyidah Kha­dijah dibuka lebar-lebar untuk menjamu kerabat, sahabat, dan fakir miskin. Pem­besar-pembesar suku turut hadir meng­ucapkan selamat.

Pernikahan ini dilangsungkan setelah dua bulan 15 hari dari pulangnya Muham­mad dari Syam. Sayyidah Khadijah pada saat itu berusia 40 tahun, sedangkan Mu­hammad berusia 25 tahun.
Setelah pernikahan itu, Muhammad pun turut serta menempati kediaman Kha­dijah, sebagai pasangan yang me­mulai babak baru kehidupan sebagai se­pasang suami-istri.
Muhammad bukanlah seperti anak muda kebanyakan. Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak terkendalikan, juga tidak mengenal cinta buta seperti nyala api yang bergelora untuk kemudian padam.

Dari perpaduan pasangan yang se­rasi ini, lahirlah putra dan putri sebanyak enam orang anak. Dua di antaranya laki-laki, yakni Al-Qasim dan anak paling bungsu, Abdullah Ath-Thahir Ath-Thay­yib, yang wafat saat berusia belia. Se­dangkan empat anak lainnya, yaitu Zai­nab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan putri paling bungsu, Fathimah, ber­umur pan­jang hingga berumah tangga.
Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, dalam kitabnya Fiqh as-Sirah, mengutarakan, kisah pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Sayyidah Khadijah RA adalah sebuah kisah cinta yang sempurna.

Umumnya seorang lelaki muda yang baru berumah tangga punya hasrat kepada kepuasan seksual, kenikmatan ragawi, bersenang-senang dengan si istri. Namun Muhammad bukan tipe semacam itu.

Kesenangannya kepada sosok Kha­dijah lebih dari itu. Kecintaannya melebihi hasrat jasmani yang bergelora sebagai lelaki muda. Maka cukuplah tersingkap bagi kita, umatnya yang menaruh perhati­an pada kisah kasih beliau, bahwa kese­nangan yang didapatinya dari Khadijah lantaran kelembutannya, kemuliaannya, dan keagungannya di kalangan masya­rakat, yang membuat Khadijah dijuluki masyarakatnya sebagai “Wanita yang Matang yang Memiliki Kehormatan Diri dan Kesucian”.

Hubungan suami-istri ini berlangsung penuh kehangatan hingga Khadijah wafat pada usia 65 tahun.
Saking sedihnya Nabi SAW dengan wafatnya sang istri yang begitu dicintai­nya, tak terlintas di benak beliau untuk me­nikah lagi, mencari wanita yang mam­pu menggantikan posisi Khadijah dalam hatinya. Dan memang kenyataannya tak ada. Padahal, umumnya lelaki muda se­umur beliau, masih bergejolak nafsunya dengan keinginan menikah lagi, bahkan menambah istri. Tapi hal itu tidak ada pada diri Muhammad SAW!

Inilah kenyataan sejarah pernikahan Rasulullah SAW, yang dapat menyumpal mulut-mulut mereka yang dengki kepada Islam.
Keutamaan dan Kedudukan Khadijah

Khadijah memiliki kedudukan yang luhur di sisi Rasulullah SAW sepanjang kehidupan beliau, bahkan sepanjang se­jarah. Telah disebut dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim bahwasanya Khadi­jah adalah salah satu dari empat sebaik-baik wanita sepanjang zaman.

Rasulullah SAW menyatakan dalam sebuah haditsnya, “Sebaik-baik wanita di atas langit adalah Maryam binti Imran dan sebaik-baik wanita di dataran bumi ada­lah Khadijah binti Khuwailid.” (Muttafaq ‘alaih).

Kecintaan Rasulullah SAW yang men­dalam kepada Sayyidah Khadijah juga diutarakan beliau di hadapan istrinya yang lain, Sayyidah ‘Aisyah RA.

Pernah suatu ketika Sayyidah ‘Aisyah ber­kata, “Aku tidak pernah cemburu ke­pada istri-istri Nabi SAW seperti kecem­buruanku terhadap Khadijah. Padahal aku tak pernah bertemu dengannya.

Jika Rasulullah menyembelih kam­bing, ia senantiasa berkata, ‘Kirimkanlah (bagikanlah) daging-daging ini kepada teman-teman Khadijah...’, sehingga aku merasa cemburu dan berkata, ‘Kenapa mesti Khadijah?!’.

Beliau lalu menjawab, ‘Inni qad ruziqtu hubbaha (Sesungguhnya aku telah di­karuniai Allah dengan cinta kepadanya)’.” (Muttafaq ‘alaih).

Dalam kesempatan lain, sebagai­mana diriwayatkan Ahmad dan Ath-Tha­barani, ‘Aisyah berkata, “Rasulullah SAW, jika keluar rumah, hampir-hampir tidak per­nah lepas menyebut nama Khadijah dan memujinya.

Suatu ketika beliau keluar rumah dan melakukan hal itu.

Lalu aku berpikir untuk mencoba mengorek pelajaran dari beliau, dengan berkata, ‘Apakah hanya seorang perem­puan tua, padahal Allah telah mengganti­kannya buatmu yang lebih baik darinya?’

Kemudian beliau agak kesal seraya ber­kata, ‘Tidak, demi Allah. Tiada yang dapat menggantikan posisi Khadijah di sisiku.... Ia beriman saat orang-orang kufur, ia yang membenarkan perkataanku di saat orang-orang mendustaiku, ia yang mendukungku dengan hartanya saat orang-orang mencegahku dan enggan membantuku, dan Allah memberikan ka­runia buatku berupa anak darinya yang tidak ada pada istri-istri yang lain’.”

Ibrah di Balik Pernikahan Itu

Ketika banyak orang, baik di kalangan in­telek maupun awam, mendengar bah­wa Nabi Muhammad SAW mempunyai ba­nyak istri semasa hidupnya, timbullah sua­ra-suara yang sumbang ke arah be­liau.
Padahal, kalau mereka mau mene­la­ah lebih dalam untuk mengetahui apa ra­hasia di balik perkawinan Nabi Muham­mad SAW, niscaya mereka akan menger­ti dan memaklumi, bahkan akan memuji stra­tegi beliau. Yaitu motivasi agama, po­litik, dan sosial.

Perkawinan pertamanya dengan Kha­dijah dilakukan ketika beliau berumur 25 tahun dan Khadijah berumur 40 tahun. Se­lama hampir 25 tahuh, Nabi SAW ha­nya beristrikan Khadijah, sampai Khadi­jah meninggal dunia di umur 65 tahun. Beberapa tahun setelah wafatnya Khadi­jah, barulah beliau menikah lagi.

Dengan demikian jelaslah bahwa, jika memang Nabi SAW hanya mencari kese­nangan, tentulah tidak perlu menunggu sam­pai berusia lebih dari 50 tahun baru me­nikah lagi. Beliau tetap mencintai Kha­dijah sepanjang hidupnya.

Perkawinannya selanjutnya mempu­nyai banyak motif. Beberapa perkawinan dengan tujuan membantu wanita yang suaminya baru saja terbunuh dalam mem­bela Islam. Yang lain adalah demi menambah dan mempererat hubungan dengan salah satu pendukung Islam, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA.

Ada juga dalam upaya membangun hubungan yang baik dengan suku-suku lain yang semula berniat memerangi Islam. Sehingga ketika Nabi SAW meng­awininya, perang pun terhindarkan dan darah pun tak jadi tumpah.

Beberapa intelektual non-muslim yang berkesempatan mempelajari secara langsung sejarah dan kehidupan Nabi Muhammad SAW bersikap ilmiah dan obyektif serta berkesimpulan yang ber­beda dengan kesimpulan kaum penghu­jat.

Prof. John L. Esposito, dalam karya­nya Islam The Straight Path, misalnya, mengatakan, hampir keseluruhan perka­winan Nabi Muhammad SAW mempu­nyai misi sosial dan politik.

Begitu juga dengan Caesar E. Farah, yang berkesimpulan bahwa perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan istri-istri setelah Khadijah lebih karena alasan po­litis dan alasan menyelamatkan para jan­da yang suaminya meninggal dalam pe­rang membela Islam.
=======================
Pernikahan Fathimah Az-Zahra

Sebagaimana kisah ibundanya, kisah pernikahan Fathimah Az-Zahra juga bu­kan sebuah kisah roman picisan, yang ha­nya ada tangis cengeng dan gelak tawa yang memurahkan harga diri. Ini adalah sebuah kisah penuh ibrah, yang menjadi penghantar istimewa bagi pemu­di mus­limah yang ingin menunjukkan ittiba’-nya (mengikutinya dengan setia) kepada Sayyidah Fathimah dan penghormat­an­nya kepada kedua orangtuanya.

Di dalam kitab Usd al-Ghabah di­ceritakan bahwa, ketika Rasulullah SAW didatangi Abu Bakar dan Umar untuk me­lamar Fathimah, beliau menolaknya sam­bil berkata kepada masing-masing, “Aku sedang menunggu ketentuan Allah dalam masalah ini.”

Abu Bakar adalah orang pertama yang melamar Fathimah, namun ditolak se­cara halus. Nabi berkata, “Wahai Abu Bakar, ketentuan dalam masalah ini be­lum turun.”
Hal ini didengar oleh Umar bin Al-Khaththab. Kemudian ia datang untuk melamar Fathimah, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar. Namun ia pun men­dapat jawaban yang sama dari Rasulullah SAW.

