Senin, 06 Februari 2012

Suku Baduy Menyiasati Zaman


13284483781706826326
moshi moshi :D (foto: syam)
Tak ada suara televisi, radio, maupun suara jingle “Sari Roti” keliling kampung. Telinga serasa puasa dari bebunyian “dunia modern”. Demikianlah yang terasa ketika melewati hari-hari di kawasan adat Baduy Dalam di desa Kanekes beberapa minggu silam. Aturan adat melarang warga Baduy punya televisi, radio, dan piranti elektronik lain. Tapi ketika melewati satu rumah di kampung Balimbing, wilayah Baduy luar, lamat-lamat terdengar alunan degung yang dari kualitas suaranya patut diduga berasal dari siaran radio.
Di Baduy Luar, aturan adat memang lebih longgar ketimbang di Baduy Dalam. Meski tak ada jaringan listrik sama sekali di keseluruhan kawasan adat Baduy, bisa saja ada warga Baduy Luar punya radio.
“Pakai batere,” jelas Syarif warga kampung Cibeo, Baduy Dalam. Lelaki muda yang memandu kami itu mengatakan belum tahu apakah ada warga Baduy luar punya televisi. “Tapi di Baduy dalam, kami tidak boleh punya tivi dan radio.”

Meski tak ada televisi di kampungnya, masyarakat Baduy dalam cukup melek informasi nasional hingga internasional. Selama di Kampung Cibeo, obrolan seputar skandal pajak Gayus, kedatangan Obama ke Indonesia, hingga revolusi rakyat Mesir yang menumbangkan rezim Hosni Mubarak dimulai dari lontaran mereka.

Mereka tahu dari menonton televisi. Televisi terdekat ada di terminal Ciboleger. Bersebelahan persis hingga hampir tak berbatas dengan salah satu kampung terluar Baduy, Kaduketug. Pemisah kedua wilayah hanya ditandai gapura ucapan Selamat datang dan Selamat Jalan, ke dan dari kawasan. Tapi perbedaan menyolok dapat dengan mudah dilihat adalah keberadaan jaringan listrik. Kaduketug tak dialiri listrik. Lebih-lebih kampung-kampung Baduy yang jauh lebih di dalam.

Orang Baduy menonton televisi hanya bila sedang “turun gunung” ke luar Baduy. Biasanya untuk keperluan menjual hasil bumi dari ladang dan hutan atau hasil kerajinan tangan. Bisa madu, pisang, gula aren, dan lainnya. Bisa pula kain tenunan para perempuan Baduy atau aksesoris dari bahan-bahan alam. Kebutuhan lain, menjemput tamu yang minta dipandu ke dalam kawasan adat.
Jemput Tamu
1328448481936770518
Dua pengompasiana bertamu ke baduy (foto: syam)

Kerja menjemput tamu mengantarkan orang-orang Baduy menjadi “pemandu wisata” atau guide dan kadang sekaligus porter. “Pekerjaan” ini belum ada ketika atmosfer pariwisata belum sepekat saat ini. Menurut antropolog lulusan Universitas Indonesia, di masa lalu para tamu biasanya datang ke kepala desa (disebut jaro) untuk minta izin masuk kampung dan minta dibantu diantar ke dalam kawasan. Bila kebetulan ada orang Baduy Dalam melintas menuju pulang, Jaro akan menitipkan tamu padanya untuk ditemani berjalan. Bukan “guide”, apalagi porter.

Perkenalan antara tamu dan warga yang berjalan seiring menjadi kunci berharga untuk masuk kawasan. Dalam artian, warga Baduy yang sudah dikenal itu kelak dengan senang hati menjadi tuan rumah ketika tamu berkunjung untuk kali berikutnya. Sang tamu tak bakal kena biaya, karena sudah dianggap seperti keluarga sendiri yang sedang bersilaturahmi. Warga Baduy akan merasa bangga dengan kedatangan saudara jauhnya.
Para tamu biasanya membawa bekal sendiri agar tak memberatkan tuan rumah. Kecuali buah tangan bawaan sang tamu —umumnya ikan asin atau bahan makanan lainnya— tak ada tarif yang dipungut warga baduy dari “saudara jauh”.

Pada gilirannya, tamu yang sudah biasa datang akan menghubungi kontak-kontak personal di sekitar terminal Ciboleger beberapa hari sebelum keberangkatan. Ciboleger kini telah ada semacam biro swasta yang melayani jasa pandu-wisata. Dikoordinir oleh Agus Bule. Meski Agus Bule adalah warga luar-Baduy (non-baduy), tim pemandu adalah warga Baduy. Baik Baduy Dalam maupun Baduy Luar.

