Sabtu, 21 Januari 2012

Landasan Teori Semiotika

2.1 Semiotika
Semiotika merupakan suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda dan segala hal yang berhubungan dengan tanda. Kata ‘semiotik” sendiri berasal dari bahasa Yunani, semeion yang berarti “tanda” atau seme, yang berarti “penafsir” tanda. Contohnya, asap yang membumbung tinggi menandai adanya api. Semiotika berusaha menjelaskan jalinan tanda atau ilmu tentang tanda; secara sistematik menjelaskan esensi, ciri-ciri, dan bentuk suatu tanda, serta proses signifikasi yang menyertainya (Alex Sobur, 2004: 16).
Pengertian tanda memiliki sejarah yang panjang yang bermula dalam tulisan-tulisan Yunani Kuno (Masinambow, 2002: iii). Dengan demikian, tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain pada batas-batas tertentu. Tanda inilah yang kemudian dikenal dengan semotik dan semiologi.

2.2 Sejarah Semiotika
Semiotika sebenarnya sudah tumbuh sejak tahun 330-264 SM, yaitu melalui kajian Zeno, tokoh aliran stoa yang berasal dari Kition di pulau cyprus. Ia mengadakan penelitian lewat tanda-tanda tangis dan tertawa. Bermula dari kajian Zeno tentang semiotika tangis dan tawa itulah ilmu semiotika mulai dikembangkan. Seorang uskup Roma yang hidup sekitar abad kelima Masehi, Saint agustinus, sesudah mengalami perubahan batin secara radikal dan ia bertobat kepada Tuhan untuk menjadi manusia yang saleh dan alim (Puji Santosa, 1993: 7)

Aliran semiotik sistematis dipelopori oleh dua tokoh terakhir, yaitu Ferdinand de Sausure) dan Charles Sanders Pierce. Dalam pandangan semiotik, Saussure memandang bahasa sebagai suatu sistem tanda. Sebagai suatu tanda, bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Pengertian tanda memiliki sejarah yang panjang yang bermula dalam tulisan-tulisan Yunani Kuno (Masinambow, 2002: iii). Dengan demikian, tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain pada batas-batas tertentu. Tanda inilah yang kemudian dikenal dengan semotik dan semiologi.

Adapun semotik berkembang dengan masing-masing tokoh yang dimilikinya. Ferdinand de Saussure (1857-1913) adalah pengembang bidang ini di Eropa, dia memperkenalkannya dengan istilah semiologi sedangkan Charles Sanders Peirce (1839-1914) mengembangkannya di Amerika dengan menggunakan istilah semiotik. Kedua tokoh inilah yang membawa pengaruh besar dalam memahami dan menganalisis sebuah disiplin dengan menggunakan pendekatan semiotik.

Peirce (T.Christommy, 2001:119), mengatakan bahwa tanda “is something which stands to somebody for something in some respect or capacity.” Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Pierce disebut Ground. Konsekuensinya, tanda (sign atau representament) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni ground, object, dan interpretant. Atas dasar hubungan ini, Pierce mengadakan klasifikasi tanda. Tanda yang dikaitkan dengan ground dibaginya menjadi qualisign, sinsign, dan legysign. Qualisign adalah kualitas yang ada pada tanda, misalnya kata-kata lemah, lembut, merdu, kasar, dan keras.

Sinsign adalah eksistensi aktual benda atau peristiwa yang ada pada tanda; misalnya kata kabur atau keruh yang ada pada urutan kata air sungai keruh yang menandakan bahwa ada hujan di hulu sungai. Berdasarkan objeknya, Pierce membagi tanda atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol).
Saussure mengembangkan bahasa sebagai suatu sistem tanda. Bahasa adalah alat komunikasi yang terdiri atas sejumlah ujaran yang masing-masing dilihat sebagai tanda, yakni satuan yang terdiri atas dua muka yaitu significant (citra bunyi, signifier atau penanda) yang harus disertai oleh signifie (makna, konsep, signified atau petanda). Suatu ujaran hanya berlaku sebagai tanda jika terdiri atas penanda dan petanda (Widjojo, 2004: 45).

Sementara itu, Peirce melihat tanda sebagai suatu proses kognitif yang berasal dari apa yang ditangkap oleh pancaindra. Fungsi esensial sebuah tanda menurutnya adalah membuat sesuatu efisien, baik dalam komunikasi kita dengan orang lain, maupun dalam pemikiran dan pemahaman kita tentang dunia. Dalam teorinya, “sesuatu” yang pertama –yang “konkret”- adalah suatu perwakilan yang disebut representamen (atau ground), sedangkan “sesuatu” yang ada di dalam kognisi disebut object. Proses hubungan dari representamen ke object disebut semiosis (semeion, Yun. ‘tanda’). Dalam pemaknaan suatu tanda, proses semiosis ini belum lengkap karena kemudian ada satu proses lagi yang merupakan lanjutan yang disebut interpretant (proses penafsiran) (Hoed, 2005: 2).