Abu Bakar dan Umar kemudian me­nemui Abdurrahman bin Auf. Keduanya meminta Abdurrahman agar melamar Fathimah. Mereka berkata, “Engkau ada­lah seorang bangsawan Quraisy yang kaya. Seandainya engkau menemui Ra­sulullah SAW untuk melamar putrinya, tentu Allah akan menambah harta dan kemuliaanmu.”

Abdurrahman pun pergi menemui Ra­sulullah SAW. Ia berkata, “Wahai Rasulul­lah, nikahkanlah aku dengan Fathimah.” Tetapi Rasulullah berpaling darinya.

Maka Abdurrahman pun menemui Abu Bakar dan Umar. Kepada mereka Ab­durrahman berkata, “Aku pun meng­alami apa yang kalian berdua alami.”

Inilah yang dipikirkan oleh Abu Bakar dan Umar. Keduanya sangat ingin tahu, siapakah gerangan pribadi yang agung, yang dekat kepada Allah SWT dan paling dicintai Rasulullah SAW. Akhirnya, me­reka menemui Ali bin Abi Thalib, karena mereka tahu kedudukannya yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Mereka ber­kata kepadanya, “Wahai Ali, kami tahu ke­kerabatanmu dengan Rasulullah. Eng­kau juga orang pertama yang memeluk Islam. Seandainya engkau datang ke­pada Rasulullah untuk melamar Fathi­mah, tentu Allah akan menambah keuta­maan dan kemuliaanmu.”

Para sahabat yang lain, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, juga berkata kepada Ali, “Seandainya eng­kau melamar Fathimah, niscaya eng­kau akan dinikahkan dengannya oleh Nabi SAW.”

Pada suatu hari Abu Bakar, Umar, dan Sa‘ad bin Mu‘adz berada di masjid Nabi. Mereka membicarakan masalah Fathimah. Abu Bakar berkata, “Orang-orang mulia dan terhormat telah mencoba melamar Fathimah, namun mereka di­tolak Rasulullah SAW dengan mengata­kan, ‘Aku sedang menunggu ketentuan Allah dalam masalah ini’.”

Ruh iman yang berkibar tampak nyata pada sikap Abu Bakar dan Umar ketika mereka pergi menjumpai Ali dan berkata kepadanya, “Pergilah, lamarlah Fathi­mah.” Itulah akhlaq kaum muslimin yang bersandar kepada hadits Rasulullah SAW, “Cintailah untuk saudaramu apa yang kau cintai untuk dirimu.” Kemudian keduanya menyebut-nyebut kedudukan­nya di dalam Islam dan di sisi Nabi SAW serta menganjurkannya untuk segera mem­beranikan diri melamar Fathimah.

Ali memang berharap untuk menikahi Fathimah, tetapi ia tak berani menyata­kan­nya, karena tak memiliki apa-apa se­bagai mahar untuk Fathimah. Setelah ragu beberapa lama, akhirnya Ali mem­beranikan diri dan mendatangi kediaman Rasulullah SAW.

Ketika telah bertemu Rasulullah, ia mengucapkan salam, kemudian duduk di dekat beliau dengan perasaan malu, tidak berani menyebutkan maksud kedatang­an­nya. Ia tidak dapat berkata-kata, ka­rena hormat dan segan kepada beliau.

Nabi SAW memahami apa yang ada dalam pikiran putra pamannya, saudara­nya, dan sahabatnya ini. Maka beliau mengawalinya dan bertanya kepadanya dengan halus dan lembut, “Ada keperluan apa, wahai putra Abu Thalib?”

Ali menjawab dengan suara yang rendah sambil memejamkan mata, “Aku ingat Fathimah, putri Rasulullah.”

Dengan tetap berseri-seri dan lemah lembut, beliau menjawab, “Marhaban wa ahlan.” Dalam riwayat lain, beliau men­jawab, “Dia untukmu, wahai Ali.”

Kemudian Nabi SAW diam, tidak me­nambahkan jawabannya.

Maka Ali pun terdiam lama. Ali dalam keadaan sangat malu dan juga sangat miskin. Ia tidak memiliki apa-apa untuk menikah kecuali iman yang mendalam kepada Allah dan kecintaannya kepada Rasulullah.

Rasulullah ingin agar ia mau berbi­cara lebih jauh untuk menuntaskan urus­annya bersama beliau. Rasulullah ingin menghilangkan kegelisahan yang ada pada dirinya.
Keduanya terdiam dalam waktu yang lama.

Kemudian Ali pergi dalam keadaan gelisah. Ia tidak tahu harus menjawab apa kepada keluarganya dan para sahabat­nya yang sedang menunggunya. Mereka menanti-nanti kedatangannya akan mem­bawa jawaban dari ayah Fathimah.

Ketika mereka mendesaknya, Ali men­jawab, “Demi Allah, aku tidak tahu apa-apa. Aku telah berbicara kepada Ra­sulullah tentang masalah itu, tetapi beliau hanya menjawab, ‘Marhaban wa ahlan’.”

Mereka semua berteriak, “Cukup bagi­mu jawaban Rasulullah itu walaupun salah satu saja (marhaban saja atau ahlan saja).” Kemudian mereka mening­galkannya. Mereka telah membuatnya tenang.

Apa yang dikatakan oleh keluarganya dan para pecintanya membuatnya tak sa­bar menantikan munculnya waktu pagi. Lalu ia pergi menjumpai Rasulullah SAW.

Setelah sepenuh hatinya siap, ia meng­atakan, “Ayah dan ibuku menjadi te­busan­mu, wahai Rasulullah. Engkau tahu bahwa engkau mengambilku dari paman­mu, Abu Thalib, dan dari Fathimah binti Asad, ketika aku masih anak-anak yang ti­dak tahu apa-apa. Kemudian engkau mem­bimbingku dan 
mendidikku. Engkau lebih utama dari­pada Abu Thalib dan Fa­thimah dalam mem­berikan kasih sayang ke­padaku. Allah telah memberi petunjuk ke­padaku melalui perantaraanmu. Eng­kau, wahai Ra­sulullah, adalah modalku dan peran­taraanku di dunia dan di akhirat kelak. Aku memohon kepada Allah me­la­lui engkau, mudah-mudahan aku dapat mem­peroleh tempat tinggal dan seorang istri tempat aku mendapatkan ketenang­an. Aku sengaja datang ke sini untuk me­lamar putrimu, Fathimah. Apakah engkau ber­sedia me­nikahkanku, wahai Ra­sulullah?”

Wajah Rasulullah SAW menampak­kan kegembiraan luar biasa. Kemudian be­liau tersenyum kepada Ali sambil ber­kata, “Wahai Ali, apakah engkau punya sesuatu yang dapat dijadikan mahar?”
Ali menjawab, “Demi Allah, wahai Rasulullah, engkau tahu keadaanku. Aku tidak memiliki apa pun kecuali pedang dan ceret tempat air.”

“Di mana baju besimu yang pernah aku berikan kepadamu dulu?” tanya Rasulullah.
“Ada padaku, wahai Rasulullah.”
“Berikanlah baju besi itu kepadanya,” kata beliau.
Kemudian Ali pun segera pergi dan datang lagi dengan membawa baju besi.
Lalu Rasulullah SAW menyuruhnya untuk menjualnya untuk persiapan pengantin.
Utsman bin Affan membeli baju besi itu dengan harga 470 dirham.

Ali lalu membawa uang hasil penjual­an itu dan meletakkannya di hadapan Rasulullah.
Beliau mengambilnya kemudian me­nyerahkannya kepada Bilal untuk dibeli­kan wangi-wangian.
Dalam riwayat lain, ketika ditanya “Apakah engkau memiliki sesuatu?”, Ali menjawab, “Aku tidak memiliki apa-apa kecuali baju besi, pedang, dan ceret tempat air.”

Maka Rasulullah SAW berkata ke­padanya, “Wahai Ali, pedang sangat eng­kau butuhkan untuk berjihad di jalan Allah, ceret tempat air sangat berguna bagi keluargamu dan saat kau bepergian. Aku akan menikahkanmu dengan mahar baju besimu itu.”

Inilah proses lamaran Fathimah, putri Rasulullah SAW, dan inilah maharnya: baju besi! Itulah teladan yang tak ada bandingnya yang dicontohkan oleh Ra­sulullah SAW kepada kita untuk menjadi teladan di masa-masa berikutnya. Suatu teladan yang beliau berikan dengan anak gadisnya yang paling mulia dan paling beliau cintai, Fathimah Az-Zahra, pemim­pin wanita di seluruh alam.

Sang ayah, Rasulullah SAW, mem­berikan kemudahan kepada pemuda ini dalam kondisinya yang sulit. Ayah ini memilih untuk anak gadisnya orang yang setara dengan anak gadisnya itu, dan menolak Abu Bakar dan Umar dengan pe­nolakan yang baik dan halus. Abu Bakar tidak marah, dan Umar pun tidak marah. Bahkan, mereka pergi ke tempat Ali dan meyakinkannya untuk melamar Fathimah. Dan Fathimah, yang sedemi­kian tinggi kedudukannya dan sedemi­kian tinggi pula didikannya, mau mene­rima baju besi sebagai maharnya!

