Tulisan
dibawah ini adalah karya yang ditulis oleh tokoh Ikhwanul Muslimin DR.
Izzuddin Ibrahim yang membawakan fakta dan data bahwa konflik Sunni dan
Syiah adalah konflik rekayasa dari musuh-musuh Islam.
Kemenangan
gerakan kebangkitan rakyat Islam dan bangsa revolusioner Iran yang
kelihatannya mustahil, telah membuat Barat ketakutan. Jadi, sesuai
kemampuannya mereka selalu berusaha agar para revolusioner Islam tidak
bisa meraih kekuatan.
Sejak
awal abad 19, dunia Islam berhadapan dengan tantangan modern yang
datang dari Barat hasil Revolusi Industri dan kedengkian. Tantangan ini
pada tahap awalnya dipengaruhi oleh sentimen Salibisme kuno dan
dimulainya serangan Prancis. Ancaman ini menumbangkan sistem politik
kita yang terjelma dalam ‘khilafah’. Mereka menduduki negeri-negeri kita
dan menyerang kita lewat pemikiran dan budaya dengan memaksakan
sistem-sistem sekularisme yang lemah.
Lebih
dari 30 tahun lalu, tantangan ini telah melaksanakan tugas paling
berbahayanya, yaitu mendirikan rezim palsu Yahudi di jantung dunia Islam
dan mendudukkan koloni serta antek-anteknya di sebuah negeri yang telah
mereka rampas.
Hal
ini tercipta lewat sebuah sistem yang terprogram dan busuk, bahwa
pengukuhan kepentingan ini hanya dapat dijalankan dengan mendirikan
Israel. Pendirian Israel melazimkan penghancuran khilafah dan
keberlangsungan keberadaan Israel dan menuntut sistem-sistem
pemerintahan dalam negara-negara Islam menjadi boneka dan bergantung
pada kekuatan imperialis. Oleh karena itu, semua rezim-rezim ini adalah
bayi alamiah dan logis yang lahir dari rahim imperialis yang pada
hakikatnya merupakan sisi lain dari sekeping mata uang Israel. Sampai
beberapa tahun yang lalu, masalah-masalah ini terlihat sedemikian rupa
dan kekuatan Barat mengira bahwa mereka telah menghantamkan pukulan
terakhirnya pada peradaban Islam yang telah loyo dan lemah. Namun,
Revolusi Islam Iran tiba-tiba muncul dan melepaskan anak panah
perlawanan pertamanya ke arah Barat. Kemenangan revolusi Islam ini
adalah kemenangan pertama Islam dalam era kontemporer. Kehidupan dan
kegembiraan yang dikira telah mati dalam tubuh ini telah kembali dan
sekarang bangkit lagi dan berdiri tegak dengan segarnya. Dari mana?
Setelah pengaruh busuk musuh sangat kental, kuat dan liar, maka tibalah
tahapan baru. Kita telah memahami hakikat kita dan kita ingin bangkit
setelah menahan penghinaan selama dua abad dan keterbelakangan serta
kebodohan selama berabad-abad.
Revolusi Islam terus maju agar mampu menanamkan berbagai pemahaman dan pemikiran. Sebagian pemahaman dan pemikiran itu adalah:
1-
Revolusi Islam telah menghapus keperkasaan kekuatan adi daya dari benak
semua pihak khususnya kaum muslimin dan tertindas di dunia.
2-
Setelah mencampakkan model Barat ke dalam kursi tergugat, Revolusi
Islam mengenalkan peradaban baru kepada umat manusia. Dalam hal ini,
Roger Garoudy pemikir Perancis berkata: “Imam Khomeini telah membuang
pola dan sistem pembangunan ala Barat ke kursi tergugat.” Kemudian dia
berkata : “Imam Khomeini telah memberikan makna dalam kehidupan rakyat
Iran.”
3-
Setelah lebih dari satu abad upaya-upaya untuk menyingkirkan kekuatan
dan pengaruh Islam, revolusi Islam malah mengokohkan peranan bersejarah
Islam dalam kehidupan negara-negara di kawasan.
Tetapi,
apakah Barat dan para bonekanya akan membiarkan Revolusi Islam maju
begitu saja dan kemudian berhadap-hadapan dengan Barat serta
menghancurkan kekuatannya? Apakah mereka akan diam saja melihat semangat
dan kegembiraan yang muncul dalam tubuh umat Islam, seperti kegembiraan
karena turunnya hujan setelah penantian yang cukup panjang? Apakah
mereka akan membiarkan semangat dan harapan Islami yang telah diciptakan
Revolusi menuai hasilnya?
Kemenangan
gerakan kebangkitan rakyat Islam dan bangsa revolusioner Iran yang
kelihatannya mustahil telah membuat Barat ketakutan. Jadi, sesuai
kemampuannya mereka selalu berusaha agar para revolusioner Islam tidak
bisa meraih kekuatan. Tetapi, ketika Barat berada dalam tahap ini pun
mereka kalah, lalu mereka berusaha bergerak dalam beberapa poros yang
saling terkait:
1- Mulai memprovokasi kaum minoritas dengan memanfaatkan kegamangan yang ada setelah kemenangan Revolusi Islam.
2-
Melindungi berbagai kelompok pembangkang Iran, baik dari kelompok
kerajaan dan SAVAK (intel Syah) atau kelompok sekuler dan memanfaatkan
mereka untuk menentang Revolusi Islam.
3-
Memberlakukan embargo ekonomi dan politik atas Iran yang dipimpin oleh
Amerika dan Eropa. Embargo ini yang terlihat jelas dimulai sejak krisis
tawanan mata-mata Amerika di Tehran.
4- Menggelar serangan dari luar lewat Saddam Husein dan tentara Irak.
5-
Menyebar fitnah di antara dua sayap umat -Sunni dan Syiah- sebagai
usaha terakhir untuk mengepung gerakan Revolusi Islam dan mencegahnya
sampai ke daerah berpenduduk Sunni, baik kawasan-kawasan penghasil
minyak atau negara-negara tetangga Israel.
Ketika
pemberontakan kaum minoritas jelas-jelas telah ditumpas dan
kelompok-kelompok kerajaan dan sisa-sisa oposisi sekuler telah hancur,
dan ketika Revolusi berhadapan dengan embargo sedemikian rupa, Imam
Khomeini malah menyebutnya sebagai ‘berita baik’ dan kepada para
mahasiswa pengikut setianya, beliau berkata: “Kita tidak bangkit dengan
revolusi untuk mengenyangkan perut. Jadi ketika mereka menakut-nakuti
kita dengan kelaparan, mereka harus tahu bahwa mereka tidak bisa
melakukan apa-apa. Kita bangkit demi Islam, sebagaimana Nabi Muhammad
Saw bangkit. Dan kita tidak berhadapan dengan masalah sebagaimana yang
dihadapi Nabi Muhammad Saw. Jika anda tidak berada dalam tekanan, maka
Anda tidak akan berpikir maksimal.”
Para
pelaku serangan dari luar juga jatuh tersungkur dalam sumur yang
digalinya sendiri, dengan sakit, luka, penyesalan dan kekalahan telak.
Tetapi mereka sendiri mengakui bahwa poros kelima -menciptakan fitnah di
antara Syiah dan Sunni- cukup berhasil. Namun demikian, umat Islam akan
segera memahami setan mana yang meniupkan api fitnah dan akan
mengetahui bahwa fitnah ini adalah palsu dan kekuatan imperialis-lah
yang ingin menyudutkan negara-negara Islam, sehingga negara-negara Islam
harus berhadapan dengan perbuatan-perbuatan buruk mereka.
Kekuatan
imperialis dan negara-negara boneka, para raja minyak hedonis
-boneka-boneka mainan- memahami dengan baik bahwa peperangan ini tidak
membutuhkan senjata dan tentara, tetapi membutuhkan pemimpin yang
memberikan ‘fatwa’. Maka mereka membiarkan peranan yang diinginkannya
yang dimainkan lewat kepala-kepala bersorban dan janggut-janggut
berjurai, baik di dalam atau di luar institusi resmi negara.
Sebagian
mereka menentang Revolusi Islam dengan serangan isu-isu yang
membingungkan. Seolah-olah merekalah yang melahirnya menemukan bahwa
Revolusi ini adalah Revolusi Syiah sementara Syiah adalah sebuah
golongan sesat atau kafir! Dan Ayatullah Khomeini yang dengan duduk di
sajadahnya telah mampu mengguncang kekuasaan kerajaan yang sebenarnya
mereka adalah orang tersesat dan kafir! Adegan seorang pemuda Islam yang
memegang sebuah buku Saudi yang penuh dengan tuduhan, distorsi dan
cacian terulang kembali di depan mata kita. Dia membawa buku tersebut ke
masjid suci, sembari menjelaskan berbagai kesesatan!
Poin
ini dapat dipahami bahwa sebagian para pemuda itu melakukannya dengan
niat baik dan menyangka bahwa perbuatan tersebut benar-benar hanya untuk
Allah. Kapankah pemuda ini mengetahui bahwa lewat niat baiknya itu dia
telah melaksanakan sebuah program imperialis? Dan bagaimana dia bisa
membebaskan dirinya sebelum semuaya terlambat?
Umat
Islam harus memandang dengan keraguan dan curiga kepada orang-orang
yang menampakkan keislaman dirinya, sementara mereka membenci Revolusi
Islam. Umat juga harus curiga pada keinginan, niat dan tujuan
orang-orang tersebut.
Masalah
menakjubkan dari mereka ini adalah, mereka telah menjadikan gerakan
Islami berhadapan dengan sebuah jalan buntu yang berbahaya dan tidak ada
duanya, sebab kehadiran musuh-musuh Revolusi dalam barisan-barisan
gerakan Islam tidak bisa dibenarkan dan gerakan hakiki Islam tidak punya
pilihan lain selain menyingkirkan mereka dari barisannya, cepat atau
lambat.
Mereka-mereka
yang ingin menghancurkan model sempurna Iran dalam kepribadian Islami
terutama dalam memandang masalah negeri pendudukan Palestina sebenarnya
hanya akan menghancurkan dirinya, sebab mereka telah berdiri menentang
gerakan maju sejarah dan berhadapan dengan sebuah Revolusi Islami yang
dalam piagam Ikhwanul Muslimin, pemimpinnya disebut sebagai ‘kebanggaan
bagi Islam dan kaum muslimin’.