2.3 Semiotika Charles Sanders Pierce
Pierce terkenal karena teori tandanya. Dalam lingkup semiotika, Pierce sebagaimana dipaparkan Letche (dalam Hoed 2004: 40), Letche memaparkan bahwa secara umum tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu bagi seseorang. Pierce mengatakan bahwa tanda itu sendiri merupakan contoh dari kepertamaan, yang mengacu pada objeknya yang disebutnya kekeduaan, dan penafsiran—unsur pengantara—adalah contoh dari keketigaan. Keketigaan yang juga lebih kita kenal dengan istilah triadik ini yang ada dalam konteks pembentukan tanda juga membangkitkan semiotika yang tak terbatas, selama suatu penafsir (gagasan) yang membaca tanda sebagai tanda bagi yang lain (yaitu sebagai wakil dari suatu makna atau penanda) bisa ditangkap oleh penafsir lainnya.

Pierce menyebut semiotika dengan sebutan semiosis sedangkan Roland Barthes yang menyebutnya dengan sebutan semiologi. Bagi Pierce, seperti yang dikutip dari Nöth (Hoed, 2001: 143) “nothing is a sign unless it is interpreted as a sign”. Dengan demikian, sebuah tanda melibatkan sebuah proses kognitif di dalam kepala seseorang dan proses itu dapat terjadi kalau ada representamen, acuan, dan interpretan. Pierce mengatakan sebagai berikut, “by ‘semiosis’ on the contrary (to diadic relation), an action, or influence, which is or involves, a coorperation of three subject such as a sign, its object, and its interpretan, this tri-relative influence not being in any way resolvable into action between pairs”. Dengan kata lain, sebuah tanda senantiasa memiliki tiga dimensi yang saling terkait:

Representamen (R), sesuatu yang dapat dipersepsi (perceptible), Objek (O) sesuatu ya
ng mengacu kepada hal lain (referetial), dan (I) sesuatu yang dapat diinterpretasi (interpretable).
Hubungan itu dapat didasari oleh keterkaitan (indeks), keserupaan (ikon), atau konvensi (lambang), atau gabungan ketiganya. Jadi, asap (R) mewakili kebakaran (O). Proses ini belum selesai karena, berdasarkan hubungan R-O (asapkebakaran), penerima tanda akan melakukan penafsiran (I). Jadi, dengan melihat asap (R), seseorang menghubungkannya dengan kebakaran (O), dan dapat menafsirkan bahwa yang terbakar adalah gedung pertokoan (I). Proses inilah yang disebut semiosis.

Sesuatu yang digunakan agar tanda bisa berfungsi, oleh Peirce disebut representamen. Konsekuensinya, tanda (sign/representamen) selalu terdapat dalam hubungan triadik, yakni representamen, objek, dan interpretan.  

2.3.1 Tiga Dimensi Tanda
2.3.1.1 Representamen
Representamen adalah bentuk atau “wajah luar” suatu tanda yang pertama kali diindrai oleh manusia. Representamen juga merupakan ‘bentuk fisik sebuah tanda’ (Marcel Danessi dalam T. Christomy, 2004: 123). Kemampuan atau kadar representasi (kegiatan dalam kognisi manusia untuk mengaitkan representamen dengan pengetahuan dan pengalamannya) tidak  sama. Pada tahap awal, tanda baru hanya dilihat sifatnya saja – yakni bahwa suatu fenomena adalah tanda – dan disebut qualisign. Kita tahu bahwa apa yang kita hadapi adalah tanda, tetapi kita belum mengetahui maknanya. Kemudian pada tahap yang lebih lanjut, representasi tanda sudah berlaku untuk tempat dan waktu tertentu, misalnya, menunjuk dengan jari, di sini, di sana) yang disebut sin(gular) sign. Sebuah representamen kita kenali maknanya pada tempat dan waktu tertentu. Akhirnya, sejumlah tanda berfungsi berdasarkan konvensi dalam suatu masyarakat yang disebut legisign (Hoed, 2005: 14).

2.3.1.2 Objek
Objek merupakan sesuatu yang hadir atau ada di dalam diri (kognisi) seseorang atau sekelompok orang. Representamen mengacu pada objeknya dan Pierce membaginya atas icon (ikon), index (indeks), dan symbol (simbol). Ikon adalah tanda yang hubungan antara tanda dan objek atau acuan yang bersifat kemiripan; misalnya potret dan peta. Indeks adalah tanda yang menunjukan adanya hubungan alamiah antara tanda dan petanda yang bersifat kausal atau hubungan sebab akibat, atau tanda yang langsung mengacu pada kenyataan.
Contoh yang paling jelas adalah asap sebagai tandanya api. Tanda dapat pula mengacu ke denotatum melalui konvensi. Tanda seperti itu adalah tanda konvensional yang biasa disebut simbol. Jadi simbol adalah tanda yang menunjukan hubungan alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan diantaranya bersifat arbitrer atau semena, hubungan berdasarkan konvensi (perjanjian masyarakat).

