Kamis, 07 Maret 2013

Fakir Miskin

Picture
[Ilustrasi, dari viva.co.id]

“Dari Ibn ‘Abbas r.a: Sesungguhnya Nabi SAW mengutus Muadz r.a ke Yaman seraya berkata: Panggillah mereka untuk menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah dan bahwa aku utusan Allah SWT. Jika mereka mematuhinya, ajarkan kepada mereka  bahwa Allah mewajibkan bagi mereka lima kali shalat sehari semalam. Jika mereka mematuhinya, ajarkan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka shadaqah dalam harta mereka, diambil dari orang kaya mereka, dan dikembalikan kepada orang miskin mereka.”

Hadis ini adalah hadis pertama dalam Kitab al-Zakat, Shahih al-Bukhari. Muadz ra. diutus ke Yaman untuk mengajarkan Islam secara berangsur-angsur. Dalam hadis tersebut Nabi SAW mendefinisikan zakat sebagai “harta yang diambil dari orang kaya dan dikembalikan kepada orang miskin.” Kata “dikembalikan” menunjukkan bahwa zakat sebenarnya hak orang miskin yang dititipkan pada orang kaya. Dengan mengembalikan harta itu kepada yang  berhak (mustahiq), ia membersihkan hartanya. Karena itu, zakat berarti pembersihan atau pensucian.  Di dalam sistem ekonomi Islam, zakat hanyalah salah satu cara untuk mengentaskan kemiskinan. Di luar zakat, ada kewajiban sosial untuk mengentaskan kemiskinan.

Siapakah Fakir Miskin? Nabi SAW bersabda: “Bukanlah orang miskin itu yang berkeliling mengemis di tengah-tengah manusia, tidak diberikan kepadanya sesuap atau dua suap, satu atau dua biji korma. Orang miskin ialah orang yang kekayaannya tidak mencukupi dirinya, tetapi orang banyak tidak mengetahuinya, sehingga mereka tidak bersedekah kepadanya. Ia juga tidak berdiri meminta-minta kepada orang lain.” (Muttafaqun ‘Alaih).

Atas dasar hadis ini, para ulama membedakan antara fakir dan miskin. Sebagian berpendapat bahwa keadaan fakir lebih buruk dari keadaan miskin. Orang miskin memiliki sesuatu tetapi tidak mencukupinya. Orang fakir tidak memiliki apa-apa. Acuan mereka adalah Surah Al-Kahfi: 79 yang mengatakan: Adapun bahtera itu adala kepunyaan orang miskin yang bekerja di laut. Ia disebut miskin, padahal ia mempunyai perahu sebagai sumber penghidupannya. Pendapat itu dikemukakan Imam Syafi’I dan jumhur ulama. Abu Hanifah dan keluarga Nabi berpendapat bahwa orang miskin lebih “fakir” dari orang fakir. Acuan mereka adalah firman Allah ini: Atau orang miskin yang bergelimang debu (Al-Balad: 16). Jadi, orang miskin mempunyai pakaian yang compang-camping, sehingga tubuhnya bersentuhan langsung dengan tanah. Tetapi Abdul Qasim dan Imam Malik, juga Abu Yusuf, dan diperkuat Jalaluddin al-Suyuthi, berpendapat fakir dan miskin itu sama saja (Nail al-Awthar, 4:223-224).

Dr Yusuf al-Qardhawi mempunyai pendapat lain. “Orang miskin adalah orang yang memerlukan pertolongan. Walaupun masyarakat mengabaikannya dan tidak menyadari keadaan mereka, Rasul Islam menaruh perhatian kepada mereka, membangkitkan akal dan rasa kemanusiaan kepadanya. Yang termasuk kepada kelompok miskin ini adalah orang yang punya rumah, punya keluarga yang tidak meminta-minta, atau tidak dapat bergerak, baik karena ketuaan maupun karena kelemahan. Atau yang sedikit hartanya tetapi banyak tanggungannya, atau hasil pekerjaannya tidak mencukupi kebutuhan pokoknya.

Imam Hasan al-Bashri ditanya tentang seseorang yang punya rumah dan pembantu, apakah dia itu berhak menerima zakat? Hasan menjawab, dia boleh mengambil zakat bila dia berkekurangan. Tak ada salahnya. Imam Ahmad ditanya tentang orang yang memiliki barang tak bergerak, atau barang dagangan seharga 10 ribu dirham, lebih banyak atau lebih sedikit dari itu, tetapi tidak mencukupi keperluannya. Imam Ahmad berkata, “Ia boleh mengambil zakat.” Jadi, miskin bukan sja orang yang tak punya apa-apa, tetapi yang tak mempunyai sesuatu yang mencukupinya (Musykilat al-Faqr).