Saya
tidak tahu bagaimana menanggapi ucapan seorang pemuda muslim kepada
saya: Sebuah keanehan atau tidak? Sebab pemuda ini telah keliling ke
beberapa negara Islam, tetapi tidak menemukan hal yang lebih buruk dari
serangan yang dilakukan bolusi Islam. Sedangkan pemuda
ini juga tidak melihat satu negara manapun yang lebih bersemangat dan
berharap pada Revolusi Islam lebih dari Palestina.
Setelah
pengantar ini, dalam pembahasan singkat ini saya akan berusaha
menyingkap beberapa hakikat penting kepada kaum muslimin umumnya dan
para pembesar berbagai gerakan Islami secara khusus. Saya tidak ingin
berbicara berdasarkan ijtihad saya bahwa Syiah dan Sunni adalah sesama
saudara dalam Islam, hanya pandangan dan ijtihad dalam memahami Kitab
dan Sunnah saja yang membuat mereka terpisah dan perbedaan ini tidak
merusak persaudaraan mereka dan tidak membuat yang lain keluar dari
Islam dalam pandangan yang lainnya.
Saya
tidak ingin membawa dalil-dalil agama yang pasti berakhir pada
kesimpulan yang pasti dan jelas ini, sebab hal ini adalah pembahasan
lain. Dan di era ini, ketika ketidaktahuan dan fanatisme buruk dari
sebuah kelompok sangat tinggi, kita terpaksa harus membahasnya, tetapi
saya akan membahasnya dari sisi lain dan sisi yang lebih sempurna. Saya
akan berusaha menjelaskan posisi dan pendapat para tokoh, pemikir dan
penguasa muslim yang kepemimpinannya disepakati oleh berbagai gerakan
Islami.
Saya
dengan baik memahami bahwa masalah anti Revolusi Islam Iran dan
kebisingan yang dibuat oleh sejumlah anggota dan pimpinan gerakan Islami
berkaitan dengan masalah Sunni dan Syiah bukanlah masalah yang berakar
dan hakiki, tetapi masalah baru yang dipaksakan pihak lain terhadap para
pemuda yang penuh keikhlasan dan kesucian ini. Sebagaimana yang telah
saya sebutkan: Setelah beberapa waktu mereka diletakkan dalam lingkaran
keraguan dan keputusasaan, tiba-tiba bagi mereka diungkapkan bahwa
Revolusi yang telah menghidupkan harapan dan memberi hasil bukanlah
sebuah revolusi Islam tetapi sebuah revolusi Syiah! Dan Syiah adalah
kafir!
Muhibbuddin
Khatib, penulis buruk asal Arab Saudi yang bukunya telah dicetak
beberapa kali di Arab Saudi (dalam 50.000 eksemplar) membawa berbagai
dalil tentang kekafiran dan kesesatan serta keluarnya Syiah dari Islam.
Dia menyebutkan bahwa Syiah memiliki Al-Qur’an yang berbeda dengan
Al-Qur’an yang kita miliki, dan berbagai kebatilan dan isu-isu semisal
ini.
Sebagian
kalangan yang menyebarluaskan pemikiran Khatib yang salah dan sesat,
malah lalai akan pemikiran-pemikiran para tokoh islamis terkenal lainnya
dalam gerakan mereka.
Tapi
kita tahu bahwa Khatib adalah salah satu orang yang memerangi
pemerintahan Khilafah Islami dan bergabung dengan salah satu gerakan
kesukuan -para tokoh pemuda Arab- dan setelah rahasianya terbongkar
ketika dia sedang belajar di Bab ‘Aali, pada tahun 1905 Masehi dia
melarikan diri ke Yaman. Ketika Syarif Husein mengumumkan Revolusi Arab,
Khatib pun bergabung dengannya. Kemudian Khilafah menjatuhi hukuman
mati terhadapnya. Khatib tidak kembali ke Damaskus kecuali setelah
kekalahan tentara Turki Usmani dan masuknya tentara Arab ke Damaskus!
Dan setelah itu, dia menjadi pimpinan surat kabar pertama Arab bernama
al-‘Ashimah.[1]
Sekarang, mari kita kembali menganalisa sikap dan pendapat para pemimpin berbagai gerakan Islami dan pemikir Islam berkaitan dengan fitnah yang haram ini dan hiruk pikuk buatan yang sangat disesalkan ini.
Imam
Syahid Hasan al-Banna, adalah pembawa panji gerakan Islam terbesar era
modern dan salah satu tokoh ide pendekatan antara Syiah dan Sunni.
Beliau juga merupakan salah satu pendiri dan tokoh berpengaruh dalam
aktivitas “Jamaah Taqrib Baina Al-Mazhahib Al-Islamiyah” di Kairo,
padahal sebagian kalangan menyebut pendekatan mazhab mustahil tercapai.
Tetapi al-Banna dan sekelompok pembesar dan ulama Islam menganggapnya
mungkin dan bisa terjadi. Mereka sepakat agar semua muslimin (Sunni dan
Syiah) berkumpul bersama dalam keyakinan-keyakinan dan prinsip yang
disepakati dan dalam hal-hal yang bukan merupakan syarat iman dan bukan
bagian dari tiang-tiang agama dan secara lazim tidak mengingkari
pembahasan agama yang jelas, kaum muslimin harus menghargai keyakinan
masing-masing.
DR.
Abdulkarim Biazar Shirazi dalam buku Wahdat Islami yang terdiri atas
makalah para ulama Syiah dan Sunni yang telah dicetak dalam majalah
Risalatul Islam dan telah dicetak oleh Darut Taqrib Mesir, tentang
Jamaah Taqrib berkata:
“Mereka
sepakat mengumumkan bahwa: Seorang muslim adalah orang yang mengimani
dan meyakini Allah Tuhan alam semesta, Muhammad Saw nabi yang tidak ada
lagi nabi setelahnya, Al-Qur’an kitab samawi, Ka’bah kiblat dan rumah
Allah, lima rukun yang diakui, hari kiamat serta melaksanakan hal-hal
yang dianggap penting. Rukun-rukun ini -yang disebutkan sebagai contoh-
telah disepakati oleh para peserta pertemuan, utusan-utusan mazhab yang
empat dan utusan-utusan Syiah dari mazhab Imamiah dan Zaidiyah.”[2]
Pertemuan
tersebut dihadiri oleh Syaikh al-Azhar yang juga Otoritas Fatwa
Tertinggi saat itu, Imam Besar Abdulmajid Salim, Imam Mustafa
Abdurrazzaq dan Syaikh Shaltut.
Penulis
memang tidak menemukan info sempurna tantang peranan khusus Imam Syahid
Al-Banna dalam hal ini, tetapi salah satu pemikir Ikhwanul Muslimin
Ustad Salim Bahansawi dalam bukunya berkata:
“Sejak
Jamaah Taqrib antara mazhab-mazhab Islam didirikan dan Imam Hasan
al-Banna dan Ayatullah Qumi berperan dalam pendiriannya, kerja sama
antara Ikhwanul Muslimin dan Syiah tercipta, yang pada kelajutannya
terjadi kunjungan Syahid Nawwab Safavi ke Mesir pada tahun 1954.[3]
Dalam kitab itu, dia melanjutkan: “Tidak heran jika garis kebijakan dan
metode kedua kelompok berakhir dengan kerja sama ini.”
Demikian
pula, sebagaimana yang kita ketahui bahwa dalam ritual haji tahun 1948
Masehi, Imam al-Banna bertemu dengan Ayatullah Kashani, ulama besar
Syiah, dan di antara keduanya tercapai beberapa kesepakatan.
Salah
satu tokoh kontemporer dan berpengaruh Ikhwanul Muslimin dan salah satu
murid Imam Syahid adalah Ustad Abdul Muta’al Jabri yang menurut kutipan
Roober Jakcson, menulis dalam bukunya:
“Jika
usia pria ini -Hasan al-Banna- panjang mungkin saja mayoritas muslimin,
hal-hal penting bagi kedua negara ini akan terwujud, khususnya jika
Hasan Al-Banna dan Ayatullah Kashani, tokoh Iran, sepakat dalam
penghapusan masalah pertentangan (ikhtilaf) antara Syiah dan Sunni.
Keduanya bertemu pada ritual haji tahun 1948 Masehi dan kelihatannya
telah menyepakati beberapa poin penting, tetapi Hasan Al-Banna telah
diteror tidak pada waktunya.”[4]
Ustad
Jabri menjelaskan: “Ucapan Weber benar, dengan insting politiknya dapat
dirasakan usaha Imam dalam pendekatan mazhab-mazhab Islam. Jadi jika
dia sadar dengan peranan besar Imam al-Banna dalam hal ini (yang waktu
ini bukan saatnya membahas tentang bagaimana peranan itu), apa yang akan
dikatakannya?”
Dari beberapa hal ini, kita bisa menarik beberapa hakikat penting, antara lain:
1- Setiap Syiah dan Sunni memandang satu sama lainnya sebagai muslim.
2-
Pertemuan dan kesepakatan kedua ulama ini dan menyingkirkan
pertentangan adalah hal penting dan tidak bisa diingkari dan tanggung
jawab ini berada di pundak gerakan islami yang sadar dan berpegang teguh
pada perjanjian.
3- Imam Syahid Hasan al-Banna juga telah berusaha sekuat mungkin dalam masalah ini.
DR.
Ishaq Musawi Husaini, dalam kitab al-Ikhwanul Muslimin…Kubra Al-Hakarat
Al-Islamiyah Al-Haditsah[5] menulis: Sebagian mahasiswa (Syiah) yang
sedang belajar di Mesir telah bergabung dengan Ikhwan. Ketika Nawwab
Safavi mengunjungi Suriah dan bertemu dengan Mustafa Subai, Sekjen
Ikhwanul Muslimin di sana, Subai kepada Nawwab mengadukan kekecewaannya
terhadap sikap sebagian pemuda Syiah yang bergabung dengan gerakan
sekuler dan nasionalis. Nawwab Safavi naik ke atas mimbar dan di depan
kelompok Syiah dan Sunni berkata: “Siapa saja yang ingin menjadi Syiah
hakiki Ja’fari harus bergabung dengan barisan Ikhwanul Muslimin”. Tapi,
siapakah Nawwab Safawi? Dia adalah pimpinan organisasi “Martir-Martir
Islam” yang Syiah.