2.3.1.3 Interpretan
Interpretan merupakan tafsiran dari seseorang berdasarkan objek yang dilihatnya sesuai dengan kenyataan yang menghubungkan antara representamen dengan objek.
Oleh Pierce interpretan juga dibagi atas rheme, dicentsign, dan argument. Rheme adalah tanda yang memungkinkan seseorang menafsirkan berdasarkan pilihan. Misalnya, orang yang merah matanya dapat saja menandakan bahwa orang itu baru menangis, atau menderita penyakit mata, atau mata dimasuki insekta, atau baru bangun, atau ingin tidur. Dicent sign atau dicisign adalah tanda sesuai kenyataan. Misalnya, jika pada suatu jalan raya sering terjadi kecelakaan, maka di tepi jalan dipasang rambu lalu lintas yang menyatakan bahwa di situ sering terjadi kecelakaan. Argument adalah tanda yang langsung memberikan alasan tentang sesuatu.

2.4 Tanda dan Semiosis
Pierce (dalam Hoed, 2001: 143 )mengemukakan bahwa semiosis merupakan “tripple conection of sign, signified, cognition produced in the mind”. Pada halaman yang sama Nöth mengutip lagi Pierce, ‘nothing is a sign unless it is interpreted as a sign”. Kata sign memang berarti tanda, tetapi yang dimaksud adalah representamen. Namun, sebenarnya yang menjadi fokus dalam kajian semiotik adalah semiosis itulah dan bukan sekadar tanda. Pierce menyebut proses semiosis seperti di atas sebagai proses “triadik” karena mencakup tiga unsur secara bersama, yakni representamen (disingkat R), hal yang diwakilinya, kita sebut objek (disingkat O), dan penafsiran yang terjadi pada pikiran seseorang pada waktu menangkap R dan O kita sebut interpretan (disingkat I). Sebenarnya, seluruh proses semiosis adalah proses kognisi karena semiosis terjadi hanya jika ada proses kognisi itu.

Proses semiosis sebenarnya tidak ada hentinya. Demikian pula proses kognisi, yaitu interpretasi, pada dasarnya dapat berjalan terus selama sebuah tanda ditangkap dan diperhatikan. Secara teoretis hal itu digambarkan sebagai hubungan antara representamen, objek, dan interpretan (I), yang I dapat berubah menjadi R baru yang dikaitkan dengan O baru sehingga menghasilkan I baru, dan pada gilirannya menjadi R baru dan seterusnya. Dengan demikian, proses triadik itu berjalan terus menjadi suatu proses berlanjut atau proses gethok tular

2.4.1 Relevansi Teori Semiotik Pierce dengan Objek Kajian Dalam kehidupannya, manusia membutuhkan informasi. Pemenuhan kebutuhan tersebut salah satu di antaranya didapat dari iklan. Setelah melihat dan mendengar iklan, dalam diri manusia itu tentunya akan terjadi sebuah proses yang dinamakan proses persepsi. Proses ini dapat dimaknai sebagai proses penerimaan inderawi dan penafsirannya.

Pesan yang terdapat dalam iklan di televisi terdiri atas tanda verbal dan nonverbal. Kemampuan kita dalam membaca bahasa tersebut (tanda verbal dan nonverbal) merupakan sebuah proses berpikir berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Karakter utama bahasa iklan adalah melalui kekuatannya membentuk pengalaman di dalam kognisi manusia. Oleh karena gempuran iklan yang terus menerus maka proses pencerapan, penafsiran, dan pemahaman pun berjalan sampai tak terbatas sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya. Jadi, proses komunikasi yang terjadi dalam periklanan pasti melibatkan
suatu proses persepsi yang mengakibatkan terjadinya penafsiran yang berulang sesuai dengan pengalaman dan pengetahuannya. Supaya penafsiran dalam iklan itu terkendali maka dipilihlah sebuah metodologi yang secara runut dapat melihat proses penafsiran tersebut, yaitu semiotik Pierce (dasar dari teori semiotik ini adalah proses kognitif yang dinamakan dengan proses semiosis). Iklan sebagai sebuah objek semiotika, mempunyai perbedaan mendasar dengan desain yang bersifat tiga deminsional, khususnya desain produk. Iklan, seperti media komunikasi massa pada umumnya, mempunyai fungsi “komunikasi langsung”, sementara sebuah desain produk mempunyai fungsi komunikasi yang tidak langsung. Oleh sebab itu, di dalam iklan aspek-aspek komunikasi seperti “pesan” (messege) merupakan unsur utama iklan yang di dalam sebuah desain produk hanya merupakan salah satu aspek saja dari berbagai aspek utama lainnya (fungsi, manusia, produksi). Metode analisis semiotika iklan secara khusus telah dikembangkan oleh para ahli periklanan, misalnya oleh Gillian Dyer, Torben Vestergaard, dan Judith Williamson (Christomy, 2004: 96). 

