Kamis, 07 Maret 2013

Kisah Pernikahan Agung Sayyidah Khadijah RA dan Sayyidah Fathimah RA

“Cinta Ini Allah Karuniakan kepadaku...”

www.majalah-alkisah.comJika soal harta, Muhammad tak punya apa-apa. Karena harta bakal lenyap dan pasti kembali ke Pemiliknya. Namun ia punya perasaan suka kepada Khadijah, sebagaimana Khadijah juga memiliki perasaan yang sama kepadanya.

Keberkahan menikah. Itulah manifestasi akhir ketika seseorang merajut tali kasih dalam mahligai rumah tangga. Maka tidak ada satu pun contoh yang paling berkesan, mengharu biru, dan menjadi keteladanan bagi setiap muslim, selain kisah pernikahan Sayyidah Khadijah dan putrinya, Sayyidah Fathi­mah. Pernikahan keduanya dengan pria idaman mereka masing-masing telah me­lahirkan satu ikatan yang kuat yang ber­puncak pada keridhaan atas kehendak Allah SWT. Maka keridhaan itu berbalas kasih sayang Allah yang luar biasa se­panjang pernikahan kedua tokoh ini.

Sayyidah Khadijah dan Sayyidah Fathimah adalah sosok seorang istri dan ibu yang patut diteladani pada berbagai sisi. Sayyidah Khadijah adalah contoh bagi kaum wanita karier, sedangkan Sayyidah Fathimah adalah contoh bagi anak perempuan yang berbakti kepada orangtua.

Dalam semaian ruhaniyah dan didik­an mental Rasulullah SAW, keduanya men­­jadi sosok utama dalam sejarah kaum muslimah. Keduanya juga menjadi ibu ahlul bayt yang dibanggakan dan me­megang peran yang sentral lagi strategis bagi kaum wanita.

Bagaimanakah sesungguhnya kedua sayyidah nisa‘ al-’alamin (pemuka wanita di seluruh jagat) ini menjalani mahligai rumah tangganya? Itu dapat dilihat dari kisah pernikahannya.

Pernikahan Sayyidah Khadijah RA 

Khadijah dijuluki Ath-Thahirah (Wani­ta yang Suci), di masa Jahiliyyah maupun Islam, karena ia begitu menjaga kehor­matannya sebagai wanita. Dalam sirah karya At-Taimi, ia dijuluki Sayyidah Nisa‘ Quraisy (Pemuka Kaum Wanita Quraisy).

Khadijah, sebagaimana diriwayatkan Ibn Al-Atsir dan Ibn Hisyam, adalah se­orang wanita pengusaha yang memiliki kedudukan mulia di masyarakatnya dan juga memiliki harta yang banyak. Dalam menjalankan usahanya, ia mengupah ba­nyak laki-laki, terutama untuk mengurus perniagaannya ke berbagai wilayah.

Khadijah adalah seorang janda yang pernah menikah dua kali. Suami pertama­nya bernama ‘Atiq bin ‘Aidz At-Tamimi. Se­telah wafatnya sang suami, ia menikah dengan Abu Halah Hindun bin Zararah At-Tamimi. Dari kedua pernikahannya ini, Khadijah beroleh anak, namun sayang anak-anaknya tidak berumur panjang.

Tampaklah, Sayyidah Khadijah binti Khuwailid RA adalah seorang wanita yang telah banyak merasakan manis ge­tirnya berumah tangga. Ia pernah diting­gal mati anak dan suami, namun perjalan­an hidup itu makin membuatnya semakin ku­kuh dan memilih Muhammad SAW se­bagai nakhoda di bahtera kehidupan rumah tangga terakhirnya.

Awal perjumpaannya dengan pe­muda Muhammad tidak terlepas dari pe­ran beberapa orang yang menyambung­kan kisah kasih keduanya.

Dalam buku berjudul Hayah Muham­mad, karya pujangga Mesir kenamaan, Muhammad Husain Haikal, dikisahkan, Abu Thalib adalah paman yang sangat menyayangi Muhammad. Ia menjaga dan merawatnya penuh kasih sayang, seperti kasihnya kepada putra-putrinya yang lain.

Akan tetapi kemiskinan dan banyak anak, sedikit banyaknya, menyulitkan Abu Thalib dalam memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga. Untuk membantu menopang keadaan ekonomi, Abu Thalib menawarkan Muhammad untuk bekerja kepada Khadijah Binti Khuwailid, yang memiliki usaha cukup sukses dan maju. Apa­lagi ia tahu sekali, kemenakannya ada­lah seorang pemuda yang cekatan, jujur, dan mau berusaha keras.

“Anakku, aku bukan orang yang ber­ada. Keadaan makin menekan kita. Aku dengar, Khadijah binti Khuwailid mengu­pah orang dengan dua ekor anak unta un­tuk menjualkan barang dagangannya. Maukah kau kuajukan kepadanya seba­gai karyawannya. Tentunya, aku akan meminta lebih dari itu, karena mereka pun tahu siapa engkau, putraku....”

“Terserah Paman, aku ikuti saja,” kata Muhammad.

Abu Thalib pun mendatangi Khadijah. Ia tawarkan kemenakannya untuk diper­bantukan di usaha Khadijah, namun ia meminta lebih sebagai upahnya. Sebab Muhammad sudah cukup dikenal oleh Khadijah sebagai pemuda yang rajin dan jujur.

