Senin, 20 Februari 2012

Tatalah Hidupmu untuk Bahagiamu


Tatalah Hidupmu untuk Bahagiamu
HAMPIR setiap Muslim menginginkan kebahagiaan. Namun belum semua Muslim mengerti apa itu kebahagiaan dan bagaimana cara meraihnya. Beruntunglah anda yang diberikan pemahaman yang mendalam tentang kebahagiaan lalu berupaya sungguh-sungguh untuk mendapatkannya.

Seorang Muslim yang mengerti apa itu kebahagiaan dan sekaligus memahami strategi untuk meraih kebahagiaan, dirinya akan berusaha semaksimal mungkin menata hidupnya dengan baik. Jadi tidak ada waktu yang akan dilalui tanpa rencana dan tidak ada aktivitas tanpa tujuan.

Bahkan boleh dikatakan semua yang dilakukan itu adalah dalam rangka mencapai tujuan-tujuan mulia, besar, dan tentunya pasti bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat. Meskipun kadangkala tujuan tersebut harus ditempuh dengan memberikan pengorbanan dan kepayahan yang luar biasa.

Kebahagiaan itu tiada lain adalah tertanamnya kecintaan yang mendalam kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎), sehingga segala hal yang dilakukannya dalam hal dunia sekalipun semata-mata ia dedikasikan kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) bukan yang lain. Hal itu mampu dilakukan karena keyakinan yang sangat kuat kepada Allah (ma’rifatullah).

Mereka inilah yang dalam al-Qur’an disebut dengan orang-orang yang yakin kepada Allah dan suatu saat pasti akan bertemu dengan-Nya,

"Orang orang yang yakin bahwa mereka akan bertemu dengan Tuhan mereka."(QS. 2: 46).


Seorang Muslim akan mampu sampai pada derajat mencintai Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) manakala dirinya telah berhasil menata hidupnya dengan menundukkan hawa nafsu dirinya dalam kepemimpinan wahyu (Al-Qur’an).

Orang yang seperti itu akan selamat dan bahagia dalam kondisi apapun. Sebab dunia dan isinya sama sekali tak memberikan satu ruang untuk bergesernya kecintaannya kepada Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎).

Bila dia orang kaya maka dia akan menjadi pembela agama Allah dengan harta benda yang dimilikinya, itulah Abdurrahman bin Auf. Bila dia seorang intelektual maka dia akan kerahkan seluruh kemampuannya untuk kemurnian ajaran Islam, itulah Imam Bukhori yang rela berjalan ribuan kilo untuk mengumpulkan hadits-hadits Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم).

Bila dia orang miskin maka ia akan tetap istiqomah dan gigih dalam bekerja dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, itulah Ali bin Abi Thalib, yang pernah menjadi pengangkut air untuk orang Yahudi. Singkatnya, orang yang mengerti kebahagiaan dan mau meraihnya pasti mereka akan mampu bertahan dalam kondisi apapun demi kebahagiaan hakiki itu.

“Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, sesungguhnya golongan Allah itulah golongan yang beruntung.” (QS. 58: 22).

Dalam ayat yang lain Allah tegaskan bahwa;

“Para kekasih Allah, tidak ada kekhawatiran pada mereka dan tidak (pula) mereka berduka cita.” (QS. 10: 62).

Kemampuan bertahan dalam derita itulah yang kini mulai sedikit dari sebagian umat Islam yang mampu melaluinya dengan baik. Apalagi dengan adanya tantangan berupa banyaknya hiburan, tontonan, menjadikan sebagian dari mereka kini kian asyk dengan hura-hura, santai ria, dan foya-foya. Padahal semua itu hanyalah kesenangan yang semu dan menipu.

Menata Hari


Sebagai Muslim kadangkala kita lalai mengisi hari-hari kita dengan perencanaan yang baik. Siang malam sering kali dilalui tanpa amal sholeh. Bahkan di antaranya asyk dengan hal-hal yang tidak bermanfaat. Padahal rasulullah saw memberikan satu penegasan kuat bahwa salah satu ciri sempurnanya iman seorang Muslim ialah meninggalkan hal-hal yang tidak memberi manfaat.

"Termasuk dari kesempurnaan keislaman seseorang adalah meninggalkan hal yang tidak bermanfaat." (HR At-Tirmidzi).


Jadi, setiap Muslim hendaknya mampu untuk meninggalkan hal yang tidak diperlukan, baik dari pikiran, perkataan dan perbuatan, dan dia hanya berkonsentrasi dalam melakukan hal-hal yang dia perlukan dari perkataan dan perbuatan yang dapat memberi manfaat baik bagi dirinya maupun orang lain.