Dalam literatur modern, ada banyak cara mendefenisikan miskin. Para ahli ekonomi menggunakan indeks kemiskinan yang berubah-ubah, sesuai dengan perkembangan ekonomi. Tetapi definisi yang paling banyak diterima tampaknya sesuai dengan perumusan para fuqaha Islam. Kemiskinan dirujukkan pada pemenuhan kebutuhan pokok. Orang dikatakan miskin jika tidak memiliki sumber daya yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan rekreasi. Para ilmuwan sosial memandang kemiskinan sebagai salah satu masalah sosial.

Pandangan Islam tentang Kemiskinan.  Pandangan Islam tentu saja pandangan para ulama Islam tentang kemiskinan, dengan merujuk pada Al-Qur’an dan Sunnah. Kita dapat menyebut paling tidak tiga aliran: Pertama, ada yang memandang kemiskinan sebagai keutamaan. Pandangan ini diwakili para sufi. Kitab-kitab tasawuf memuat bab khusus tentang kemuliaan orang miskin. Berikut ini adalah hadis-hadis yang relevan dengannya: “Hamba yang paling dicintai Allah ialah orang fakir yang merasa cukup dengan rezekinya, yang ridha dengan ketentuan Allah.” Allah SWT mewahyukan kepada Ismail as.: Carilah Aku di tengah orang-orang yang hancur hatinya. Ismail bertanya: “Siapakah mereka?” Allah menjawab: Orang-orang miskin yang jujur. Tidak ada yang lebih mulia daripada orang miskin yang ridha. Pada hari kiamat, Allah SWT berkata: Mana orang yang terpilih dari makhluk-Ku? Para malaikat bertanya: “Siapakah mereka itu wahai Tuhan kami?” Tuhan berfirman: Orang-orang Islam yang miskin, yang merasa cukup dengan pemberian-Ku, yang ridha dengan ketentuan-Ku, masukkan mereka ke surga (lihat Ihya al-Ulum al-Din 4: 212). Tentu saja pada aliran ini tak ada upaya untuk mengentaskan kemiskinan.

Kedua, kemiskinan dipandang sebagai kehendak Tuhan, takdir Tuhan. Inilah paham kaum Jabariah. Karena kemiskinan itu sudah merupakan ketentuan Allah, tak perlu kita berjuang untuk mengurangi kemiskinan. Kemiskinan bukan masalah sosial. Ia hanya masalah giliran saja. Bukankah Tuhan bersabda: Hari-hari kejayaan ini kami pergilirkan antara manusia (Ali Imran: 140). Atau: Allah meluaskan rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan menyempitkan rezeki” (Ar-Ra’d: 26, lihat juga Al-Qashash: 82, A-Ankabut: 62, Ar-Rum: 37). Banyak hadis dikutip untuk menunjukkan bahwa nasib kita sudah ditentukan sebelum kita lahir, termasuk kaya atau miskin.

Ketiga, kemiskinan dipandang sebagai kemusykilan hidup yang harus diatasi. Orang miskin menjadi miskin karena berbagai masalah. Yusuf al-Qardhawi, dan banyak penulis mutakhir, memandang kemiskinan sebagai bahaya terhadap akidah, akhlak, pemikiran, keluarga, dan masyarakat. Dalam hubungan dengan bahaya kemiskinan terhadap akidah, Nabi SAW bersabda: “Hampir-hampir kemiskinan menjadikan orang kafir” (Abu Nu’aim). 
Dalam riwayat lain, Rasulullah SAW berdoa: “ Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari kefakiran, kekurangan dan kehinaan. Aku berlindung kepada-Mu dari berbuat zalim dan dizalimi” (Abu Dawud, Al-Nasai, Ibn Majah, Al-Hakim).
Nabi SAW bersabda: “Siapa yang mempunyai kelebihan harta hendaknya ia memberikan hartanya kepada orang yang tidak memilikinya. Siapa yang mempunyai bekal, hendaknya ia memberikan bekal kepada yang tidak mempunyainya.”
Di antara sahabat Nabi SAW yang mengikuti pandangan ini ialah Ali bin  Abi Thalib kw. Ia berkata, “Jika kemiskinan itu manusia, aku akan memeranginya.” Kepada puteranya, Hasan, Ali berpesan, “Wahai anakku, orang miskin itu terhina. Pembicaraannya tidak didengar, statusnya tidak diharga. Bila si miskin jujur, ia disebut pendusta. Bila ia zuhud, ia bodoh. Wahai anakku, jika orang ditimpa kemiskinan, ia akan mendapat empat perkara: kelemahan dalam keyakinan, kekurangan dalam pemikiran, kelembekan dalam beragama, kekurangan rasa malu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari kefakiran” (Al-Bihar 72:47).