“Bahkan kalau permintaanmu itu buat orang jauh dan tidak kusukai, aku kabul­kan. Apalagi ini orang dekat dan kusukai, lebih dari itu pun aku bersedia mengu­pah­nya,” jawab Khadijah kepada Abu Tha­lib, yang sudah sangat mengenal re­putasi Abu Thalib.

Gayung pun bersambut. Betapa suka citanya Abu Thalib dengan kabar ini, se­hingga ia segera pulang untuk mengabar­kannya kepada kemenakannya itu.

“Wahai Muhammad, ini adalah rizqi yang dilimpahkan Tuhan kepadamu,” kata pamannya penuh kegirangan. Ter­bayang olehnya, beban ekonomi keluar­ga akan sedikit ringan, berkat diterimanya Muhammad bekerja pada Khadijah.

Muhammad juga menerima dengan senang hati.

Singkat cerita, Muhammad pun men­jadi tenaga penjual ke Syam dan seke­liling Makkah bagi usaha Khadijah, yang disukai pembeli dan tentunya sang empu­nya dagangan, Khadijah.

Dengan kejujuran dan kemampuan­nya, ternyata Muhammad mampu mem­perdagangkan barang-barang Khadijah dengan lebih banyak keuntungan dari­pada yang dilakukan orang sebelumnya. Sifatnya yang bijak, tutur kata yang ma­nis, dan pembawaannya yang penuh ke­san, segera menarik sikap penghormatan dan kekaguman Maisarah, rekan dalam kafilah dagang.

Selain itu, sejumlah keajaiban spiritual yang disaksikan Maisarah selama perja­lanan ke Syam juga diceritakan kepada Khadijah. Di antara keajaiban spiritual ter­sebut adalah pernyataan seorang rahib bernama Buhaira‘, tentang tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad, yang sa­ngat cocok dan tepat dengan nubuwwat yang terdapat di Taurat dan Injil. Keajaib­an lainnya adalah perjalanan mereka ber­dua, Muhammad dan Maisarah, yang ja­raknya jauh tapi menjadi terasa dekat. Juga adanya awan yang berjalan me­naungi perjalanan mereka dari terik ma­tahari.

Dalam waktu singkat saja kegem­bira­an Khadijah berubah menjadi rasa cinta. Sehingga ia, yang sudah berkepala em­pat dan sebelum itu selalu menolak la­maran pemuka-pemuka dan pembesar-pem­besar Quraisy, jatuh cinta kepada Muhammad.

Ketika Khadijah dirundung musibah, sang ayah tercinta meninggal dunia, Wa­raqah bin Naufal, anak pamannya, datang melipur laranya. Waraqah, seorang yang alim, menjelaskan bahwa dunia ini bukan akhir segalanya, akan ada hari berbangkit ketika Allah memberikan pahala atau hukuman, menurut amal masing-masing umat. Dan ayah Khadijah, menurut Wa­raqah, termasuk orang yang beruntung, sebab ia orang baik-baik.

”Kenapa kau tidak sampaikan hal ini kepada orang-orang, agar mereka tidak lagi menyembah berhala-berhala dan ha­nya berharap kepada Allah?” kata Kha­dijah setelah merasa terhibur.
“Ini bukan tugasku. Seorang nabi akhir zaman sudah waktunya muncul, sebagaimana yang ditunjukkan kitab-kitab suci yang kami baca. Dia-lah yang kelak akan menyampaikan petunjuk ini,” kata Waraqah.

Sayyidah Khadijah lalu teringat pada cerita Maisarah tentang Muhammad SAW dan menceritakannya kembali ke­pada Waraqah.

“Jika ini memang benar, wahai Kha­dijah, Muhammad adalah nabi umat ini,” Waraqah meyakinkan.
Sayyidah Khadijah pun merasa te­nang. Dalam hatinya muncul sebuah ha­rapan yang tidak bisa dibendung. Ya, cintanya kepada Muhammad, sosok yang pintar, rajin, dan shalih.
Khadijah pun mencurahkan isi hati­nya ini kepada seorang saudaranya, me­nurut riwayat yang lain sahabatnya, yang bernama Nufaisah binti Munyah.
Curahan hati itu pun disampaikan Nu­faisah kepada Muhammad.
Nufaisah berkata, “Mengapa kau be­lum menikah?”

Muhammad menjawab, “Aku tidak punya apa-apa untuk bekal persiapan menikah.”
“Kalau itu disediakan, dan yang mau melamarmu seorang wanita yang cantik, berharta, terhormat, dan memenuhi syarat, tidakkah kau terima?”
“Siapa dia?”
“Khadijah.”
“Dengan cara bagaimana?” Muham­mad  menghela napas.
Sebenarnya ia sendiri berkenan de­ngan Khadijah, sekalipun hati kecilnya belum memikirkan pernikahan. Apalagi jika mengingat bahwa lamaran para pem­besar saja ditolak Khadijah, sedangkan ia hanya pemuda sederhana.
“Serahkan itu semua kepadaku,” ujar Nufaisah menyemangatinya.
Maka Muhammad pun mengangguk, menyatakan persetujuannya.
Tak lama kemudian, Khadijah membi­carakan niatnya itu kepada paman-pa­mannya, karena ayahnya sudah tiada, ter­masuk menentukan waktu bagi keluar­ga besarnya untuk dapat menghadiri pernikahan paling indah ini.
Di sisi lain, Muhammad pun mengu­ta­rakan berita ini kepada sanak keluar­ganya, terutama paman-pamannya, dan mendapat dukungan.
“Tak akan Lari Hidungnya”
Tatkala pernikahan ini akan dilang­sungkan, Muhammad diiringi pamannya, Hamzah bin Abdul Muththallib, yang me­minangkan Khadijah bagi Muhammad. Sedangkan pamannya yang lain, Abu Thalib, menyampaikan khutbah pinang­an.

