Rabu, 25 Januari 2012

Fatimah yang Berduka

Sungguh Allah Ta’ala dengan iradah azaliyah-Nya telah menghadirkan seorang wanita, yang langit dan bumi belum pernah dan tidak akan pernah menyaksikan, sebelum dan sesudahnya, wanita seperti dia. Ia dilahirkan dari dua manusia suci. Yang satu Muhammad bin Abdullah, ayahandanya yang sangat menyayanginya, yang sekaligus merupakan seorang Nabi yang paling mulia di antara Nabi yang diutus, dan makhluk Tuhan yang paling dicintai-Nya. Yang satunya lagi adalah ibunda tercintanya, Khadijah binti Khuwailid, seorang wanita yang mengorbankan segala yang dimilikinya demi kebenaran.

Tidak heran kalau sang bayi mungil, yang terlahir dari dua orang suci tersebut, mewarisi segala kemuliaan dan kebesaran kedua orang tuanya, dan kelak bumi dan langit serta segala isinya akan menjadi saksi tentang ketegaran dan keagungan bayi tersebut.

Kehadirannya di tengah-tengah bangsa yang biadab, keras kepala dan yang mengubur wanita hidup-hidup, menjadikannya lebih cemerlang dan bersinar. Semua itu terjadi bukan secara kebetulan dan tanpa perhitungan, akan tetapi akibat dari sebuah rekayasa Tuhan yang amat cermat dan tepat.

Dia lahir lima tahun setelah ayahanda tercintanya diberi tugas yang amat berat dan sangat suci, yaitu untuk menyelamatkan seluruh umat manusia dari kehancuran menuju kedamaian. Sang bayi mungil, sebagaimana bayi-bayi lainnya, mendapatkan belaian kasih sayang dari kedua tangan ibundanya dan curahan kecintaan dari kedua mata ayahandanya.

Dia mulai menyadari, bahwa kehadirannya benar-benar merupakan anugerah Tuhan untuk kedua orang tuanya. Hari demi hari silih berganti, dilewatkannya dengan penuh keindahan dan kesenangan. Namun kesenangan dan keceriaan si kecil tadi hanyalah merupakan satu episode khusus dari serangkaian episode skenario Tuhan yang penuh keharuan, kesedihan, deraian air mata dan tekanan batin. Seakan-akan sang Sutradara Agung yang Maha bijak hendak menampilkannya sebagai sosok yang menjadi tumbal keserakahan umat manusia.

Disaat Fathimah kecil beranjak usia lima tahun, ibunda tercintanya pergi untuk selamanya. Dan segera setelahnya, paman ayahanda beliau yang kharismatik, Abu Thalib, juga menyusul ke alam baqa. Belaian kasih sayang kedua tangan ibundanya tidak akan pernah dialaminya lagi.

Sejak kepergian Abu Thalib dan khadijah, Fathimah kecil harus bersiap-siap menghadapi kegetiran dan kepahitan hidup. Serigala-serigala padang pasir yang lapar dan sadis, sudah mulai meneteskan air liurnya dan meraung-raung yang menandakan pesta jahiliyah segera dimulai.

Mereka tidak sabar lagi untuk merobek-robek relung hati si kecil yang suci, Fathimah, yang baru saja kehilangan ibundanya. Maka babak baru kehidupan Fathimah kecil yang sangat berbeda dengan sebelumnya, segera dimulai.

Ketegaran yang diwarisi Fathimah kecil dari ibunda dan ayahandanya, tidak menjadikannya sebagai seorang anak kecil yang mudah merengek. Dia tampil seakan-akan seorang wanita dewasa yang matang dan penuh pengertian.

Jika dia menangis, hal itu bukan karena dan untuk dirinya sendiri, tetapi disebabkan dan untuk ayahandanya dan para sahabatnya yang senantiasa diganggu dan disiksa kaum musyrikin.

Para ahli sejarah menceritakan, bahwa pernah suatu waktu ketika Rasulullah saaw sedang menunaikan shalat di mesjid al-Haram, beliau tunduk bersujud di hadapan Sang Pencipta. Tiba-tiba datanglah sejumlah pembesar Quraisy menghampirinya dan melempari kepala dan punggung beliau dengan kotoran binatang. Beliau diam dan tetap meneruskan sujudnya.