Ustad
Muhammad Ali Dhanawi, mengutip dari Bernard Louis: “Selain mengikuti
mazhab Syiah, mereka juga memiliki ide tentang persatuan Islam dan
memiliki banyak kesamaan dengan Ikhwan Mesir dan mereka saling
berhubungan.” [6] Ketika menganalisa prinsip dasar organisasi
Martir-Martir Islam, Ustad Dhanawi menemukan bahwa:
Pertama:
Islam adalah sebuah sistem integral bagi kehidupan. Kedua:
Kecenderungan terpecah belah dalam berbagai firqah di kalangan muslimin
yaitu Sunni dan Syiah adalah kecenderungan yang tertolak. Kemudian, dia
mengutip ucapan Nawwab: “Mari kita upayakan persatuan Islam dan kita
lupakan segala sesuatu yang bukan bagian dari jihad kita demi kemuliaan
Islam. Apakah belum tiba saatnya kaum muslimin memahami hakikat dan
meninggalkan pertentangan antara Syiah dan Sunni?
Ustad
Fathi Yakan menjelaskan peristiwa kunjungan Nawwab Safawi ke Mesir dan
semangat serta sambutan Ikhwanul Muslimin ketika menyambutnya. Kemudian,
berkaitan dengan hukuman mati dari Syah untuk Nawwab, dia berkata:
“Hukuman
zalim ini diprotes dengan sangat keras di negara-negara Islam. Kaum
muslimin dari seluruh dunia yang menghargai keberanian dan jihad Nawwab
Safavi sangat terguncang dan menentang hukum tersebut serta mengutuk
hukuman mati yang dijatuhkan atas mujahid mukmin itu lewat telegram.
Hukuman mati Nawwab Safavi merupakan peristiwa tragis dalam era
kontemporer.”[7]
Demikianlah,
bukan hanya seorang muslim Syiah yang dalam pandangan Ustad Fathi Yakan
dianggap sebagai salah satu syuhada Ikhwan, tetapi dia yakin bahwa
Nawwab dan para pendukungnya telah bergabung bersama rombongan syuhada
dengan kesyahidan mereka. Syahid-syahid kekal yang darahnya akan menjadi
pelita yang akan menerangi jalan kebebasan dan pengorbanan para
generasi muda. Dan memang demikian adanya, dan tidak lama setelah itu
terjadi Revolusi Islam yang menghantam kekuasaan Syah yang despotik.
Syah terkatung-katung dan terusir. Dan terwujudlah firman Allah swt:
وَلَقَدْ سَبَقَتْ كَلِمَتُنَا لِعِبَادِنَا الْمُرْسَلِينَ، إِنَّهُمْ لَهُمُ الْمَنصُورُونَ، وَإِنَّ جُندَنَا لَهُمُ الْغَالِبُونَ [ [8
Demikianlah,
janji Kami tentang hamba-hamba yang Kami utus. Sesungguhnya mereka akan
tertolong dan pasukan Kami pasti akan menang.
Setelah pengumuman tentang pengakuan eksistensi rezim zionis Israel oleh Iran di zaman rezim, Ustad Fathi Yakan berkata:
“Bangsa
Arab semestinya mencari Nawwab dan para pendukungnya di Iran. Tetapi
negara-negara Arab tidak juga memahaminya sampai saat ini dan tidak
mengetahui bahwa gerakan islamiyah adalah satu-satunya penolong dalam
masalah-masalah muslimin di luar Arab. Apakah Nawwab lain akan muncul di
Iran?” [9]
Oleh
karena itu, Ustad Yakan sedang menanti Nawwab lain. Jadi -sumpah demi
Allah- mengapa ketika Nawwab dan orang yang lebih besar dari Nawwab
datang, sebagian marah dan sebagian lagi malah menjadi demam?!
Majalah
al-Muslimun yang diterbitkan Ikhwanul Muslimin, dalam salah satu
edisinya berjudul “Bersama Nawwab Safavi” menulis: “Syahid yang mulia,
Nawwab Safavi, memiliki hubungan erat dengan al-Muslimun dan pada bulan
Januari 1954 Masehi tinggal kantor majalah di Mesir sebagai tamu.”[10]
Kemudian, berkaitan dengan pendapat Nawwab tentang para tahanan dari kelompok Ikhwan, majalah ini menulis:
“Ketika
pembesar-pembesar Islam di mana saja menjadi sasaran para taghut, kaum
muslimin harus menutup mata dari perselisihan antara mazhab dan harus
bersama-sama merasakan penderitaan dan kesedihan saudara-saudaranya yang
dizalimi ini. Tidak bisa diragukan lagi bahwa dengan perjuangan Islam,
kita bisa menggagalkan usaha musuh untuk menciptakan perpecahan di
antara kaum muslimin. Keberadaan berbagai mazhab dalam Islam bukanlah
bahaya dan kita juga tidak bisa menghapuskan mazhab-mazhab itu. Apa yang
harus kita cegah adalah penyalahgunaan kondisi ini oleh kalangan
tertentu.”[11]
Di akhir makalah, majalah ini mengutip ucapan Nawwab Safavi:
“Kami
yakin bahwa kami pasti akan terbunuh. Jika tidak hari ini, mungkin
besok. Tetapi darah dan pengorbanan kami akan menghidupkan Islam dan
akan membangkitkan Islam. Islam hari ini membutuhkan darah dan
pengorbanan, tanpa keduanya, Islam tidak akan pernah bangkit lagi.
Sebelum
kita akhiri pembahasan tentang hubungan Ikhwanul Muslimin dengan Syiah,
kami harus menyebutkan bahwa Ustad Abdul Majid al-Zandani, Sekjen
Ikhwanul Muslimin -sampai dua tahun lalu- yang berada dalam tahanan di
Utara Yaman adalah Syiah[12] dan sebagian besar anggota Ikhwan di Utara
Yaman adalah Syiah.
Sekarang,
kita kembali ke masalah Jamaah Taqrib agar kita bisa mendengar ucapan
anggota penting Jamaah, pemimpin besar, Mahmud Syaltut, Syaikh Al-Azhar.
Dia berkata:
“Saya meyakini ide taqrib ini sebagai sebuah garis kebijakan yang benar dan sejak awal saya ikut berperan dalam Jamaah.”[13]
Kemudian beliau berkata:
“Al-Azhar
Al-Syarif saat ini mengakui hukum dasar (dasar taqrib di antara pemeluk
berbagai mazhab) dan akan menganalisa fikih mazhab-mazhab Islami dari
Sunni sampai Syiah; analisa yang berlandaskan dalil dan argumentasi
serta tanpa mengedepankan fanatisme kepada ini dan itu.” [14]
Selanjutnya beliau berkata:
“Andai
saya bisa berbicara pada pertemuan-pertemuan Daruttaqrib. Saat itu,
ketika seorang warga Mesir duduk berdampingan dengan seorang warga Iran
atau Libanon atau Pakistan atau utusan negara-negara lainnya, dari
Mazhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali duduk mengitari meja di sisi
pemeluk mazhab Imamiah dan Zaidiyah, dan terdengarlah suara-suara yang
mengungkapkan keilmuan, taSawuf dan fikih serta ruh persaudaraan, rasa
persatuan, cinta dan kerjasama di dalam bidang ilmu dan irfan.” [15]
Syaikh
Syaltut mengisyaratkan bahwa sebagian kalangan yang menyangka bahwa
tujuan dari ide taqrib adalah menghapuskan mazhab atau menggabungkan
satu mazhab dengan mazhab lainnya, beliau berkata:
“Orang-orang
yang berpikiran sempitlah yang memerangi ide ini, sebagaimana kelompok
lain yang memeranginya karena kepentingan. Tidak ada satu umatpun yang
tidak memiliki orang-orang seperti ini. Mereka yang melihat
keberlangsungan dan kehidupannya ada di dalam perpecahan akan memerangi
ide taqrib dan orang-orang berhati busuk, pemuja hawa nafsu dan mereka
yang memiliki kecenderungan tertentu juga akan memeranginya. Mereka ini
adalah orang-orang yang menjual penanya demi politik perpecahan! Politik
yang memerangi setiap gerakan perbaikan baik secara langsung atau tidak
langsung dan menghalangi setiap perbuatan yang dapat menimbulkan
persatuan kaum muslimin.”
Sebelum
saya menutup pembicaraan tentang al-Azhar, mari kita dengarkan fatwa
yang dikeluarkan Syaikh Syaltut tentang mazhab Syiah. Dalam fatwa itu
disebutkan:
“Mazhab
Ja’fari yang terkenal dengan mazhab Syiah 12 Imam, adalah mazhab yang
sama seperti mazhab Ahli Sunnah, beribadah dengan mazhab tersebut
dibolehkan dalam syariat. Kaum muslimin harus mengetahui hal ini dan
terbebas dari fanatisme yang salah berkaitan dengan mazhab tertentu,
sebab agama dan syariat Allah tidak tergantung pada satu mazhab khusus
atau terbatas pada satu mazhab saja. Karena semua telah berjtihad dan
karena itu mereka diterima di sisi Allah.”[16]
Mari
kita tinggalkan Jamaah Taqrib dan kita akan sampai pada pemikir-pemikir
Islam yang tak terhingga, kita mulai dari Syaikh Muhamamd Ghazali,
beliau berkata:
“Keyakinan
(akidah) juga tidak bisa aman dari bahaya kerusuhan sebagaimana yang
dialami oleh politik dan pemerintahan, sebab syahwat-syahwat yang
menginginkan keutamaan dan dominasi dengan paksaan telah memasukkan
hal-hal lain dalam keyakinan, dan sejak saat itulah kaum muslimin
terbagi menjadi dua bagian besar Syiah dan Sunni. Padahal kedua kelompok
ini mengimani Allah yang esa dan kenabian Muhammad Saw dan
masing-masing tidak mempunyai kelebihan apapun dalam unsur-unsur akidah
yang menyebabkan kekokohan agama dan menimbulkan kebebasan.[17]
Dalam lembar yang sama dalam bukunya, dia menambahkan:
“Meskipun
dalam beberapa bagian hukum-hukum fikih saya memiliki pendapat yang
bertentangan dengan Syiah, tetapi saya tidak yakin bahwa orang yang
bertentangan pendapat dengan saya adalah orang berdosa. Posisi saya di
hadapan sebagian pendapat fikih yang banyak diamalkan di kalangan Ahli
Sunnah juga demikian."
Di bagian lain bukunya, dia berkata:
“Akhirnya,
perpecahan antara Syiah dan Sunni mereka hubung-hubungkan dengan ushul
akidah agar agama yang satu kembali terkoyak dan ummat yang satu
bercabang menjadi dua bagian dan satu bagian mengintai bagian lainnya
bahkan menantikan kematian bagian lainnya! Barang siapa yang membantu
pengelompokan ini walau dengan dengan satu kata, maka dia akan masuk
dalam ayat ini:
إِنَّ الَّذِينَ فَرَّقُواْ دِينَهُمْ وَكَانُواْ شِيَعًا لَّسْتَ مِنْهُمْ فِي شَيْءٍ إِنَّمَا أَمْرُهُمْ إِلَى اللّهِ ثُمَّ يُنَبِّئُهُم بِمَا كَانُواْ يَفْعَلُونَ [18]
Mereka
yang memecah belah agama dan menjadi berkelompok-kelompok di dalamnya
mereka itu bukan bagian darimu. Allah yang akan mengurus mereka dan akan
menyadarkan mereka lewat siksaan dari apa yang mereka telah lakukan.
