Kamis, 07 Maret 2013

Satu Tujuan Hidup untuk Semua Manusia


Tujuan hidup, hal yang satu ini tentu sudah sering kita dengar dan kita perbincangkan dalam maksud dan kedalaman yang beragam. Kalau kita bertanya pada seratus orang mengenai tujuan hidup mereka masing-masing, mungkin kita akan mendapatkan seratus jawaban yang berbeda-beda pula. Apa sebenarnya tujuan hidup itu? Benarkah tujuan hidup kita itu berbeda-beda satu dengan yang lainnya?

Saya mendefinisikan tujuan hidup sebagai “satu tujuan yang kita secara naluriah berusaha secara terus-menerus untuk menuju ke arahnya, baik secar sadar maupun tak sadar, dengan segala cara yang bisa kita lakukan”. Ini berarti berdasarkan definisi tersebut, tujuan hidup semua manusia itu hakikatnya adalah satu, meskipun dilakukan dengan cara yang bermacam-macam. Banyak orang (khususnya orang Islam) mengatakan bahwa “satu tujuan” itu adalah beribadah kepada Allah, sebagaimana yang disuratkan dalam al-Qur’an, yang artinya “Dan Aku tidak ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (Q.S. 51: 56). Saya katakan, beribadah kepada Allah bukanlah tujuan hidup kita, melainkan tujuan penciptaan manusia oleh Allah. Nanti saya akan bahas hal tersebut.

Jadi, apa sebenarnya tujuan hidup kita di dunia, yang selalu berusaha kita capai dengan segala cara: cara yang baik, benar dan bermanfaat; atau bahkan dengan cara yang buruk, salah dan jahat? Sekarang mari kita ambil tiga contoh yang berbeda untuk menemukan tujuan yang satu itu:
  • kita bekerja sepanjang hari, apa yang ingin kita dapatkan? Yang ingin kita dapatkan dari bekerja paling tidak ada tiga hal: imbalan, aktualisasi diri dan status. Imbalan kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan fisik kita, aktualisasi diri untuk memenuhi kebutuhan psikis/psikologis dan spiritual, status untuk memenuhi kebutuhan sosial. Jika kita bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut lantas apa yang ingin kita dapatkan?
  • orang merampok, mencuri dan berbuat gendam untuk memperdaya orang (seperti yang marak diberitakan akhir-akhir ini), apa yang mereka inginkan? Yang mereka inginkan paling tidak adalah harta dan uang. Harta dan uang digunakan untuk memenuhi kebutuhan fisik dan bersenang-senang. Jika mereka bisa memenuhi kebutuhan fisik dan bersenang-senang dengan harta dan uang tersebut, lantas apa yang ingin mereka dapatkan?
  • kita bersekolah dan belajar, apa yang hendak kita capai? Yang hendak kita capai adalah prestasi, mendapatkan ranking tertinggi di kelas atau mendapatkan IPK cumlaude. Jika kita mendapatkan rangking yang tertinggi di kelas atau mendapatkan IPK yang bagus lantas apa yang kita ingin dapatkan sesungguhnya?
Setiap orang yang bekerja, belajar dan bersekolah atau bahkan merampok, mencuri serta memperdaya orang lain, atau bahkan juga orang yang nonton televisi, ngobrol dengan orang lain, tidur, menggosipkan orang lain, beribadah, menjalin hubungan asmara dengan pasangannya, semuanya pada hakikatnya, sadar atau pun tidak sadar sedang mengarahkan dirinya kepada satu hal: kebahagiaan (heppiness). Inilah satu hal yang selalu berusaha kita tuju, sebagaimana definisi yang saya maksud di atas.

Dari sekian banyak kabahagiaan yang ingin kita raih, ada satu kebahagiaan yang tertinggi dan mencakup semua kebahagiaan yang pernah atau yang ingin kita rasakan dan bahkan yang hanya bisa kita angankan. Kebahagiaan tertinggi itu adalah kebahagiaan dari Allah berupa surga. Setelah kita sampai pada urusan kebahagiaan tertinggi ini, maka saya ingin memeperjelas pandangan saya sebelumnya yang menolak ibadah sebagai tujuan hidup manusia sebagaimana banyak dikira oleh banyak orang Islam. Dalam ayat tersebut Allah menyatakan bahwa tujuan Dia menciptakan manusia adalah agar manusia itu menyembah dan beribadah kepada-Nya, dan dalam banyak ayat yang lain dalam al-Qur’an imbalan dari penyembahan dan peribadatan tersebut adalah surga. Apa itu surga? Surga adalah kebahagiaan itu sendiri:

[Inna-l-abrâra lafiy na’îm]

“Sesungguhnya orang yang berbakti itu benar-benar berada dalam kebahagiaan yang besar (surga)” (Q.S. 83: 22).