Dari pandangan ahli-ahli semiotika periklanan di atas, dapat dilihat bahwa ada dimensi-dimensi khusus pada sebuah iklan, yang membedakan iklan secara semiotis dari objek-objek desain lainnya, yaitu bahwa sebuah iklan selalu berisikan unsur-unsur tanda berupa objek (object) yang diiklankan; konteks (context) berupa lingkungan, orang, atau mahkluk lainnya yang memberikan makna pada objek; serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna (anchoring), meskipun yang terakhir ini tidak selalu hadir dalam sebuah iklan. 

Eco (dalam Hoed, 2001: 143) mengemukakan bahwa suatu teks merupakan suatu : Karya terbuka (opera aperta), yang terbuka pada berbagai interpretasi memlalui proses semiosis. Namun, Nöth (1987b, dan 1990) berpendapat bahwa teks iklan adalah sebuah “teks tertutup” karena apa yang berada di balik teks tersebut sudah dapat dipahami oleh penerima iklan. Jadi, meskipun teks berbunyi belilah A. Namun, selanjutnya proses semiosis akan membawa kita pada pengertian bahwa iklan adalah sebuah “teks yang terbuka”. Hal yang sama dapat terjadi pada unsur nonverbal, misalnya ikon. Dengan demikian, iklan akan didekati dan diterangkan dengan ancangan semiotik yang prinsip-prinsipnya dikemukakan diatas, yakni sebagai gabungan pemakaian tanda dengan representamen yang verbal dan nonverbal.

2.4.2 Teori Persuasi
Teori persuasi adalah bagian dari teori komunikasi. Iklan dapat dikaji dari segi persuasi. Secara teoritis, persuasi didefinisikan sebagai upaya seseorang atau sekelompok orang untuk mempengaruhi atau mengubah pandangan atau pendapat seseorang atau sekelompok orang lain. Akan tetapi sebenarnya definisi itu masih perlu dilengkapi. Persuasi adalah upaya mempengaruhi atau mengubah pendapat yang terjadi dalam proses kommunikasi itu sendiri dan berakibat kepada reorganisasi kognitif pada diri seseorang. Dengan demikian, persuasi tidak hanya terjadi sesaat tetapi merupakan suatu proses yang berlanjut. Sebenarnya, hal itu dapat selanjutnya diterangkan dengan mengkaji proses signifikasi yang terjadi dalam kognisi seorang sebagai bagian dari proses semiosis.

2.4.3 Iklan dalam Tinjauan Semiotik
Iklan ditinjau dari semiotik sebagai suatu upaya menyampaikan pesan dengan menggunakan seperangkat representamen dalam suatu sistem. Jika terjadi hubungan antara representamen dengan yang diwakilinya maka representamen yang sudah berkaitan dengan yang diwakilinya itu dapat disebut tanda. Dengan demikian, semiotik memandang iklan sebagai tanda yang terdiri atas representamen dan hal yang diwakili oleh iklan itu.

Tiga Jenis Representamen
Indeks (keterkaitan)
Ikon (kemiripan)
simbol (perjanjian)

Berdasarkan prinsip di atas, kita akan melihat iklan sebagai suatu kesatuan representamen yang terdiri atas unsur verbal (unsur kebahasaan) dan unsur nonverbal. Unsur verbal biasanya bersifat linear, sedangkan nonverbal bersifat nonlinear. Unsur verbal mengambil waktu dan tidak mengikuti urutan yang ketat dalam pemahamannya (Martinet dalam Hoed, 2001: 142).
Eco (dalam Hoed, 2001: 142) mengemukakan bahwa suatu teks merupakan suatu karya terbuka (opera operta), yang terbuka pada berbagai interpretasi melalui proses semiosis. Namun, Nöth (1995) berpendapat bahwa teks iklan adalah sebuah teks tertutup karena apa yang berada di balik teks itu sudah
dipahami oleh penerima iklan. Jadi, meskipun teks berbunyi Nikmatilah A, maknanya adalah Belilah A. Dengan demikian, iklan akan didekati dan diterangkan dengan semiotik sebagai gabungan pemakaian tanda dengan representamen yang verbal dan nonverbal.