Fathimah kecil menyaksikan sendiri perbuatan amoral yang menimpa ayahandanya itu di hadapan kedua matanya yang bening. Lalu dia segera mendekatinya dan membersihkan kotoran binatang tersebut dari kepala dan punggung ayahandanya dengan kedua tangannya yang lembut. Kedua matanya berderai air mata.

Sekali-sekali terdengar isak tangis dari rongga dadanya yang dalam, keluar tidak tertahan lagi. Rasulullah saaw segera menatap muka Fathimah yang sedih, kemudian memeluknya sambil bersabda, “Putriku, janganlah engkau bersedih. Hal ini tidak akan berlangsung lama, sambil menghiburnya.”

Betapa besar perjuangan dan pembelaan Fathimah terhadap ayahandanya, sehingga posisi Fathimah seakan-akan tidak lagi sebagai putri Rasulullah. Tetapi sebaliknya, Fathimah yang begitu dewasa dan matang pribadinya dan selalu berada di samping ayahandanya, seakan-akan menjadi ibu bagi ayahandanya sendiri. “Fathimah Ummu Abihaa,” demikianlah Rasulullah saaw menggelarinya.

Sebagai seorang putri Rasulullah saaw, Fathimah hidup penuh kesederhanaan. Dalam kitab-kitab hadis diriwayatkan, bahwa Salman al-Farisi kelaparan, lalu dia berkeliling ke rumah istri-istri Nabi yang sembilan, tetapi dia tidak mendapatkan apa-apa. Ketika hendak kembali, dia melihat rumah Fathimah. Kepada dirinya dia bergumam, “Mudah-mudahan ada rezeki di rumah Fathimah putri Muhammad saaw.”

Kemudian dia mengetuk pintu rumah Fathimah. Dari balik pintu terdengar suara, “Siapa di balik pintu ?” “Aku, Salman al-Farisi,” sahut Salman. “Wahai Salman, apa yang anda inginkan ? tanya Fathimah. Lalu Salman menceritakan maksudnya.

Setelah itu Fathimah berkata, “Wahai Salman, demi Yang mengutus Muhammad saaw dengan kebenaran sebagai Nabi. Sungguh, aku sudah tidak makan selama tiga hari. Demikian pula al-Hasan dan al-Husain, gemetar sekujur tubuhnya karena lapar yang sangat. Lalu keduanya tertidur bagaikan dua ekor anak burung yang tidak berbulu. Tapi aku tidak menolak kebaikan, jika datang di pintuku,” jelas Fathimah.

Kemudian Fathimah melanjutkan perkataannya, “Wahai Salman, ambilah baju perang ini, lalu pergilah kepada Syam’un Yahudi dan katakan kepadanya, bahwa Fathimah putri Muhammad berkata kepadamu, “Berilah aku hutang seikat kurma dan gandum, dengan jaminan baju besi ini. Nanti Insya Allah aku akan membayarnya kepadamu.”

Lalu Salman mengambil baju besi itu dan membawanya kepada Syam’un Yahudi. “Wahai Syam’un, ini adalah baju besi Fathimah putri Muhammad saaw. Dia berkata kepadamu, Berilah aku hutang seikat kurma dan gandum, dengan jaminan baju besi ini, nanti Insya Allah aku akan membayarnya kepadamu.”

Kemudian Syam’un mengambil baju besi tersebut, dan membolak-balikkannya dengan telapak tangannya, sementara kedua matanya berderai air mata sambil berkata, “Wahai Salman, inilah kezuhudan dalam dunia. Inilah yang diberitakan oleh Musa bin Imran kepada kami di dalam Taurat. Kini aku bersaksi, bahwa tiada Tuhan selain Allah dan aku bersaksi Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya.” Si Yahudi tersebut akhirnya masuk Islam.

Selain hidupnya yang amat sederhana dan kepedulian sosialnya yang sangat tinggi, siti Fathimah as. juga dikenal sebagai seorang yang abidah (ahli ibadah).