Ketahuilah
bahwa mengkafirkan orang lain terlebih dahulu saat berdialog adalah
mudah dan membuktikan kekafiran lawan bisa dilakukan di tengah hangatnya
pembahasan lewat ucapan lawan sendiri.[19]
Kemudian, Syaikh Muhammad Ghazali kembali berkata:
“Dalam
kedua kelompok, hubungan keduanya dengan Islam berdasarkan iman kepada
kitabullah dan sunnah nabi dan secara mutlak sama-sama menyepakati
ushul-ushul mayoritas agama. Jadi dalam furu dan syariat mereka menjadi
bercabang-cabang. Mereka sepakat bahwa mujtahid akan mendapat pahala
baik jika ijtihadnya benar atau salah. Ketika kita memasuki fikih
praktis dan perbandingan, dan jika kita analisa antara pendapat ini dan
itu, atau menilai mana hadis shahih dan dhaif, maka kita akan melihat
bahwa jarak antara Syiah dan Sunni sama seperti jarak antara fikih
mazhab Abu Hanifah, Maliki atau Syafii. Kita harus melihat sama semua
orang yang mencari hakikat meski cara dan metode mereka
berbeda-beda.”[20]
Dalam
kitab Nazarat fil Qur’an, kita dapat melihat Syaikh Ghazali membawa
salah satu ucapan ulama Syiah dan salah satu catatan pinggir kitab itu,
Ghazali berkata:
“Dia
adalah salah satu faqih dan sastrawan besar Syiah. Kita akan membahas
semua ucapannya, sebab sebagian orang-orang yang belum matang pikirannya
menyangka bahwa Syiah bukanlah Islam dan telah melenceng dari Islam.
Dalam bab I’jaz akan disebutkan materi yang akan membuat kita lebih
mengenal Syiah.”[21]
Dalam
catatan pinggir dari salah satu halaman bukunya, ketika memperkenalkan
seorang ulama lainnya (Hibbaddin Husaini Syahrestani), Ghazali berkata:
“Dia
adalah salah satu ulama besar Syiah dan kami sengaja membawa ringkasan
ucapannya di sini agar pembaca muslim mengetahui dengan jelas ketinggian
ilmu ulama ini tentang esensi I’jaz dan tingkat kesucian kitabullah di
kalangan kaum Syiah.”[22]
Oleh
karena itu, Syaikh Ghazali yang merupakan salah satu pemikir Ikhwanul
Muslimin terpenting berbicara demikian tentang Syiah dan menyingkirkan
seluruh dugaan sederhana sehingga nilai hakikat mampu menepis kegelapan
karena kejahilan, dendam dan kebutuhan orang-orang yang berpikiran
sempit.
DR.
Subhi Shaleh—salah satu ulama terkenal Libanon—berkata: “Dalam
hadis-hadis para Imam Syiah yang diriwayatkan tak lain adalah
hadis-hadis yang sesuai sunnah Nabi.”[23] Kemudian dia menambah: “Sumber
kedua syariat setelah kitabullah adalah sunnah Nabi yang memiliki
kedudukan sangat tinggi di sisi mereka.”
Ustad
Said Hawi—salah satu mantan pemimpin Ikhwanul Muslimin Suriah—ketika
berbicara tentang bagian-bagian manajemen Darul Islam ketika diperluas
dari bentuk federal berkata:
“Secara
ilmiah, kondisi dunia Islam saat ini adalah bahwa Islam tersusun atas
mazhab-mazhab fikih atau mazhab-mazhab akidah. Dan setiap mazhab
berkuasa di daerah-daerah tertentu. Apakah ada uzur syar’i yang membuat
hal ini menghalangi jalan untuk memperhatikan hal ini dalam pembagian
manajemen? Jadi sebuah daerah yang memiliki satu bahasa harus memiliki
satu kawasan pemerintahan. Setiap kawasan memilih sendiri pemimpinnya
dan dalam saat yang sama kawasan ini masih berada di bawah pengawasan
pemerintahan pusat.”[24]
Pengakuan
jelas ini berasal dari salah satu pembesar Ikhwanul Muslimin saat ini
tentang beragamnya mazhab misalnya Syiah yang tidak merusak Islam,
masyarakat dan agama dan jika Syiah mendirikan Darul Islam, maka harus
ada kawasan pemerintahan independen dan pemimpinnya.
DR. Mustafa Syaka’ah, salah satu peneliti muslim berkata:
“Mazhab
Syiah Imamiah adalah syiah yang terkenal dan sedang hidup di
tengah-tengah kita bahkan kita memiliki hubungan kasih sayang dengan
mereka. Mereka juga berusaha mewujudkan pendekatan berbagai mazhab sebab
intisari agama dan itu adalah satu dan asas agama yang kokoh. Dan agama
tidak mengizinkan para pemeluknya menjauh satu sama lain.”[25]
Kemudian, tentang kelompok yang merupakan mayoritas penduduk Iran ini dan tentang keadilan mereka, berkata:
“Mereka lepas tangan dari ucapan-ucapan yang terucap dari berbagai firqah dan menganggapnya kufur dan sesat.”[26]
Syaikh
mulia Imam Muhammad Abu Zuhrah dalam kitab Tarikh al-Mazhahibul
Islamiyyah berkata: “Tidak bisa disangkal lagi bahwa Syiah adalah salah
satu firqah Islam. Tentu saja kita harus memisahkan firqah Sabaiah yang
yang mengakui Ali sebagai Tuhan dari Syiah (dan sudah jelas bahwa
Sabaiyah adalah kafir di mata Syiah).[27] Dan tidak bisa diragukan lagi
bahwa seluruh akidah Syiah berdasarkan nash al-Qur’an atau hadis-hadis
yang dinisbahkan kepada Nabi.” Dia juga berkata: ”Mereka menyayangi
tetangganya yang sunni dan tidak menjauhi mereka.”[28]
DR. Abdulkarim Zaidan, salah satu pemimpin penting Ikhwanul Muslimin Irak menulis:
“Mazhab
Ja’fari ada di Iran, Irak, India, Pakistan, Libanon dan Suriah atau
negara-negara lainnya. Antara fikih Ja’fari dan mazhab lainnya tidak
lebih dari perbedaan antar mazhab dengan mazhab lainnya.”[29]
Ustad Salim BahanSawi yang merupakan salah satu pemikir Ikhwan, dalam kitabnya yang penting السنة المفترى عليها
membaha masalah ini dengan terperinci, dan ketika menjawab klaim
orang-orang yang mengatakan bahwa Syiah memiliki Qur’an lain selain
Qur’an kita, berkata:”Qur’an yang ada di kalangan Ahli Sunnah adalah
Qur’an yang ada di masjid dan di rumah-rumah orang Syiah.”[30] Dia juga
berkata: “Syiah Ja’fari (12 Imam) meyakini bahwa barang siapa yang
mentahrif Quran yang turun kepada mereka dari awal Islam adalah
kafir.[31]
Dia
melanjutkan jawabannya kepada Muhibuddin Khatib dan Ihsan Ilahi Zahir
tentang tahrif Qur’an dan membawakan risalah di halaman 68-75 dalam
kitabnya yang mengandung pendapat mayoritas ulama dan mujtahid Syiah
berkaitan klaim ini. Dan dia membawa ucapan Ayatullah Khui: ”Apa yang
sudah diketahui adalah bahwa tidak terjadi tahrif dalam Qur’an dan apa
yang kita miliki, adalah Qur’an yang turun kepada Nabi Muhammad
Saw.”[32]
Dan
dia menukil ucapan Syaikh Muhammad Ridha Muzaffar—ulama terkenal Syiah
asal Irak: “Apa yang ada di tangan kita dan yang kita baca adalah Qur’an
yang turun kepada Nabi. Dan barang siapa yang mengklaim hal selain ini
adalah pembohong dan pembuat mughalathah. Ucapan mereka tentang tahrif
Qur’an ini keluar telah dari jalan yang benar. لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ
Kemudian,
dia juga menukil dari Kasyiful Ghita: “Semua meyakini dan berijma bahwa
tidak ada kekurangan, tambahan dan tahrif dalam al-Qur’an.”
Tentu
saja pendapat-pendapat lain masih banyak dalam halaman buku yang
disebutkan di atas, jika berminat silahkan merujuk buku tersebut.
Berkaitan
dengan sebagian riwayat tidak benar yang mungkin saja digunakan
sebagian kalangan sebagai dalil, harus dikatakan bahwa hadis-hadis ini
adalah tertolak. Hadis-hadis demikian juga ada di kalangan Ahli Sunnah
dan mereka juga menolak hadis-hadis tersebut.”[33]
Tentang ishmah, Ustad Bahansawi berkata:
“Ishmah
yang diingkari Ahli Sunnah tidak akan berakhir dengan pengkafiran satu
sama lainnya jika kedua mazhab memahaminya sebagaimana yang dimaksud
oleh mazhab 12 Imam. Sebab makna ishmah yang diakui oleh Syiah 12 Imam
tidak termasuk sebagai hal-hal yang keluar dari agama dalam Ahli Sunnah.
Pengingkaran ishmah adalah hal pandangan dan pemikiran, sebab tidak ada
dalam nash-nash yang yang diyakini oleh Ahli Sunnah. Dan sebagaimana
sudah jelas, kekafiran hanya akan terjadi jika terjadi pengingkaran atas
hal-hal yang pasti dalam Qur’an dan hadis dan si pengingkar juga
mengetahui masalah ini. Jadi, jika si pengingkar tidak tahu atau
meyakini ketidakshahihan riwayat maka dia tidak kafir meskipun kita
tidak mengajukan dalil syar’i kepadanya.”[34]
Setelah Ustad Bahansawi, mari kita menuju Ustad Anwar Jundi dan kitabnya al-Islam wa Harikah Tarikh. Dia berkata:
“Sejarah
Islam penuh dengan pertentangan dan perseteruan pikiran serta
pertikaian politik antara Ahli Sunnah dan Syiah. Para agressor asing
sejak Perang Salib sampai sekarang selalu berusaha memanfaatkan
pertentangan ini dan memperdalam pengaruhnya agar persatuan dunia Islam
tidak sempurna. Oleh karena itu, gerakan pro Barat dalam rangka memecah
belah antara Ahli Sunnah dan Syiah menciptakan permusuhan di antara
keduanya. Ahli Sunnah dan Syiah memahami bahwa ini adalah skenario, maka
mereka pun berusaha mempersempit arena pertentangan.”[35]
Sekarang, apakah kita telah memahami bahwa siapa yang menciptakan
fitnah ini? Siapa yang mengambil manfaat darinya? Apakah kita mengerti
bahwa setan inilah yang mengajak kaum muslimin pada perpecahan dan
pengkafiran satu sama lain, padahal perbedaan yang ada lebih sedikit
dari apa yang dibayangkan oleh orang-orang yang tertipu oleh setan ini.