2.5 Iklan
Iklan didefinisikan dalam KBBI sebagai (1) berita pesanan (untuk mendorong, membujuk) kepada khalayak ramai tentang benda dan jasa yang ditawarkan; (2) pemberitahuan kepada khalayak ramai mengenai barang dan jasa yang dijual, dipasang di dalam media massa seperti surat kabar dan majalah
(KBBI, 2003: 322). Jadi, berbeda dengan sebuah informasi tentang sesuatu benda atau jasa, iklan mempunyai sifat “mendorong” dan “membujuk” agar kita menyukai, memilih, dan kemudian membeli produk yang ditawarkan iklan tersebut.

Iklan adalah suatu kegiatan menyampaikan berita, tetapi berita itu disampaikan atas pesanan pihak yang ingin agar produk atau jasa yang dijualnya disukai, dipilih, dan dibeli. Iklan ditujukan kepada khalayak ramai. Dengan demikian, iklan bukan merupakan komunikasi interpersonal, melainkan nonpersonal. Komunikasi semcam ini digolongkan dalam komunikasi massa. Namun, pada bagian ini kita akan melihat bahwa iklan biasanya tidak ditujukan kepada seluruh khalayak ramai, tetapi pada bagian tertentu dari padanya. Sudjana (1986: 1) memberikan batasan iklan sebagai “salah satu bentuk komunikasi yang terdiri atas informasi dan gagasan tentang suatu produk yang ditujukan kepada khalayak secara serempak agar memeroleh sambutan baik. Iklan berusaha untuk memberikan informasi, membujuk, dan meyakinkan”. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas tanda verbal dan nonverbal. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam radio, televisi, dan film.

1) Indeks, Ikon, dan Simbol sebagai Representamen
Tanda yang digunakan dalam iklan ada dua jenis, yaitu yang verbal dan nonverbal. Tanda verbal adalah bahasa yang kita kenal, tanda yang nonverbal adalah bentuk dan warna yang disajikan dalam iklan, yang secara tidak khusus meniru rupa dan warna yang serupa atas bentuk realitas.

2) Objek
Objek iklan adalah hal yang diiklankan. Dalam produk atau jasa, produk atau jasa itulah objeknya. Di sini harus dicatat bahwa tanda verbal dan nonverbal termasuk yang ikonis diciptakan agar dalam kognisi khalayak dihubungkan dengan objek tersebut. Jadi, iklan berfungsi konatif, yakni menyampaikan pesan dari pengirim (P1, pengiklan) kepada penerima (P2, kelompok sasaran) dengan tujuan memengaruhi P2 agar menghubungkan representamen dengan objek tertentu. Jadi, representamen dan objeknya ditentukan lebih dulu oleh P1. Selain berfungsi sebagai konatif, iklan juga berfungsi fatik. Fungsi ini bermaksud menarik perhatian khalayak untuk dibaca atau dilihat untuk dipahami isinya (Hoed, 2001: 148).

3) Penafsiran Semiosis dalam Iklan
Yang penting dalam penciptaan iklan adalah penafsiran P2 dalam proses interpretan. Jadi, sebuah kata seperti 3 (three) meskipun dasarnya mengacu pada provider 3 (three), tetapi selanjutnya provider ini ditafsirkan sebagai ‘provider semua kalangan’, ‘provider yang menyediakan sebuah keceriaan dan kemudahan bagi para penggunanya, dan seterusnya. Penafsiran yang bertahap-tahap itu merupakan segi penting dalam iklan. Proses ini disebut sebagai semiosis. 

2.5.1 Positioning
Positioning adalah suatu proses atau upaya untuk menempatkan suatu produk, merek, perusahaan, individu, atau apa saja dalam alam pikiran mereka yang dianggap sebagai sasaran atau konsumennya. Upaya ini dianggap perlu karena situasi masyarakat atau pasar konsumen sudah over communicated (Kasali,1995: 12). Supaya lebih dapat dipahami dalam konteks semiotika, positioning diartikan sebagai penempatan suatu produk dalam citra khalayak sasaran iklan. Konsep positioning dapat digunakan sebagai strategi dalam kampanye periklanan. Menurut Aecker (dalam Kasali, 1995: 12) terdapat beberapa cara untuk melakukan strategi positioning. Strategi ini dapat diterapkan melalui berbagai hal berikut:
1) penonjolan karakteristik produk,
2) penonjolan harga dan mutu,
3) penonjolan penggunaannya,
4) positioning menurut pemakaiannya,
5) positioning menurut kelas produk,
6) positioning dengan menggunakan simbol-simbol budaya, dan
7) positioning langsung terhadap pesaing.

