Roda  pendulum waktu telah memutar dan menggerakan kita merangsek memasuki  hari kelimabelas Ramadhan. Ah tak terasa kita sudah melewati separuh  waktu dari bulan perjamuan cinta ini. Tak ada yang pasti apakah kita  masih dipandang layak untuk menjadi tamu atau masih menghembuskan nafas  iman dan Islam pada paruh waktu berikutnya?  Karena syarat untuk menjadi  tamu di bulan ini adalah keduanya. Mari kita optimis dan penuh harap  untuk tetap menjadi tamu pada babak selanjutnya dari episode Ramadhan  kita kali ini. Kendati untuk menjadi tamu ini perlu persyaratan ketat,  sebagaimana sebagian urafa memandang dirinya tidak layak sedemikian  sehingga menyebut diri mereka sebagai thufaili (orang yang tak-diundang)  karena telah memahami realitas dan hakikat sesungguhnya jamuan cinta  ini. Disebutkan  bahwa Sayidah Maryam pernah mendapatkan jamuan Ilahi ini sekali untuk  selamanya kemudian diabadikan dalam al-Qur'an karena keagungan dan  kesucian Yang menjamu dan dijamu. Perjamuan cinta yang terajut syahdu  antara asyik (pecinta) dan ma'syuq (dicinta). Perjamuan keagungan Tuhan  dan kesucian Maryam sebagai potret sempurna orang beriman di masanya. 
Rasulullah Saw di awal bulan Ramadhan, berseru bahwa "duitum fihi ilaa dhiyafatiLlah"  (kalian diundang di bulan ini untuk dijamu sebagai tamu Allah). Di  bulan ini, tidak sebagaimana Sayidah Maryam As sekali untuk selamanya,  kita diundang untuk dijamu sebagai tamu Allah selama sebulan dengan  suguhan pelbagai keutamaan dan kemuliaan. Semoga kita dapat mencicipi  dan menghayati hakikat perjamuan cinta ini. 
Di hari kelimabelas ini mari kita cicipi jamuan cinta ini dengan berdoa kepada Allah Swt: 
اَللَّهُمَّ  ارْزُقْنِيْ فِيْهِ طَاعَةَ الْخَاشِعِيْنَ وَ اشْرَحْ فِيْهِ صَدْرِيْ  بِإِنَابَةِ الْمُخْبِتِيْنَ بِأَمَانِكَ يَا أَمَانَ الْخَائِفِيْنَ
Ya Allah, anugrahkanlah kepadaku di bulan ini ketaatan orang-orang yang khusyu’, dan lapangkanlah dadaku di bulan ini dengan inabah orang-orang yang tunduk-patuh. Dengan perlindungan-Mu wahai Pengaman orang-orang yang takut.
اَللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ طَاعَةَ الْخَاشِعِيْنَ
Ya Allah, anugrahkanlah kepadaku di bulan ini ketaatan orang-orang yang khusyu’
Khaja  Abdullah Ansari ketika mendefinisikan khusyu' (khidmat) berkata bahwa  khusyu'  adalah kondisi nafs yang tadinya menggelora bergemuruh tatkala  berhadapan dengan wujud yang agung, menjulang dan menyegankan, menjadi  tenang dan kekuatan tabi'inya berhenti bergejolak. Khusyu' sejatinya adalah rangkapan antara rasa takut dan kecintaan. (Syarh Manazil az-Zairin, bab Khusyu, hal. 68)
Ketenangan  yang dicapai tatkala berhadapan dengan keagungan Tuhan. Kondisi ingkar,  maksiat, pembangkangan, dalam dirinya tidak lagi berkuasa dalam diri  orang yang telah mencapai kedudukan khusyu'. Khusyu' ini merupan  cerminan rasa takut yang dibarengi dengan makrifat dan pengenalan yang  mendalam terhadap Sosok Agung Sang Pencipta. 
