Imam  Jawad As, pada tahun 203 H dan pada usia tujuh tahun setelah ayahanda  tercinta berpulang ke pangkuan Ilahi, telah mengemban tugas sebagai Imam  pengganti ayahnya, Imam Ridha As, dan secara praktis telah menjadi  pembimbing sekaligus pengerek panji hidayah untuk umat manusia. Ketika  itu sebagian orang mempertanyakan bahwa dapatkah seorang bocah kecil  mampu memimpin masyarakat sebesar ini? Apakah seorang anak kecil seperti  ini memiliki kemampuan manajemen dan pandangan jauh ke depan seperti  seorang laki-laki dewasa dan sempurna? 
Bagi kalangan pengikut Ahlulbait As, yang meyakini bahwa Imamah  adalah anugerah Ilahi, dalam menjawab pertanyaan semacam ini  mengatakan: kenapa tidak, hal ini adalah sesuatu yang sangat jelas.  Alasannya bahwa barangsiapa yang dianggap oleh Allah Swt layak, maka  tentunya Dia akan mengangkat dan menempatkan orang tersebut sebagai  pemimpin ummat dan pengganti Imam sebelumnya, meskipun orang  tersebut masih sangat muda. Kendatipun umur tua dalam kacamata  masyarakat menjadi barometer kesempurnaan dan kematangan seseorang,  namun dalam kacamata Al-Quran mungkin saja ada seorang anak kecil yang  memiliki keutamaan-keutamaan, kesempurnaan dan memiliki syarat-syarat  untuk menjadi seorang pemimpin di tengah-tengah masyarakat serta  mempunyai nilai-nilai khusus yang seyogyanya dimiliki seorang imam dan  nabi, kemudian Allah Swt menghibahkan risalah dan imamah kepada anak  kecil tersebut dan mewajibkan untuk mengikuti dan mentaatinya. 
Tentunya  Allah Swt dengan cara seperti ini hendak mengajak umat manusia untuk  memahami bahwa maqam Imamah, yang merupakan bentuk kesinambungan dan  tongkat estafet dari maqam kenabian, tidak sama seperti kedudukan atau  maqam-maqam yang lain yang hanya dengan syarat-syarat mudah dapat  terealisasi. Akan tetapi, imamah ini merupakan sebuah maqam spiritual  yang berada di atas maqam-maqam tersebut dan memerlukan  persyaratan-persyaratan khusus setelah itu kemudian dapat terealisir. 
Di  era ketika Imam Kesembilan, dalam silsilah 12 Imam,  ini masih berusia  belia kanak dan tampuk imamah berada di tangannya, muncullah berbagai  macam pertanyaan-pertanyaan semacam diatas dan secara langsung mendapat  jawaban-jawaban yang sangat memuaskan. Dengan jawaban-jawaban sebagai  solusi dari pertanyaan-pertanyaan diatas yang ada pada masa Imam Jawad  As, maka selanjutnya problem semacam ini bisa teratasi dan tidak  terulang lagi pada ketika Imam Hadi As menjadi imam di usia delapan  tahun dan juga pada masa Imam Mahdi As yang menjadi Imam di usia lima  tahun. 
Disini kita akan menukilkan sebuah riwayat berkenaan dengan ihwal tersebut: 
Suatu  ketika ada seorang pengikut Syi’ah bertanya pada Imam Ridha As: wahai  tuanku! Seandainya terjadi sesuatu pada diri Anda (meninggal), maka  kepada siapa kami hendak merujuk dan bertanya? Imam Ridha As dengan  penuh kejelasan dan penegasan berkata: kepada anakku Abu Ja’far (Imam  Jawad As). Mendengar ucapan Imam Ridha As ini, laki-laki tersebut  terkejut karena dia melihat bahwa Imam Kesembilan adalah seorang anak  kecil dan muda belia. Imam Ridha As, melihat ketakjuban dan  keragu-raguan laki-laki tersebut, berkata: hai kisanak! Allah SWT telah  memilih dan mengangkat Isa bin Maryam sebagai nabi dan utusan-Nya serta  pembawa syariat, padahal umurnya lebih belia dari anakku, Abu Ja’far.[1]
Untuk  membuktikan ke-imamahan Imam Jawad As, terkadang Imam Ridha As  menggunakan ayat-ayat Alquran dan argumen-argumen yang bersifat histori  dan terkadang juga menggunakan mukjizat dan bantuan-bantuan gaib Ilahi. 