2.6.2 Tipografi
Tipografi adalah seni memilih jenis huruf, dari ratusan jumlah rancangan atau desain huruf yang tersedia; menggabungkannya dengan jenis huruf yang berbeda; menggabungkan sejumlah kata yang sesuai dengan ruang yang tersedia; menandai naskah untuk proses typesetting, menggunakan ketebalan dan ukuran huruf yang berbeda (Jefkins, 1996: 36).
Tipografi yang baik mengarahkan pada keterbacaan, kemenarikan, dan desain huruf tertentu dapat menciptakan gaya (style) dan karakter atau menjadi karakteristik subjek yang diiklankan. Menurut James Craig (dalam Kasali, 1995: 14) terdapat lima jenis huruf yang mencitrakan hal yang berbeda, yaitu:

1) Roman
Ciri dari huruf ini adalah memiliki sirip/kaki/serif yang berbentuk lancip pada ujungnya. Kesan yang ditimbulkan adalah klasik, anggun, lemah gemulai dan feminin.
2) Egyptian
Ciri dari huruf ini adalah memiliki sirip/kaki/serif yang berbentuk persegi seperti papan. Jenis huruf ini mencitrakan kokoh, kuat, kekar, dan stabil.
3) San Serif
Pengertian san serif adalah tanpa sirip/kaki. Jenis huruf ini mencitrakan modern, kontemporer, dan efisien.
4) Script
Huruf ini menyerupai goresan tangan yang dikerjakan dengan pena, kuas atau pensil tajam dan biasanya miring ke kanan. Jenis huruf ini mencitrakan sifat pribadi dan akrab.
5) Miscellaneous
Huruf jenis ini merupakan pengembangan dari bentuk-bentuk yang sudah ada. Ditambah hiasan dan ornamen, atau garis-garis dekoratif. Jenis huruf ini mencitrakan dekoratif dan ornamental.
2.6.3 Warna
Warna memegang peranan penting dalam sebuah iklan, yakni untuk mempertegas dan memperkuat kesan atau tujuan dari iklan tersebut. Warna juga mempunyai fungsi untuk memperkuat aspek identitas.
Menurut pakar Psikologi, J. Linschoten dan Mansyur (dalam Kasali, 1995: 87) warna itu bukanlah suatu gejala yang hanya dapat diamati saja, warna itu memengaruhi kelakuan, memegang peranan penting dalam penilaian estetis dan turut menentukan suka tidaknya kita terhadap berbagai benda.
Di bawah ini dipaparkan potensi karakter warna yang mampu memberikan kesan pada seseorang, antara lain sebagai berikut.
1) Hitam, sebagai warna tertua dengan sendirinya menjadi lambang kegelapan (hal emosi), berkabung, misterius, konservatif, berwibawa, dan berbobot.
2) Putih, sebagai warna paling terang, melambangkan cahaya, suci, elegan, bersih, segar-murni, dan sportif.
3) Abu-abu, merupakan warna yang paling netral dengan tidak adanya sifat atau kehidupan spesifik, maskulin, serius, netral, dan daya tarik.
4) Merah, bersifat menaklukkan, semangat, ekspansif (meluas), dominan (berkuasa), aktif , dinamis,dan vital.
5) Kuning, dengan sinarnya yang bersifat kurang dalam, merupakan wakil dari hal atau benda yang bersifat cahaya, momentum, dan mengesankan sesuatu. Di samping itu, kuning juga melambangkan kesan hangat, kegembiraan, keceriaan, kemeriahan, dan pencerahan.
6) Biru, melambangkan kesan tenang, sendu dan ilmu pengetahuan.
Warna ini juga menimbulkan kesan dalamnya sesuatu (dediepte), sifat yang tak terhingga dan transenden. Di samping itu, warna ini juga memiliki sifat tantangan.
7) Hijau, mempunyai sifat keseimbangan dan selaras, membangkitkan ketenangan dan tempat mengumpulkan daya-daya baru.
8) Oranye melambangkan kesan kekuatan, kehangatan, aktivitas, keramah-tamahan, dan kegembiraan.

2.6.4 Garis
Garis merupakan benda dua dimensi tipis memanjang. Garis memiliki kemampuan untuk mengungkapkan suasana. Suasana yang tercipta dari sebuah garis terjadi karena proses stimulasi dari bentuk-bentuk sederhana yang sering kita lihat di sekitar kita, yang terwakili dari bentuk garis tersebut.
Menurut James Craig (dalam Kasali, 1995: 56) garis mempunyai makna beserta asosiasi yang ditimbulkannya. 
1) Horizon : memberi sugesti ketenangan atau hal yang tak bergerak.
2) Vertikal : stabilitas, kekuatan atau kemegahan.
3) Diagonal : tidak stabil, sesuatu yang bergerak atau dinamika.
4) Lengkung S : grace, keanggunan.
5) Zig-zag : bergairah, semangat, dinamika atau gerak cepat.
6) Pyramid : stabil, megah, dan kuat.
7) Spiral : kelahiran atau generative forces.
8) Rounded Arch : lengkung bulat mengesankan kekokohan.