Dalam  ketaatan dan ibadah, khusyu memiliki peran penting. Ibadah dan ketaatan  menjadi signifikan tatkala ada perasaaan khidmat (kekhusyu'an) dan  kehadiran hati. Dan keadaan ini bersumber dari hati dan merupakan  perasaan yang membawa manusia ke haribaan Ilahi, arah dan sasaran  menjadi satu dan membersihkan serta mensucikan hati dari kemasygulan.  Shalat yang dikerjakan tanpa khusyu' adalah laksana raga tanpa jiwa.  Bangkai yang tidak bergerak dan tiada berdaya. 
Dinukil  bahwa seseorang datang ke hadapan Amirul Mukminin As dan berkata: "Aku  beribadah berdasarkan khusyu' dan khudu'. Imam 'Ali bersabda: "Bagaimana  khusyu'mu itu? Orang itu berkata: "Aku hanya memikirkan Tuhan dalam  shalatku dan lalai dari selain-Nya." "Kini engkau kerjakan dua rakaat  shalat sebagaimana yang engkau katakan itu dan aku akan memberikan  kepadamu seekor unta sebagai hadiah." pungkas Imam 'Ali. Orang itu  berdiri menunaikan shalat dan setelah selesai meminta hadiah itu!. 
Imam  'Ali As bertanya: "Bagaimana engkau mengerjakan shalat?" Orang itu  berkata: "Seperti yang aku katakan sebelumnya, aku tidak memikirkan  selain Tuhan." "Pikirkanlah kembali apakah benar-benar engkau tidak  memikirkan yang lain pada saat mengerjakan shalat" Tutur Imam 'Ali.  "Satu-satunya yang terkadang melintas dalam pikiranku adalah unta yang  ingin Anda berikan, merah atau kuning?" jawab orang itu bersahaja. 
Iya.  Demikian model shalat yang dikerjakan oleh orang ini. Model shalat yang  tidak terbang melebihi atap rumah dan menjadi media mi'raj ruhani.  Tentu model shalat sedemikian tidak menjadi penyebab kedekatan seseorang  kepada Tuhan. Kerlingan mata pada lukisan pada figura, tekstur karpet,  guci, model tehel, tangan mengelus janggut dan wajah merupakan kesibukan  keseharian model orang ini tatkala mengerjakan shalat. Panca indra  memandang ke lima arah dan masing-masing memiliki pekerjaan tersendiri.  Kesedihan, gundah, cicilan bulanan, dan barang-barang yang hilang datang  mendekat dan menyibukkan manusia dalam shalatnya. Pelajaran, SKS, KHS,  aktivitas LSM, pekerjaan, niaga, fluktuasinya kondisi finansial telah  mengambil kekhusuyuan manusia dalam shalat. Bagi orang yang tidak  khusyuk hatinya menegakkan shalat adalah berat. Bagi orang yang tidak  khidmat jiwanya, shalat tidak dapat menjadi media pertolongan. " Dan  mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Dan  sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang  yang khusyuk." (Qs. Al-Baqarah [2]:45)
Seseorang  yang dalam shalat yang mengingat Tuhan dan memperhatikan jabarut-Nya,  tanpa syak, akan beribadah dengan perasaan khidmat, asyik dan tenggelam  hatinya dalam mengingat Tuhan. Ketika bersujud, sujudnya penuh tangisan  luruh dan rintihan di hadapan Tuhan. 
Khusyu'  merupakan rangkapan dari dua perasaan: Perasaan dan makrifat kepada  keagungan Tuhan, merasa kerdil dan lemah. Allah Swt memandang  orang-orang yang menegakkan shalat sebagai orang-orang yang meraih  kemenangan (falah) dan kejayaan dimana mereka dalam shalatnya adalah orang-orang yang khusyu'. 
Khusyu'  merupakan ruh ibadah dan jiwa hidup shalat. Ibadah tanpa khusyu adalah  raga tanpa jiwa, dan hati yang khusyu' adalah kediaman Ilahi. Khusyu'  dalam shalat adalah perasaan akan hadirnya Tuhan dan di pelataran  kehadiran (hudhur) Tuhan. Dapatkah hati mendua mencinta Tuhan pada saat  yang sama mencinta selain-Nya? 