Berkenaan dengan ini, Hasan bin Jahm berkata: “suatu  ketika saya duduk di depan Imam Ridha As dan beliau memanggil anaknya,  Imam Jawad As. Imam Jawad As pun menjawab panggilan ayahandanya dan  datang serta duduk bersama kami. Imam Ridha As membuka baju anaknya dan  berkata kepadaku: perhatikanlah apa yang ada diantara kedua bahunya!  Ketika saya melihatnya, nampaklah stempel imamah di atasnya. Imam Ridha  As berkata: Apakah kamu telah melihat stempel Imamah tersebut? Seperti  ini pulalah yang ada di antara kedua bahu ayahku.”[2]       
Imam Jawad As selain sebagai seorang pemimpin umat Islam, juga sebagai teladan dan uswah  bagi cendekiawan dan intelektual-intelektual muda. Hal ini dikarenakan  beliau memiliki kecemerlangan dalam dunia ilmu pengetahuan dan membuat  berbagai kalangan, baik itu sahabatnya sendiri maupun musuh-musuhnya,  terkagum-kagum dan takjub. 
Dialog-dialog,  debat ilmiah, tanya-jawab, ungkapan-ungkapan bijak dan khutbah-khutbah  beliau cukup menjadi saksi dan bukti akan kecemerlangan dan ketinggian  ilmu Imam Jawad As. 
Ali  bin Ibrahim meriwayatkan dari ayahnya bahwa: setelah Imam Ridha As  wafat, kami sempat melaksanakan ibadah haji dan kemudian datang menemui  Imam Jawad As. Puluhan kaum Syi’ah juga berkumpul di sana untuk  mengunjungi Imam Jawad As. Abdullah Bin Musa (paman Imam Jawad As)  seorang tua yang mulia dan dikeningnya nampak bekas sujud, datang pula  kesana untuk menemui Imam Jawad As. Beliau sangat menghormati Imam Jawad  As dan mencium dahinya. 
Imam  Jawad As pun duduk di atas tempat duduknya. Semua orang saling  memandang penuh takjub dan heran melihat Imam muda tersebut dan dan  mereka saling bertanya-tanya: apakah anak kecil ini mampu dan bisa  bertanggungjawab atas semua problema yang dihadapi masyarakat sehingga  dia menduduki maqam Imamah?! Seorang laki-laki berdiri ditengah-tengan  perkumpulan itu dan bertanya kepada Abdullah bin Musa (paman Imam Jawad  As): Apa hukuman orang yang bersenggama dengan hewan? Dia menjawab:  memotong tangan kanannya, kemudian merajamnya. 
Mendengar  jawaban ini, Imam Jawad As sangat sedih dan berkata kepada Abdullah bin  Musa: wahai pamanku, takutlah kepada Allah Swt! Adalah hal yang sangat  sulit ketika paman berada di depan Allah SWT pada hari kiamat dan Allah  Swt bertanya: kenapa kamu memberi fatwa kepada masyarakat tanpa didasari  dengan ilmu? Pamannya berkata: tuanku! Bukankah jawaban ayahmu, Imam  Ridha As, seperti ini?! 
Imam  Jawad As berkata: Aku bertanya pada ayahku: seorang laki-laki telah  menggali kuburan seorang wanita lantas menggaulinya, maka apa hukuman  bagi laki-laki ini? Menjawab pertanyaan ini, ayahku berkata: karena dia  telah menggali kuburan, maka potonglah tangan kanannya, lalu rajamlah  dengan alasan berzina, karena kehormatan mayat seorang muslim sama  seperti ketika hidupnya. 
Abdullah bin Musa berkata: Benar apa Yang Mulia katakan! Saya beristigfar dan memohon ampunan-Nya. 
Orang-orang  yang hadir ketika itu terkagum-kagum mendengar dialog ilmiah tersebut  dan mereka berkata: Wahai pemimpin kami! Apakah anda mengizinkan untuk  menanyakan masalah-masalah kami masing-masing? 
Imam  Jawad As menjawab: Silahkan. Mereka menanyakan sekitar 30 ribu masalah  dan Imam Jawad As menjawab semuanya secara cepat, tepat dan sempurna.  Dialog ilmiah ini terjadi ketika Imam Jawad As masih berumur sekitar  sembilan tahun.[3]
Imam  Jawad As dalam usia yang sangat muda telah menjadi seorang ilmuan luar  biasa dan paling luas pengetahuannya di zamannya dan orang-orang yang  dekat dan yang jauh datang mengunjunginya dan menanyakan segala  problematika yang dihadapinya. 