Riwayat-riwayat yang ada berbeda-beda mengenai kapan saat terjadinya la­maran itu, meskipun sebagian besar sum­ber sepakat bahwa Fathimah meni­kah pada usia 18 tahun, sehingga perni­kahannya terjadi pada tahun kedua hijrah, karena ia dilahirkan pada tahun di­ba­ngun­nya kembali Ka‘bah, yaitu lima ta­hun sebe­lum Rasulullah diangkat sebagai nabi.

Maka kemudian berlangsunglah per­nikahan yang diberkahi itu. Lalu Az-Zahra pun dibawa ke tempat sang pahlawan pemberani, Ali bin Abi Thalib.

Allah mengeluarkan darinya keturun­an yang shalih, anak-cucu yang diber­kahi, dan Allah memuliakan mereka.

Mengenai mereka (keturunan kedua­nya), Allah berfirman yang artinya, ”Se­sungguhnya Allah bermaksud hendak meng­hilangkan dosa dari kalian, hai ahlul bayt, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (QS Al-Ahzab: 33).

Nasabnya terus bersambung dan tidak terputus. Dan Rasulullah berpesan tentang mereka. Sungguh beruntunglah mereka yang memuliakan ahlul bayt yang mulia. Merekalah keturunan yang suci, yang tentang mereka Rasulullah bersab­da, “Sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian dua perkara: Kitabullah dan ke­turunanku, ahli baytku, dan keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya datang kepadaku di telagaku.”

Perlengkapan Pengantin

Ali menyerahkan 470 dirham menurut pendapat yang paling kuat, yang kemudi­an Nabi SAW ambil lalu beliau serahkan sebagiannya kepada Bilal untuk dibelikan wangi-wangian, dan sisanya beliau se­rahkan kepada Ummu Salamah untuk di­belikan perlengkapan pengantin.

Saat itu Rasulullah SAW belum me­nikah dengan Ummu Salamah, karena Fathimah menikah dengan Ali pada akhir tahun kedua Hijriyyah sedangkan perni­kahan Nabi SAW dengan Ummu Sala­mah berlangsung pada tahun keempat Hijriyyah menurut pendapat yang terkuat.

Ali mengambil sebuah rumah yang se­derhana untuk memulai perjalanan ru­mah tangga yang penuh kesucian, afaf (sifat menjaga diri), dan cahaya, bersama dengan putri Rasulullah SAW. Ia me­nyiapkan rumahnya yang akan menjadi tempat untuk menyambut putri makhluk terbaik. Di situ terdapat sebuah kamar tidur dengan lantai yang dilapisi pasir halus, kasur dari sabut, bantal dari sabut juga, kulit kambing untuk tempat duduk, tempat gilingan, handuk, gelas, tempat air kecil dari kulit untuk mendinginkan air, dan keset.

Inilah perlengkapan pemimpin wanita penghuni surga, ath-Thahirah, az-Zahra, Ummu Abiha, putri Rasulullah SAW. Di dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, Fathimah masuk ke rumah suaminya dengan beludru yang bagus, bantal kulit berisi sabut, dua buah batu gilingan gandum, dua buah wadah air, dua buah guci, dan sedikit wangi-wangian.

Malam Pernikahan
Datanglah saat yang disepakati untuk malam pernikahan, malam pe­ngantin. Bani Abdul Muththalib meraya­kan perni­kahan ini. Hamzah, paman Nabi SAW dan juga paman Ali, datang membawa dua unta besar. Ia menyem­belihnya dan memberikan makan ke­pada orang-orang.

Setelah orang-orang selesai makan, Nabi SAW datang membawa baghalnya yang berwarna abu-abu, kemudian beliau berkata kepada Fathimah, “Naiklah.”

Rasulullah SAW memerintahkan Sal­man untuk berjalan di depan, sedangkan be­liau sendiri berjalan di belakang Fa­thimah. Saat itu, beliau didampingi Ham­zah dan sejumlah orang dari Bani Hasyim dengan pedang terhunus. Beliau meme­rintahkan kaum wanita Abdul Muththalib dan kaum wanita Muhajirin dan Anshar un­tuk berjalan mendampingi Fathimah dan memerintahkan mereka untuk ber­gembira ria, bertakbir, dan bertahmid, ti­dak mengucapkan sesuatu kecuali yang diridhai Allah.

Kemudian Nabi SAW memasukkan­nya ke rumah Ali, lalu beliau mengatakan, “Wahai Ali, janganlah engkau mengata­kan sesuatu (jangan berbicara apa-apa) ke­pada istrimu sebelum aku datang ke­padamu.”

Kemudian Bilal mengumandangkan adzan untuk shalat Isya. Maka Nabi pun melakukan shalat bersama kaum muslim­in di masjid.

Lalu semuanya pulang. Ali mendahu­lui beliau menuju rumahnya untuk me­nyambutnya.
Ketika Rasulullah SAW masuk ke ru­mah Ali, beliau melihat beberapa orang pe­rempuan, lalu mereka pun pergi, ke­cuali Asma’ binti ‘Umais.

“Siapa engkau?” tanya Nabi SAW.
“Akulah yang menjaga putrimu. Se­orang gadis di malam pernikahannya mes­ti didampingi perempuan yang dekat dengannya. Jika ia mempunyai kebutuh­an atau menginginkan sesuatu, akulah yang memenuhinya.”

Tidak mengherankan jika saat itu Nabi teringat kepada ibunda Fathimah yang penyayang, Khadijah, wanita muk­minah yang pertama. Dialah istri sekali­gus ibu yang terbaik, sebaik-baik peno­long, pendukung, pemberi selimut. Demi­kian pula dengan Fathimah, yang duduk di dekat salah satu tiang rumah dengan sikap wanita yang afifah (yang suka men­jaga diri) dan merasa malu. Ia teringat ke­pada ibunya. Maka, setelah mendengar perkataan Asma’ binti Umais, Fathimah pun menangis.
Rasulullah SAW mendoakan Asma’ binti Umais karena kasih sayangnya terhadap putrinya. Beliau mengatakan, “Aku me­mohon kepada Tuhanku agar Dia men­jagamu dari arah depanmu, belakangmu, kananmu, dan kirimu, dari godaan setan yang terkutuk.”

Setelah itu beliau keluar bersama Fa­thimah dari kamarnya. Kemudian beliau ber­kata kepada Asma, “Bawakan untuk­ku wadah dan isikanlah.”
Maka Asma’ pun membawakannya.

Beliau meludah sedikit di dalamnya (untuk memberkahi), kemudian memang­gil Fathimah, lalu mengambil sedikit air dan memercikkannya di kepalanya dan di antara kedua kakinya.
Setelah itu beliau memegangnya lalu berdoa, ”Ya Allah, sesungguhnya ia bagi­an dariku dan sesungguhnya aku bagian darinya. Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menghilangkan kotoran dariku dan Engkau telah menyucikanku, sucikanlah dia.”

Kemudian beliau meminta wadah yang lain, lalu beliau lakukan terhadap Ali sebagaimana yang beliau lakukan ter­hadap Fathimah. Setelah itu beliau meng­atakan, “Bangunlah kalian berdua.” Lalu beliau mendoakan, ”Semoga Allah meng­himpunkan kalian dan membaguskan keadaan kalian.”
Setelah itu beliau bangun lalu menu­tup pintu meninggalkan mereka berdua.

Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa‘ad disebutkan, setelah shalat Isya Nabi SAW berjalan ke rumah Ali, lalu beliau minta di­bawakan wadah, kemudian beliau ber­wudhu, lalu menuangkan air yang ada di da­lam wadah itu kepada tubuh Ali, sete­lah itu beliau berdoa, ”Ya Allah, berilah ke­berkahan pada keduanya, berilah ke­berkahan atas keduanya, dan berilah ke­berkahan bagi mereka pada keturunan mereka.”

Lalu beliau meminta dibawakan air di dalam bejana, kemudian membasuh ke­dua tangannya, lalu menyiramkannya dari air itu. Setelah itu beliau minta di­bawakan air lagi, lalu beliau berkumur kemudian mengembalikannya di bejana itu. Kemudian beliau membasahi dada Fathimah dan Ali dengannya.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW berdoa, ”Ya Allah, se­sungguhnya mereka (Ali dan Fathimah) adalah orang yang sangat aku cintai. Maka cintailah mereka dan berilah keber­kahan pada keturunan mereka. Dan jadi­kanlah penjaga dari-Mu untuk mereka. Sesungguhnya aku menyerahkan perlin­dungan mereka kepada-Mu, demikian pula keturunan mereka, dari godaan se­tan yang terkutuk.”

Kemudian beliau mendoakan Fathi­mah, ”Semoga Allah menghilangkan ke­burukan darimu dan membersihkanmu se­bersih-bersihnya.”

Kemudian beliau berkata kepada Ali, “Wahai Ali, bawalah istrimu masuk. Se­moga Allah memberkahimu. Semoga rah­mat Allah dan keberkahan-Nya senan­tiasa tercurah kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Mahamulia.”

Beliau meninggalkan mereka berdua, lalu memegang tiang pintu sambil berdoa, ”Semoga Allah menyucikan kalian dan menyucikan keturunan kalian berdua. Aku akan berdamai dengan orang yang ber­damai dengan kalian dan akan me­musuhi orang yang memusuhi kalian. Aku menitipkan kalian kepada Allah dan me­nyerahkan pengurusan kalian kepada-Nya.”