Ustad Anwar Jundi kemudian berkata:
“Kenyataannya adalah bahwa perbedaan antara Sunni dan Syiah tidak lebih dari perbedaan antara mazhab Sunni yang empat.”[36]
Supaya
kita tidak menduga seperti ini bahwa Syiah dan Sunni secara umum adalah
berbeda dan dalam sejarah mereka bukan termasuk ghuluw mari kita baca
ungkapan Ustad Jundi: “Sudah selayaknya para peneliti berhati-hati dalam
menyamakan Syiah dengan Ghulat. Para Imam Syiah sendiri menyerang
Ghulat dan telah mengingatkan rekayasa para Ghulat.”[37]
Ustad
Sami’ Athifuzzain, penulis kitab al-Islam wa Tsiqafatul Insan telah
menulis sebuah buku berjudul al-Muslimun…Man Hum? (Siapakah Kaum
Muslimin?) yang di dalamnya terdapat analisa posisi Sunni dan Syiah.
Dalam mukaddimah kitabnya, dia menulis:
“Pembaca
yang mulia, apa yang menyebabkan buku ini ditulis adalah dua
pengelompokan buta yang saat ini muncul dalam masyarakat kita, khususnya
di antara kaum muslimin Syiah dan Sunni yang semestinya terhapus dengan
terhapusnya kejahilan. Tetapi sayangnya, hal ini terus berakar dalam
hati-hati yang tidak sehat, sebab sumber pengelompokan ini adalah
sekelompok orang yang berhasil menguasai dunia Islam lewat nifaq.
Kelompok itu adalah musuh Islam yang tidak bisa hidup kecuali seperti
lintah penghisap darah. Saudara-saudara Syiah dan Sunniku! Saya akan
mengungkapkan hakikat penting tentang pemahaman Qur’an, Sunni dan Syiah
kepada anda karena perbedaan ini hanya terletak pada pemahaman atas
Qur’an dan Sunnah bukan pada asli Qur’an dan sunnah.”[38]
Ustad Sami’ Athifuzzain, di akhir bukunya berkata:
“Setelah
kita mengetahui dalil terpenting yang membuat umat mengalami badai,
saya akan mengakhiri buku ini dengan ungkapan ini, bahwa kita sebagai
muslimin khususnya dalam era ini memiliki kewajiban untuk menjawab
penyelewengan mereka yang menjadikan mazhab-mazhab Islam sebagai alat
untuk menyesatkan dan mempermainkan pikiran serta meningkatkan keraguan
dan syak,” dan “kita harus menghilangkan ruh jelek perpecahan dan
menutup jalan bagi mereka yang memperluas kekerasan dalam agama, agar
kaum muslimin kembali bersatu seperti masa lalu, berkerja sama, saling
mencintai, bukan berkelompok-kelompok, garang dan jauh satu sama
lainnya” “mereka harus sabar meneladani khualafaur rasyidin yang saling
bekerja sama”.[39]
Ustad
Abul Hasan Nadawi menginginkan terciptanya kedekatan antara Syiah dan
Sunni. Kepada Majalah al-I’tisham, dia berkata: “Jika hal ini
terlaksana—yaitu kedekatan Sunni dan Syiah—akan terjadi sebuah revolusi
yang tak ada tandingannya dalam sejarah baru pemikiran Islami.”[40]
Ustad Shabir Tha’imah berkata:
“Sudah
selayaknya dikatakan bahwa antara Syiah dan Sunni tidak memiliki
perbedaan dalam ushul. Sunni dan Syiah adalah muwahhid. Perbedaan hanya
pada furu’ [fikih] yang sama saja seperti perbedaan fikih di antara
mazhab yang empat (Syafii, Hanbali…). Mereka mengimani ushuluddin
sebagaimana yang ada dalam Quran dan sunnah Nabi. Selain itu mereka juga
mengimani apa yang harus diimani. Mereka juga mengimani bahwa seorang
muslim yang keluar dari hukum-hukum penting agama, maka Islamnya tidak
benar (bathil). Yang benar adalah bahwa Sunni dan Syiah, keduanya adalah
mazhab dari beberapa mazhab Islam yang mengambil ilham dari kitabullah
dan sunnah nabi.”[41]
Ulama-ulama
Ushul Fiqh meyakini bahwa jika para mujtahid Syiah benar-benar tidak
sepakat dalam satu hal, ijma (kesepakatan pendapat dalam hukum) tidak
akan tercapai sebagaimana jika para mujtahid Ahli Sunnah tidak mencapai
kesepakatan. Ustad Abdul Wahab Khalaf berkata:
“Dalam
ijma’ ada empat rukun dan jika tidak tercapai ijma kecuali dengan
adanya keempat rukun tersebut. Rukun kedua adalah bahwa semua mujtahid
menyepakati sebuah hukum syar’i dari sebuah kejadian pada saat terjadi
tanpa memandang negara, ras atau firqahnya. Jika dalam sebuah kejadian
hanya mujtahid-mujtahid Haramain atau hanya mujtahid-mujtahid Irak atau
hanya mujtahid-mujtahid Hijaz atau hanya mujtahid-mujtahid Ahli Bait,
atau hanya mujtahid-mujtahid Ahli Sunnah menyepakati hukum tanpa
kesepakatan mujtahid-mujtahid Syiah, maka dengan kesepakatan khusus ini
secara syar’i tidak akan tercapai. Sebab ijma baru tercapai hanya dengan
kesepakatan umum semua mujtahid dunia Islam dalam satu peristiwa dan
ini tidak berlaku pada selain mujtahid.”[42]
Jika
kesepakatan Syiah untuk tercapainya ijma diangap penting, maka apakah
setelah ini Syiah juga tetap dianggap sebagai firqah sesat dan akan
masuk neraka?!
Ustad Ahmad Ibrahim Beik yang merupakan guru Syaikh Syaltut, Syaikh Abu Zuhrah dan Syeikh Khalaf, dalam kitabnya علم اصول الفقه ويليه تاريخ التشريع الاسلامي dalam pembahasan khusus tentang sejarah Syiah, menuliskan:
“Syiah
Imamiah adalah muslimin dan mengimani Allah, Nabi, Qur’an dan semua
yang dibawa oleh Nabi Muhammad Saw. Mazhab mereka banyak dianut di
Iran.”[43]
Kemudian dia menambah:
“Di
tengah-tengah Syiah, di masa lalu dan saat ini, telah muncul
ulama-ulama besar dalam berbagai ilmu dan seni. Mereka memeliki
pemikiran yang dalam dan pengetahuan yang luas. Kitab-kitab karangan
mereka mempengaruhi ratusan ribu orang dan saya mengetahui mayoritas
buku-buku tersebut.”[44]
Dalam
catatan pinggir di dalam halam kitab tersebut, dia menulis: “Di
kalangan orang-orang yang dinisbahkan sebagai Syiah juga terdapat
(Ghulat) yang sebenarnya telah keluar dengan keyakinan yang dimilikinya
dan mereka sendiri ditolak oleh Syiah Imamiah dan kelompok ghulat ini
tidak dibiarkan begitu saja oleh Syiah.”
Setelah
kesaksian yang banyak dari para ulama ini, saya ingin menunjukkan bahwa
mereka yang berusaha mengulang kembali fatwa Ibnu Taimiyyah yang
menentang Rafidhah—meliputi hampir semua firqah Syiah—dan berusaha
mempermalukan Syiah 12 Imam dengan fatwa ini dan sebagai hasilnya mereka
berusaha menentang Revolusi Islam, sesungguhnya mereka telah melakukan
beberapa kesalahan penting:
1.
Mereka tidak bertanya terlebih dahulu mengapa dalam sejarah Islam
sebelum Ibnu Tayyimah, fatwa seperti ini tidak pernah ditemukan? Apalagi
Ibnu Taimiyyah hidup pada abad ke-8 H yaitu 6 abad setelah kemunculan
Syiah.
2. Mereka tidak mampu memahami jaman Ibnu Taimiyyah dan ketimpangan sosial masyarakat Islam ketika pihak luar menyerang Islam.
Dalam
maraknya kebencian terhadap Revolusi Islam Iran—dan pengambilan sikap
politik negatif terhadap Iran—mereka tidak berusaha untuk menganalisa
apakah kata ‘Rafidhah’ sesuai untuk Syiah atau tidak?
Ustad Anwar al-Jundi dalam bukunya berkata: “Rafidhah bukan Sunni dan Syiah.”[45]
Imam
Muhammad Abu Zuhrah dalam kitabnya tentang Ibnu Taimiyyah telah
membahas sebagian firqah Syiah seperti Zaidiyah dan 12 Imam tanpa
menyebut sedikit pun tentang sikap negatif Ibnu Taimiyyah. Tetapi ketika
menyebutkan Ismailiyah, dia berkata: “Inilah firqah yang ditentang oleh
Ibnu Taimiyyah. Ibnu Taimiyyah memeranginya dengan pena, lidah dan
pedang.”[46] Maka, Imam Abu Zuhrah membicarakan masalah ini dengan
terperinci ketika membahas tentang firqah ini—menurut
pengakuannya—karena sikap negatif Ibnu Taimiyyah terhadap firqah ini.
Inilah
sikap sebagian gerakan-gerakan dan pemimpin Islam terhadap masalah
buatan berkaitan Syiah dan Sunni. Revolusi Islam Iran yang menyala sejak
tahun 1978 M telah membangunkan ruh umat Islam dalam satu poros panjang
dari Tanza sampai Jakarta. Dengan kemajuan Revolusi Islam, sebagian
besar kaum muslimin mengharapkan kemenangan-kemenangan bercahaya seperti
awal kemunculan Islam lewat Tehran dan Qom. Dengan kemajuan Revolusi
Islam, sebagian besar kalangan mulai memihaknya, kalangan yang
memperlihatkan kegembiraannya di jalanan Kairo, Damesyq, Karachi,
Khurtum, Istanbul dan Baitul Maqdis dan di mana saja yang yang ada kaum
musliminnya.