2.7 Pengaruh Komunikasi Periklanan
Dampak komunikasi periklanan adalah dampak pada reorganisasi kognisi yang terjadi dalam proses semiosis, yaitu komponen interpretan yang membentuk opini seseorang atau sekelompok orang terhadap suatu produk atau jasa yang diiklankan. Menurut Hoed (2001: 142), apabila pembentukan opini ini terjadi
tentang suatu jenis produk atau jasa dan kekerapannya cukup tinggi maka dapat  dikatakan mulai terjadi suatu proses transformasi budaya. Dampak komunikasi periklanan bermacam-macam, tetapi di antara beberapa yang penting adalah totemisme, individualisme semu, penerjemahan budaya, dan transformasi budaya.

2.7.1 Totemisme
Totemisme adalah suatu konsep dalam antropologi yang mengemukakan bahwa sekelompok orang dalam suatu masyarakat mengidentifikasikan diri mereka dengan suatu benda (totem) yang dengan demikian merasa mempunyai satu rujukan bersama.
Lebih lanjut Hoed (2001: 154) menjelaskan bahwa totem adalah unsur budaya yang ada dalam masyarakat primitif, biasanya berbentuk patung tanaman atau hewan yang terbuat dari kayu yang diukir. Fungsi totem adalah sebagai tanda bagi suatu keluarga atau suku yang biasanya menjadi peringatan akan asal usul suku atau nenek moyang keluarga atau suku itu. Jadi, totem adalah tanda jenis simbol karena merujuk pada makna tertentu (misalnya,’keperkasaan’) yang membentuk ikatan pada sekelompok masyarakat secara konvensional. Totemisme adalah sistem konvensional yang hidup dan berkembang berdasarkan kepercayaan pada totem sebagai rujukan suatu ikatan kekerabatan.

Iklan mempunyai fungsi memperkenalkan barang atau jasa yang ditawarkan kepada masyarakat, baik untuk dibeli ataupun untuk dipakai tanpa dibeli. Iklan mewakili suatu makna tertentu yang oleh pembuatnya ingin disampaikan kepada khalayak sasaran, yakni kelompok tertentu dalam masyarakat.
Totemisme yang dimaksud di sini tidak sama dengan pengertian seperti yang ada pada zaman primitif. Namun, pada prinsipnya terdapat keserupaan dalam hal sifatnya yang ‘mengikat’ kelompok masyarakat dengan suatu simbol.
Seperti telah dikemukakan, kita akan melihat produk yang diiklankan sebagai tanda jenis simbol. Namun, konvensi mendasari simbol ini dibentuk melalui sugesti yang ditimbulkan sehingga diharapkan menimbulkan kesepakatan yang menjadi dasar bagi suatu konvensi untuk menerima suatu merek menjadi
semacam ‘totem’.
Ditinjau dari proses semiosis maka totem merupakan representamen yang mengacu kepada objek dan interpretan tertentu. Konsep pembentukan totem gaya baru adalah dengan mengaitkan simbol-simbol yang mengungkapkan simbol komoditas A dengan makna ‘jadilah anggota kelompok pemakai komoditas A’. Jadi, A adalah merek atau sifat-sifat khas komoditas tertentu yang akan dijadikan pusat perhatian dan dijadikan ‘simbol ikatan’ calon konsumen dalam suatu ‘keluarga’ penggemar komoditas A itu. Jika upaya ini berhasil maka A akan berfungsi sebagai totem bagi para penggemarnya.

2.7.2 Individualisme Semu
Sejumlah iklan seolah-olah menggiring kita pada individualisme. Apakah sebenarnya individualisme itu? KBBI (halaman 329) mendefinisikan sebagai “paham yang menganggap manusia secara pribadi perlu diperhatikan (kesanggupan dan kebutuhannya tidak boleh disamaratakan)”.
Dalam memandang individualisme, Hoed (2001: 159) melihatnya dari beberapa segi. Pertama, individualisme sebenarnya bukan suatu konsep yang statis. Ia mengandung pengertian kemampuan untuk membentuk jati diri dan kemampuan seseorang dalam berinteraksi di masyarakat. Jadi, inti individualisme pada manusia mengandung makna kadar otonomi yang tinggi menghadapi konsep-konsep supraindividual. Kedua, dalam masyarakat modern yang kapitalis, individualisme bertentangan dengan sifat kapitalisme yang akhirnya cenderung menyeragamkan masyarakat. Ditinjau dari segi ini, kapitalisme tampaknya tidak berbeda dengan komunisme.

2.7.3 Penerjemahan Budaya
Penerjemahan budaya (cultural translation atau intercultural translation) dikemukakan Finnegan dan Horton (Hoed, 2001: 161), yakni penafsiran suatu konsep asing oleh suatu masyarakat dengan konsepnya sendiri. Ini terjadi pada beberapa iklan yang kemudian terpaksa ditarik dari peredaran.