Dalam khutbahnya Abu Thalib ber­kata, “Sesungguhnya Muhammad putra­ku ini tidak bisa ditimbang-timbang de­ngan seorang pemuda Quraisy mana pun. Namun yang nyata pada dirinya adalah bahwa ia seorang pemuda yang mulia, utama, dan cerdas. Jika tentang harta, ia tak punya apa-apa. Karena harta adalah payung bagi orang yang cepat lenyap (maksudnya bakal mati) dan aib yang bakal kembali (ke sisi Tuhan). Na­mun ia punya rasa suka kepada Khadijah, sebagaimana Khadijah juga memiliki perasaan yang sama kepadanya....”

‘Amr bin Asad, wali dari Khadijah, menjawab dengan syair yang singkat, “Hewan jantan tak akan lari hidungnya....” Maksud syairnya ini, orang yang memiliki kemuliaan, seperti dia dan keluarga besar Khadijah, tak akan lari dari pinangan keluarga Muhammad.
Acara ramah tamah yang serba sing­kat dan sederhana itu pun  kemudian di­lanjutkan dengan akad nikah.

Pernikahan Khadijah dengan Mu­ham­mad dihadiri paman Khadijah, ‘Amr bin Asad, selaku wakil keluarga, yang menjadi wali dalam pernikahan itu, dan keluarga Muhammad, di antaranya pa­man-pamannya, seperti Hamzah, Abi Thalib, dan lain-lain.
Dengan 20 ekor unta muda sebagai mas kawin, Muhammad melangsungkan pernikahannya dengan Khadijah.

Acara walimah pun digelar, makanan di­hidangkan, pintu rumah Sayyidah Kha­dijah dibuka lebar-lebar untuk menjamu kerabat, sahabat, dan fakir miskin. Pem­besar-pembesar suku turut hadir meng­ucapkan selamat.

Pernikahan ini dilangsungkan setelah dua bulan 15 hari dari pulangnya Muham­mad dari Syam. Sayyidah Khadijah pada saat itu berusia 40 tahun, sedangkan Mu­hammad berusia 25 tahun.
Setelah pernikahan itu, Muhammad pun turut serta menempati kediaman Kha­dijah, sebagai pasangan yang me­mulai babak baru kehidupan sebagai se­pasang suami-istri.
Muhammad bukanlah seperti anak muda kebanyakan. Ia tidak mengenal nafsu muda yang tak terkendalikan, juga tidak mengenal cinta buta seperti nyala api yang bergelora untuk kemudian padam.

Dari perpaduan pasangan yang se­rasi ini, lahirlah putra dan putri sebanyak enam orang anak. Dua di antaranya laki-laki, yakni Al-Qasim dan anak paling bungsu, Abdullah Ath-Thahir Ath-Thay­yib, yang wafat saat berusia belia. Se­dangkan empat anak lainnya, yaitu Zai­nab, Ruqayyah, Ummu Kultsum, dan putri paling bungsu, Fathimah, ber­umur pan­jang hingga berumah tangga.
Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al-Buthi, dalam kitabnya Fiqh as-Sirah, mengutarakan, kisah pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Sayyidah Khadijah RA adalah sebuah kisah cinta yang sempurna.

Umumnya seorang lelaki muda yang baru berumah tangga punya hasrat kepada kepuasan seksual, kenikmatan ragawi, bersenang-senang dengan si istri. Namun Muhammad bukan tipe semacam itu.

Kesenangannya kepada sosok Kha­dijah lebih dari itu. Kecintaannya melebihi hasrat jasmani yang bergelora sebagai lelaki muda. Maka cukuplah tersingkap bagi kita, umatnya yang menaruh perhati­an pada kisah kasih beliau, bahwa kese­nangan yang didapatinya dari Khadijah lantaran kelembutannya, kemuliaannya, dan keagungannya di kalangan masya­rakat, yang membuat Khadijah dijuluki masyarakatnya sebagai “Wanita yang Matang yang Memiliki Kehormatan Diri dan Kesucian”.

Hubungan suami-istri ini berlangsung penuh kehangatan hingga Khadijah wafat pada usia 65 tahun.
Saking sedihnya Nabi SAW dengan wafatnya sang istri yang begitu dicintai­nya, tak terlintas di benak beliau untuk me­nikah lagi, mencari wanita yang mam­pu menggantikan posisi Khadijah dalam hatinya. Dan memang kenyataannya tak ada. Padahal, umumnya lelaki muda se­umur beliau, masih bergejolak nafsunya dengan keinginan menikah lagi, bahkan menambah istri. Tapi hal itu tidak ada pada diri Muhammad SAW!

Inilah kenyataan sejarah pernikahan Rasulullah SAW, yang dapat menyumpal mulut-mulut mereka yang dengki kepada Islam.
Keutamaan dan Kedudukan Khadijah

Khadijah memiliki kedudukan yang luhur di sisi Rasulullah SAW sepanjang kehidupan beliau, bahkan sepanjang se­jarah. Telah disebut dalam Shahih Al-Bukhari dan Muslim bahwasanya Khadi­jah adalah salah satu dari empat sebaik-baik wanita sepanjang zaman.