Di
Jerman Barat, Ustad Isham Atthar, salah satu pemimpin bersejarah
gerakan Ikhwanul Muslimin yang terkenal dengan keikhlasan, jihad panjang
dan kesucian, pria yang tak pernah tunduk terhadap pemerintah manapun
dan tidak pernah dekat dengan istana raja manapun, telah menulis sebuah
kitab yang lengkap tentang sejarah dan akar Revolusi Islam. Dia
mendampingi Revolusi dan telah mengirim telegraf dengan maksud
mengucapakan selamat dan dukungan kepada Imam Khomeini.
Ucapan
atas pembelaannya terhadap Revolusi terekam dalam kaset dan tersebar
dari tangan ke tangan para pemuda muslim. Dalam majalah ar-Raid yang
dicetak di Jerman, dia juga mengakui dan menjelaskan tentang Revolusi
Islam.
Di
Sudan, sikap gerakan Ikhwanul Muslimin dan para pemuda muslim
Universitas Khurtum adalah sikap yang paling menarik yang disaksikan
oleh ibukota-ibukota negara-negara Islam, tempat di mana mereka
melakukan demonstrasi. DR. Hasab Turabi, pemimpin gerakan Islami di
Sudan yang terkenal kepiawaiannya dalam masalah budaya dan politik,
telah mengunjungi Iran dan bertemu dengan Imam Khomeini dan mengumumkan
pembelaannya terhadap Revolusi Islam dan pemimpinnya.
Di
Tunisia, majalah al-Ma’rifah, juga mendampingi Revolusi. Majalah itu
mengucapkan selamat atas kemenangan Revolusi dan mengajak semua umat
untuk menolongnya. Peristiwa ini sangat hangat sampai-sampai Ustade
Rasyid Ghanushi pimpinan gerakan Islam Tunisia mengusulkan Imam Khomeini
sebagai Imam Kaum Muslimin dalam sebuah makalah di majalah tersebut
yang di kemudian hari menjadi penyebab pemberdelan majalah dan penawanan
para pemimpin gerakan oleh pemerintah.
Ustad
Ghanushi meyakini bahwa kecenderungan keislaman kontemporer “telah
mengalami kristalisasi dan bentuk paling jelas Imam al-Banna, Maududi,
Quthb dan Imam Khomeini yang merupakan wakil dan pemimpin kecenderungan
Islami paling penting dalam gerakan Islam kontemporer.”[47]
Dia
juga menjelaskan: “Dengan kemenangan Revolusi di Iran, Islam telah
memulai sebuah tahapan organisnya.”[48] Dalam bukunya yang berjudul, Apa
Maksud Kita dalam Istilah Gerakan Islami, dia berkata: “Ikhwanul
Muslimin di Mesir, Jama’ah Islami di Pakistan dan gerakan Imam Khomeini
di Iran.”[49]
Dia
juga berkata: “Di Iran, telah dimulai sebuah proses yang bisa jadi
merupakan sebuah gerakan terpenting yang akan menyelamatkan seluruh
kawasan dan kebebasan Islam dari cengkeraman pemerintahan-pemerintahan
yang selalu berusaha menggunakan cengkeramannya menentang gelombang
Revolusi di kawasan.”[50]
Di
Libanon, dukungan gerakan Islami terhadap Revolusi lebih jelas dan
dalam. Ustad Fathi Yakan, pemimpin gerakan Islami dan majalah
terkenalnya al-Aman telah memilih sikap islami dan berharga berkenaan
Revolusi Islam. Ustad Yakan telah berkali-kali mengunjungi Iran,
menghadiri berbagai perayaan dan telah mendukung Revolusi lewat
ceramah-ceramahnya.
Di
Yordania, Ustad Muhammad Abdurrahman Khalifah, Sekjen Ikhwanul Muslimin
sebelum dan sesudah mengunjungi Iran, menyatakan dukungannya terhadap
Revolusi Islam, demikian juga Ibrahim Zaidkilani yang meminta Raja
Husain mundur! Dan Ustad Yusuf al-Azm yang syair terkenalnya telah
diterbitkan dalam majalah al-Aman telah mengajak ummat berbait kepada
Imam Khomeini di dalam syairnya. Di akhir syairnya dia berkata:
Salam atas Khomeini, pemimpin kami…
Penghancur istana kezaliman, tidak takut pada api
Kami berikan darah dan medali padanya
Kami akan maju
Mengalahkan kekufuran
Meninggalkan kegelapan
Agar dunia kembali terang dan damai.[51]
Di
Mesir, majalah-majalah gerakan Islami seperti ad-Da’wah, al-I’tisham
wal Mukhtarul Islam juga mendampingi Revolusi dan mengakui keislaman
Revolusi serta membela pemimpinnya. Ketika serangan Saddam ke Iran
dimulai, di sampul depan majalahnya al-I’tisham menulis: “رفيق تكريتي .. شاگرد ميشل عفلق kembali ingin menegakkan Qadisiah (nama sebuah kota kuno di Irak) baru di Iran !.”[52]
Dalam
edisi yang sama, al-Itisham menulis makalah dengan judul “Ketakutan
akan Meluasnya Revolusi Islam di Irak” dan menyatakan: “Saddam Husein
menyakini bahwa masa perubahan tentara Iran dari tentara Syah ke tentara
Islam adalah sebuah kesempatan emas dan tidak akan terulang! untuk
menghancurkan tentara dan revolusi ini, sebelum para komandan dan
tentara ini berubah menjadi sebuah kekuatan yang tidak terkalahkan di
bawah ideologi Islami.”[53]
Ustad
Jabir Rizq, salah satu wartawan terkenal Ikhwanul Muslimin dalam
al-I’tisham, ketika menuliskan faktor-faktor penyebab perang menulis:
“Bersamaan dengan maraknya api peperangan, semua skenario Amerika
menentang Iran mengalami kegagalan.”[54]
Dia
juga menambahkan: “Saddam Husein lupa bahwa dia akan memerangi sebuah
negara yang jumlah penduduknya 4 kali penduduk Irak dan negara ini
adalah satu-satunya negara yang mempu berevolusi menentang imprealisme
salibi-Yahudi.”[55]
Selanjutnya dia menambah:
“Rakyat
Iran bersama seluruh instansi terkaitnya siap untuk berperang sampai
mereka meraih kemenangan dan bisa menghancurkan rezim haus darah Bats.
Kekuatan rohani sedemikian rupa di kalangan rakyat Iran tidak pernah
ditemukan sebelumnya. Keinginan mati syahid menjelma menjadi sebuah
perlombaan dan pekerjaan yang ingin didahulukan. Rakyat Iran sangat
yakin bahwa kemenangan pasti akan berada di tangan Iran.”
Ustad
Jabir Rizq menjelaskan bahwa tujuan penjajah melakukan perang adalah
kehancuran Revolusi. Dia menulis: “Dengan kehancuran sistem Revolusi
Iran maka bahaya yang mengancam bentuk-bentuk taghut ini juga akan
hilang. Mereka menggigil membayangkan kemungkinan revolusi berbagai
negara lainnya dalam menentang mereka serta kehancuran mereka lewat cara
yang sama yang dilakukan rakyat muslim Iran saat menghancurkan Syah.”
Dan kemudian, di akhir makalah dia menulis: “Tetapi Hizbullah telah menang, jihad dan syahadat tidak akan dihindari,
و لينصرنَّ الله من ينصره ان الله لقوي عزيز
Jadi,
initi perang adalah hal ini bukan sebagaimana yang didengungkan oleh
Saudi dan sebagian kalangan lugu yang tidak paham apa yang sedang
terjadi di dunia dan berkata: Iran adalah Syiah dan ingin menghancurkan
sistem Sunni di Irak! Kejahilan dan kebutaan ini sangat menyedihkan! Dan
betapa besar pengkhianatan yang dilakukan oleh orang-orang yang
menanamkan kejahilan dan kebencian di dalam hati ummat?!
Al-I’tisham
di salah satu majalahnya membuat judul: “Revolusi yang memperbaharui
perhitungan dan mengguncang kestabilan”[56] dan dalam edisi ini dia
mengajukan pertanyaan: “Mengapa Revolusi Iran merupakan revolusi
terbesar di era kontemporer?”[57]
Di
akhir makalah yang sengaja ditulis untuk memperingati ulang tahun kedua
Revolusi Islam, penulis sembari menulis tentang kekuatan tentara Syah
dan peralatan yang digunakan untuk menghancurkannya, menambahkan:
“Revolusi Iran akhirnya menang setelah mengalirkan darah ribuan orang
dan dengan dengan aktivitas, hasil positif dan pengaruhnya, Revolusi
mampu mengubah perhitungan dan mengguncang kestabilan serta merupakan
revolusi terbesar dalam sejarah kontemporer.”
Mari
kita lihat sikap Ikhwanul Muslimin Mesir ketika terjadi krisis
penawanan mata-mata yang mengeluarkan dan mengirimkan pengumuman kepada
semua pemimpin gerakan-gerakan Islam di seluruh dunia:
“Jika
masalah hanyalah terkait dengan Iran, manusia bisa menerima sebuah
jalan tengah setelah memahami kondisi yang ada, tetapi Islam dan kaum
muslimin yang berada di mana saja bertanggung jawab dan menanggung
amanat atas pemerintahan Islam, pemerintahan yang pada abad 20 telah
menang dengan mengorbankan darah rakyatnya demi menegakkan pemerintahan
Ilahi menentang pemerintahan otoriter, imperialis dan zionisme.”
Pengumuman
tersebut juga menyinggung pandangan Revolusi Iran kepada mereka yang
berusaha melemahkan Revolusi dan berkata bahwa mereka itu tidak akan
terlepas dari 4 kondisi ini:
“Apakah
seorang muslim yang tidak mampu memahami jaman topan Islam dan masih
mengalami era ketundukan. Dia harus memohon ampun kepada Allah dan
berusaha menyempurnakan kekurangan pengetahuannya tentang makna jihad
dan kemuliaan Islam. Ataukah dia adalah boneka yang menjadi perantara
pemenuhan kebutuhan musuh-musuh Islam meski harus dengan cara merugikan
Islam tapi pada saat yang sama malah menyerukan persaudaraan dan
pentingnya menjaga persaudaraan. Ataukah seorang muslimin lemah yang
tidak memiliki pendapat dan keinginan, dan harus digerakkan oleh orang
lain. Ataukah dia seorang munafik yang sedang memainkan tipudaya!”