Al-Qur'an yang menyinggung masalah khusyu' ini terdapat pada "Sungguh beruntunglah orang-orang yang beriman. (yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya." (Qs. Al-Mukminun [23]:1-2) 
"Belumkah  datang waktunya bagi orang-orang yang beriman untuk tunduk hati mereka  mengingat Allah dan kepada kebenaran yang telah turun (kepada mereka)." (Qs. Al-Hadid [57]:16) Kini kiranya telah tiba saatnya bagi kita untuk menundukkan hati kita untuk mengingat Allah.  
Kalau dalam doa sehabis shalat Ashar kita membaca doa "Aku berlindung kepada Allah Swt dari hati yang tidak khusyu'."  Di hari ini kita berdoa untuk dianugerahkan ketaatan orang-orang  khusyu. Orang yang telah dijanjikan kemenangan dan kejayaan oleh Allah  Swt. 
وَ اشْرَحْ فِيْهِ صَدْرِيْ بِإِنَابَةِ الْمُخْبِتِيْنَ 
"Dan lapangkanlah dadaku di bulan ini dengan inabah orang-orang yang tunduk patuh." 
Pada  frase doa ini kita meminta kepada Allah syarh shadr yaitu kelapangan  dada dan keluasan jiwa. Tentu yang dimaksud bukan dada di sini tapi apa  yang terkandung dalam dada. Yang disasar adalah hati dan jiwa.
Kelapangan jiwa ini juga merupakan sebuah kondisi perasaan dan keadaan yang bersumber dari iman yang pure,  tawakkal mutlak, merasa kaya dari selain-Nya, ketabahan yang tinggi,  kehendak kuat, dan harapan agung. Mereka yang memiliki kelapangan jiwa  ini tiada rasa takut yang mencekam jiwannya. Tiada putus asa dan harapan  pada orang yang mempunyai syarh shadr ini. Di hadapan pelbagai  kesulitan dan kegetiran tegar berdiri bak karang yang dilanda gelombang  samudera. Di hadapan pelbagai konspirasi dan trik, orang yang lapang  jiwanya tidak dapat dipencundangi. Kurangnya penolong dan banyaknya  musuh tidak membuat jiwanya kecut. Demikianlah syarh shadr. 
Lapang jiwa ini tidak dapat diperoleh kecuali keharusan adanya revolusi esoterik dalam diri manusia. 
Nabi Musa As tatkala mendapatkan titah untuk berseru dan berdakwah kepada Fir'aun meminta kelapangan jiwa, "Ya Tuhanku lapangkan bagiku dadaku." (Qs. Thaha [20]:25)
Dalam  al-Qur'an lapang jiwa ini dipandang sebagai anugerah dan ganjaran besar  dan sempit dada dianggap sebagai salah satu hajaran Ilahi. Allah Swt  dalam menjelaskan salah satu anugerah besar kepada Nabi-Nya berfirman: "Bukankah telah Kami lapangkan jiwamu." (Qs. Al-Insyirah [94]:1)
Tatkala  ditanya ihwal syarh shadr ini Rasulullah Saw bersabda: "Syarh shadr ini  merupakan cahaya yang Allah Swt masukkan ke dalam jiwaku." Lapang jiwa  ini merupakan cahaya yang dengan perantaranya jiwa menjadi benderang.  Orang yang jiwanya benderang ini dapat disebut sebagai orang yang  tercerahkan. 
Para  Imam Maksum As merupakan teladan dalam masalah lapang jiwa ini.  Lantaran masing-masing pada masa mereka pelbagai musibah bak amukan  gelombang datang melanda, namun mereka tetap tegar tak goyah, rasa  permusuhan sekali-kali tiada terbersit dalam jiwa mereka meski dengan  pelbagai konspirasi dan trik musuh-musuh Islam. 