Mengentaskan Kemiskinan. Ali bin Abi Thalib berkata, “Sesungguhnya Allah SWT mewajibkan kepada orang kaya dalam hartanya seukuran yang mencukupi orang-orang miskinnya. Bila orang miskin itu lapar, telanjang, atau mendapat kesulitan, dan mereka mengalami itu karena ulah orang-orang kaya, maka Tuhan pasti memeriksa orang-orang kaya itu dengan pemeriksaan yang berat, dan menyiksa mereka dan siksaan yang berat pula.”

Kewajiban yang dimaksud Imam Ali bin Abi Thalib disini ialah kewajiban di luar zakat. Walaupun telah mengeluarkan zakat, orang-orang kaya dituntut tanggung jawabnya untuk mengentaskan kemiskinan. Orang-orang kaya akan dipersalahkan jika di tengah masyarakat ada orang yang tidak dapat menutupi kebutuhan pokoknya.

Ibn Hazm dalam al-Muhalla menjelaskan, tanggung jawab di luar zakat ini merupakan kesepakatan di antara para sahabat. Ia juga menunjukkan dalil-dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah. Dari Al-Qur’an: Berikan kepada keluarga haknya, kepada orang miskin dan ibnu sabil (Al-Isra: 26); apa yang menyebabkan kamu masuk neraka Saqar? Ahli neraka berkata: Kamu bukanlah orang yang sembahyang. Dan kami dulu tidak memberi makan kepada orang miskin (Al-Mudatsir: 42-44).

Inilah argumentasi Ibn Hazm dari al-Sunnah. Rasulullah SAW bersabda: “Muslim itu saudara bagi Muslim yang lain. Tidak boleh ia menzaliminya dan tidak boleh menyerahkannya kepada musuh.” Orang yang membiarkan saudaranya lapar atau telanjang, ia telah berbuat zalim dan menyerahkannya kepada musuh. Nabi SAW bersabda: “Siapa yang mempunyai kelebihan harta hendaknya ia memberikan hartanya kepada orang yang tidak memilikinya. Siapa yang mempunyai bekal, hendaknya ia memberikan bekal kepada yang tidak mempunyainya.”

Setelah seluruh kutipan ini, Ibn Hazm berpendapat: inilah ijmak para sahabat. Orang-orang kaya pada setiap negeri harus berusaha mengentaskan kemiskinan. Pemerintah harus memaksakan usaha itu kepada orang-orang kaya. Dengan usaha itulah ditutupi kebutuhan sandang, pangan, dan papan mereka. Bila orang kaya tidak melakukannya, orang miskin berhak menuntut haknya dengan paksa. Bila ia mati ketika menuntut hak itu, ia mati syahid.

Ibn Hazm mengingatkan kita kepada pendapat Abu Dzar. Ia berkata, “Aku heran menyaksikan orang miskin yang di rumahnya tidak ada makanan. Mengapa ia tidak keluar rumah dan menghunus pedangnya.” Nabi SAW bersabda: “Bersedekahlah kamu sebelum datang suatu masa orang berkeliling menawarkan sedekahnya, tetapi orang-orang tidak mau menerimanya. Mereka berkata, “Kalau kamu datang kemarin, kami akan menerimanya. Tetapi hari ini kami tidak memerlukannya.” (Shahih al-Bukhari ). Ada yang menafsirkan hadis itu dengan mengatakan bahwa waktu itu orang miskin sudah berkecukupan. Banyak pula ulama yang menafsirkan bahwa waktu itu sedekah sudah terlambat. Kemiskinan sudah tidak dapat ditanggungkan lagi. Orang-orang miskin sudah menghunus pedangnya. Mereka seakan-akan berkata, “Hari ini kami tidak perlu sedekahmu. Hari ini yang kami tuntut adalah darahmu.”  [JR]

Tulisan ini dimuat di Majalah UMMAT dalam Rubrik SUNNAH oleh Musthafa Syauqi dengan judul “Fakir Miskin (sumber)




0 comments:

Posting Komentar