Saat
serangan Saddam ke Iran dimulai, Divisi Internasional Ikhwanul Muslimin
juga mengeluarkan pengumuman yang ditujukan kepada rakyat Irak dan
menyerang partai Bats Kafir (sesuai ungkapan pengumuman):
“Perang
ini bukanlah perang membebaskan kaum lemah, wanita dan anaka-anak tidak
berdaya dan tidak akan ada hasilnya. Rakyat muslim Iran sendiri telah
membebaskan dirinya dari kezaliman imperialis Amerika dan Zionis lewat
jihad herois dan revolusi mendasar yang sangat istimewa di bawah
pimpinan seorang Imam yang tidak diragukan lagi adalah merupakan sumber
kebanggaan Islam dan kaum muslimin.”
Di
akhir pengumuman, seruan ditujukan kepada rakyat Irak: “Hancurkanlah
penguasa jahat kalian. Tidak ada kesempatan yang lebih baik dari ini.
Letakkan senjata-senjata anda ke tanah dan bergabunglah dengan Revolusi.
Revolusi Islam adalah revolusi anda semua.”
Sikap
Jamaah Islam Pakistan terjelma dalam fatwa Maulana Abul A’la Maududi
yang dicetak dalam majalah ad-Da’wah saat menjawab pertanyaan majalah
tentang revolusi Islam Iran. Faqih mujtahid yang diakui oleh semua
gerakan Islam sebagai salah satu tokoh gerakan yang terkenal di
jamannya, berkata:
“Revolusi
Imam Khomeini adalah sebuah revolusi Islam dan pelakunya adalah jamaah
Islam dan para pemuda yang tumbuh dalam pangkuan tarbiyah Islam. Dan
wajib bagi kaum muslimin secara umum dan gerakan-gerakan Islami secara
khusus untuk mengakui dan bekerja sama dengan Revolusi ini dalam segala
bidang.”[58]
Oleh
karena itu, hal ini adalah sebuah sikap syar’i berkaitan dengan
Revolusi dan sebagaimana yang dikemukakan Maududi, jika kita ingin setia
pada Islam maka mengakui dan bekerja sama dengan Revolusi adalah wajib.
Memusuhi Revolusi dan menjalankan perang Salibi menentangnya, (yang
dilakukan siapa?) yang dilakukan oleh kelompok-kelompok hanya
digambarkan sebagai bagian dari gerakan Islam adalah pekerjaan salah di
mata syar’i dan bertentangan dengan fatwa para mujtahid besar.
Sebelum
kita tinggalkan Maududi, saya akan sampaikan bahwa suatu hari seorang
pemuda berkata kepada saya tentang penarikan fatwa Abul A’la yang
dilakukannya sendiri. Saya kaget mendengar ucapan pemuda berhati baik
ini yang mengutip ucapan tersebut dari orang lain dan orang tersebut
juga menukilnya dari sumber terpercaya! Tetapi keheranan saya segera
hilang ketika saya lihat ada tangan-tangan kotor di balik lelucon tak
berharga ini. Siapakah yang menyebarkan peristiwa penarikan fatwa faqih
mujtahid tersebut? Apakah tidak selayaknya hal itu diberitakan oleh
ad-Da’wah? Tetapi ad-Da’wah dan yang lainnya tidak melakukannya dan
tidak akan melakukannya.
Orang
pertama yang mengetahui hal ini adalah orang yang menciptakan lelucon
itu dan seperti biasanya adalah ‘orang-orang terpecaya’ dari gerakan
Islami hari ini! Tetapi poin aneh dalam hal ini adalah bahwa orang
terpercaya itu sendiri tidak mengetahui hal ini bahwa sebulan setelah
Abul A’la Maududi mengeluarkan fatwa tersebut, dia telah kembali ke alam
baka.
Dan
sikap al-Azhar lewat mantan Syaikh al-Azhar, dalam wawancara dengan
majalah as-Saryqul Ausath mengatakan: “Imam Khomeini adalah saudara
muslim dan seorang muslim yang jujur.” Kemudian menambahkan: “Kaum
muslimin adalah bersaudara meski berlainan mazhab dan Imam Khomeini
berdiri di bawah bendera Islam, sebagaimana saya berdiri di
bawahnya.”[59]
Ustad
Fathi Yakan, di akhir kitabnya yang berputar dari tangan ke tangan para
pemuda gerakan Islam, ketika menganalisa skenario imperialis dan
kekuatan internasional yang menentang Islam, berkata:
“Sejarah
menjadi saksi ucapan-ucapan kami. Dan Revolusi Islam Iranlah yang
membuat seluruh kekuatan kufr dunia bangkit demi menghancurkan janin
Revolusi itu dan itu dikarenakan Revolusi ini adalah Islami, tidak Timur
dan tidak Barat.”[60]
Nah,
para pemuda Islam saat ini mendengarkan siapa? Mendengarkan Abul A’la
Maududi dan Ustad Fathi Yakan atau orang-orang biasa, atau pengklaim
Islam atau malah para pemiliki kepentingan?
Bukti
terakhir yang ada di tangan kita adalah ucapan yang tertera dalam
majalah ad-Da’wah yang saat ini terbit di Yunani, dunia saat ini dapat
menyaksikan kebangkitan integral Islam yang merupakan pengaruh dari
Revolusi Islam Iran—dalam proses naik turunnya—yang mampu menggulingkan
musuh terbesar, terlama dan terganas Islam dan kaum muslimin.”[61]
Oleh
karena itu, majalah ad-Da’wah menganggap Revolusi Iran sebagai Revolusi
Islam dan memberikan pengaruh integral sebagaimana yang telah kami
kemukakan di awal makalah.
Berkaitan
proses naik dan turunnya Revolusi, harus saya katakan bahwa hal ini tak
lain adalah usaha para penjajah yang berusaha mempengaruhi jalannya
gerakan Revolusi. Dan kaum muslimin wajib menghilangkan usaha kaum
penjajah tersebut.
Ini
adalah sikap para ulama dan pemikir dalam gerakan Islam Sunni. Mari
kita dengarkan ucapan Imam Khomeini ketika beliau sampai di Paris saat
menjawab pertanyaan tentang azas Revolusi. Beliau berkata:
“Faktor
yang telah membagi kaum muslimin menjadi Sunni dan Syiah di masa lalu,
sekarang tidak ada lagi. Kita semua adalah mulimin dan Revolusi ini
adalah Revolusi Islam. Kita semua adalah saudara se-Islam.”
Dalam
kitab al-Harakatul Islamiyyah Wattahdis, Ustad Ghanushi mengutip ucapan
Imam Khomeini: “Kami ingin agar Islam berkuasa sebagaimana yang telah
diwahyukan kepada Rasulullah Saw. Tidak ada beda antara Sunni dan Syiah,
sebab pada jaman Rasulullah Saw tidak terdapat mazhab-mazhab.”
Dalam Konfernsi ke-14 ملتقي الفكر الاسلامي tentang Pemikiran Islam yang diselenggerakan di al-Jazair, Sayyid Hadi Khosrushahi, wakil Imam Khomeini berkata:
“Saudaraku
semua! Musuh-musuh kita tidak membedakan Sunni dan Syiah. Mereka hanya
mau menghancurkan Islam sebagai sebuah ideologi dunia. Oleh karena itu,
segala kerja sama dan langkah demi menciptakan perbedaan dan
pertentangan antara muslimin dengan tema Syiah dan Sunni berarti bekerja
sama dengan kufr dan memusuhi Islam dan kaum muslimin. Berdasarkan hal
ini, fatwa Imam Khomeini adalah Pertentangan adalah haram dan
pertentangan harus dihapuskan.”
Apakah
setelah ini kita mampu memahami intisari Revolusi, tugas-tugas sejarah
dan kewajiban-kewajiban Ilahiah? Sekali lagi bahwa, Islam kembali hidup
dalam pertarungan dengan colesy kontemporer Barat. Pendukung Islam Iran
saat ini—di samping semua kaum muslimin yang sadar dan setia—telah
mengibarkan bendera kehidupan baru demi mewujudkan kemenanga Islam di
dunia dan demi mewujudkan tujuan akhir kehidupan—keridhaan Allah Swt.
Akhirul
kalam, mari kita dengan mengikuti ucapan pemikir Mesir, Amsihi dan
Marksist Ghali Syukri, yang menjelaskan sebagian tugas Ilahiah dalam
serangan kepada Revolusi Islam. Dalam sebuah makalah yang diterbitkan
oleh Dirasatu al-Arabiyyah dan majalah al-Bidrul Siyasi cetakan Quds
menukilnya, Ghali menulis: “Salah satu keajaiban di zaman kita yang
cukup jelas bagi semua orang adalah para pemikir yang dalam sejarah
terkenal sebagai pemikir Marxisme telah berubah menjadi pendukung Islam
murni hanya dalam sekejap mata. Para pemikir yang tergantung pada Barat
telah berubah menjadi orang Timur yang ta'asub (fanatik) tanpa syarat
apa pun.
Demikianlah,
di bawah bendera Imam Khomeini telah berkumpul sekelompok pemikir Arab
dengan alasan pembaruan pendapat dalam hal-hal yang sudah jelas, dengan
alasan kembali pada asli setelah keterasingan yang lama dan terpengaruh
Barat serta dengan alasan kekalahan memalukan Marxisme, Laisme,
Liberalisme dan Nasionalisme.”
Ucapan
Ghali Syukri selesai. Tetapi pada hakikatnya, meskipun dia menyerang
dan menghina gelombang pro Khomeini, dia telah mempu memahami intisari
Revolusi Islam lebih dari para ulama Islam lainnya!
Akhirnya,
saya akan mengulangi ucapan Imam Khomeini yang telah beliau sampaikan
dalam khutbah 17 tahun lalu (Jumadil Awal 1384 H):
“Tangan-tangan
kotor yang telah menciptakan pertentangan di dunia Islam antara Sunni
dan Syiah bukan Sunni dan Syiah. Mereka adalah tangan-tangan imperialis
yang ingin berkuasa di negara-negara Islam. Mereka adalah
pemerintahan-pemerintahan yang ingin merampok kekayaan rakyat kita
dengan berbagai tipuan dan alat dan menciptakan pertentangan dengan nama
Syiah dan Sunni.”[IM/Taghrib]
Oleh: DR. Izzuddin Ibrahim.
Kairo.
Kairo.