Rasulullah SAW menyatakan dalam sebuah haditsnya, “Sebaik-baik wanita di atas langit adalah Maryam binti Imran dan sebaik-baik wanita di dataran bumi ada­lah Khadijah binti Khuwailid.” (Muttafaq ‘alaih).

Kecintaan Rasulullah SAW yang men­dalam kepada Sayyidah Khadijah juga diutarakan beliau di hadapan istrinya yang lain, Sayyidah ‘Aisyah RA.

Pernah suatu ketika Sayyidah ‘Aisyah ber­kata, “Aku tidak pernah cemburu ke­pada istri-istri Nabi SAW seperti kecem­buruanku terhadap Khadijah. Padahal aku tak pernah bertemu dengannya.

Jika Rasulullah menyembelih kam­bing, ia senantiasa berkata, ‘Kirimkanlah (bagikanlah) daging-daging ini kepada teman-teman Khadijah...’, sehingga aku merasa cemburu dan berkata, ‘Kenapa mesti Khadijah?!’.

Beliau lalu menjawab, ‘Inni qad ruziqtu hubbaha (Sesungguhnya aku telah di­karuniai Allah dengan cinta kepadanya)’.” (Muttafaq ‘alaih).

Dalam kesempatan lain, sebagai­mana diriwayatkan Ahmad dan Ath-Tha­barani, ‘Aisyah berkata, “Rasulullah SAW, jika keluar rumah, hampir-hampir tidak per­nah lepas menyebut nama Khadijah dan memujinya.

Suatu ketika beliau keluar rumah dan melakukan hal itu.

Lalu aku berpikir untuk mencoba mengorek pelajaran dari beliau, dengan berkata, ‘Apakah hanya seorang perem­puan tua, padahal Allah telah mengganti­kannya buatmu yang lebih baik darinya?’

Kemudian beliau agak kesal seraya ber­kata, ‘Tidak, demi Allah. Tiada yang dapat menggantikan posisi Khadijah di sisiku.... Ia beriman saat orang-orang kufur, ia yang membenarkan perkataanku di saat orang-orang mendustaiku, ia yang mendukungku dengan hartanya saat orang-orang mencegahku dan enggan membantuku, dan Allah memberikan ka­runia buatku berupa anak darinya yang tidak ada pada istri-istri yang lain’.”

Ibrah di Balik Pernikahan Itu

Ketika banyak orang, baik di kalangan in­telek maupun awam, mendengar bah­wa Nabi Muhammad SAW mempunyai ba­nyak istri semasa hidupnya, timbullah sua­ra-suara yang sumbang ke arah be­liau.
Padahal, kalau mereka mau mene­la­ah lebih dalam untuk mengetahui apa ra­hasia di balik perkawinan Nabi Muham­mad SAW, niscaya mereka akan menger­ti dan memaklumi, bahkan akan memuji stra­tegi beliau. Yaitu motivasi agama, po­litik, dan sosial.

Perkawinan pertamanya dengan Kha­dijah dilakukan ketika beliau berumur 25 tahun dan Khadijah berumur 40 tahun. Se­lama hampir 25 tahuh, Nabi SAW ha­nya beristrikan Khadijah, sampai Khadi­jah meninggal dunia di umur 65 tahun. Beberapa tahun setelah wafatnya Khadi­jah, barulah beliau menikah lagi.

Dengan demikian jelaslah bahwa, jika memang Nabi SAW hanya mencari kese­nangan, tentulah tidak perlu menunggu sam­pai berusia lebih dari 50 tahun baru me­nikah lagi. Beliau tetap mencintai Kha­dijah sepanjang hidupnya.

Perkawinannya selanjutnya mempu­nyai banyak motif. Beberapa perkawinan dengan tujuan membantu wanita yang suaminya baru saja terbunuh dalam mem­bela Islam. Yang lain adalah demi menambah dan mempererat hubungan dengan salah satu pendukung Islam, Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq RA.

Ada juga dalam upaya membangun hubungan yang baik dengan suku-suku lain yang semula berniat memerangi Islam. Sehingga ketika Nabi SAW meng­awininya, perang pun terhindarkan dan darah pun tak jadi tumpah.

Beberapa intelektual non-muslim yang berkesempatan mempelajari secara langsung sejarah dan kehidupan Nabi Muhammad SAW bersikap ilmiah dan obyektif serta berkesimpulan yang ber­beda dengan kesimpulan kaum penghu­jat.

Prof. John L. Esposito, dalam karya­nya Islam The Straight Path, misalnya, mengatakan, hampir keseluruhan perka­winan Nabi Muhammad SAW mempu­nyai misi sosial dan politik.

Begitu juga dengan Caesar E. Farah, yang berkesimpulan bahwa perkawinan Nabi Muhammad SAW dengan istri-istri setelah Khadijah lebih karena alasan po­litis dan alasan menyelamatkan para jan­da yang suaminya meninggal dalam pe­rang membela Islam.
=======================
Pernikahan Fathimah Az-Zahra

Sebagaimana kisah ibundanya, kisah pernikahan Fathimah Az-Zahra juga bu­kan sebuah kisah roman picisan, yang ha­nya ada tangis cengeng dan gelak tawa yang memurahkan harga diri. Ini adalah sebuah kisah penuh ibrah, yang menjadi penghantar istimewa bagi pemu­di mus­limah yang ingin menunjukkan ittiba’-nya (mengikutinya dengan setia) kepada Sayyidah Fathimah dan penghormat­an­nya kepada kedua orangtuanya.