Imam  Jawad As pada usia yang sangat muda telah menjadi Imam dan dengan ilmu  pengetahuan beliau yang luar biasa sehingga sangat disegani oleh banyak  kalangan, baik itu dari kalangan sahabat-sahabatnya sendiri maupun dari  kalangan yang memusuhinya. Seyogyanyalah kalangan muda umat Islam,  khususnya pengikut Ahlulbait As menggunakan semaksimal mungkin masa  mudanya untuk menuntut dan mencari ilmu pengetahuan sebanyak mungkin dan  menggunakan metode dan bimbingan Imam Jawad As dalam menuntut ilmu  pengetahuan. Disini kita akan menyebutkan sebagian kecil dari metode dan  bimbingan beliau dalam menuntut ilmu: 
Berdasarkan  tabiat yang dimilikinya, kaum muda sangat senang dan tertarik untuk  mengenal dan mengetahui berbagai macam bentuk dan model pemikiran.  Mereka memiliki ketertarikan untuk mengetahui pemikiran-pemikiran baru  dan memilih hal yang pas dan paling menguntungkan bagi dirinya di antara  pemikiran-pemikiran tersebut. 
Imam  Ali As berkata: “Hati kaum muda ibarat tanah kosong yang mana siap  untuk ditanami dan menerima berbagai macam bentuk pemikiran.”[4]
Bibit  pengetahuan merupakan salah satu saham terpenting yang bisa ditanam  dalam dada kaum muda. Berkenaan dengan pentingnya ilmu pengetahuan, Imam  Jawad As menjelaskan bahwa:”Hendaklah kalian menuntut ilmu! Karna hal  itu keniscayaan bagi semuanya dan membahas serta mengkaji ilmu adalah  suatu kebajikan dan disenangi. Ilmu menjadi penghubung diantara saudara  seagama dan bukti kepribadian, ilmu menebarkan mewangian di dalam  majlis-majlis, ilmu teman dalam perjalanan dan penggembira dalam  kesunyian.”[5]
Dalam  pandangan Imam Jawad As adalah hal yang sangat menyenangkan jika ada  seorang pemuda muslim tumbuh dengan ilmu pengetahuan dan menjadikan  ilmunya itu sebagai sahabat dan teman baiknya, dia memilih teman-teman  dengan berdasar pada pandangan dan ilmu pengetahuannya. Dia senantiasa  membawakan hadiah berupa ilmu di setiap mendatangi majlis-majlis atau  menemui orang-orang. Menjadikan ilmu sebagai teman dan tempat curhatnya  dalam kesendirian dan dalam perjalanan, karna ilmu pengetahuan merupakan  sumber segala kesempurnaan dan kemajuan dalam segala bidang. Imam Jawad  As membagi ilmu kedalam dua kelompok, beliau bersabda: ilmu dan  pengetahuan itu ada dua macam; pertama: ilmu yang sumbernya ada dalam  diri manusia itu sendiri dan kedua: ilmu yang diperoleh dari orang lain.  Kalau saja ilmu hushuli tidak sejalan dengan ilmu fitri,  maka tidak akan membawa keuntungan apapun. Barangsiapa yang mengetahui  kelezatan ilmu hikmah dan merasakan manisnya, maka dia tidak akan bisa  diam dan selalu berusaha mencarinya. “Keindahan hakiki ada pada ungkapan yang baik dan kebenaran yang sempurna ada pada akal” [6]
Imam  Muhammad Taqi al-Jawad As menyatakan bahwa ilmu dan pengetahuan  merupakan salah satu faktor terpenting dalam mencapai maqam  kesempurnaan. Beliau As mewasiatkan kepada setiap manusia yang haus akan  kesempurnaan dan kebenaran untuk supaya meniti jalan ini dalam mencapai  maqam yang tinggi lagi mulia di dunia dan di akhirat. Imam Jawad As  bersabda:”ada empat faktor yang mendukung manusia mencapai amal saleh  dan baik: kesehatan, kemampuan (kekayaan), ilmu dan taufik.”[7]
ShalLalahu 'Alaika Yaa Maulana..Yaa Imam Muhamamd Taqi al-Jawad.. 
[1] . Kasyful Ghummah, Ali bin Isa Arbeli, jilid 2 hal 353
[2] . Al Irsyad, Syekh Mufid, hal 618.
[3] .Biharul Anwar, Allamah Muhammad Baqir Majlisi, jilid 50  hal 85.
[4] .Wasail Asy syi’ah, Muhammad bin Hasan Hurra Amili, jilid 21 hal 478.
[5] . Biharul anwar, jilid 7 hal 80.
[6] . Kasyfulgummah, jilid 3 hal 193.
[7] . Ma’danul Jawahir, Abul Fath Karajaki, hal 41
Kami  ucapkan bela sungkawa sedalam-dalamnya atas syahadah agung Imam Jawad  As 30 Dzulqaidah 1429 H/29 November 2008 kepada seluruh pecintanya. 
Oleh Sultan Nur (sumber: telaga hikmah)
0 comments:
Posting Komentar