Misalnya  kisah Imam Hasan Mujtaba, yang hari ini 15 Ramadhan merupakan hari  kelahirannya dimana pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan  selamat atas wiladah Imam Besar ini, yang rela menerima perdamaian  dengan Mu'awiyah ahli makar, dan turun dari kursi khilafah demi  kepentingan Islam dan kaum Muslimin. Atau pada detik-detik terakhir  kehidupannya berwasiat bahwa sekiranya dia dihalangi untuk tidak  dikuburkan di samping pusara datuknya Rasulullah Saw, maka keluarga Imam  Hasan, dalam hal ini Imam Husain diminta untuk menasihati Bani Hasyim  supaya tidak memaksakan diri sehingga dapat mengakibatkan pertumpahan  darah di kalangan Muslimin. Meski Imam Hasan As memiliki hak untuk  dikuburkan di samping datuknya tapi demi kemaslahatan umat, beliau rela  dikuburkan di tempat lain. Sebagaimana sejarah memberikan kesaksian akan  peristiwa ini bahwa Aisyah berdiri memasang dirinya menghalangi  gerak-laju orang-orang yang mengiringi jenazah suci itu menuju pusara  Rasulullah Saw. 
Sekiranya  bukan karena jiwa yang tercerahkan dengan cahaya Ilahi tentu tidak  mudah untuk mengalah dalam hal yang menjadi hak dan milik kita sendiri. 
Dalam frase doa ini terdapat redaksi inâbah dan ikhbât yang memerlukan ulasan jeluk tersendiri. Di sini kami hanya akan menyebutkanya secara selintasan. 
Inabah  merupakan tingkatan yang harus ditempuh oleh salik ilaLlah setelah  tingkatan taubat. Perbedaan antara inabah dan taubah dalam ilmu Irfan amali adalah bahwa taubat merupakan tingkatan dan maqam sebelum tingkatan dan maqam takwa namun inabah setelahnya. Taubah merupakan takhliyah (mengosongkan) sementara inabah adalah tahliya (memperelok). Taubah meninggalkan segala yang berseberangan (mukhalif) sementara inabah menarik segala yang sejalan (muwafiq). Taubah adalah i'tizar (meminta maaf) sementara inabah adalah islah (memperbaiki) (Bayân-e Rasâ,  Muhammad Ruz Bahani, jil. 1, hal. 319)
Ikhbat (klausul mukhbit) dalam al-Qur'an disebutkan sebagai sebuah berita gembira bagi mereka yang tunduk patuh kepada Allah (mukhbit). "Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)." (Qs. Al-Hajj [22]:34) 
Tunduk patuh (ikhbat) ini merupakan salah satu tingkatan pertama derajat tuma'ninah (ketenangan jiwa). Dan yang dimaksud dengan ikhbat  adalah bahwa salik memasuki wilayah aman dari wilayah keragu-raguan apakah ia bermaksud meniti perjalanan atau tidak. 
Sebagaimana  pada awal doa kita hari ini bahwa lapang jiwa ini tidak dapat diraup  kecuali dengan adanya perubahan dan perubahan itu adalah inâbatul mukhbitin  (kembalinya orang-orang yang tunduk lagi patuh). Artinya dengan  perantara inabah yang senantiasa disertai perasaan khusyu' (khidmat)  anugerah ini dapat diperoleh oleh manusia. 
Bersama  Rasulullah Saw kita menengadahkan tangan kita berdoa untuk dilapangkan  dada dengan perantara inabahnya orang-orang yang tunduk patuh. 
بِأَمَانِكَ يَا أَمَانَ الْخَائِفِيْنَ
Dengan perlindungan-Mu wahai Pengaman orang-orang yang takut.
Pada  ayat, doa-doa, munajat, dan dalam doa Jausyan Kabir, Allah Swt disebut  sebagai "Amanul Khaifin". Dialah yang memberikan rasa tentram dan aman  pada jiwa-jiwa yang takut dan menghilangkan rasa takut dan gundah. 
Mari kita bertawassul kepada Aman sebagai salah satu nama Tuhan yang memberikan rasa tentram dan aman kepada jiwa-jiwa yang takut lagi kecut. Dengan perlindungan-Mu wahai Pengaman orang-orang yang takut. Ilahi Amin… 
Oleh: A. Kamil (sumber: telaga hikmah)
0 comments:
Posting Komentar