Setelah itu, beliau menutup pintu ru­mah itu dengan tangannya yang mulia.
Di dalam kitab ath-Thabaqat disebut­kan bahwa Nabi berkata kepada putrinya, “Wahai Fathimah, demi Allah, tidakkah eng­kau bangga aku menikahkanmu de­ngan keluargaku yang terbaik.”
Sebagai seorang gadis yang akan se­gera berpisah dengan ayahnya dan tak lagi memiliki ibu, Fathimah tidak dapat me­nahan air matanya. Sang ayah, yang sangat sayang kepadanya, menenang­kan­nya dan menjelaskan bahwa beliau me­nitipkannya pada orang yang paling kuat imannya, paling banyak ilmunya, pa­ling baik akhlaqnya, dan paling tinggi jiwa­nya. Di dalam riwayat lain disebutkan bah­wa Nabi SAW mengatakan, “Menga­pa engkau menangis, wahai Fathimah? Demi Allah, aku telah menikahkanmu de­ngan orang yang paling banyak ilmunya, paling santun, dan paling terdahulu ma­suk Islam.”

Nabi SAW kemudian pergi dari tem­pat Fathimah. Allah SWT mengabulkan doa Nabi-Nya di dalam pernikahan yang membahagiakan itu. Itulah pernikahan yang diberkahi. Allah menghendaki ke­turunan Nabi SAW hanya berasal dari buah pernikahan itu. (sumber)

»»  READMORE...

Karamah Para Wali

Picture
KH Jalaluddin Rakhmat

Nabi SAW sering mengajari sahabatnya dengan kisah-kisah menarik. Dalam kisah-kisah yang umumnya singkat dan padat itu beliau menyimpulkan prinsip-prinsip moral yang luhur. Para ahli hadis mengumpulkan kisah-kisah itu dalam sebuah kitab khusus. Berikut kita turunkan salah satu kisah tersebut yang terdapat dalam Al-Bukhari, Muslim, Ahmad, al-Thabrani, ibn-Hiban, al-Bazzar; juga Kanz al-‘Ummal, dengan redaksi yang beragam.

Ketika tiga orang sedang dalam perjalanan, hujan lebat menimpa mereka. Mereka berlindung ke dalam gua di sebuah bukit. Tiba-tiba runtuhlah batuan bukit pada pintu gua dan mengurung  mereka. Maka di antara mereka terjadilah dialog. “Perhatikan amal saleh yang telah kalian lakukan karena Allah. Berdoalah kepada Allah Ta’ala supaya Dia menyelamatkan kalian.” Seorang di antara mereka berdoa, “Ya Allah, dahulu aku punya orang tua yang sudah sangat lanjut usianya, aku juga punya istri dan anak-anak kecil. Semua menjadi tanggunganku. Bila aku pulang dari pekerjaanku, aku memerah susu. Aku mulai dari kedua orang tuaku. Aku minumkan kepada mereka air susu itu sebelum aku memberikannya kepada anak-anakku. Pada suatu hari aku mencari kayu dari tempat yang jauh sehingga aku pulang petang. Aku mendapatkan kedua orang tuaku sudah tertidur. Aku memerah susu seperti biasa. Aku mendatangi keduanya dengan membawa wadah susu itu. Aku berdiri di dekat mereka. Aku segan membangunkan mereka dari tidurnya. Aku juga tidak ingin memberikan susu itu kepada anak-anakku sebelum memberikannya kepada keduanya. Anak-anak merengek di bawah kakiku. Begitulah keadaanku dan keadaan mereka sampai terbit fajar. Jika Engkau tahu perbuatan itu aku lakukan karena mengharapkan ridha-Mu, bukakan pintu gua ini sehingga kami bisa melihat langit.”

Pintu gua terbuka sedikit sehingga mereka bisa melihat langit, tetapi tidak cukup untuk keluar. Yang kedua berkata, “Ya Allah, dahulu aku mempunyai saudara sepupu perempuan. Aku mencintainya lebih dari kecintaan laki-laki manapun terhadap perempuan. Aku mengajaknya berkencan, tetapi ia menolak kecuali bila aku dapat memberinya seratus dinar. Aku bekerja keras sehingga aku berhasil mengumpulkan seratus dinar. Aku datang menemuinya. Ketika aku berada di antara kedua kakinya, ia berkata: Hai hamba Allah, takutlah kepada Allah. Jangan engkau buka khatam kecuali dengan haknya. Aku tinggalkan dia. Jika Engkau tahu perbuatan itu aku lakukan karena mengharap ridha-Mu, bukakanlah pintu gua ini.”

Pintu gua terbuka sedikit, tetapi masih belum cukup untuk bisa keluar. Yang terakhir berkata, “Ya Allah, dulu aku mempekerjakan seorang pegawai. Aku membayarnya dengan satu takar padi. Setelah menyelesaikan pekerjaannya, ia datang kepadaku: Berikan hakku. Aku menyerahkan padi itu, tetapi ia meninggalkannya. Aku tanamkan padi itu, sehingga dari hasilnya aku berhasil menghimpun ternak dan gembalanya. Setelah bertahun-tahun, ia datang menuntut haknya. Ia berkata: Takutlah kepada Allah, jangan rampas hakku. Aku berkata: Pergilah ke kumpulan ternak itu dan penggembalanya. Ambillah semuanya untukmu. Ia berkata: Takutlah kepada Allah, jangan mempermainkan aku. Aku berkata: Aku tidak bermain-main. Ambillah ternak sapi itu dan penggembalanya. Ia mengambilnya dan membawanya pergi. Jika Engkau tahu perbuatan itu aku lakukan karena mengharap ridha-Mu, bukakanlah pintu gua ini.” Kemudian Allah membukakan pintu gua yang masih tersisa. Mereka keluar meninggalkan gua itu dalam keadaan selamat.

Setelah menurunkan hadis ini, Ibn Hajar al-Asqalany menjelaskan beberapa “sunnah” di dalamnya: berdoa pada waktu mendapat kesulitan, kemuliaan berkhidmat kepada orang tua, kemuliaan orang yang sanggup mengendalikan dirinya, kemuliaan orang yang menjaga amanat pegawainya, dan keyakinan akan adanya keramat pada orang-orang saleh (Fath al-Bari, 6:510).

Kita perlu memberikan catatan khusus kepada yang terakhir. Dalam kisah itu, Nabi SAW menceritakan pintu gua yang tiba-tiba tertutup karena runtuhnya batu. Hanya kekuatan supranatural-lah yang bisa membuka longsoran bukit itu. Dalam keadaan terkurung, mereka tidak mungkin menggeserkan batu-batu besar itu. Mereka juga tidak mungkin meminta tolong kepada orang dari luar. Mereka terpuruk, terkubur hidup-hidup. Tetapi akhirnya mereka bisa mengeserkan bebatuan itu secara gaib setelah mereka berdoa. Inilah keramat para wali, menurut Al-Nawawi (Syarh Shahih Muslim, 17:56).

Kita harus menambahkan satu sunnah lagi dari hadis ini. Ada di antara manusia orang-orang yang diperkenankan doanya. Melalui doanya, mereka menimbulkan perubahan di alam semesta. Mereka adalah wali-wali Allah, yang memperoleh keramat dalam bentuk “wilayah takwiniyah”. Di manakah orang seperti itu dapat kita temukan? 
Mestikah mencarinya ke sudut-sudut bumi yang jauh, ke tempat terpencil, ke padepokan di jantung rimba yang lebat? Hadis ini menjelaskan, kita dapat menemukan mereka di sekitar kita. Mintalah doa kepada mereka ketika Anda mendapat mendapat kesulitan. Nabi SAW menyebutkan tiga prototipe wali Allah: orang yang berkhidmat kepada orang tua, orang yang menjaga kesucian dirinya di tengah-tengah godaan, dan orang yang berjuang untuk menegakkan kesejahteraan buruh.
"Wali Allah bukanlah orang yang menghindarkan diri dari masyarakat dan menghabiskan waktu dalam ibadat.; bukan juga orang yang mencari sudut masjid dan tidak mau berkiprah dalam perjuangan hidup. Wali Allah adalah orang-orang yang tabah menghadapi gangguan, godaan, dan tantangan di sekitarnya"
Berkhidmat kepada Orang Tua. Mengenai keramat orang yang berbuat baik kepada orang tua, Nabi SAW menceritakan kisah lain. Ketika Nabi Musa as. dihadapkan kepada pembunuhan yang tidak diketahui siapa pelakunya, ia menyuruh orang untuk mencari sapi. Sapi itu bukan sembarang sapi. Tapi sapi dengan ciri-ciri yang unik sehingga hampir-hampir mereka tidak menemukannya. “Musa berkata: Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu sapi betina yang belum pernah dipakai untuk membajak tanah dan tidak pula untuk mengairi tanaman. Tidak bercacat, tidak ada belangnya.” (Al-Baqarah: 71).  Ketika sapi itu berhasil ditemukan, mereka harus membayar harga yang sangat mahal. “Sapi ini luar biasa,” kata Nabi Musa as., “aku harus menemui pemiliknya.” Ia menanyakan kepada pemilik sapi itu asal-usul sapi ajaib itu. Ia bercerita bahwa ia bekerja sebagai pedagang. Pada suatu kali, seorang pembeli bermaksud membeli barang dengan harga yang mahal. Ketika ia ingin mengambil barang itu, ia tidak dapat membuka toko. Toko itu terkunci, dan kuncinya ada pada ibunya yang tertidur di dalam toko. Ia tidak berani membangunkannya. Pembeli mendesak dengan menawarkan harga berlipat ganda dari harga semula. Ia menolaknya. Waktu itu si pembeli pergi dan pedagang itu kehilangan keuntungan. Pada waktu yang lain, ia memperoleh sapi yang sifat-sifatnya persis seperti yang dicari Bani Israil. Musa as. bersabda, “Kamu memperoleh sapi ini karena perkhidmatan kamu kepada ibumu” (Tafsir al-Durr al-Mantsur, 1:189).