Di dalam kitab Usd al-Ghabah di­ceritakan bahwa, ketika Rasulullah SAW didatangi Abu Bakar dan Umar untuk me­lamar Fathimah, beliau menolaknya sam­bil berkata kepada masing-masing, “Aku sedang menunggu ketentuan Allah dalam masalah ini.”

Abu Bakar adalah orang pertama yang melamar Fathimah, namun ditolak se­cara halus. Nabi berkata, “Wahai Abu Bakar, ketentuan dalam masalah ini be­lum turun.”
Hal ini didengar oleh Umar bin Al-Khaththab. Kemudian ia datang untuk melamar Fathimah, sebagaimana yang dilakukan Abu Bakar. Namun ia pun men­dapat jawaban yang sama dari Rasulullah SAW.

Abu Bakar dan Umar kemudian me­nemui Abdurrahman bin Auf. Keduanya meminta Abdurrahman agar melamar Fathimah. Mereka berkata, “Engkau ada­lah seorang bangsawan Quraisy yang kaya. Seandainya engkau menemui Ra­sulullah SAW untuk melamar putrinya, tentu Allah akan menambah harta dan kemuliaanmu.”

Abdurrahman pun pergi menemui Ra­sulullah SAW. Ia berkata, “Wahai Rasulul­lah, nikahkanlah aku dengan Fathimah.” Tetapi Rasulullah berpaling darinya.

Maka Abdurrahman pun menemui Abu Bakar dan Umar. Kepada mereka Ab­durrahman berkata, “Aku pun meng­alami apa yang kalian berdua alami.”

Inilah yang dipikirkan oleh Abu Bakar dan Umar. Keduanya sangat ingin tahu, siapakah gerangan pribadi yang agung, yang dekat kepada Allah SWT dan paling dicintai Rasulullah SAW. Akhirnya, me­reka menemui Ali bin Abi Thalib, karena mereka tahu kedudukannya yang tinggi di sisi Allah dan Rasul-Nya. Mereka ber­kata kepadanya, “Wahai Ali, kami tahu ke­kerabatanmu dengan Rasulullah. Eng­kau juga orang pertama yang memeluk Islam. Seandainya engkau datang ke­pada Rasulullah untuk melamar Fathi­mah, tentu Allah akan menambah keuta­maan dan kemuliaanmu.”

Para sahabat yang lain, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, juga berkata kepada Ali, “Seandainya eng­kau melamar Fathimah, niscaya eng­kau akan dinikahkan dengannya oleh Nabi SAW.”

Pada suatu hari Abu Bakar, Umar, dan Sa‘ad bin Mu‘adz berada di masjid Nabi. Mereka membicarakan masalah Fathimah. Abu Bakar berkata, “Orang-orang mulia dan terhormat telah mencoba melamar Fathimah, namun mereka di­tolak Rasulullah SAW dengan mengata­kan, ‘Aku sedang menunggu ketentuan Allah dalam masalah ini’.”

Ruh iman yang berkibar tampak nyata pada sikap Abu Bakar dan Umar ketika mereka pergi menjumpai Ali dan berkata kepadanya, “Pergilah, lamarlah Fathi­mah.” Itulah akhlaq kaum muslimin yang bersandar kepada hadits Rasulullah SAW, “Cintailah untuk saudaramu apa yang kau cintai untuk dirimu.” Kemudian keduanya menyebut-nyebut kedudukan­nya di dalam Islam dan di sisi Nabi SAW serta menganjurkannya untuk segera mem­beranikan diri melamar Fathimah.

Ali memang berharap untuk menikahi Fathimah, tetapi ia tak berani menyata­kan­nya, karena tak memiliki apa-apa se­bagai mahar untuk Fathimah. Setelah ragu beberapa lama, akhirnya Ali mem­beranikan diri dan mendatangi kediaman Rasulullah SAW.

Ketika telah bertemu Rasulullah, ia mengucapkan salam, kemudian duduk di dekat beliau dengan perasaan malu, tidak berani menyebutkan maksud kedatang­an­nya. Ia tidak dapat berkata-kata, ka­rena hormat dan segan kepada beliau.

Nabi SAW memahami apa yang ada dalam pikiran putra pamannya, saudara­nya, dan sahabatnya ini. Maka beliau mengawalinya dan bertanya kepadanya dengan halus dan lembut, “Ada keperluan apa, wahai putra Abu Thalib?”

Ali menjawab dengan suara yang rendah sambil memejamkan mata, “Aku ingat Fathimah, putri Rasulullah.”

Dengan tetap berseri-seri dan lemah lembut, beliau menjawab, “Marhaban wa ahlan.” Dalam riwayat lain, beliau men­jawab, “Dia untukmu, wahai Ali.”

Kemudian Nabi SAW diam, tidak me­nambahkan jawabannya.

Maka Ali pun terdiam lama. Ali dalam keadaan sangat malu dan juga sangat miskin. Ia tidak memiliki apa-apa untuk menikah kecuali iman yang mendalam kepada Allah dan kecintaannya kepada Rasulullah.

