Kamis, 19 Januari 2012

Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan

Konstruksi Kebudayaan

Pancasila sebagai orientasi humaniora Indonesia merupakan konstruksi kebudayaan. Manusia hidup ditengah-tengah tiga lingkungan, yaitu lingkungan material, lingkungan sosial, dan lingkungan simbolik. Yang dimaksud dengan lingkungan material bukanlah ekosistem, tempat ketiga lingkungan itu berkait, tetapi lingkungan buatan manusia, seperti rumah, jembatan, sawah, peralatan-peralatan. Lingkungan sosial ialah oganisasi sosial, stratfikasi, sosialisasi, gaya hidup, dan sebagainya. Ligkungan simbolik ialah segala sesutu yang meliputi makna dan komunikasi, seperti kata, bahasa, seni, upacara, tingkah laku, dan sebagainya. Ketiga lingkungan buatan itu juga saling berkitan, sehingga kita dapat melihat misalnya, antara kultur dan struktur merupakan sebuah kesatuan.

Teori sosial dan budaya berbeda dalam melihat mana diantara keduanya yang lebih dominan. Humaniora yang mempelajari dan menafsirkan (rekonstruksi), juga harus menyadari simbol-simbol diciptakan (konstruksi) oleh manusia perorangan dan masyarakat karena humaniora berkepentingan dengan kesinambungan simbol-simbol itu. Cassir, dalam An Essay on Man, menyebutkan bahwa bentuk-bentuk simolik itu adalah agama, filsafat, seni, ilmu, sejarah, mite dan bahasa.

Hubungan pancasila dan humaniora dengan terlebih dulu mnguraikan bagaimana hubungan antara simbol dan struktur, supaya kita dapat mendudukan semesta simbolis dalam kerangka evolusi sosial Indoesia. Kemudian kita akan melihat bagaimana masyarakat modern telah melakukan dehumanisasi dengan berbagai cara, agar kita mengetahui kontks global humaniora. Selanjutnya pada bagian terakhir kita akan melihat bagimana pancasila mempunyai peranan dalam pengembangan semesta simbolik.

Proses reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang menegaskan keberadaanya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.

Proses semacam ini merupakan proses sosial budaya yang penting karena menyangkut dua hal. Pertama, pada tataran sosial akan terlihat proses dominasi dan subordinasi budaya terjadi secara dinamis yang memungkinkan kita menjelaskan dinamika kebudayaan secara mendalam. Kedua, pada tataran individual akan dapat diamati proses resistensi di dalam reproduksi identitas kultural sekelompok orang di dalam konteks sosial budaya tertentu.

Mobilitas Konteks Budaya dan Pembentukan Identitas

Mobilitas telah menjadi faktor penting dalam pembentukan dan perubahan peradaban umat manusia perbedaan tempat dalam masyarakat menciptakan definisi baru, tidak hanya tentang lingkungan kebudayaan tetapi juga dirinya sendiri. Sejalan dengan mobilitas manusia yang semakin padat yang dinilai Appadurai sebagai fenomena yang mencolok sejak abad 20, batas-batas wilayah kebudayaan tidak lagi penting karena suatu kelompok tidak selalu terikat pada batas wilayah sendiri, ia telah menjadi bagian dari batas wilayah kebudayaan yang berbeda dan cenderung berubah-ubah saat orang berpindah tempat lain. Secara umum mobilitas berbagai kelompok masyarakat mengandung pengertian bahwa lingkungan sosial budaya setiap orang berubah-ubah tergantung pada perilaku mobilitas seseorang atau sekelompok orang.

Mobilitas mendorong proses rekonstruksi identitas sekelompok orang. Ada dua proses yang dapat terjadi. Pertama, terjadi adaptasi kultural para pendatang dengan kebudayaan tempat ia bermukim yang menyangkut adaptasi nilai dan praktik kehidupan. Kebudayaan lokal menjadi kekuatan baru dalam memeperkenalkan nilai-nilai kepada pendatang, meskipun tidak sepenuhnya memiliki daya paksa. Kedua, terjadi proses pembentukan identitas individual yang dapat mengacu pada nilai-nilai kebudayaan asalnya. Bahkan seseorang dapat ikut memproduksi kebudayaan asalnya ditempat yang baru. Kebudayaann berfungsi sebagai imagined values menurut Anderson yang berfungsi dalam fikiran setiap orang menjadi pendukung dan mempertahankan kebudayaan itu meskipun seseorang berada diluar lingkungan kebudayaannya.

