Senin, 23 Januari 2012

Semesta Bertasbih ketika Manusia Serakah

Butuh momentum bagi saya jika ingin menuliskan sesuatu. Bahkan terkadang, jika sesuatu itu tidak cepat saya sampaikan, akan ada kejadian yang terus mengingatkan saya tentang hal tersebut. Saat ini saya sedang dalam proses menerjemahkan sebuah artikel tentang Imam Jafar as. Salah satu bagiannya membicarakan tentang alam semesta. Saya ingin berbagi pendapat sedikit tentang alam ini.

Beberapa minggu yang lalu saya menyaksikan sebuah acara kuliner di televisi. Saya agak terkejut ketika tahu bahan-bahan yang dimasak: bunga. Memang tidak lazim, tapi entah mengapa saya merasa terganggu. Saya bukan (hanya) merasa “kasihan” dengan bunga-bunga yang sedap dipandang mata itu. Apa yang ada dibenak saya adalah betapa serakahnya manusia. Saya tahu bahwa bumi-langit dan apa yang ada di dalamnya memang diperuntukkan bagi manusia untuk dikelola. Tidak dengan cara serakah.

Belum lama ini, di stasiun televisi yang sama, juga ditayangkan adegan serupa. Dalam sebuah acara petualangan, seorang pemandu acara yang ada di hutan bertingkah laku dibuat-buat seolah acaranya seru dan tegang. Akhirnya, seekor ular harus dibunuh, dikuliti hidup-hidup, dibakar, dan dimakan. Saya bukan (hanya) kasihan dengan ular yang mungkin sedang asyik mencari makan untuk dirinya atau mungkin keluarganya. Tapi yang jelas, ular itu “terpaksa” mati untuk keserakahan manusia. Berujung dengan uang hasil rating acara tersebut.

Episode ke-16 dokumenter Phase 3 mengenalkan kita istilah earth-lings, yaitu makhluk yang tinggal di muka bumi, yang tidak mengenal perbedaan seks, ras, spesies. Jadi manusia tidak hidup sendiri di muka bumi ini (tentu saja belum termasuk alien atau makhluk luar angkasa lainnya). Kita berbagai kehidupan bersama dengan makhluk lain. Tapi keserakahan membuat spesies manusia mendominasi di antara makhluk atau spesies lainnya (spesiesisme). (Diambil dari film Earthlings). Atas nama perut, mode, gaya, tren, tradisi, kita bunuh semua tumbuhan dan binatang.

Kalaupun tidak beragama, setidaknya manusia berakal sehat itu punya aturan. Ya, kita manusia memakan tumbuhan dan binatang untuk bertahan hidup. Puji Tuhan kita diberikan karunia hidup di dunia yang indah ini. Bukan saja bumi ini tidak kekal, tapi juga kita sendiri tidak kekal sehingga kita pun harus menjaganya untuk manusia generasi berikutnya. Saya yakin tidak semua manusia peduli dengan hal ini. Di televisi pernah ditayangkan film dokumenter tentang minyak bumi yang akan segera habis. Tapi apa kata orang ketika ditanya: “Saya tidak peduli, yang penting saya hidup saat ini.”

Kita tidak sedang bicara halal-haram yang boleh dimakan saja. Alhamdulillah, sudah terlalu banyak yang halal untuk manusia makan. Quran cukup memberitahukan sedikit saja yang tidak boleh dimakan. Quran tidak menyebutkan berbagai macam dan jenis makanan yang halal, karena Quran memang bukan menu makanan. Sedikit saja yang tidak boleh dimakan dan manusia masih tetap serakah. Tidak perlu pusing cari tahu apa alasan, sebab kenapa binatang anu tidak boleh dimakan. Tapi manusia menuruti nafsunya untuk makan akhirnya tidak lolos ujian dengan mengabaikan ketaatan kepada Pencipta.

Lebih dari sekedar makhluk yang kita anggap hidup, makhluk yang kita anggap benda matipun sebenarnya hidup. Diriwayatkan suatu hari Rasulullah saw. mendengar rintihan tangis dari sebuah pohon kurma. Ia bersedih karena sebelumnya setiap Rasulullah saw. menyampaikan khutbahnya, Nabi sering menyandarkan tubuh mulianya di batangnya. Setelah dibuatkan mimbar oleh sahabat, Rasulullah saw. menyampaikan khutbahnya di atas mimbar. Untuk menghentikan tangisnya, Nabi seringkali mendekap untuk menenangkannya. Sayang, sepeninggal Nabi, pohon yang sangat mencintai dan dicintai Nabi ini, ditebang dan disingkirkan atas perintah khalifah. (ABNA.ir)
Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatu pun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka… (QS. 17: 44)
Kita bagian dari yang ada di dalam bumi, tapi kita tidak merasa memiliki apalagi sayang dengan makhluk lainnya. Nabi saw. bahkan menamai makhluk hidup dan mati milikinya, seperti unta dan pedang, karena rasa memiliki dan “terima kasih” atas manfaat yang didapatkan darinya. Tapi kadang kita cuek dengan benda di sekeliling kita padahal benda itu juga yang akan bersaksi tentang kita. :( 

Tentu saya tidak mengajak orang untuk tidak memakan binatang dan menjadi vegan, toh tumbuhan juga makhluk hidup. Tapi karena karunia Allahlah kita mendapat hak sebagai khalifah ketika langit, bumi, gunung menolak (QS. 33: 72) untuk memanfaatkan, bukan eksploitasi. Memang masih banyak lagi yang patut dibicarakan dan didiskusikan, misalnya mengenai kurban, yang orang liberal kritik sebagai perbuatan sia-sia. Padahal dalam praktik kurbanpun (yang terkesan “membunuh”) ada syaratnya, seperti pisau harus tajam dalam proses penyembelihan (penelitian medis baca di sini), binatang yang disembelih harus dirawat, tidak diperlihatkan ke binatang lain yang sedang disembelih, dan sebagainya.

Begitu juga dengan perlunya diskusi tentang anjing atau binatang lain yang dianggap najis. Seorang teman dalam akun Facebooknya menyoroti tentang anjing yang oleh Alquran diakui sebagai binatang yang taat dan cerdas. Kita bisa membacanya dalam kisah Ashabul Kahfi. Tapi sekarang anjing sangat dimusuhi khususnya oleh banyak umat muslim (terlepas dari rasa takut karena dikejar atau digigit!). Saya juga merasa aneh dengan beberapa hadis yang menurut saya janggal tentang keharusan membunuh binatang tertentu, seperti cicak. Saya yakin, seharam atau senajis apapun binatang tidak pantas dibunuh tanpa sebab. (Saya tidak bicara binatang yang bisa mengancam nyawa Anda).

Baiklah, semoga tulisan ini mudah dimengerti. Berikut ini sebuah video dari Inspired by Muhammad yang membahas mengenai teladan Rasulullah dalam berinteraksi dengan binatang. Semoga bermanfaat!



0 comments:

Posting Komentar