Rasulullah ingin agar ia mau berbi­cara lebih jauh untuk menuntaskan urus­annya bersama beliau. Rasulullah ingin menghilangkan kegelisahan yang ada pada dirinya.
Keduanya terdiam dalam waktu yang lama.

Kemudian Ali pergi dalam keadaan gelisah. Ia tidak tahu harus menjawab apa kepada keluarganya dan para sahabat­nya yang sedang menunggunya. Mereka menanti-nanti kedatangannya akan mem­bawa jawaban dari ayah Fathimah.

Ketika mereka mendesaknya, Ali men­jawab, “Demi Allah, aku tidak tahu apa-apa. Aku telah berbicara kepada Ra­sulullah tentang masalah itu, tetapi beliau hanya menjawab, ‘Marhaban wa ahlan’.”

Mereka semua berteriak, “Cukup bagi­mu jawaban Rasulullah itu walaupun salah satu saja (marhaban saja atau ahlan saja).” Kemudian mereka mening­galkannya. Mereka telah membuatnya tenang.

Apa yang dikatakan oleh keluarganya dan para pecintanya membuatnya tak sa­bar menantikan munculnya waktu pagi. Lalu ia pergi menjumpai Rasulullah SAW.

Setelah sepenuh hatinya siap, ia meng­atakan, “Ayah dan ibuku menjadi te­busan­mu, wahai Rasulullah. Engkau tahu bahwa engkau mengambilku dari paman­mu, Abu Thalib, dan dari Fathimah binti Asad, ketika aku masih anak-anak yang ti­dak tahu apa-apa. Kemudian engkau mem­bimbingku dan 
mendidikku. Engkau lebih utama dari­pada Abu Thalib dan Fa­thimah dalam mem­berikan kasih sayang ke­padaku. Allah telah memberi petunjuk ke­padaku melalui perantaraanmu. Eng­kau, wahai Ra­sulullah, adalah modalku dan peran­taraanku di dunia dan di akhirat kelak. Aku memohon kepada Allah me­la­lui engkau, mudah-mudahan aku dapat mem­peroleh tempat tinggal dan seorang istri tempat aku mendapatkan ketenang­an. Aku sengaja datang ke sini untuk me­lamar putrimu, Fathimah. Apakah engkau ber­sedia me­nikahkanku, wahai Ra­sulullah?”

Wajah Rasulullah SAW menampak­kan kegembiraan luar biasa. Kemudian be­liau tersenyum kepada Ali sambil ber­kata, “Wahai Ali, apakah engkau punya sesuatu yang dapat dijadikan mahar?”
Ali menjawab, “Demi Allah, wahai Rasulullah, engkau tahu keadaanku. Aku tidak memiliki apa pun kecuali pedang dan ceret tempat air.”

“Di mana baju besimu yang pernah aku berikan kepadamu dulu?” tanya Rasulullah.
“Ada padaku, wahai Rasulullah.”
“Berikanlah baju besi itu kepadanya,” kata beliau.
Kemudian Ali pun segera pergi dan datang lagi dengan membawa baju besi.
Lalu Rasulullah SAW menyuruhnya untuk menjualnya untuk persiapan pengantin.
Utsman bin Affan membeli baju besi itu dengan harga 470 dirham.

Ali lalu membawa uang hasil penjual­an itu dan meletakkannya di hadapan Rasulullah.
Beliau mengambilnya kemudian me­nyerahkannya kepada Bilal untuk dibeli­kan wangi-wangian.
Dalam riwayat lain, ketika ditanya “Apakah engkau memiliki sesuatu?”, Ali menjawab, “Aku tidak memiliki apa-apa kecuali baju besi, pedang, dan ceret tempat air.”

Maka Rasulullah SAW berkata ke­padanya, “Wahai Ali, pedang sangat eng­kau butuhkan untuk berjihad di jalan Allah, ceret tempat air sangat berguna bagi keluargamu dan saat kau bepergian. Aku akan menikahkanmu dengan mahar baju besimu itu.”

Inilah proses lamaran Fathimah, putri Rasulullah SAW, dan inilah maharnya: baju besi! Itulah teladan yang tak ada bandingnya yang dicontohkan oleh Ra­sulullah SAW kepada kita untuk menjadi teladan di masa-masa berikutnya. Suatu teladan yang beliau berikan dengan anak gadisnya yang paling mulia dan paling beliau cintai, Fathimah Az-Zahra, pemim­pin wanita di seluruh alam.

Sang ayah, Rasulullah SAW, mem­berikan kemudahan kepada pemuda ini dalam kondisinya yang sulit. Ayah ini memilih untuk anak gadisnya orang yang setara dengan anak gadisnya itu, dan menolak Abu Bakar dan Umar dengan pe­nolakan yang baik dan halus. Abu Bakar tidak marah, dan Umar pun tidak marah. Bahkan, mereka pergi ke tempat Ali dan meyakinkannya untuk melamar Fathimah. Dan Fathimah, yang sedemi­kian tinggi kedudukannya dan sedemi­kian tinggi pula didikannya, mau mene­rima baju besi sebagai maharnya!

Riwayat-riwayat yang ada berbeda-beda mengenai kapan saat terjadinya la­maran itu, meskipun sebagian besar sum­ber sepakat bahwa Fathimah meni­kah pada usia 18 tahun, sehingga perni­kahannya terjadi pada tahun kedua hijrah, karena ia dilahirkan pada tahun di­ba­ngun­nya kembali Ka‘bah, yaitu lima ta­hun sebe­lum Rasulullah diangkat sebagai nabi.