Berbuat baik kepada orang tua adalah perintah kedua setelah beribadat kepada Allah: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik kepada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya.” (Al-Isra: 23). Seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW tentang ukuran berbuat baik kepada ibu-bapak. Beliau menjawab singkat. “Kedua orang tuamu adalah surga dan neraka kamu.” Jahimah, seorang sahabat Nabi, meminta izin untuk pergi berperang. Nabi SAW bertanya, “Apakah kamu mempunyai orang tua?” Ia menjawab, “Benar.” Nabi SAW berkata, “Tetaplah tinggal bersama mereka. Sesungguhnya surga terletak di bawah kaki kedua orangtuamu” (Al-Targhib, 3:314).

Tidak ada batas dalam perkhidmatan kepada kedua orang tua. Kita wajib berbuat baik kepada mereka, apapun keadaan mereka; kaya atau miskin, saleh atau jahat, hidup atau mati. Seorang sahabat mengeluh karena ayahnya sering meminta hartanya, sementara ia harus mengurus keluarganya. Rasulullah SAW bersabda, “Kamu dan hartamu kepunyaan Bapakmu.” (Kanz al-‘Ummal 45942). Bahkan setelah mati, kebaktian kepada orang tua terus berlanjut. Rasulullah SAW menyebutkan hal-hal yang harus kita lakukan sepeninggal mereka: shalat (berdoa) untuk keduanya, beristighfar buat mereka, meneruskan janji mereka sepeninggalnya, menyambungkan kekeluargaan yang telah mereka sambungkan sebelumnya, dan memuliakan sahabat-sahabat keduanya (Al-Targhib, 3:322).

Menurut banyak hadis, ada beberapa keramat yang dianugerahkan Allah kepada orang yang berkhidmat kepada orang tua mereka. Mereka akan dipanjangkan usianya, dimudahkan rezekinya, diperkenankan Tuhan doanya, diridhai Tuhan kehidupannya, ditambah wibawanya, dan anak-anaknya akan berkhidmat kepadanya.

Menjaga Kesucian di Tengah Godaan. Wali Allah bukanlah orang yang menghindarkan diri dari masyarakat dan menghabiskan waktu dalam ibadat.; bukan juga orang yang mencari sudut masjid dan tidak mau berkiprah dalam perjuangan hidup. Ketika seorang sahabat Nabi SAW terpesona oleh keindahan oase, ia berpikir untuk tinggal di situ, jauh dari keramaian, dan mengkhususkan waktu untuk beribadat. Nabi SAW bersabda, “Keberadaan kamu di tengah-tengah manusia dengan bersabar menghadapi gangguan mereka, lebih baik daripada hidup menyendiri tanpa gangguan manusia.”

Karena itu, wali Allah adalah orang-orang yang tabah menghadapi gangguan, godaan, dan tantangan di sekitarnya. Di antara tujuh macam manusia yang dilindungi Allah pada hari kiamat adalah “lelaki yang dirayu perempuan cantik dan berpangkat, tetapi dia menolaknya: aku takut kepada Allah.” Lelaki semacam Yusuf as., yang tinggal di istana, dibujuk oleh perempuan dari lingkaran elit, tetapi dia berhasil mempertahankan kesucian dirinya. Sudah tentu juga termasuk di dalamnya perempuan yang digoda oleh lelaki tampan dan berpangkat, tetapi dia menolaknya karena takut kepada Allah. Bagaimana mungkin Anda mengetahui kekuatan iman Anda, kalau Anda tidak menghadapkannya pada godaan.

Berlaku Baik kepada Buruh. Termasuk wali Allah yang mempunyai keramat ialah atasan  yang memperlakukan buruhnya dengan baik. Ia tidak merampas hak pegawainya. Ia tidak meraup untung dari keringat dan darah anak buahnya. Ia justru berusaha meningkatkan kesejahteraan mereka. Dalam kalimat Nabi SAW yang indah, “ Ia melelahkan dirinya agar orang lain hidup dalam kesenangan.” Rasulullah SAW bersabda, “Allah SWT berfirman: Ada tiga orang yang menjadi musuhku pada hari kiamat, orang yang diberi karena Aku kemudian berkhianat, orang yang menjual manusia merdeka kemudian memakan harganya, dan orang yang mempekerjakan buruh tetapi setelah buruh itu melaksanakan kerjanya ia tidak membayar upahnya” (Kanz al-‘Ummal 43826). Begitu pentingnya memenuhi hak buruh, sehingga Rasulullah SAW bersabda, “Bayarkanlah upah buruh itu sebelum kering keringatnya. Beritahukan kepadanya upahnya selama dia bekerja kepadamu” (Kanz al-‘Ummal, 9126).

Menindas buruh adalah dosa besar, sekalipun keuntungan duniawinya besar. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah mengampuni semua dosa, kecuali dosa orang yang merampas hak pegawainya atau lelaki yang merampas mahar istrinya.” Pada suatu hari, Ali bin Abi Thalib kw. sedang duduk di Masjid Kufah. Seseorang yang dikenal dengan julukan Abu Khadijah bertanya, “Wahai Amirul Mu’minin, adakah pada Anda rahasia Rasulullah SAW? Kabarkanlah kepada kami!” Ali menjawab, “Benar.” Ia membawa catatan hadis. Tertulis dalam kitab itu hal berikut: Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang… Sesungguhnya laknat Allah, malaikat dan manusia seluruhnya, buat orang yang membuat bid’ah dalam Islam atau melindungi pembuat bid’ah. Laknat Allah, malaikat dan seluruh manusia, juga atas orang yang menzalimi upah buruhnya.” (Mizan al-Hikmah, 1:21). [JR] (sumber)

Tulisan ini dimuat di Majalah UMMAT dalam Rubrik SUNNAH oleh Musthafa Syauqi dengan judul “Keramat para Wali
»»  READMORE...

Fakir Miskin

Picture
[Ilustrasi, dari viva.co.id]

“Dari Ibn ‘Abbas r.a: Sesungguhnya Nabi SAW mengutus Muadz r.a ke Yaman seraya berkata: Panggillah mereka untuk menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa aku utusan Allah SWT. Jika mereka mematuhinya, ajarkan kepada mereka  bahwa Allah mewajibkan bagi mereka lima kali shalat sehari semalam. Jika mereka mematuhinya, ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shadaqah dalam harta mereka, diambil dari orang kaya mereka, dan dikembalikan kepada orang miskin mereka.”

Hadis ini adalah hadis pertama dalam Kitab al-Zakat, Shahih al-Bukhari. Muadz ra. diutus ke Yaman untuk mengajarkan Islam secara berangsur-angsur. Dalam hadis tersebut Nabi SAW mendefinisikan zakat sebagai “harta yang diambil dari orang kaya dan dikembalikan kepada orang miskin.” Kata “dikembalikan” menunjukkan bahwa zakat sebenarnya hak orang miskin yang dititipkan pada orang kaya. Dengan mengembalikan harta itu kepada yang  berhak (mustahiq), ia membersihkan hartanya. Karena itu, zakat berarti pembersihan atau pensucian.  Di dalam sistem ekonomi Islam, zakat hanyalah salah satu cara untuk mengentaskan kemiskinan. Di luar zakat, ada kewajiban sosial untuk mengentaskan kemiskinan.

Siapakah Fakir Miskin? Nabi SAW bersabda: “Bukanlah orang miskin itu yang berkeliling mengemis di tengah-tengah manusia, tidak diberikan kepadanya sesuap atau dua suap, satu atau dua biji korma. Orang miskin ialah orang yang kekayaannya tidak mencukupi dirinya, tetapi orang banyak tidak mengetahuinya, sehingga mereka tidak bersedekah kepadanya. Ia juga tidak berdiri meminta-minta kepada orang lain.” (Muttafaqun ‘Alaih).