Alih bahasa: M Turkan
_____________________________
[1]
Silahkan lihat kitab Asasut Taqaqaddum ‘Inda Mufkiril Islam fil ‘Alamil
‘Arabil Hadis (Asas-Asas Utama dalam Pandangan Para Pemikir Kontemporer
Dunia Barat).
[2] Al-Wahdatul Islamiyyah, cetakan Beirut, hal. 7.
[3] Limaza Ightaila Hasan al-Banna, cetakan pertama, Darul I’tisham, hal. 32, dikutip oleh buku Assanatul Muftara ‘Alaiha, cetakan Kairo, hal. 57.
[4] Ibid, hal. 57.
[5] Kitab bersejarah ini telah saya terjemah dan telah dicetak oleh Yayasan Ittila’at.
[6] Kabural Harikatul Islamiah Fil ‘Asril Hadis, DR. Muhammad Ali Dhanawi, cetakan Mesir, hal. 150.
[7] Al-Mausu’atul Harakiyyah, karya Ustad Fathi Yakan, cetakan Beirut, hal. 163
[8] Qur’an Majid, surah Shaffat, ayat 171-173.
[9] Al-Islam, Fikrah wa Harikah wa Inqilab, Fathi Yakan, cetakan Beirut, hal. 56.
[10] Al-Muslimun, tahun kelima, nomor perdana, cetakan Dameys, bulan April 1956, hal. 73.
[11] Ibid, hal. 76. (*) dalam tanggal penulisan pembahsan ini, dia berada di dalam penjara dan saat ini memimpin gerakan Islami Yaman.
[12] Ketika tulisan ini ditulis, dia sedang mendekam di dalam penjara. Namun setelah bebas ia menjadi pemimpin Harakah Islamiyah di Yaman
[13] Al-Wahdatul Islamiyyah, hal. 20.
[14] Ibid, hal. 23.
[15] Ibid, hal. 24.
[16] Silahkan rujuk teks asli fatwa Syaikh Syaltut, dalam bagian bukti-bukti.
[17] Kaifa Nafhamul Islam, hal. 142.
[18] Qur’an Majid, surah al-An’am, ayat 159.
[19] Kaifa Nafhamul Islam, hal. 143.
[20] Ibid, hal. 144 dan 145.
[21] Nazaraat Fil Qur’an, cetakan Mesir, catatan pinggir, hal. 79.
[22] Ibid, catatan pinggir hal. 158.
[23] Ma’alimusy Syariatul Islamiyyah, cetakan Beirut, hal. 52.
[24] Al-Islam, jilid 2, hal. 165.
[25] Islam Bilaa Mazhab, hal. 182.
[26] Ibid, hal. 187.
[27] Silahkan rujuk kitab Abdullah bin Saba’, Bainal Waqi’ wal Khayal, karangan saya yang dicetak oleh Organisasi Internasional Pendekatan Mazhab-Mazhab Islami di Tehran, agar masalah sabaiyyah menjadi jelas—penerjemah.
[28] Tarikhul Mazahibul Islamiyyah, hal. 52.
[29] Al-Madkhal Lidarasatisy Syariatul Islamiyyah, hal. 128.
[30] Assanatul Muftara ‘Alaiha, hal. 60.
[31] Ibid, hal. 263.
[32] Ibid, hal. 60.
[33] Ibid, hal. 74.
[34] Al-Islam wa Harikatut Tarikh, hal. 42.
[35] Ibid, hal. 61.
[36] Ibid, hal. 421.
[37] Ibid.
[38] AL-Muslimun…Min Hum? Mukaddimah, hal. 9.
[39] Ibid, hal. 98-99.
[40] Al-I’tisham, cetakan Mesir tertanggal Muharram 1358 H.
[41] Tahdidat Imamul ‘Arubah wal Islam, hal. 208.
[42] ‘Ilmu Ushulul Fiqh, cetakan 14, hal. 46.
[43] ‘Ilmu Ushulul Fiqh wa Yalihu Tarikhut Tasyri’ul Islami, cetakan Mesir, Darul Anshar, pembahasan khusus ‘Tasyri’, hal. 21.
[44] Ibid, hal. 22.
[45] Al-Islam wa Harikatut Tarikh, hal. 242.
[46] Ibnu Tayyimah, karangan Muhammad Abu Zuhreh, hal. 170.
[47] Al-Harikatul Islamiyyah wat Tahdis, Rasyid Ghanawasyi-Hasan Turabi, hal. 16.
[48] Ibid, hal. 17.
[49] Ibid.
[50] Ibid, hal. 24.
[51] بالخميني زعيماً وامـــــام هدّ صرح الظلم لا يخشى الحمام
[2] Al-Wahdatul Islamiyyah, cetakan Beirut, hal. 7.
[3] Limaza Ightaila Hasan al-Banna, cetakan pertama, Darul I’tisham, hal. 32, dikutip oleh buku Assanatul Muftara ‘Alaiha, cetakan Kairo, hal. 57.
[4] Ibid, hal. 57.
[5] Kitab bersejarah ini telah saya terjemah dan telah dicetak oleh Yayasan Ittila’at.
[6] Kabural Harikatul Islamiah Fil ‘Asril Hadis, DR. Muhammad Ali Dhanawi, cetakan Mesir, hal. 150.
[7] Al-Mausu’atul Harakiyyah, karya Ustad Fathi Yakan, cetakan Beirut, hal. 163
[8] Qur’an Majid, surah Shaffat, ayat 171-173.
[9] Al-Islam, Fikrah wa Harikah wa Inqilab, Fathi Yakan, cetakan Beirut, hal. 56.
[10] Al-Muslimun, tahun kelima, nomor perdana, cetakan Dameys, bulan April 1956, hal. 73.
[11] Ibid, hal. 76. (*) dalam tanggal penulisan pembahsan ini, dia berada di dalam penjara dan saat ini memimpin gerakan Islami Yaman.
[12] Ketika tulisan ini ditulis, dia sedang mendekam di dalam penjara. Namun setelah bebas ia menjadi pemimpin Harakah Islamiyah di Yaman
[13] Al-Wahdatul Islamiyyah, hal. 20.
[14] Ibid, hal. 23.
[15] Ibid, hal. 24.
[16] Silahkan rujuk teks asli fatwa Syaikh Syaltut, dalam bagian bukti-bukti.
[17] Kaifa Nafhamul Islam, hal. 142.
[18] Qur’an Majid, surah al-An’am, ayat 159.
[19] Kaifa Nafhamul Islam, hal. 143.
[20] Ibid, hal. 144 dan 145.
[21] Nazaraat Fil Qur’an, cetakan Mesir, catatan pinggir, hal. 79.
[22] Ibid, catatan pinggir hal. 158.
[23] Ma’alimusy Syariatul Islamiyyah, cetakan Beirut, hal. 52.
[24] Al-Islam, jilid 2, hal. 165.
[25] Islam Bilaa Mazhab, hal. 182.
[26] Ibid, hal. 187.
[27] Silahkan rujuk kitab Abdullah bin Saba’, Bainal Waqi’ wal Khayal, karangan saya yang dicetak oleh Organisasi Internasional Pendekatan Mazhab-Mazhab Islami di Tehran, agar masalah sabaiyyah menjadi jelas—penerjemah.
[28] Tarikhul Mazahibul Islamiyyah, hal. 52.
[29] Al-Madkhal Lidarasatisy Syariatul Islamiyyah, hal. 128.
[30] Assanatul Muftara ‘Alaiha, hal. 60.
[31] Ibid, hal. 263.
[32] Ibid, hal. 60.
[33] Ibid, hal. 74.
[34] Al-Islam wa Harikatut Tarikh, hal. 42.
[35] Ibid, hal. 61.
[36] Ibid, hal. 421.
[37] Ibid.
[38] AL-Muslimun…Min Hum? Mukaddimah, hal. 9.
[39] Ibid, hal. 98-99.
[40] Al-I’tisham, cetakan Mesir tertanggal Muharram 1358 H.
[41] Tahdidat Imamul ‘Arubah wal Islam, hal. 208.
[42] ‘Ilmu Ushulul Fiqh, cetakan 14, hal. 46.
[43] ‘Ilmu Ushulul Fiqh wa Yalihu Tarikhut Tasyri’ul Islami, cetakan Mesir, Darul Anshar, pembahasan khusus ‘Tasyri’, hal. 21.
[44] Ibid, hal. 22.
[45] Al-Islam wa Harikatut Tarikh, hal. 242.
[46] Ibnu Tayyimah, karangan Muhammad Abu Zuhreh, hal. 170.
[47] Al-Harikatul Islamiyyah wat Tahdis, Rasyid Ghanawasyi-Hasan Turabi, hal. 16.
[48] Ibid, hal. 17.
[49] Ibid.
[50] Ibid, hal. 24.
[51] بالخميني زعيماً وامـــــام هدّ صرح الظلم لا يخشى الحمام
قد منحناه وشاحا و وســام مــن دمانــا ومضينا للأمـــــام
نهزم الشرك ونجتاج الظلام ليعــود الكـــون نــــوراً وسلام
[52] Al-I’tisham, edisi Zul Hijjah 1400 H, Oktober 1980.
[53] Ibid, hal. 10.
[54] Al-I’tisham, edisi Muharram 1401 H, Desember 1980, hal. 36.
[55] Ibid, hal. 30.
[56] Al-I’tisham, edisi Safar 1401 H, 1981 Masehi.
[57] Ibid, hal. 39.
[58] Majalah ad-Da’wah, Mesir, No. 29, Agustus 1979.
[59] Asy-Syarqul Ausath, cetakan London-Jeddah, No. 762, hal. 4.
[60] Abjadiyyatut TaSawurul Haraki lil ‘Amalil Islami, hal. 48.
[61] Majalah bulanan ad-Da’wah, cetakan Wina, No. 72, hal. 20, tertanggal Rajab, 1402 H, 1982 M
[53] Ibid, hal. 10.
[54] Al-I’tisham, edisi Muharram 1401 H, Desember 1980, hal. 36.
[55] Ibid, hal. 30.
[56] Al-I’tisham, edisi Safar 1401 H, 1981 Masehi.
[57] Ibid, hal. 39.
[58] Majalah ad-Da’wah, Mesir, No. 29, Agustus 1979.
[59] Asy-Syarqul Ausath, cetakan London-Jeddah, No. 762, hal. 4.
[60] Abjadiyyatut TaSawurul Haraki lil ‘Amalil Islami, hal. 48.
[61] Majalah bulanan ad-Da’wah, cetakan Wina, No. 72, hal. 20, tertanggal Rajab, 1402 H, 1982 M
0 comments:
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Posting Komentar