2.5.4 Transformasi Budaya
Istilah transformasi budaya menurut Hoed (2001: 162) mengandung arti bahwa kehidupan dalam masyarakat kita telah dan/atau sedang mengalami perubahan. Sepanjang sejarah, manusia dalam masyarakatnya menjalani pengalaman, dalam pengalaman itu manusia merasakan realitas fisik dan menerima pengetahuan.
Di dalam masyarakat, manusia berinteraksi satu sama lain dan interaksi itu menambah pengalamannya. Akan tetapi, manusia tidak selalu mengalami realitas fisik dan menerima pengetahuan itu secara langsung. Ia menerima pengalamannya melalui suatu perantara (medium). Jadi, pengalaman itu diterimanya secara tidak langsung melalui apa yang disebut medium (komunikasi) itu. Dengan adanya kemajuan teknologi, khususnya komunikasi elektronik, yakni televisi maka penyampaian realitas melalui medium itu menjadi lebih cepat dan, yang sangat penting, semakin lebih mendekati pengalaman aslinya.
Lepas dari tingkat pendidikan seseorang, teralihnya pengalaman melalui medium komunikasi itu membuat setiap orang menggunakan kemampuan kognitifnya, yaitu kemampuan untuk menangkap pengalaman dengan otaknya sehingga ia dikatakan mempunyai pengetahuan tentang realitas tertentu.
Pengetahuan itu, pada gilirannya, dapat menentukan corak prilakunya. Transformasi budaya merupakan perubahan pola tingkah laku yang disebabkan oleh adanya sejumlah pengalaman baru yang langsung atau tidak langsung menjadi pengetahuan sekelompok orang yang menjadi anggota suatu masyarakat. Jadi, pengetahuan baru itu telah mengakibatkan perubahan pada tingkat kognisi yang dimiliki secara kolektif oleh suatu masyarakat budaya. Sistem nilai juga erat hubungannya dengan totemisme. Iklan tidak jarang
mencoba mengubah sistem nilai sekelompok orang dalam masyarakat. Ini merupakan persuasi iklan, yakni agar tercapai reorganisasi kognitif pada kelompok sasaran iklan. Jika reorganisasi kognitif terjadi pada sekelompok anggota masyarakat maka dapat dikatakan bahwa transformasi budaya telah terjadi.

Iklan sebagai sebuah objek semiotika, mempunyai perbedaan mendasar dengan desain yang bersifat tiga deminsional, khususnya desain produk. Iklan, seperti media komunikasi massa pada umumnya, mempunyai fungsi “komunikasi langsung”, sementara sebuah desain produk mempunyai fungsi komunikasi yang tidak langsung. Oleh sebab itu, di dalam iklan aspek-aspek komunikasi seperti “pesan” (messege) merupakan unsur utama iklan yang di dalam sebuah desain produk hanya merupakan salah satu aspek saja dari berbagai aspek utama lainnya (fungsi, manusia, produksi). Metode analisis semiotika iklan secara khusus telah dikembangkan oleh para ahli periklanan, misalnya oleh Gillian Dyer, Torben Vestergaard, dan judith Williamson (Christomy, 2004: 96).

Dari pandangan ahli-ahli semiotika periklanan di atas, dapat dilihat bahwa ada dimensi-dimensi khusus pada sebuah iklan, yang membedakan iklan secara semiotis dari objek-objek desain lainnya, yaitu bahwa sebuah iklan selalu berisikan unsur-unsur tanda berupa objek (object) yang diiklankan; konteks (context) berupa lingkungan, orang, atau mahkluk lainnya yang memberikan makna pada objek; serta teks (berupa tulisan) yang memperkuat makna (anchoring), meskipun yang terakhir ini tidak selalu hadir dalam sebuah iklan.

Eco (dalam Hoed, 2001: 143) mengemukakan bahwa suatu teks merupakan suatu : Karya terbuka (opera aperta), yang terbuka pada berbagai interpretasi memlalui proses semiosis. Namun, Nöth (1987b, dan 1990) berpendapat bahwa teks iklan adalah sebuah “teks tertutup” karena apa yangberada di balik teks tersebut sudah dapat dipahami oleh penerima iklan. Jadi, meskipun teks berbunyi belilah A. Namun, selanjutnya proses semiosis akan membawa kita pada pengertian bahwa iklan adalah sebuah “teks yang terbuka”. Hal yang sama dapat terjadi pada unsur nonverbal, misalnya ikon. Dengan demikian, iklan akan didekati dan diterangkan dengan ancangan semiotik yang prinsip-prinsipnya dikemukakan diatas, yakni sebagai gabungan pemakaian tanda dengan representamen yang verbal dan nonverbal.(sumber)

0 comments:

Posting Komentar