Maka kemudian berlangsunglah per­nikahan yang diberkahi itu. Lalu Az-Zahra pun dibawa ke tempat sang pahlawan pemberani, Ali bin Abi Thalib.

Allah mengeluarkan darinya keturun­an yang shalih, anak-cucu yang diber­kahi, dan Allah memuliakan mereka.

Mengenai mereka (keturunan kedua­nya), Allah berfirman yang artinya, ”Se­sungguhnya Allah bermaksud hendak meng­hilangkan dosa dari kalian, hai ahlul bayt, dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya.” (QS Al-Ahzab: 33).

Nasabnya terus bersambung dan tidak terputus. Dan Rasulullah berpesan tentang mereka. Sungguh beruntunglah mereka yang memuliakan ahlul bayt yang mulia. Merekalah keturunan yang suci, yang tentang mereka Rasulullah bersab­da, “Sesungguhnya aku tinggalkan pada kalian dua perkara: Kitabullah dan ke­turunanku, ahli baytku, dan keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya datang kepadaku di telagaku.”

Perlengkapan Pengantin

Ali menyerahkan 470 dirham menurut pendapat yang paling kuat, yang kemudi­an Nabi SAW ambil lalu beliau serahkan sebagiannya kepada Bilal untuk dibelikan wangi-wangian, dan sisanya beliau se­rahkan kepada Ummu Salamah untuk di­belikan perlengkapan pengantin.

Saat itu Rasulullah SAW belum me­nikah dengan Ummu Salamah, karena Fathimah menikah dengan Ali pada akhir tahun kedua Hijriyyah sedangkan perni­kahan Nabi SAW dengan Ummu Sala­mah berlangsung pada tahun keempat Hijriyyah menurut pendapat yang terkuat.

Ali mengambil sebuah rumah yang se­derhana untuk memulai perjalanan ru­mah tangga yang penuh kesucian, afaf (sifat menjaga diri), dan cahaya, bersama dengan putri Rasulullah SAW. Ia me­nyiapkan rumahnya yang akan menjadi tempat untuk menyambut putri makhluk terbaik. Di situ terdapat sebuah kamar tidur dengan lantai yang dilapisi pasir halus, kasur dari sabut, bantal dari sabut juga, kulit kambing untuk tempat duduk, tempat gilingan, handuk, gelas, tempat air kecil dari kulit untuk mendinginkan air, dan keset.

Inilah perlengkapan pemimpin wanita penghuni surga, ath-Thahirah, az-Zahra, Ummu Abiha, putri Rasulullah SAW. Di dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, Fathimah masuk ke rumah suaminya dengan beludru yang bagus, bantal kulit berisi sabut, dua buah batu gilingan gandum, dua buah wadah air, dua buah guci, dan sedikit wangi-wangian.

Malam Pernikahan
Datanglah saat yang disepakati untuk malam pernikahan, malam pe­ngantin. Bani Abdul Muththalib meraya­kan perni­kahan ini. Hamzah, paman Nabi SAW dan juga paman Ali, datang membawa dua unta besar. Ia menyem­belihnya dan memberikan makan ke­pada orang-orang.

Setelah orang-orang selesai makan, Nabi SAW datang membawa baghalnya yang berwarna abu-abu, kemudian beliau berkata kepada Fathimah, “Naiklah.”

Rasulullah SAW memerintahkan Sal­man untuk berjalan di depan, sedangkan be­liau sendiri berjalan di belakang Fa­thimah. Saat itu, beliau didampingi Ham­zah dan sejumlah orang dari Bani Hasyim dengan pedang terhunus. Beliau meme­rintahkan kaum wanita Abdul Muththalib dan kaum wanita Muhajirin dan Anshar un­tuk berjalan mendampingi Fathimah dan memerintahkan mereka untuk ber­gembira ria, bertakbir, dan bertahmid, ti­dak mengucapkan sesuatu kecuali yang diridhai Allah.

Kemudian Nabi SAW memasukkan­nya ke rumah Ali, lalu beliau mengatakan, “Wahai Ali, janganlah engkau mengata­kan sesuatu (jangan berbicara apa-apa) ke­pada istrimu sebelum aku datang ke­padamu.”

Kemudian Bilal mengumandangkan adzan untuk shalat Isya. Maka Nabi pun melakukan shalat bersama kaum muslim­in di masjid.

Lalu semuanya pulang. Ali mendahu­lui beliau menuju rumahnya untuk me­nyambutnya.
Ketika Rasulullah SAW masuk ke ru­mah Ali, beliau melihat beberapa orang pe­rempuan, lalu mereka pun pergi, ke­cuali Asma’ binti ‘Umais.

“Siapa engkau?” tanya Nabi SAW.
“Akulah yang menjaga putrimu. Se­orang gadis di malam pernikahannya mes­ti didampingi perempuan yang dekat dengannya. Jika ia mempunyai kebutuh­an atau menginginkan sesuatu, akulah yang memenuhinya.”