Ada kalanya tamu memesan khusus minta diantar oleh warga Baduy dalam yang sudah mereka kenal. Kontak personal semacam Agus Bule akan titip pesan ke orang yang dimaksud. Beberapa warga Baduy memang telah memakai dan memiliki ponsel, tapi warga Baduy Dalam tidak. Jadi, pesan mesti dititipkan pada orang-orang Baduy yang melintas di terminal Ciboleger menuju menuju kampungnya. Tak melalui telepon atau pesan pandak di ponsel. Di Baduy Dalam, tak ada yang punya ponsel pun!

Kadang ada tamu-tamu yang beruntung. Konon ada pula yang mirip sial. Yang mirip sial, konon ceritanya datang tanpa bertemu orang Baduy lalu minta pandu sembarang orang yang bertemu di terminal. Oleh sang pemandu dikenakan tarif mahal.

Apakah bila dipandu orang Baduy tak kena biaya?
Belakangan, menjemput tamu telah menjadi semacam sumber pendapatan tambahan bagi warga Baduy. Terkesan pola pikir masyarakat Baduy kini cenderung bergerak ke arah komersil akibat pariwisata. Utamanya mereka hidup dari berladang dan menjual hasil bumi serta kerajinan tangan.

Berapa tarif jasa pandu dikenakan pada tamu, tak tersebutkan dari mulut mereka. Sebagai gambaran, bayangkan jenis layanan yang mereka beri. Mulai dari kesediaan menjadi porter yang membawakan beban bawaan tamu, menyilakan rumah mereka untuk diinapi, hingga mengambil alih urusan menyiapkan makanan hingga siap santap ketika tamu berada di rumah mereka. Bahkan bila ransum yang dibawa tamu habis, mereka bersedia membagi bahan makanan yang mereka punya.

Seorang kawan, Ferdi Xn yang pernah bertamu ke Baduy menyebut para guide biasa diganjar Rp 10.000/tamu yang dipandu. Bila rombongan terdiri dari 5 orang, seorang guide akan mendapatkan Rp 50.000.

Tapi sejatinya, mirip tak ada patokan mengenai tarif ini. Begitu pula kesan yang saya dapat ketika 3 hari 2 malam bertamu ke Baduy bersama 2 kawan. Ada tiga warga Baduy dalam yang melayani kami secara penuh. Layaknya para karib. Mulai dari pemandu jalan, narasumber informasi kebaduyan, menyediakan tempat, memasak, bahkan porter. Kecuali ransel dan perlengkapan pribadi saya, semua perlengkapan kami, mereka panggulkan.
Menjelang berpisah, secara tegas dua warga Baduy bilang, mereka tak minta dibayar. Mereka mengaku senang bertemu sahabat. Aku mereka, suatu saat ketika mereka sedang berjalan ke Jakarta, mereka dibolehkan singgah untuk beristirahat di rumah kami. Itu manis. Tapi sedikit uang, tetap kami paksakan untuk diterima tanpa mengurangi kesan bersahabat.
“Kabari, kapan pun ke Jakarta!”
Orang Baduy Dalam memang sering tampak di Jakarta. Jalan kaki.

Setia Kaki Pada Tanah
Berjalan kaki bagi masyarakat Baduy kebiasaan keseharian. Di dalam kawasan ulayat Baduy seluas 5.136 hektar memang hanya ada jalan setapak kecil yang didominasi tanah. Beberapa bagian jalan diperkeras dengan batu kali yang disusun memanjang. Lebar susunan batu sekitar setengah depa.

Jalan-jalan ini menghubungkan ladang dan kampung. Karena sempit, medan tergolong berat, sudah barang tentu tak ada yang bisa melintas. Bahkan sepeda motor pun tidak. Alih-alih punya, menumpang kendaraan bermotor pun sudah terlarang menurut adat Baduy.

Bagaimana bila orang-orang Baduy hendak bepergian jauh ke luar desanya? Aturan adat menekankan untuk tetap berjalan kaki. Aturan ini hanya ketat dikenakan pada masyarakat Baduy Dalam. Bagi masyarakat Baduy Luar, lebih longgar. Mereka dibolehkan menumpang kendaraan.