Atas dasar hadis ini, para ulama membedakan antara fakir dan miskin. Sebagian berpendapat bahwa keadaan fakir lebih buruk dari keadaan miskin. Orang miskin memiliki sesuatu tetapi tidak mencukupinya. Orang fakir tidak memiliki apa-apa. Acuan mereka adalah Surah Al-Kahfi: 79 yang mengatakan: Adapun bahtera itu adala kepunyaan orang miskin yang bekerja di laut. Ia disebut miskin, padahal ia mempunyai perahu sebagai sumber penghidupannya. Pendapat itu dikemukakan Imam Syafi’I dan jumhur ulama. Abu Hanifah dan keluarga Nabi berpendapat bahwa orang miskin lebih “fakir” dari orang fakir. Acuan mereka adalah firman Allah ini: Atau orang miskin yang bergelimang debu (Al-Balad: 16). Jadi, orang miskin mempunyai pakaian yang compang-camping, sehingga tubuhnya bersentuhan langsung dengan tanah. Tetapi Abdul Qasim dan Imam Malik, juga Abu Yusuf, dan diperkuat Jalaluddin al-Suyuthi, berpendapat fakir dan miskin itu sama saja (Nail al-Awthar, 4:223-224).

Dr Yusuf al-Qardhawi mempunyai pendapat lain. “Orang miskin adalah orang yang memerlukan pertolongan. Walaupun masyarakat mengabaikannya dan tidak menyadari keadaan mereka, Rasul Islam menaruh perhatian kepada mereka, membangkitkan akal dan rasa kemanusiaan kepadanya. Yang termasuk kepada kelompok miskin ini adalah orang yang punya rumah, punya keluarga yang tidak meminta-minta, atau tidak dapat bergerak, baik karena ketuaan maupun karena kelemahan. Atau yang sedikit hartanya tetapi banyak tanggungannya, atau hasil pekerjaannya tidak mencukupi kebutuhan pokoknya.

Imam Hasan al-Bashri ditanya tentang seseorang yang punya rumah dan pembantu, apakah dia itu berhak menerima zakat? Hasan menjawab, dia boleh mengambil zakat bila dia berkekurangan. Tak ada salahnya. Imam Ahmad ditanya tentang orang yang memiliki barang tak bergerak, atau barang dagangan seharga 10 ribu dirham, lebih banyak atau lebih sedikit dari itu, tetapi tidak mencukupi keperluannya. Imam Ahmad berkata, “Ia boleh mengambil zakat.” Jadi, miskin bukan sja orang yang tak punya apa-apa, tetapi yang tak mempunyai sesuatu yang mencukupinya (Musykilat al-Faqr).

Dalam literatur modern, ada banyak cara mendefenisikan miskin. Para ahli ekonomi menggunakan indeks kemiskinan yang berubah-ubah, sesuai dengan perkembangan ekonomi. Tetapi definisi yang paling banyak diterima tampaknya sesuai dengan perumusan para fuqaha Islam. Kemiskinan dirujukkan pada pemenuhan kebutuhan pokok. Orang dikatakan miskin jika tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan rekreasi. Para ilmuwan sosial memandang kemiskinan sebagai salah satu masalah sosial.

Pandangan Islam tentang Kemiskinan.  Pandangan Islam tentu saja pandangan para ulama Islam tentang kemiskinan, dengan merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah. Kita dapat menyebut paling tidak tiga aliran: Pertama, ada yang memandang kemiskinan sebagai keutamaan. Pandangan ini diwakili para sufi. Kitab-kitab tasawuf memuat bab khusus tentang kemuliaan orang miskin. Berikut ini adalah hadis-hadis yang relevan dengannya: “Hamba yang paling dicintai Allah ialah orang fakir yang merasa cukup dengan rezekinya, yang ridha dengan ketentuan Allah.” Allah SWT mewahyukan kepada Ismail as.: Carilah Aku di tengah orang-orang yang hancur hatinya. Ismail bertanya: “Siapakah mereka?” Allah menjawab: Orang-orang miskin yang jujur. Tidak ada yang lebih mulia daripada orang miskin yang ridha. Pada hari kiamat, Allah SWT berkata: Mana orang yang terpilih dari makhluk-Ku? Para malaikat bertanya: “Siapakah mereka itu wahai Tuhan kami?” Tuhan berfirman: Orang-orang Islam yang miskin, yang merasa cukup dengan pemberian-Ku, yang ridha dengan ketentuan-Ku, masukkan mereka ke surga (lihat Ihya al-Ulum al-Din 4: 212). Tentu saja pada aliran ini tak ada upaya untuk mengentaskan kemiskinan.

Kedua, kemiskinan dipandang sebagai kehendak Tuhan, takdir Tuhan. Inilah paham kaum Jabariah. Karena kemiskinan itu sudah merupakan ketentuan Allah, tak perlu kita berjuang untuk mengurangi kemiskinan. Kemiskinan bukan masalah sosial. Ia hanya masalah giliran saja. Bukankah Tuhan bersabda: Hari-hari kejayaan ini kami pergilirkan antara manusia (Ali Imran: 140). Atau: Allah meluaskan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan rezeki” (Ar-Ra’d: 26, lihat juga Al-Qashash: 82, A-Ankabut: 62, Ar-Rum: 37). Banyak hadis dikutip untuk menunjukkan bahwa nasib kita sudah ditentukan sebelum kita lahir, termasuk kaya atau miskin.

Ketiga, kemiskinan dipandang sebagai kemusykilan hidup yang harus diatasi. Orang miskin menjadi miskin karena berbagai masalah. Yusuf al-Qardhawi, dan banyak penulis mutakhir, memandang kemiskinan sebagai bahaya terhadap akidah, akhlak, pemikiran, keluarga, dan masyarakat. Dalam hubungan dengan bahaya kemiskinan terhadap akidah, Nabi SAW bersabda: “Hampir-hampir kemiskinan menjadikan orang kafir” (Abu Nu’aim). 
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW berdoa: “ Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kefakiran, kekurangan dan kehinaan. Aku berlindung kepada-Mu dari berbuat zalim dan dizalimi” (Abu Dawud, Al-Nasai, Ibn Majah, Al-Hakim).
Nabi SAW bersabda: “Siapa yang mempunyai kelebihan harta hendaknya ia memberikan hartanya kepada orang yang tidak memilikinya. Siapa yang mempunyai bekal, hendaknya ia memberikan bekal kepada yang tidak mempunyainya.”
Di antara sahabat Nabi SAW yang mengikuti pandangan ini ialah Ali bin  Abi Thalib kw. Ia berkata, “Jika kemiskinan itu manusia, aku akan memeranginya.” Kepada puteranya, Hasan, Ali berpesan, “Wahai anakku, orang miskin itu terhina. Pembicaraannya tidak didengar, statusnya tidak diharga. Bila si miskin jujur, ia disebut pendusta. Bila ia zuhud, ia bodoh. Wahai anakku, jika orang ditimpa kemiskinan, ia akan mendapat empat perkara: kelemahan dalam keyakinan, kekurangan dalam pemikiran, kelembekan dalam beragama, kekurangan rasa malu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari kefakiran” (Al-Bihar 72:47).

Mengentaskan Kemiskinan. Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan kepada orang kaya dalam hartanya seukuran yang mencukupi orang-orang miskinnya. Bila orang miskin itu lapar, telanjang, atau mendapat kesulitan, dan mereka mengalami itu karena ulah orang-orang kaya, maka Tuhan pasti memeriksa orang-orang kaya itu dengan pemeriksaan yang berat, dan menyiksa mereka dan siksaan yang berat pula.”

Kewajiban yang dimaksud Imam Ali bin Abi Thalib disini ialah kewajiban di luar zakat. Walaupun telah mengeluarkan zakat, orang-orang kaya dituntut tanggung jawabnya untuk mengentaskan kemiskinan. Orang-orang kaya akan dipersalahkan jika di tengah masyarakat ada orang yang tidak dapat menutupi kebutuhan pokoknya.

Ibn Hazm dalam al-Muhalla menjelaskan, tanggung jawab di luar zakat ini merupakan kesepakatan di antara para sahabat. Ia juga menunjukkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dari Al-Qur’an: Berikan kepada keluarga haknya, kepada orang miskin dan ibnu sabil (Al-Isra: 26); apa yang menyebabkan kamu masuk neraka Saqar? Ahli neraka berkata: Kamu bukanlah orang yang sembahyang. Dan kami dulu tidak memberi makan kepada orang miskin (Al-Mudatsir: 42-44).

Inilah argumentasi Ibn Hazm dari al-Sunnah. Rasulullah SAW bersabda: “Muslim itu saudara bagi Muslim yang lain. Tidak boleh ia menzaliminya dan tidak boleh menyerahkannya kepada musuh.” Orang yang membiarkan saudaranya lapar atau telanjang, ia telah berbuat zalim dan menyerahkannya kepada musuh. Nabi SAW bersabda: “Siapa yang mempunyai kelebihan harta hendaknya ia memberikan hartanya kepada orang yang tidak memilikinya. Siapa yang mempunyai bekal, hendaknya ia memberikan bekal kepada yang tidak mempunyainya.”

Setelah seluruh kutipan ini, Ibn Hazm berpendapat: inilah ijmak para sahabat. Orang-orang kaya pada setiap negeri harus berusaha mengentaskan kemiskinan. Pemerintah harus memaksakan usaha itu kepada orang-orang kaya. Dengan usaha itulah ditutupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka. Bila orang kaya tidak melakukannya, orang miskin berhak menuntut haknya dengan paksa. Bila ia mati ketika menuntut hak itu, ia mati syahid.