Teori konfigurasi budaya merupakan landasan penting dalam menjelaskan perubahan- perubahan adaptasi suatu etnis (Appadurai,1994; Strathern,1995). Dalam hubungannya dengan proses migrasi ; teori ini melihat bahwa ada tiga proses sosial yang dapat terjadi. Pertama,terjadi pengelompokan baru dengan orang yang berbeda. Pengelompokan ini merupakan proses penting dalam hubunganyya dengan proses adaptasi mendatang, yang ini berarti pembentukan hubungan sosial baru. Kedua,terjadi redefinisi sejarah kehidupan seseorang karena ada fase kehidupan baru yang terbentuk,fase ini dapat memiliki arti yang berbeda bagi seseorang karena setting sosial tang berbeda dengan setting dimana mereka menjadi bagian sebelumnya. Ketiga,terjadi proses pemberian makna baru nagi diri seseorang ,yang menyebabkan ia mendefinisikan kembali identitas kultural dirinya dan asal usulnya. Reproduksi kebudayaan merupakan proses penegasan identitas budaya yang dilakukan oleh pendatang,yang dalam hal ini menegaskan keberadaan kebudayaan asalnya.

Pembentukan Ruang Simbolik Baru

Integrasi ekonomi ketatanan ekonomi global telah terbukti juga merupakan integrasi sosial budaya kedalam suatu tatanan dunia,yang kehadirannya dapat dilihat dikalangan penduduk kota. Revolusi teknologi elektronik dan teknologi komunikasi atau transportasi telah merupakan jembatan yang menghubungkan berbagai tempat dengan berbagai belahan dunia lain. Hal yang mencolok terjadi dalam kecenderunangan ini adalah consumer culture.dikota – kota (Featherstone, 1991) yang merupakan bagian dari proses ekspansi pasar (Evers, 1991). Dalam proses ini konsumsi merupakan faktor penting didalam mengubah tatanan nilai dan tatanan simbolis. Dalam kecenderungan ini identitas dan subyektifitas mengalami transformasi yang menyangkut masalah integrasi maupun masalah nasionalme (Featherstone, 1990).

Laju pertumbuhan penduduk di kota berasal dari peningkatan jumlah pendatang dari daerah pedesaan dan dari kota-kota lain yang lebih kecil. Pemusatan kegiatan ekonomi di kota-kota besar telah menyebabkan konfigurasi penduduk semakin terpusat diwilayah perkotaan. Menurut Koswara, paling sedikit terdapat empat persoalan pokok yang muncul di perkotaan,yaitu:

Fasilitas lingkuangan dan infrastruktur yang kurang memadai
Kondisi perumahan yang kurang sehat
Tingginya tingkat kepadatan penduduk dan pola penggunaan tanah yang tidak teratur
Tatanan kehidupan sosial yang kurang teratur.

Konteks ruang tersebut telah me ngubah kota menjadi suatu ruang konsumsi yang membentuk suatu gaya hidup kota.

Secara umum memang tampak bahwa pilihan-pilihan dilakukan sesuiai dengan kelas dimana integrasi kedalam suatu tatanan umum seperti kebudayaan Jawa tidak terbentuk sepenuhnya. Nilai simbolis dalam konsumsi tampak diintrepretasikan secara berbeda oleh kelompok yang berbeda. Dalam masyarakat semacam ini lebih berfungsi sebagai pembatas dan penegas batas-batas kelompok. Sedangkan dalam pasar menegaskan kolektifitas,kalaupun dalam bentuk identitas komunal dengan gaya hidup yang berbeda. Orientasi nilai kelompok yang sudah mula terbentuk telah berperan dalam mengendalikan ekspresi dan praktik setiap kelompok etnis.