Perbedaan dalam hal jalan dan menumpang kendaraan terlihat menyolok dalam beberapa peristiwa. Misal saat perayaan tradisi “Seba”, ungkapan syukur atas hasil panen setahun dengan 
at Baduy Luar datang mengendarai mobil. Masyarakat Baduy Dalam menempuh perjalanan berkilo-kilo meter menuju Rangkas (ibu kota Kabupaten Lebak) dan Serang (ibu kota Propinsi Banten) dengan berjalan kaki.
Seberapa kuat generasi muda Baduy Dalam untuk tetap keukeuh pada perintah adat berjalan kaki? Seberapa kuat mereka tetap membiarkan telapak kaki setia pada tanah? Seberapa kuat tungkai kaki mereka tetap setia pada langkah?

Sabtu petang, kami berpisah dengan Idong, salah seorang lelaki muda Baduy yang turut memandu kami masuk kawasan Baduy Dalam. Ia tak bisa menemani lebih lama, sebab fajar hari Ahad waktu itu dia berencana ke Jakarta dengan 2 pemuda Baduy lain. Mengantar pesanan kerajinan dan madu untuk beberapa “langganan” di Jakarta. Konon, jarak Baduy – Jakarta biasa mereka tempuh sekitar 3 hari berjalan kaki.

Senin malam, setiba di rumah, sebuah pesan pandak masuk ke ponsel saya. Beritanya, Idong Cs tanyakan apakah saya sudah pulang dan sampai di rumah? Ternyata mereka sudah sampai di Pamulang. Bila saya bolehkan, keesokan harinya mereka bermaksud singgah di kediaman keluarga saya di Lebak Bulus. Mereka memang sudah pegang peta sederhana alamat rumah keluarga kami. Dan keesokan petang mereka tiba… berjalan dengan kaki tanpa alas!

Baduy dan Ponsel
1328448793735279960
Rasa Ini Sungguh (Tak) Wajar. Poster grup penyanyi The Virgin (Foto: ibi) 

Saya sempat kaget ketika salah satu kawan Baduy Dalam —yang singgah ke rumah keluarga kami—minta saya simpan nomor ponsel yang kemarin dipakainya untuk kirimi saya pesan pandak. Sebelumnya saya tahu orang Baduy Dalam tak boleh punya ponsel, sebagaimana piranti elektronik maupun mesin.

“Nomornya punya saya. Hape-nya punya kawan di Baduy Luar!” jawabannya membuat terang. “Kalau saya sedang ke luar kampung, saya bisa pinjam hape kawan. Buat periksa kalau ada SMS masuk ke nomor saya.”
Selain tak dibolehkan adat, ketiadaan sinyal di kawasan Baduy Dalam, membuat warganya masih tak perlu punya ponsel. Lain lagi dengan di Baduy Luar. Tak sedikit warganya punya ponsel. Dipengaruhi pula oleh aturan adat yang tak terlalu mengikat, keberadaan sinyal mendukung, ditambah kebutuhan untuk memperlancar “bisnis” hasil bumi dan hasil hutan yang mereka hasilkan.

Semula saya pikir cara kawan muda dari Baduy Dalam berkirim pesan melalui ponsel adalah dengan minta bantuan kenalan yang ia singgahi. Sebagaimana cerita seorang kawan, orang-orang Baduy biasanya menghubungi secara estafet. Teknisnya, bila sampai di rumah si A dia minta pada si empunya rumah untuk mengabari si B, berlanjut bila sudah ketemu si B lalu minta hubungkan ke si C, dan seterusnya. Beberapa generasi Baduy yang agak tua masih memakai cara ini.

Bila orang-orang muda Baduy Dalam kemudian membawa ponsel ketika berjalan ke Jakarta, mereka punya alasan yang cukup di akal. Kesibukan orang-orang Jakarta, kadang membuat sulit ketika hendak datang berkunjung. Mesti buat janji terlebih dulu sebelum datang. Bila tidak bersiaplah kecewa karena menemukan rumah kosong.

“Dulu masih enak. Tak perlu bawa hape kalau ke Jakarta. Bisa nelepon liwat wartel,” jelas sang kawan. Kini cari wartel di Jakarta mungkin sama susah dengan cari sinyal ponsel di kawasan Baduy.

Entah menyalahi adat atau tidak. Apakah pemanfaatan teknologi komunikasi ini menjadi penanda penurunan kekukuhan generasi muda Baduy akan kearifan nilai-nilai yang selama ini hidup bersama mereka. Tapi yang pasti, secara sederhana mereka hanya sedang menyiasati zaman yang terus berubah.

Tidak pula berarti kelak cara menyiasati zaman akan membuat pemuda Baduy Dalam menyumpal lubang kuping dengan perangkat pemutar .mp3 atau radio sambil menikmati lagu-lagu Bob Dylan diselingi iklan roti atau menjilat-jilat es krim. sumber

0 comments:

Posting Komentar