Al-Hasan bin Ali as. berkata, “Aku melihat ibuku, Fathimah berdiri di mihrabnya pada malam jum’at. Beliau senantiasa ruku dan sujud hingga cahaya fajar menyingsing. Aku mendengar dia mendoakan orang-orang mukmin dan mukminat, bahkan menyebutkan nama-nama mereka satu demi satu. Dia banyak mendoakan mereka, tetapi tidak pernah mendoakan dirinya.

Lalu aku bertanya kepadanya, “Wahai ibu, mengapa engkau tidak mendoakan dirimu sendiri, sebagaimana ibu mendoakan yang lainnya ? Beliau menjawab, “Wahai anakku, tetangga lebih didahulukan, baru rumah sendiri.”

Fathimah juga adalah seorang muslimah yang sangat afifah. Pernah suatu waktu Nabi bertanya kepadanya, “Apa yang terbaik bagi wanita ? Yaitu wanita yang tidak melihat laki-laki dan tidak dilihat laki-laki,” jawabnya dengan yakin. Lalu Nabi memeluknya sambil membacakan ayat berikut, “Satu keturunan yang sebagiannya dari yang lain.” (QS. Ali-Imran : 34).

Fathimah as. yang sejak usia dini sudah menderita, maka penderitaan baginya menjadi suatu yang biasa. Penderitaan, tekanan dan kehidupan yang demikian pas-pasan telah menghiasi kehidupan Fathimah. Ironisnya, penderitaan dan kepedihan tersebut makin menguat sepeninggal ayahandanya tercinta.

Jika Fathimah ketika kecil dan dewasa menyaksikan dengan sedih gangguan dan rongrongan kaum musyrikin terhadap ayahandanya, maka sepeninggal ayahandanya hingga akhir hayatnya, Fathimah menyaksikan penghianatan dan ekploitasi umat ayahandanya terhadap suaminya Ali dan dirinya sendiri.

Sudah tentu yang terakhir lebih melukai dan menyakitkan hatinya. Simaklah kisah berikut, ketika Fathimah as. bersimpuh di pusara ayahandanya, untuk melaporkan padanya tentang keadaan yang telah berubah secara drastis sepeninggal ayahnya. Dengan suara parau dan mengharukan dia berkata, “Wahai ayahku, sepeninggalmu sungguh betapa banyak berita duka dan tekanan terhadapku. Sekiranya engkau masih berada di tengah-tengah kami, maka keserakahan-keserakahan itu tidak akan banyak.”

Walaupun Fathimah masih berduka dengan kematian ayahandanya tercinta, dia tetap tampil tegar ketika melihat adanya penyimpangan-penyimpangan di tengah masyarakat Islam.

Sejarah telah merekamkan untuk kita, bahwa setelah meninggal ayahandanya, lalu kaum muslimin mengangkat Abu bakar sebagai khalifah, maka Siti Fathimah naik mimbar dan berkhutbah di hadapan kaum Anshar dan Muhajirin. Dalam khutbahnya, Siti Fathimah menjelaskan tentang Tauhid, Kenabian dan Kepemimpinan serta memperingatkan penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan sejumlah kaum muslimin.

Banyak dari kalangan sahabat Nabi yang menangis mendengarkan khutbah dan peringatan Fathimah tersebut.

Akhirnya Fathimah berpulang ke haribaan Tuhan, enam bulan setelah kepergian ayahandanya. Fathimah pergi dengan hati yang duka dan terluka. Fathimah diciptakan seakan-akan hanya untuk mendampingi ayahandanya. Sejak dia berusia lima tahun, dia sudah menjadi seorang ibu bagi ayahandanya. Kemudian setelah sang ayah pergi, diapun segera pergi menyusulnya. []


Besar nian jasamu wahai Fathimah,

dalam membela ayahmu.

Sungguh panjang dan dalam deritamu,

sejak ayahmu menjadi bulan-

bulanan kaum musyrikin.

Betapa sakit dan pedih hatimu

dikala engkau menyaksikan

pengkhianatan dan penyimpangan

sebagian umat ayahmu.

Salam sejahtera atasmu,

wahai Fathimah,

di hari lahirmu,

di hari penderitaanmu dan

di hari wafatmu. 

0 comments:

Posting Komentar