Jadi, Allah memiliki tujuan penciptaan berupa “penyembahan/peribadatan manusia” dan sarana (imin-iming) agar manusia mau melakukan tujuan penciptaan adalah “kebahagiaan (surga)”. Sebaliknya tujuan manusia hidup adalah “kebahagiaan” dan untuk mencapai tujuan hidup tersebut manusia mempunyai sarana berupa “penyembahan /peribadatan kepada Allah sebagai Tuhannya. Dua perspektif (sudut pandang) yang berbeda dalam memandang kebahagiaan:

perspektif - sarana - tujuan
ALLAH - surga (kebahagiaan tertinggi) - penyembahan/peribadatan
MANUSIA - penyembahan/peribadatan - surga (kebahagiaan tertinggi)

Di muka dalam definisi yang saya buat menyebutkan bahwa usaha kita untuk mencapai kebahagiaan itu bersifat naluriah. Ada kerinduan yang kebanyakan tak kita sadari untuk mencapai dan merasakan kabahagiaan (tertinggi). Mengapa kita selalu ingin menuju kebahagiaan tersebut dan seperti merindukannya?

Padahal, kita tak mungkin merindukan sesuatu jika kita tak pernah punya pengalaman dengan sesuatu itu, belum pernah merasakan sensasi kenikmatannya atau kesenangnnya. Misalnya kita seumur hidup belum pernah merasakan sensasi kesegaran dan kesenangan mandi di sebuah sungai yang indah di Pantai Sukamade di Taman Nasional Meru Betiri; sebuah sungai yang berkelok-kelok yang alirannya membelah pantai berpasir putih; sungai yang airnya tetap tawar dan segar meskipun langsung berhadapan dengan kegagahan Laut Selatan; lantas kemudian tiba-tiba kita mengatakan kepada teman kita bahwa kita merasa rindu dan ingin kembali merasakan sensasi mandi di sungai tersebut. Mungkinkah? Contoh yang lain, kita seumur hidup belum pernah bertemu, berkenalan atau mendengar nama dan hal-ihwal tentang seorang gadis bernama Sasadhara, misalnya, atau seorang pemuda bernama Adinara, kemudian tiba-tiba kita merasa rindu padanya, mungkinkah? Sesuatu yang tak pernah kita kenal dan alami sebelumnya tak mungkin akan kita rindukan, yang kita rindukan pastinya adalah sesuatu yang pernah kita rasakan dan alami sebelumnya.

Lantas mengapa kita selalu menginginkan kebahagiaan tertinggi tersebut dan mengapa juga Allah mengiming-imingi manusia dengan surga? Apakah itu berarti kita pernah merasakan kebahagiaan di surga sebelumnya? Ya, memang benar kita tak pernah merasakan kebahagiaan tertinggi tersebut, tetapi bapak kita Adam pernah merasakannya. Kerinduan akan perasaan bahagiaan tersebut terus diturunkan oleh manusia dari satu generasi ke generasi hingga sampai pada kita sekarang ini. Perasaan inilah yang disebut oleh Carl G. Jung (psikologi analitis) sebagai archetypus.
Archetypus adalah bentuk pendapat naluriah (instinktif) dan reaksi naluriah terhadap situasi tertentu yang terjadi di luar kesadaran. Archetypus itu dibawa sejak lahir dan tumbuh pada apa yang disebut Jung sebagai ketidaksadaran kolektif selama perkembangan manusia (sebagai jenis), yang tak tergantung pada manusia perorangan. Ketidaksadaran kolektif mengandung isi-isi yang diperoleh selama pertumbuhan jiwa seluruhnya, yaitu pertumbuhan jiwa seluruh jenis manusia, melalui generasi yang terdahulu. Ini merupakan endapan cara-cara reaksi kemanusiaan yang khas semenjak zaman dahulu di dalam manusia menghadapi situasi-situasi di dalam kehidupannya. Archetypus merupakan medan tenaga dari ketidaksadaran yang dapat mengubah sikap kehidupan sadar manusia. Jadi, sebagian besar dorongan kita untuk mencapai kebahagiaan adalah berasal dari dorongan ketidaksadaran kolektif kita sebagai manusia, sebagai anak cucu Adam yang pernah merasai kebahagiaan tertinggi. (Sumber)

0 comments:

Posting Komentar