Ibn Hazm mengingatkan kita kepada pendapat Abu Dzar. Ia berkata, “Aku heran menyaksikan orang miskin yang di rumahnya tidak ada makanan. Mengapa ia tidak keluar rumah dan menghunus pedangnya.” Nabi SAW bersabda: “Bersedekahlah kamu sebelum datang suatu masa orang berkeliling menawarkan sedekahnya, tetapi orang-orang tidak mau menerimanya. Mereka berkata, “Kalau kamu datang kemarin, kami akan menerimanya. Tetapi hari ini kami tidak memerlukannya.” (Shahih al-Bukhari ). Ada yang menafsirkan hadis itu dengan mengatakan bahwa waktu itu orang miskin sudah berkecukupan. Banyak pula ulama yang menafsirkan bahwa waktu itu sedekah sudah terlambat. Kemiskinan sudah tidak dapat ditanggungkan lagi. Orang-orang miskin sudah menghunus pedangnya. Mereka seakan-akan berkata, “Hari ini kami tidak perlu sedekahmu. Hari ini yang kami tuntut adalah darahmu.”  [JR]

Tulisan ini dimuat di Majalah UMMAT dalam Rubrik SUNNAH oleh Musthafa Syauqi dengan judul “Fakir Miskin (sumber)




»»  READMORE...

Inilah Rahasia Bersyukur


Masih ingatkah akan kisah Iblis yang pongah di dalam al-Qur’an, ketika Allah telah menciptakan Adam dan membentuk tubuhnya, maka Allah berfirman pada malaikat, yang artinya:
...Bersujudlah kamu kepada Adam, maka mereka pun bersujud kecuali Iblis. Dia tidak termasuk mereka yang bersujud. (QS al-A’raf: 11)

Ya, Iblis adalah satu-satunya yang tidak bersujud mengikuti perintah Allah, dia adalah jin yang dikarunia kemuliaan oleh Allah hingga bisa berkumpul dengan golongan malaikat, oleh karena itu ia menjadi sombong dan lupa diri, kemudian Allah berfirman padanya, yang artinya:

...Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu? menjawab Iblis "Aku lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan aku dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah". (QS al-A’raf: 12)

Iblis mencari-cari alasan untuk membenarkan perilakunya, ia mencoba merasionalisasikan alasannya, bahwa ia yang tercipta dari api lebih mulia daripada tanah. Seolah-olah ia hendak menutup-nutupi kenyataan bahwa kemuliaan seorang makhluk itu hanyalah karena ketakwaannya, Allah berfirman, yang artinya:

...Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS al-Hujuraat: 13)

Kemudian Allah berfirman: "Turunlah kamu dari surga itu; Karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang hina".

Iblis menjawab: "Beri tangguhlah aku sampai waktu mereka dibangkitkan".Allah berfirman: "Sesungguhnya kamu termasuk mereka yang diberi tangguh."Setelah itu Iblis bersumpah pada dirinya sendiri, sembari berkata:

...karena Engkau telah menghukum aku tersesat, aku benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus, kemudian aku akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur. (QS al-A’raf:16—17)

Dengan sumpah ini Iblis menyatakan perang sepanjang masa dengan Adam dan anak-cucunya, ia telah bersumpah akan menyesatkan manusia dari jalan yang lurus. Dari sumpah inilah tersingkap sebuah rahasia misi iblis, yakni menjadikan sebagian besar manusia lalai dalam bersyukur alias kufur kepada Allah.

Apa itu Syukur

Kalimat dalam bahasa Arab, syakarat ad-dabbatu berarti unta itu gemuk, unta dikatakan gemuk bila terlihat padanya tanda-tanda makanan yang telah dimakannya. Unta dikatakan syakur jika terlihat padanya kegemukan melebihi kadar makanan yang telah dimakannya. (Abdul Hamid al-Bilali, Taujih Ruhiyah, jil. 1). Dalam ilmu tasawuf, syukur berarti ucapan, sikap dan perbuatan terima kasih kepada Allah dan pengakuan yang tulus atas nikmat dan karunia yang diberikan-Nya. (Ensiklopedi Islam).

Orang yang bersyukur adalah orang yang terlihat padanya tanda-tanda syukur, sehingga orang yang mengaku sebagai orang yang bersyukur tidak dapat diterima pengakuannya itu bila ia malas beribadah kapada Allah. Ketika suara adzan telah usai dikumandangkan ia bermalas-malasan, tidak bergegas untuk shalat jamaah, ketika waktu puasa telah tiba ia tidak mengisinya dengan perbuatan yang bermanfaat, ketika hartanya telah sampai pada batas untuk mengeluarkannya, maka ia enggan mengeluarkannya, dan ketika ia telah mampu untuk menunaikan haji maka ia mencari-cari alasan untuk tidak segera berangkat.

Orang yang bersyukur, ibadahnya karena rasa terima kasih kepada Allah yang setiap saat, setiap menit dan detik memberikan nikmat kepadanya. Ia malu jika tidak dapat mensyukuri nikmat tersebut; ia malu jika dikatakan sebagai orang yang tidak tahu diri karena tidak bersyukur kepada Allah. Bagi orang-orang yang bersyukur, hembusan nafas dan kedipan mata yang setiap saat bisa ia lakukan adalah nikmat yang sangat besar. Segala gerak-gerik jasmani dan ruhaninya kemudian hanya untuk mengharap ridha Allah, tidak sedikit pun dari hidup mereka kecuali ia mengingat Allah.

Rasulullah saw. adalah pribadi paripurna yang selalu bersyukur kepada Allah swt. beliau adalah teladan bagi orang-orang yang bersyukur, Rasulullah tidak memahami syukur sebatas pujian dengan lidah akan tetapi membuktikannya dengan amal perbuatan.

Aisyah ra. istri Nabi saw. suatu ketika merasa keheranan dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah, beliau melaksanakan qiyamul-layl semalaman hingga kakinya bengkak, padahal kalau dipikir-pikir, Nabi adalah orang yang maksum, tidak tersentuh oleh dosa. Aisyah berkata, ”Engkau masih berbuat seperti ini, padahal Allah swt. telah berjanji akan mengampuni dosamu yang telah lalu dan yang akan datang. Rasulullah saw. menjawab: Tidakkah aku bersenang diri menjadi hamba yang bersyukur? (riwayat al-Bukhari).

Imam Ibnul Qayyim merangkum makna syukur itu dalam perkataan: Syukur ialah terlihatnya tanda-tanda nikmat Allah pada lidah hamba-Nya dalam bentuk pujian, di hatinya dalam bentuk cinta pada-Nya dan pada organ tubuh dalam bentuk taat dan tunduk. (Abdul Hamid al-Bilali, Taujih Ruhiyah, jil. 1).

Syarat-syarat Syukur

Menurut Ibnul Qayyim syukur itu akan terasa lengkap jika memenuhi tiga syarat yaitu:

1. Ia mengakui nikmat Allah pada dirinya
Yaitu dengan mengakui bahwa segala kenikmatan ini adalah pemberian dari Allah, adapun usaha yang ia lakukan hanyalah wasilah (perantara) bagi datangnya nikmat tersebut. Kenikmatan tersebut merupakan sebuah cobaan bagi orang-orang yang beriman, Allah berfirman, yang artinya:

Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). dan Hanya kepada kamilah kamu dikembalikan. (QS al-Anbiyaa’: 35)

Allah mencoba manusia dengan kebaikan agar terlihat siapakah di antara mereka orang-orang yang bersukur dan siapa pula yang kufur kepada Allah.

2. Ia menyanjung Allah atas nikmat itu

Menyanjung Allah yaitu dengan mengucapkan hamdalah dan pujian-pujian yang lainnya, yang kesemua pujian tersebut untuk membesarkan nama-Nya.

3. Ia menggunakan nikmat itu untuk mendapatkan keridhaan-Nya

Artinya semua kenikmatan yang ada pada diri kita hendaknya selalu digunakan untuk mendekatkan diri kita pada Allah. Kalau kita mendapat nikmat makan, maka kita niatkan dan kita gunakan manfaat dari makan tersebut untuk beribadah kepada Allah, seperti untuk shalat, dzikir dan sebagainya. Kalau kita mendapatkan nikmat berupa penglihatan yang baik maka gunakanlah penglihatan tersebut untuk kebaikan, seperti membaca al-Qur’an dsb., jangan kita gunakan untuk melihat tayangan televisi yang kurang bermanfaat bagi akhirat kita, apalagi tayangan-tayangan yang mengandung dosa. Rasulullah pernah menyatakan bahwa salah satu tanda kebaikan seorang muslim, yaitu ia meninggalkan hal-hal yang kurang bermakna bagi peningkatan keimanannya.

Allah memberi kabar gembira kepada orang-orang yang mau bersyukur kepada-Nya dan sebaliknya mengancam orang-orang yang kufur nikmat dengan siksa yang pedih.

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), Maka Sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (QS Ibrahim: 7)

Allah tidak mencabut nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tetap taat dan bersyukur kepada Allah.