Suatu barang yang dikonsumsi kemudian menjadi wakil dari kehadiran yang berhubungan dengan aspek-aspek psikologi dimana konsumsi suatu produk berkaita dengan perasaan atau rasa suatu percaya diri yang menunjukkan bahwa itu bukan hanya sekedar aksesosis tetapi barang-barang merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan teori itu ia berkomunikasi (Goffman,1951). Proses konsumsi itu juga bersifat fungsional karena melayani atau disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kelompok. Kelompok yang tinggal di kota merupakan kelompok yang memiliki orientasi nilai yang kurang lebih sama dan pasar di satu pihak,menegaskan kehadiran masing-masing orang,dipihak lain menegaskan kepatuhan-kepatuhan sosial individual terhadap tata masyarakat yang berorientasi pada gaya hidup tertentu.

Dalam proses konsumsi dan pergeseran orientasi kehidupan kota,referensi tradisional tampak melemah hal ini disebabkan oleh kebudayaan yang terikat pada lokalitas yang spesifik dan kendali kelas yang tegas. Dalam setting sosial baru,seperti kota-kota baru,simbol-simbol lebih merupakan sesuatu yang dikonstruksikan untuk kepentingan-kepentingan yang lain,yang keudian menciptakan culture tersendiri yang tidak terintegrasi kedalam sistem kebudayaan diluarnya. Indonesia dianggap sebagai salah satu pasar yang potensianl bagi produk global. Berbagai perbaikan dalam telekomunikasi dan transportasi sebagai salah satu faktor terpenting telah memungkinkan mengalirnya barang-barang globalyang dengan mudah diperoleh diberbagai tempat yang pada gilirannya egubah mode3 konsumsi berbagai suku bangsa. Namun demikian, globalisasi harus juga dilihat sebagai tekanan teradap kehidupan sosial secara umum karena hal itu merupakan faktor mendasar dalam transportasi masyarakat.

Dari sini,kita juga dapat menjelaskan bahwa globalisasi bukan merupakan proses satu arah karena ada kecenderungan untuk menjadi dialog dengan sifat-sifat lokal yang menentukan penerimaan tau penolakan unsur-unsur dan barang baru dalam berbagai bentuk diskursus. Penduduk kota mulai membutuhkan produk global sebagai instrumen untuk mengartikulasikan kelas dan identitas kelompok untuk membedakan dirinya dengan orang lain.

Kebudayaan bagi suatu masyarakat bukan sekedar frame of reference yang menjadi pedoman tingkah laku dalam berbagai praktik sosial tetapi sebagai barang atau materi yang berguna dalam proses identifikasi diri dan kelompok.

Kesimpulan

Konstruksi merupakan suatu kegiatan membangun sarana maupun prasarana. Dalam sebuah bidang arsitektur atau teknik sipil, sebuah konstruksi juga dikenal sebagai bangunan atau satuan infrastruktur pada sebuah area atau pada beberapa area. Pancasila sebagai orientasi humaniora Indonesia merupakan konstruksi kebudayaan. Manusia hidup ditengah-tengah tiga lingkungan, yaitu lingkungan material, lingkungan sosial, dan lingkungan simbolik. Yang dimaksud dengan lingkungan material bukanlah ekosistem, tempat ketiga lingkungan itu berkait, tetapi lingkungan buatan manusia, seperti rumah, jembatan, saawah, peralatan-peralatan. Lingkungan sosial ialah oganisasi sosial, stratfikasi, sosialisasi, gaya hidup, dan sebagainya. Ligkungan simbolik ialah segala sesutu yang meliputi makna dan komunikasi, seperti kata, bahasa, seni, upacara, tingkah laku, dan sebagainya. Ketiga lingkungan buatan itu juga saling berkitan, sehingga kita dapat melihat misalnya, antara kultur dan struktur merupakan sebuah kesatuan.

Proses reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang menegaskan keberadaanya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.

Proses semacam ini merupakan proses sosial budaya yang penting karena menyangkut dua hal. Pertama, pada tataran sosial akan terlihat proses dominasi dan subordinasi budaya terjadi secara dinamis yang memungkinkan kita menjelaskan dinamika kebudayaan secara mendalam. Kedua, pada tataran individual akan dapat diamati proses resistensi di dalam reproduksi identitas kultural sekelompok orang di dalam konteks sosial budaya tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Kuntowijoyo.2006.Budaya dan Masyarakat.Tiara Wacana:Yogyakarta

Abdullah, Irwan.2007.Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan.Pustaka Pelajar:Yogyakarta

Soeloeman, Munandar.2007.Ilmu Budaya Dasar.PT.Refika Aditama:Bandung (sumber)

0 comments:

Posting Komentar