Hal ini menunjukkan bahwa kita mesti menata hidup kita agar terbebas dari kesia-siaan. Kebutuhan akan penataan hidup dengan mengelola waktu secara baik mulai terasa sangat mendesak, utamanya jika melihat situasi kini dimana hampir semua orang hidup dengan kesibukan yang panjang.

Padahal kesibukan kerja tidak seharusnya membuat kita lalai terhadap perintah agama, sehingga kita sering abai terhadap ruhani kita sendiri. Oleh karena itu kita perlu menata hari-hari kita dengan baik. Bahkan harus ada dalam perencanaan harian kita untuk selalu membaca Al-Qur’an, sholat berjamaah, bersedekah, bersilaturrahim, dan amal sholeh lainnya.

Seorang Muslim, sebagai apapun dia, wajib menata hidupnya dengan baik, demi untuk mendapatkan keridhoan Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎). Bahkan kondisi sulit dalam kehidupan dunia ini tidak boleh membuat kita berpikir instan dalam mendapatkan keuntungan, apalagi sampai menegasikan aturan halal-haram.

Sebab kebahagiaan sejati itu bukanlah dunia tapi akhirat. Oleh karena itu, persiapkanlah diri kita (tatalah hidup kita) untuk meraihnya.

Allah Subhanahu wa-ta'ala (سبحانه و تعالى‎) berfirman;

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah, dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk hari esok; bertakwalah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah mengawasi apa saja yang kalian lakukan.” (QS. 59: 18).
Perencanaan seperti harus ada dalam agenda harian setiap Muslim. Jangan mau kalah dengan para artis, pejabat, atau pencinta sepak bola yang selalu punya agenda nonton pertandingan sepak bola meskipun tengah malam berulangkali dalam sepekan.

Jika setiap Muslim memiliki perencanaan harian seperti itu, insya Allah kedepan akan lahir Muslim-Muslim yang berkarakter unggul, disiplin, teliti, cerdas dan insya Allah akan selalu berhasil dalam segala urusan.

Sebaliknya jika Muslim-Muslim hari ini serba asal-asalan, baik  dalam bekerja maupun ibadah maka keterpurukanlah yang akan dialami oleh umat Islam.

Belajar Pada Pekerja Kasar

Suatu saat Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) yang baru pulang dari peperangan. Ketika tiba di Madinah, beliau disambut banyak orang. Begitu beliau datang, ada seorang penjual air yang mendekati Nabi Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) hendak mencium tangan beliau. Akan tetapi, Nabi Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) tidak mau menerimanya, sebaliknya beliau mengambil tangan penjual air itu untuk dicium.Ketika bersentuhan tangan dengan orang itu, Nabi Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)  merasakan tangannya kasar sekali. Lalu, Nabi Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) bertanya, "Kenapa tanganmu kasar sekali?"
Orang itu menjawab, "Yaa Rasulullah, kerjaan saya ini membelah batu setiap hari, dan belahan batu itu saya jual ke pasar, lalu hasilnya saya gunakan untuk memberi nafkah kepada keluarga saya, karena itulah tangan saya kasar."

Apa yang dilakukan Nabi yang agung itu? Nabi Muhammad Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم) adalah manusia yang paling mulia, jauh lebih mulia daripada siapapun, tetapi orang yang paling mulia itu begitu melihat tangan yang kasar karena mencari nafkah yang halal, menggenggam tangan itu, dan menciumnya.

Saat Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم)  hendak mencium tangan itu, beliau berkata, "Hadzihi yadun la tamatsaha narun abada", 'inilah tangan yang tak akan pernah disentuh oleh api neraka selama-lamanya'.

Bayangkan jika orang yang dicium tangannya itu adalah anda? Tapi mampukah kita bertahan sebagaimana orang yang bekerja keras itu?

Hanya keyakinan yang kuat yang diderivasikan dalam bentuk penataan hidup dengan baiklah yang akan mengantarkan kita pada derajat mulia, sebagaimana penjual air yang tangannya dicium oleh Rasulullah Shalallaahu 'Alaihi Wasallam (صلى الله عليه و سلم).

Jadi tidak semestinya kita hidup santai-santai, asal-asalan. Mulailah menata diri dengan sebaik-baiknya. Sebab mereka yang menata hidupnya dengan baik saja belum tentu berhasil. Apalagi yang tidak pernah menata hidupnya. Wallahu a’lam.(hidayatullah)

0 comments:

Posting Komentar