(siksaan) yang demikian itu adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan meubah sesuatu nikmat yang Telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri, dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS al-Anfaal: 53)
Penutup

Akhirnya, marilah kita mencoba untuk menata kembali diri kita masing-masing, menjadi orang yang bersyukur bukanlah hal yang mudah, Iblis sendiri telah berjanji akan berusaha menjauhkan manusia dari bersyukur kepada Allah, namun menjadi orang yang bersyukur juga bukanlah hal yang mustahil bagi kita. Dengan penjelasan yang sedikit mengenai apa yang dimaksud dengan syukur dan syarat-syaratnya, maka diharapkan kita bisa menjalankan dan menerapkannya dalam kehidupan nyata, sehingga kita dapat menjauhkan diri dari kufur nikmat, karena jika kita terjerumus ke dalam kufur nikmat, berarti kita turut serta menyukseskan misi Iblis dan anak cucunya untuk menjauhkan anak cucu Adam dari bersyukur kepada Tuhannya. Wallahu a’lam bish-shawab! (sumber)



»»  READMORE...

Satu Tujuan Hidup untuk Semua Manusia


Tujuan hidup, hal yang satu ini tentu sudah sering kita dengar dan kita perbincangkan dalam maksud dan kedalaman yang beragam. Kalau kita bertanya pada seratus orang mengenai tujuan hidup mereka masing-masing, mungkin kita akan mendapatkan seratus jawaban yang berbeda-beda pula. Apa sebenarnya tujuan hidup itu? Benarkah tujuan hidup kita itu berbeda-beda satu dengan yang lainnya?

Saya mendefinisikan tujuan hidup sebagai “satu tujuan yang kita secara naluriah berusaha secara terus-menerus untuk menuju ke arahnya, baik secar sadar maupun tak sadar, dengan segala cara yang bisa kita lakukan”. Ini berarti berdasarkan definisi tersebut, tujuan hidup semua manusia itu hakikatnya adalah satu, meskipun dilakukan dengan cara yang bermacam-macam. Banyak orang (khususnya orang Islam) mengatakan bahwa “satu tujuan” itu adalah beribadah kepada Allah, sebagaimana yang disuratkan dalam al-Qur’an, yang artinya “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Q.S. 51: 56). Saya katakan, beribadah kepada Allah bukanlah tujuan hidup kita, melainkan tujuan penciptaan manusia oleh Allah. Nanti saya akan bahas hal tersebut.

Jadi, apa sebenarnya tujuan hidup kita di dunia, yang selalu berusaha kita capai dengan segala cara: cara yang baik, benar dan bermanfaat; atau bahkan dengan cara yang buruk, salah dan jahat? Sekarang mari kita ambil tiga contoh yang berbeda untuk menemukan tujuan yang satu itu:
  • kita bekerja sepanjang hari, apa yang ingin kita dapatkan? Yang ingin kita dapatkan dari bekerja paling tidak ada tiga hal: imbalan, aktualisasi diri dan status. Imbalan kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan fisik kita, aktualisasi diri untuk memenuhi kebutuhan psikis/psikologis dan spiritual, status untuk memenuhi kebutuhan sosial. Jika kita bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut lantas apa yang ingin kita dapatkan?
  • orang merampok, mencuri dan berbuat gendam untuk memperdaya orang (seperti yang marak diberitakan akhir-akhir ini), apa yang mereka inginkan? Yang mereka inginkan paling tidak adalah harta dan uang. Harta dan uang digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan bersenang-senang. Jika mereka bisa memenuhi kebutuhan fisik dan bersenang-senang dengan harta dan uang tersebut, lantas apa yang ingin mereka dapatkan?
  • kita bersekolah dan belajar, apa yang hendak kita capai? Yang hendak kita capai adalah prestasi, mendapatkan ranking tertinggi di kelas atau mendapatkan IPK cumlaude. Jika kita mendapatkan rangking yang tertinggi di kelas atau mendapatkan IPK yang bagus lantas apa yang kita ingin dapatkan sesungguhnya?
Setiap orang yang bekerja, belajar dan bersekolah atau bahkan merampok, mencuri serta memperdaya orang lain, atau bahkan juga orang yang nonton televisi, ngobrol dengan orang lain, tidur, menggosipkan orang lain, beribadah, menjalin hubungan asmara dengan pasangannya, semuanya pada hakikatnya, sadar atau pun tidak sadar sedang mengarahkan dirinya kepada satu hal: kebahagiaan (heppiness). Inilah satu hal yang selalu berusaha kita tuju, sebagaimana definisi yang saya maksud di atas.

Dari sekian banyak kabahagiaan yang ingin kita raih, ada satu kebahagiaan yang tertinggi dan mencakup semua kebahagiaan yang pernah atau yang ingin kita rasakan dan bahkan yang hanya bisa kita angankan. Kebahagiaan tertinggi itu adalah kebahagiaan dari Allah berupa surga. Setelah kita sampai pada urusan kebahagiaan tertinggi ini, maka saya ingin memeperjelas pandangan saya sebelumnya yang menolak ibadah sebagai tujuan hidup manusia sebagaimana banyak dikira oleh banyak orang Islam. Dalam ayat tersebut Allah menyatakan bahwa tujuan Dia menciptakan manusia adalah agar manusia itu menyembah dan beribadah kepada-Nya, dan dalam banyak ayat yang lain dalam al-Qur’an imbalan dari penyembahan dan peribadatan tersebut adalah surga. Apa itu surga? Surga adalah kebahagiaan itu sendiri:

[Inna-l-abrâra lafiy na’îm]

“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kebahagiaan yang besar (surga)” (Q.S. 83: 22).

Jadi, Allah memiliki tujuan penciptaan berupa “penyembahan/peribadatan manusia” dan sarana (imin-iming) agar manusia mau melakukan tujuan penciptaan adalah “kebahagiaan (surga)”. Sebaliknya tujuan manusia hidup adalah “kebahagiaan” dan untuk mencapai tujuan hidup tersebut manusia mempunyai sarana berupa “penyembahan /peribadatan kepada Allah sebagai Tuhannya. Dua perspektif (sudut pandang) yang berbeda dalam memandang kebahagiaan:

perspektif - sarana - tujuan
ALLAH - surga (kebahagiaan tertinggi) - penyembahan/peribadatan
MANUSIA - penyembahan/peribadatan - surga (kebahagiaan tertinggi)

Di muka dalam definisi yang saya buat menyebutkan bahwa usaha kita untuk mencapai kebahagiaan itu bersifat naluriah. Ada kerinduan yang kebanyakan tak kita sadari untuk mencapai dan merasakan kabahagiaan (tertinggi). Mengapa kita selalu ingin menuju kebahagiaan tersebut dan seperti merindukannya?

Padahal, kita tak mungkin merindukan sesuatu jika kita tak pernah punya pengalaman dengan sesuatu itu, belum pernah merasakan sensasi kenikmatannya atau kesenangnnya. Misalnya kita seumur hidup belum pernah merasakan sensasi kesegaran dan kesenangan mandi di sebuah sungai yang indah di Pantai Sukamade di Taman Nasional Meru Betiri; sebuah sungai yang berkelok-kelok yang alirannya membelah pantai berpasir putih; sungai yang airnya tetap tawar dan segar meskipun langsung berhadapan dengan kegagahan Laut Selatan; lantas kemudian tiba-tiba kita mengatakan kepada teman kita bahwa kita merasa rindu dan ingin kembali merasakan sensasi mandi di sungai tersebut. Mungkinkah? Contoh yang lain, kita seumur hidup belum pernah bertemu, berkenalan atau mendengar nama dan hal-ihwal tentang seorang gadis bernama Sasadhara, misalnya, atau seorang pemuda bernama Adinara, kemudian tiba-tiba kita merasa rindu padanya, mungkinkah? Sesuatu yang tak pernah kita kenal dan alami sebelumnya tak mungkin akan kita rindukan, yang kita rindukan pastinya adalah sesuatu yang pernah kita rasakan dan alami sebelumnya.

Lantas mengapa kita selalu menginginkan kebahagiaan tertinggi tersebut dan mengapa juga Allah mengiming-imingi manusia dengan surga? Apakah itu berarti kita pernah merasakan kebahagiaan di surga sebelumnya? Ya, memang benar kita tak pernah merasakan kebahagiaan tertinggi tersebut, tetapi bapak kita Adam pernah merasakannya. Kerinduan akan perasaan bahagiaan tersebut terus diturunkan oleh manusia dari satu generasi ke generasi hingga sampai pada kita sekarang ini. Perasaan inilah yang disebut oleh Carl G. Jung (psikologi analitis) sebagai archetypus.
Archetypus adalah bentuk pendapat naluriah (instinktif) dan reaksi naluriah terhadap situasi tertentu yang terjadi di luar kesadaran. Archetypus itu dibawa sejak lahir dan tumbuh pada apa yang disebut Jung sebagai ketidaksadaran kolektif selama perkembangan manusia (sebagai jenis), yang tak tergantung pada manusia perorangan. Ketidaksadaran kolektif mengandung isi-isi yang diperoleh selama pertumbuhan jiwa seluruhnya, yaitu pertumbuhan jiwa seluruh jenis manusia, melalui generasi yang terdahulu. Ini merupakan endapan cara-cara reaksi kemanusiaan yang khas semenjak zaman dahulu di dalam manusia menghadapi situasi-situasi di dalam kehidupannya. Archetypus merupakan medan tenaga dari ketidaksadaran yang dapat mengubah sikap kehidupan sadar manusia. Jadi, sebagian besar dorongan kita untuk mencapai kebahagiaan adalah berasal dari dorongan ketidaksadaran kolektif kita sebagai manusia, sebagai anak cucu Adam yang pernah merasai kebahagiaan tertinggi. (Sumber)
»»  READMORE...