Tidak mengherankan jika saat itu Nabi teringat kepada ibunda Fathimah yang penyayang, Khadijah, wanita muk­minah yang pertama. Dialah istri sekali­gus ibu yang terbaik, sebaik-baik peno­long, pendukung, pemberi selimut. Demi­kian pula dengan Fathimah, yang duduk di dekat salah satu tiang rumah dengan sikap wanita yang afifah (yang suka men­jaga diri) dan merasa malu. Ia teringat ke­pada ibunya. Maka, setelah mendengar perkataan Asma’ binti Umais, Fathimah pun menangis.
Rasulullah SAW mendoakan Asma’ binti Umais karena kasih sayangnya terhadap putrinya. Beliau mengatakan, “Aku me­mohon kepada Tuhanku agar Dia men­jagamu dari arah depanmu, belakangmu, kananmu, dan kirimu, dari godaan setan yang terkutuk.”

Setelah itu beliau keluar bersama Fa­thimah dari kamarnya. Kemudian beliau ber­kata kepada Asma, “Bawakan untuk­ku wadah dan isikanlah.”
Maka Asma’ pun membawakannya.

Beliau meludah sedikit di dalamnya (untuk memberkahi), kemudian memang­gil Fathimah, lalu mengambil sedikit air dan memercikkannya di kepalanya dan di antara kedua kakinya.
Setelah itu beliau memegangnya lalu berdoa, ”Ya Allah, sesungguhnya ia bagi­an dariku dan sesungguhnya aku bagian darinya. Ya Allah, sebagaimana Engkau telah menghilangkan kotoran dariku dan Engkau telah menyucikanku, sucikanlah dia.”

Kemudian beliau meminta wadah yang lain, lalu beliau lakukan terhadap Ali sebagaimana yang beliau lakukan ter­hadap Fathimah. Setelah itu beliau meng­atakan, “Bangunlah kalian berdua.” Lalu beliau mendoakan, ”Semoga Allah meng­himpunkan kalian dan membaguskan keadaan kalian.”
Setelah itu beliau bangun lalu menu­tup pintu meninggalkan mereka berdua.

Dalam kitab Thabaqat Ibnu Sa‘ad disebutkan, setelah shalat Isya Nabi SAW berjalan ke rumah Ali, lalu beliau minta di­bawakan wadah, kemudian beliau ber­wudhu, lalu menuangkan air yang ada di da­lam wadah itu kepada tubuh Ali, sete­lah itu beliau berdoa, ”Ya Allah, berilah ke­berkahan pada keduanya, berilah ke­berkahan atas keduanya, dan berilah ke­berkahan bagi mereka pada keturunan mereka.”

Lalu beliau meminta dibawakan air di dalam bejana, kemudian membasuh ke­dua tangannya, lalu menyiramkannya dari air itu. Setelah itu beliau minta di­bawakan air lagi, lalu beliau berkumur kemudian mengembalikannya di bejana itu. Kemudian beliau membasahi dada Fathimah dan Ali dengannya.

Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW berdoa, ”Ya Allah, se­sungguhnya mereka (Ali dan Fathimah) adalah orang yang sangat aku cintai. Maka cintailah mereka dan berilah keber­kahan pada keturunan mereka. Dan jadi­kanlah penjaga dari-Mu untuk mereka. Sesungguhnya aku menyerahkan perlin­dungan mereka kepada-Mu, demikian pula keturunan mereka, dari godaan se­tan yang terkutuk.”

Kemudian beliau mendoakan Fathi­mah, ”Semoga Allah menghilangkan ke­burukan darimu dan membersihkanmu se­bersih-bersihnya.”

Kemudian beliau berkata kepada Ali, “Wahai Ali, bawalah istrimu masuk. Se­moga Allah memberkahimu. Semoga rah­mat Allah dan keberkahan-Nya senan­tiasa tercurah kepadamu. Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Mahamulia.”

Beliau meninggalkan mereka berdua, lalu memegang tiang pintu sambil berdoa, ”Semoga Allah menyucikan kalian dan menyucikan keturunan kalian berdua. Aku akan berdamai dengan orang yang ber­damai dengan kalian dan akan me­musuhi orang yang memusuhi kalian. Aku menitipkan kalian kepada Allah dan me­nyerahkan pengurusan kalian kepada-Nya.”

Setelah itu, beliau menutup pintu ru­mah itu dengan tangannya yang mulia.
Di dalam kitab ath-Thabaqat disebut­kan bahwa Nabi berkata kepada putrinya, “Wahai Fathimah, demi Allah, tidakkah eng­kau bangga aku menikahkanmu de­ngan keluargaku yang terbaik.”
Sebagai seorang gadis yang akan se­gera berpisah dengan ayahnya dan tak lagi memiliki ibu, Fathimah tidak dapat me­nahan air matanya. Sang ayah, yang sangat sayang kepadanya, menenang­kan­nya dan menjelaskan bahwa beliau me­nitipkannya pada orang yang paling kuat imannya, paling banyak ilmunya, pa­ling baik akhlaqnya, dan paling tinggi jiwa­nya. Di dalam riwayat lain disebutkan bah­wa Nabi SAW mengatakan, “Menga­pa engkau menangis, wahai Fathimah? Demi Allah, aku telah menikahkanmu de­ngan orang yang paling banyak ilmunya, paling santun, dan paling terdahulu ma­suk Islam.”

Nabi SAW kemudian pergi dari tem­pat Fathimah. Allah SWT mengabulkan doa Nabi-Nya di dalam pernikahan yang membahagiakan itu. Itulah pernikahan yang diberkahi. Allah menghendaki ke­turunan Nabi SAW hanya berasal dari buah pernikahan itu. (sumber)

0 comments:

Posting Komentar